Anda di halaman 1dari 10

ARTIKEL

Tentang
TOKOH WIRAUSAHAWAN DI BIDANG KERAJINAN

Oleh :

NAMA : IVANA KESLI PARERA


KELAS : X MIPA 1
MAPEL : PKW

SMAK ST. YOSEPH KALABAHI


2019
TOKOH WIRAUSAHAWAN DI BIDANG KERAJINAN

 Eni Aryani : Dari Kaleng Bekas Menjadi Produk Ratusan Juta Hingga Tembus
Pasar Australia

Bagi kita mungkin sampah adalah sesuatu yang sama sekali tidak berguna. Namun
untuk Eni Aryani sampah justru jadi sumber penghasilan tambahan yang cukup besar.
Dengan bermodalkan kaleng dan kayu bekas Eni bisa menghasilkan omset sampai ratusan
juta perbulannya. Ia sangat terampil menyulap sampah yang tak berguna menjadi
kerajinan tangan yang bernilai jual. Karyanya memiliki ciri khas tersendiri pada motif dan
desainnya yang membedakan dari produk kerajinan lain pada umumnya.
Wanita kelahiran Yogyakarta, 22 Desember 1979 ini membuat kebih dari 20
macam varian produk. Diantaranya yaitu guci stempel, kaleng krupuk, vas bunga, tenong,
ceret angkringan, tempat kue, ember, pensil, siraman bunga, dan barang-barang keperluan
rumah tangga lainnya. Walaupun hanya dari kaleng dan kayu bekas, barang yang dibuat
Eni ternyata dijual dengan harga yang cukup mahal. Yaitu sekitar ratusan ribu sampai
jutaan rupiah. Salah satu alasan mengapa harganya cukup mahal karena kerajinan itu
dibuat sepenuhnya dengan tangan (handmade).
Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 200 ribu sampai Rp 1,2 juta per unitnya.
Barang kerajinan yang mahal biasanya berupa hiasan atau pajangan yang dibuat custom.
Bisnis Wastraloka ini dirintis oleh Eni Aryani sejak tahun 2014.
Konon pada saat memulai bisnis, Eni hanya menggunakan modal sebesar Rp 5 juta.
Sebagian besar hanya digunakan untuk membeli bahan baku berupa cat akrilik dan barang
bekas. Selama berjalan satu tahun usahanya terus mengalami perkembangan. Permintaan
akan barang kerajinan kian membludak setelah Eni memasarkan produknya secara online.
Dengan banyaknya permintaan maka tak heran jika Eni bisa meraup omset sampai ratusan
juta perbulannya.
Singkat cerita produk wastraloka kian terkenal. Terlebih lagi selama setahun
menjalankan bisnis ini atau lebih tepatnya pada tahun 2015, Eni mengikuti ajang pameran
kerajinan tangan terbesar di Indonesia yaitu Inacraft. Eni merasa sangat beruntung
mengikuti ajang tersebut karena dengan mengikuti Inacraft ia bisa memasarkan produk
kerajinan tangannya pada jangkauan yang lebih luas. Setelah 2 tahun menggeluti
bisnisnya Wastraloka dengan omset yang cukup besar, Eni mulai berpikir untuk fokus
menggarap bisnisnya. Ia yang bekerja sebagai karyawan swasta pada suatu perusahaan
ingin mengundurkan diri (resign) dari pekerjaannya.
Sementara untuk lokasi bisnis Wastraloka, Eni memiliki tempat workhshop
kerajinan tangan di Yogyakarta. Dan untuk pemasarannya Wastraloka memiliki galeri
pemasaran di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Untuk pembelinya sendiri tidak hanya
dari kalangan perorangan atau individu, tetapi juga dari kalangan korporasi besar seperti
restoran dan hotel. Bahkan sampai di ekspor ke Jepang dan Australia. Dalam proses
produksinya, Eni dibantu oleh 8 orang pegawai. Namun jika orderan sedang banyak-
banyaknya Eni juga mempekerjakan 5 freelancer. Untuk pengerajin kalengnya ada 3
orang dan dibantu 2 orang freelance. Sementara pelukisnya ada 5 orang dan dibantu 2
orang freelance.
 Diah Rahmalita: Bisnis Piring dan Gelas Bekas yang Bernilai Jutaan Rupiah.

