Gendhis merupaan perusahaan industry rumah yang bergerak di bidang kerajinan tangan yang berdiri sejak tahun 2002. Berawal dari hobi berkreasi pada seni perca kemudian berkembang pada produk fashion yaitu tas, terutama yang berbahan baku natural seperti: enceng gondok, pandan, mending, agol, dan lain-lainnya. Usaha kerajinan tangan ini adalah usaha perseorangan yang memiliki karyawan tetap terdiri dari pimpinan, pemasaran, bagian keuangan, desainer, produksi dn gudang serta karyawan harian yang menangani produksi rutin seperti finishing kulit, finishing aksesoris, finishing jahit dan bahan baku. Gendhis memposisikan produknya sebagai tas alami yang menyasar pasar lokal Indonesia, akan tetapi produk Gendhis meskipun sudah mempunyai pasar yang tetap, produk Gendhis masih susah mempunyai 8 ruang pamer di berbagai kotas besar di Indonesia. Gendhis mengantisipasi atas adanya senjata merek dengan produk lain. Gendhis menyediakan kebutuhan pasar dengan memproduksi produk handycraft yang berkualitas dengan desain yang modis dan pelayanan yang baik. Kerena Gendhis juga menyediakan layanan pasca pembelian berupa garansi perbaikan produk. Upaya Gendhis untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut mampu meningkatkan loyalitas konsumen. Tren pasar Gendhis berfokus pada produk lokal, buatan tangan alami, dan berkelanjutan. Apresiasi pasar terhadap produk lokal saat ini dapat dikatakan tinggi. Sehingga produk lokal merupakan jawaban atas tren pasar saat ini. Gendhis mengangkat konsep yang benar-benar alami seperti buatan tangan, proses produksi tanpa menggunakan mesin, serta menggunakan bahan-bahan dari alam (rotan, daun pandan, enceng gondhok, rami, bamboo yang dikombinasikan dengan kulit sapi, kain perca, lalu pita serta produk penuh kulit sapi). Sejak berdirinya Gendhis sebagai sebuah perusahaan perta dan memiliki manajemen yang jelas, Gendhis mengalami perkembangan hingga saat ini telah memiliki outlet diluar Yogyakarta, antara lain Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Samarinda, dan beberapa di luar negeri seperti Jepang, US/Amerika, Kolombia, Spanyol, India, Malaysia, Selandia Baru yang hal ini mengindikasikan meningkatnya pasar yang dimiliki oleh Gendhis. Hal ini juga diperkuat dengan fenomena bahwa pertumbuhan yang dialami oleh Gendhis sekitar 35% pertahun dilihat dari segi penjualan dan laba. Gendhis menawarkan produk-produk fashion seperti dompet, topi, tas laptop, tempat handphone, sandal kayu, clutch bag yang kesemuanya adalah handmade (kerajinan tangan) yang berkonsep eco green atau berbahan baku natural seperti rotan, daun pandan, enceng gondhok, rami, nilon, bamboo dikombinasikan dengan kulit, kain perca, sulam pita dll dan sebagainya. Nilon masih bisa di daur ulang. Kunci kesuksesan dari bisnis Gendhis selama ini tidak lepas dari produk-produk Gendhis yang mengusung brand natural handmade, keunikan desain dan keesksklusifan produk itu sendiri, yang tidak memperoduksi satu model dalam jumlah yang besar dan hanya memproduksinya satu kali, kecuali ada permintaan dari pasar dalam jumlah tertentu. Eksklusif yang dimaksud disini juga dapat dilihat dari segmentasi yang tetap dan dipertahankan oleh Gendhis yaitu menyasar golongan menengah ke atas. Dari ke- eksklusifan produk dan segmentasi tersebut maka dapat tercipta loyalitas dari para customer yang sering menanyakan produk baru yang akan dirilis. 