Jika Anda memiliki barang bekas piring, gelas, dan botol beling di rumah maka
Anda patut meniru kreativitas mbak Diah Rahmalita (47). Di tangan mbak Diah barang
bekas yang berupa piring, gelas, dan botol beling adalah sesuatu yang bisa dikreasikan
menjadi barang bernilai jual tinggi.
Diah memulai bisnis Decoupage-nya pada tahun 2007. Yang awalnya membuat
decoupage hanya sebagai side job, lalu berkembang menjadi sebuah bisnis yang besar.
Decoupage pada umumnya adalas seni menempelkan kertas tisu dan dilukis dengan
menggunakan cat. Bisnis yang ditekuni Diah dengan brand Lita Art pada awalnya hanya
menggunakan modal sekitar Rp 1 juta untuk membeli cat dan media.
Sementara sisanya hanya menggunakan barang bekas berupa gelas, piring, dan
botol beling. Diah bisa menjalani bisnis Decoupage ini karena hobi semata. Ia sama sekali
tak memiliki latar belakang seni. Bahkan gelar sarjana yang dimilikinya pun justru diraih
dari Jurusan Ekonomi. Walaupun awalnya Diah sempat ragu menekuni bisnisnya, tetapi
pada akhirnya ia memilih untuk terjun lebih dalam .
Berangkat dari hobinya yang senang melukis maka ia pun mencoba membuat suatu
produk yang bernilai jual. Ia memoles barang-barang bekas menjadi suatu kerajinan yang
cantik dan menarik untuk dijadikan pajangan. Setelah 4 tahun menjalani bisnis
Decoupage, ia juga membuat karya seni lukis kaca. Nama usahanya itu dikenal dengan
brand Lita Art. Pada tahun 2011, ia memprediksi bahwa Lita Art akan menjangkau pasar
yang luas. Maka untuk mempertahankan bisnisnya itu, ia rela resign dari pekerjaannya
sebagai karyawan dari salah satu perusahaan swasta.
Masalah mulai muncul ketika Diah fokus menggarap bisnisnya. Diah kesulitan
memasarkan produknya karena memang ia belum memiliki pasar yang tetap. Ia bingung
kemana produknya harus dipasarkan dan tidak ada juga yang mengarahkan. Yang ada
dalam benaknya ketika membuat kerajinan adalah bagaimana ia bisa membuat karya lalu
ditawarkan ke orang. Kalau laku yah alhamdulillah kalau nggak laku yah jadi koleksi
pribadi ajah. Semuanya berubah ketika karya Diah mulai dilirik oleh Pemerintah Daerah.
Mereka beranggapan bahwa keahlian Diah yang bisa menyulap barang bekas menjadi
hiasan dan pajangan yang bernilai jual adalah sesuatu yang unik dan kreatif. Akhirnya
Diah mulai mendapat bantuan promosi gratis dari Dinas kota yaitu Disperindag, Dinas
Koperasi, dan Dinas Pariwisata sehingga Diah bisa keliling Indonesia dan bahkan sampai
ke beberapa negara untuk mengikuti pameran.

Diah mengaku memiliki beberapa pelanggan dari luar seperti negara Asia dan
Eropa. Kalau dari Asia ada Thailand, Malaysia, India, Brunei, dan China. Sedangkan dari
Eropa ada Swiss, Kroasia, Turki, Italia, dan Bulgaria. Produk Decoupage-nya dibanderol
dengan harga mulai dari Rp 20 ribu sampai jutaan rupiah. Produknya yang paling mahal
adalah Decoupage yang dibuat dari botol beling besar. Harganya mencapai Rp 1,5 juta
rupiah. Saat ini omset yang diraup Diah perbulannya sekitar 10 sampai 20 juta. Bahkan
jika ikut pameran bisa lebih dari itu.
 Made Sutamaya : Pengepul Sampah Kayu Menjadi Pengusaha Beromset Rp 300
Juta Per Bulan