1.2 Kejaya Handicarft Kejaya Handicart didirikan oleh dua bersaudara, yaitu Kathibin dan Ahmad Fatoni (aim). Produk Kejaya Handicart berbahan baku alami, mulai dari tempurung kelapa (batok), pelepah pisang, bambu, kayu, wating (perdu yang diambil seratnya). Lambat laun bahan baku pelepah pisang tergeser oleh kerajinan dari kelapa. Hingga saat ini, Kejaya sudah memproduksi barang kerajinan sebanyak 500 jenis. Antara lain tas, tempat perhiasan, kotak, pigura, mebel-mebel kecil dan lainnya. Harga barang kerajina yang dijual bervariasi, mulai dari yang termurah Rp 1.000,- hingga termahal Rp 1 juta. Setelah 20 tahun berjalan, kini Kejaya Handicarft mempunyai 25 karyawan dan lebih dari 100 perajin yang dilibatkan sebagai mitra kerjanya. Karyawan dalam perajin yang bekerja dirumah, yang ngepaki dan mengambil orderan diluar. Perajin yang diluar meliputi masyarakat di dua pendukuhan, yang dilibatkan dalam anyam-menganyam. Finishingnya tetap karyawan. Sebagai contoh pembuatan songkok bambu oleh karyawan dalam, dengan bahan anyaman bambu hasil perajin luar. Di Banyuwangi bahan bambu yang bagus dari Gintangan. Dahulu pertama membuat produk dari pelepah pisang dan tempurung kelapa, batangnya, lidinya. Kemudian berkembang ke songkok bambu, tempat tisu, album dan tas dari pelepah pisang dan proses terbaru tas anyaman dari serat waring. Pemasaran produk mulai Jakarta, Bali dan Solo. Untuk pasar luar negeri, ekspor ke Eropa, Amerika, Jamaika, dan Hawaii. Kalau Jakarta bisa sebulan dua kali pengiriman. Sedangkan dari Eropa dan Amerika, tamunya datang ke Banyuwangi dan minta dikirim beberapa jenis produk ke Bali. Kendala yang dihadapi biasanya merupakan kelangkaan bahan baku. Bahan kayu atau batang kelapa menunggu ada orang yang memotong. Produk yang ditawarkan harus mengikut tren yang ada. Inovasi produk sangat penting menyesuaikan zaman, agar tidak tersaingin oleh kompetitor lainnya. 1.3 Schmiley Mo Diana Rikasari merupakan perempuan yang memiliki hobi menulis, mengabadikan gambar dan ngeblog ini adalah satu di antara banyak fashion blogger yang sudah melalang buana di industri adibusana Internasional. Sejak tahun 2007 sampai saat ini, entrepreneur muda yang sering disapa Diana aktif menulis untuk blognya. Menulis di blog bukan tanpa sebab, karena Diana sendiri memiliki hobi menulis, foto dan desain. Sehingga saat mengenal blog, Diana mulai coba sebagai bentuk ekspresi diri melalui dunia maya. Seperti gayung bersambut ternyata ini malah membuka banyak jalan di dalam setiap hal di hidupnya. Topik seputar fashion dipilih karena dirinya suka mengamati dunia fashion. Tapi uniknya, gaya berbusananya sendiri terkesan tidak biasa. Malah banyak yang menganggap kalau gayanya terkesan bertabrakan dan berani memainkan warna-warna cerah. Dengan paduan busana warna cerah, nyentrik, dan gaya penulisannya yang mudah dicerna justru menjadi daya tarik tersendiri. Tidak hanya itu saja, pembahasan seputas isu fashion juga membuat blognya semakin banyak menarik pembaca. Berhasil membangun brand dirinya melalui blog fashion diary, kala itu Diana akhirnya mencoba peruntungan di bisnis e-commerce. Tahun 2011 jadi awal Diana serius merintis bisnis dengan memproduksi produk sendiri. Terjun ke dunia bisnis sebenarnya sudah menjadi mimpi Diana. Pasalnya saat duduk dibangku sekolah dirinya sering membuat sesuatu dan dijajakan ke teman-temannya. Jadi dapat dikatakan memang takdirnya berkecimbung di dunia tersebut. Merek pertamanya saat itu adalah UP, yang merupakan situs jualan online yang menyediakan fashion wanita. Usaha ini dimulai dengan modal tabungannya selama bekerja di perusahaan multinasional. Di UP Diana menawarkan pilihan alas kaki wanita berupa wedges, heels, dan sandal yang memiliki warna, corak dan desain yang unik sesuai dengan ciri khas Diana. Berkat kreativitas dan kemampuan desainnya bisnis ini pun sukses. Mulanya Diana hanya memproduksi sekitar enam sepatu, seiring berjalan waktu permintaan terus bertambah. Dengan menyasar kaum muda dengan status ekonomi menengah ke atas, sepatu UP di jual dengan rentang harga mulai dari Rp 300.000,- hingga Rp 400.000,-. Selain mendapatkan apresiasi yang memuaskan dari konsumen tanah air, cukup mengejutkan ternyata banyak juga pembeli dari beberapa negara lainnya, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Filipina, Meksiko, Rusia