Sampah kayu terkadang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang.
Padahal dengan hanya memberikan sentuhan seni dan kreativitas maka sampah itu bisa
jadi produk yang bernilai jual. Hal itulah yang dilakukan oleh salah satu tokoh
wirausahawan di bidang kerajinan yang sukses di Bali, Made Sutamaya (49). Dalam
usahanya yang bernama Kioski Gallery, Ia berhasil mengolah tumpukan sampah kayu
bekas yang berserakan di pinggir pantai menjadi desain interior bernilai jutaan rupiah.
Karyanya cukup mampu menggemparkan jagad bisnis kerajinan yang ada di
Indonesia. Ia juga bisa bersaing dengan para pengusaha yang lebih berpengalaman dengan
menampilkan berbagai karya interior desain unik, kreatif, dan berkesan mewah. Made
memaparkan bahwa ia mendirikan bisnis ini pada tahun 2003. Pengalaman kerja selama
23 tahun pada salah satu perusahaan mebel menjadi modal dasar (basic) dalam
membangun bisnisnya. Made mengungkap bahwa modal awalnya memulai usaha ini
hanya dua karung plastik kayu pantai, paku, dan palu. Dengan berbekal pengalaman
mengolah kayu, Made berhasil menyulap sampah kayu menjadi produk berharga jutaan.
Made yang hanya lulusan SMA seringkali melihat banyaknya sampah kayu yang
kerap berada di pinggir pantai. Jumlahnya cukup banyak apalagi jika musim hujan. Dalam
proses pembuatan kerajinan, potongan-potongan kayu yang didapat langsung disortir
terlebih dahulu mana yang layak digunakan dan mana yang tidak. Selanjutnya kayu-kayu
itu dikeringkan kemudian lanjut pada tahap perakitan. Setelah melalui proses perakitan,
Made lalu mendesain dan membentuknya menjadi berbagai macam model interior yang
diinginkan seperti kursi, kaca, meja, lampu, dan lain-lain. Dalam proses merakit Made
biasanya menggunakan lem kayu atau paku.
Untuk membuat produk yang berkualitas tinggi tentu harus memerhatikan dengan
seksama jenis sampah kayu yang digunakan. Mulai dari konsep, konstruksi, maupun
kualitas kayu agar nanti tidak terjadi masalah dalam hal perakitan. Setelah semuanya
selesai, langkah selanjutnya adalah pernis. Seluruh kursi, meja, kaca, dan karya lainnya
akan dibuat mengkilap dengan cairan tertentu. Untuk masalah persediaan kayu Made tidak
terlalu ambil pusing karena memang melimpah di pinggir pantai pada saat musim hujan.
Kalau pun suatu saat ia kehabisan stock di pantai, ia siap membeli kayu bekas pada orang-
orang yang menawarkannya. Harga yang dibanderol untuk karya-karya Made Sutamaya
melalui Kioski Gallery seperti kursi, meja, kaca, maupun lampu berdiri sekitar ratusan
ribu hingga jutaan rupiah.

Produk buatan Made ini juga bisa dijamin kualitasnya. Walaupun berasal dari kayu
bekas tapi ia bisa menjamin kalau karyanya itu bisa bertahan 20 sampai 30 tahun
mendatang. Made menuturkan bahwa kuatnya konstruksi kayu dikarenakan terjadi proses
kimiawi. Pada saat terombang-ambing dilautan kayu mengalami reaksi kimia dengan air
laut yang berkadar garam tinggi. Akibatnya kayu menjadi awet dan tidak mudah keropos.
Ada kesenangan tersendiri yang dirasakan Made dalam menjalankan bisnisnya. Karena
selain mendapat keuntungan ia juga mampu menekan jumlah sampah kayu yang ada di
pinggir pantai.
Untuk pemasaran produknya sendiri sudah mencapai pasar internasional seperti
Jerman, Perancis, Belanda, Afrika, dan Italia. Made mengaku mengalami kesulitan untuk
menjual produknya pada awal mula bisnis ini. Pasalanya ia hanya menunggu datangnya
pembeli di Gallery-nya. Karena kurangnya pembeli sehingga mau tidak mau ia harus
bergerak sendiri mencari pembeli. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menjual
lebih banyak produk adalah dengan mengikuti pameran. Cara ini dianggap sebagai jalan
alternetif untuk menemukan calon pembeli yang potensial. Setelah mengikuti pameran,
Made mulai bermanuver dengan media online seperti Facebook untuk memasarkan
produk dagangannya.
Alhasil, dengan kedua cara itu ia berhasil meraup keuntungan besar dari bisnisnya.
Lama-kelamaan nama Made Sutamaya semakin terkenal lewat interior desain yang
menggunakan sampah kayu bekas yang mampu meraup omset sampai Rp 300 juta per
bulan. Selain mempunyai omset yang besar, Made juga berhasil meraih beberapa
penghargaan. Salah satunya adalah Parama Karya Award 2015 dari sang Presiden
Indonesia, Joko Widodo. Made menuturkan bahwa apa yang didapatkannya saat ini adalah
buah hasil kerja kerasnya yang dibantu oleh 30 orang karyawan yang justru sebagian besar
dari kalangan yang putus sekolah termasuk ibu-ibu pengangguran. Made saat ini telah
memiliki 250 mitra bisnis yang tersebar di Bali, Sumbawa, Lombok, dan Jawa Timur. Ia
juga menambahkan bahwa semakin banyak rekan bisnis yang dimiliki maka akan semakin
baik untuk memperluas jaringan pemasaran.
 Nur Handiyah : Dari Sampah Kulit Kerang Menjadi Barang Bernilai Jutaan Rupiah

Pengusaha lain yang sukses dari memanfaatkan barang bekas sebagai bahan
bakunya adalah Nur Handiyah J Taguba. Di tangan Nur, tumpukan sampah kulit kerang
bisa diubah menjadi produk kerajinan tangan yang bernilai jual. Semuanya berawal ketika
Nur dan sang suami Jamie Taguba melihat banyak tumpukan sampah kulit kerang di
pinggir pantai. Nah dari situ ia bersama sang suami berencana untuk memanfaatkan
sampah kulit kerang untuk diolah menjadi barang pajangan yang indah. Bisnisnya yang
bernama Multi Dimensi Shell Craft didirikan pada tahun 2000.
Untuk membuat suatu product kerajinan, terlebih dahulu kulit kerang harus dicuci
bersih sebelum akhirnya siap pakai. Tahapan selanjutnya adalah tahap pengolahan dan
desain sesuai dengan yang diinginkan. Agar kulit kerang bisa kuat, dibutuhkan material
tambahan sebagai penyangga. Biasanya berupa besi, alumunium, dan fiber glass. Salah
satu alasan khusus mengapa Nur menekuni bisnisnya ini adalah untuk menekan jumlah
sampah kulit kerang yang berserakan di pinggir pantai. Nur mendapat pasokan sampah
kulit kerang dari para nelayan yang ada di utara Jawa. Untuk setiap ton kulit kerang dibeli
dengan harga Rp 1,5 juta.
Hal ini tentu bisa jadi pendapatan tambahan bagi para nelayan yang pekerjaan
utamanya mencari ikan. Setelah dicuci bersih, selanjutnya kulit kerang dikirim ke Jalan
Astapada Kavling 130, Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Sampah kulit kerang ini bisa
dibuat menjadi barang pajangan antik seperti lampu, vas bunga, piring, kursi, meja, dan
lain-lain.
Dalam proses desain sampah kulit kerang, Nur dibantu oleh para pemuda yang ada
di sekitar rumahnya. Ia sendiri sama sekali tidak memiliki basic sebagai pengrajin kulit
kerang. Ia hanya sarjana jurusan matematika dan bekerja sebagai PNS. Dan sang suami
sendiri Jamie Taguba bekerja sebagai kontraktor dan mekanik. Usahanya kian melejit
ketika piring dan vas bunga yang dibuat dari kulit kerang dilirik oleh Pemerintah Daerah
Cirebon. Permintaan yang datang semakin meningkat dan Nur semakin menunjukkan
kemampuannya dalam mendesain sampah kulit kerang. Kemampuan itu ia dapatkan dari
masukkan berbagai kalangan, salah satunya dari para pembeli baik yang dari dalam negeri
maupun yang dari luar. Berangkat dari masukan itu ia mulai berani memvariasikan
produknya seperti lampu gantung, dan barang pajangan lain yang bernilai jual tinggi.
Nur mengaku bahwa ia dan sang suami nekat membangun bisnis dari sampah kulit
kerang dengan modal yang sedikit. Mereka hanya mengandalkan aset yang dimiliki
seperti pesawat telepon dan mobil bak. Dalam hal ini aset tersebut tidak dijual, melainkan
dimanfaatkan secara langsung. Untuk lebih fokus dalam pengembangan bisnis Multi
Dimensi Shell Craft, Nur dan sang suami memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.
Di awal usahanya, proses pemasaran produk kerajinan dari kulit kerang hanya
mengandalakan jaringan pertemanan yang cukup luas dari sang suami. Harga yang
ditawarkannya pun masih dalam harga promosi. Selain itu, Nur dan sang suami juga mulai
mengikuti berbagai kegiatan pameran dengan tujuan memperkenalkan produk mereka.
Nur handiyah J Taguba menuturkan bahwa rata-rata setiap bulannya ia dan suami mampu
mengirimkan 4 kontainer barang pajangan yang dibuat dari kulit kerang ke berbagai
negara Uni Eropa. Diantaranya yaitu Italia, Spanyol, Inggris, Perancis, dan Jerman. Selain
di Eropa, barang kerajinan milik Nur juga dikirimke berbagai negara lain seperti Amerika
Serikat dan pasar Timur Tengah, mencakup Kuwait, Bahrain, Irak, dan Arab Saudi.
Pengiriman barang juga dilakukan untuk negara Jepang dan Thailand, bahkan sampai ke
beberapa negara di benua Afrika.

Anda mungkin juga menyukai