hingga Amerika. Meskipun terbilang sukses, tetap banyak batu sandungan yang dihadapi Diana ketika merintis bisnis ini, seperti perombakan tim produksi. Di mana akibatnya membuat rumah produksi UP harus tutup selama 2 bulan. Diana mengakui bahwa saat itu adalah masa-masa yang paling buruk bagi bisnisnya. Keluhan konsumen yang masuk baik dari pesan pribadi maupun media sosial menurunkan reputasi bisnisnya kala itu. Selain masalah produksi, kendala lainnya adalah tindakan replica karya yang sering ia temui. Untuk masalah satu ini ia mengatasinya dengan langsung mengkomunikasikannya hal terkait penjiplakan tersebut dengan pihak yang bersangkutan. Ada pihak yang langsung merespons, tapi tak jarang ada yang sama sekali tidak menggubris keluhan dirinya. Setelah iwearup berjalan dengan stabil, Diana tidak puas sehingga mendirikan merek baru bernama PopFlats yang juga menawarkan produk yang sama. PopFlats adalah bisnis keduanya dan bisnis kolaborasi pertama bersama Intan Valentina. Didirikan pada tahun 2013, sepatu flat wanita di sini ditawarkan dengan desain yang segar dan menyenangkan. Meski produk yang ditawarkan sama, Diana mengakui bahwa keduanya memiliki perbedaan. Jika sepatu dengan label iwearup menargetkan perempuan dewasa di atas umur 18-35 tahun, PopFlats lebih memfokuskan konsumen di bawahnya, yaitu 18- 25 tahun. Memulai bisnis tentu perlu adanya strategi, begitu juga dengan Diana. Alih- alih menggunakan strategi marketing khusus, Diana justru memaksimalkan penggunaan media sosial, seperti Twitter dan Instagram. Kedua media sosial itu pengungkapannya sangat efektif dan efesien karena dapat berinteraksi langsung dengan para followers dan pembeli. Dengan melalui akun media sosial masing-masing UP dan PopFlats terus memberikan informasi terbaru mengenai gaya dan pilihan produk untuk menarik pembeli. Berangkat dari pengalamannya menjalankan bisnis sepatu, Diana pun mulai merambah bisnis fashion lainnya, yaitu baju dan tas. Tidak berbeda dengan brand sebelumnya, di sini dirinya juga menyematkan karakter pribadi yang menjadi ciri khas Diana. Koleksi busana dan tasnya disematkan desain yang fun dan palyfull. Perpaduan warna yang cerah, fun dan desain yang unik membuat koleksinya terlihat berbeda dari yang lain. Untuk bisnis clothing line Diana memperkenalkan Schmiley Mo di pertengahan tahun 2016. Bisnis ini jelas berbeda dari sebelumnya. Tantangannya lebih besar, karena skala produksi dan konsepnya sendiri berbeda dari sebelumnya. Sewaktu menjalankan UP dirinya mengaku proses kreatifnya lebih simpel karena pemrosesan sedikit. Sementara di Schmiley Mo, tim lebih banyak sehingga proses produksinya lebih panjang. Setiap koleksi diakuinya bisa mengeluarkan 40-50 buah, jadi tidak mungkin hanya ditangani oleh beberapa tim saja. Karena produksi ini bergantung kepada para pekerja, maka Diana sangat hati-hati urusan memanajemen sumber daya para pekerjannya. Demi menjaga loyalitas para pekerja Diana terus meningkatkan visi bisnisnya. Berkat keunikan, kerja keras dan namanya, bisnis busana yang masih terhitung baru ini bahkan langsung ditampilkan di Malaysia dalam Kuala Lumur Fashion Week (KLFW) 201. Koleksi busana keduanya juga sukses ditampilkan saat Jakarta Fashion Week (JFW) 2017 dan London Fashion Week 2017. Selain itu, Diana juga sedang menjalankan proyek Sun of a Fun dengan produk andalan tas kulit. Berkat kerja keras dan kreativitasnya, Diana tidak hanya sukses dari segi finansial namun dia juga berhasil mengantongi banyak penghargaan dan pengakuan baik di nasional maupun internasional. beberapa di antaranya adalah UP berhasil masuk Top 50 UKM berdasarkan majalah Marketeers edisi April 2012 dan juga penghargaan dari British Council untuk International Young Creative Entrepreneur. Diana juga pernah dinobatkan sebagai Top Influencer dalam acara Influence Asia di Singapura pada 2015.