Anda di halaman 1dari 6

KISAH SINGKAT TOKOH WIRAUSAHAWAN DI BIDANG KERAJINAN YANG

SUKSES DI INDONESIA

1. Eni Aryani : Dari Kaleng Bekas Menjadi Produk Ratusan Juta Hingga Tembus Pasar
Australia.

Bagi kita mungkin sampah adalah sesuatu yang sama sekali tidak berguna. Namun untuk
Eni Aryani sampah justru jadi sumber penghasilan tambahan yang cukup besar.
Dengan bermodalkan kaleng dan kayu bekas Eni bisa menghasilkan omset sampai ratusan juta
perbulannya.
Ia sangat terampil menyulap sampah yang tak berguna menjadi kerajinan tangan yang
bernilai jual. Karyanya memiliki ciri khas tersendiri pada motif dan desainnya yang membedakan
dari produk kerajinan lain pada umumnya. Wanita kelahiran Yogyakarta, 22 Desember 1979 ini
membuat kebih dari 20 macam varian produk. Diantaranya yaitu guci stempel, kaleng krupuk, vas
bunga, tenong, ceret angkringan, tempat kue, ember, pensil, siraman bunga, dan barang-barang
keperluan rumah tangga lainnya. Walaupun hanya dari kaleng dan kayu bekas, barang yang dibuat
Eni ternyata dijual dengan harga yang cukup mahal. Yaitu sekitar ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Salah satu alasan mengapa harganya cukup mahal karena kerajinan itu dibuat sepenuhnya dengan
tangan. (

Harga yang ditawarkan mulai dari Rp 200 ribu sampai Rp 1,2 juta per unitnya. Barang
kerajinan yang mahal biasanya berupa hiasan atau pajangan yang dibuat custom. Konon pada saat
memulai bisnis, Eni hanya menggunakan modal sebesar Rp 5 juta. Sebagian besar hanya digunakan
untuk membeli bahan baku berupa cat akrilik dan barang bekas. Selama berjalan satu tahun
usahanya terus mengalami perkembangan. Permintaan akan barang kerajinan kian membludak
setelah Eni memasarkan produknya secara online. Dengan banyaknya permintaan maka tak heran
jika Eni bisa meraup omset sampai ratusan juta perbulannya. Singkat cerita produk wastraloka kian
terkenal. Terlebih lagi selama setahun menjalankan bisnis ini atau lebih tepatnya pada tahun 2015,
Eni mengikuti ajang pameran kerajinan tangan terbesar di Indonesia yaitu Inacraft.
Eni merasa sangat beruntung mengikuti ajang tersebut karena dengan mengikuti Inacraft ia
bisa memasarkan produk kerajinan tangannya pada jangkauan yang lebih luas. Setelah 2 tahun
menggeluti bisnisnya Wastraloka dengan omset yang cukup besar, Eni mulai berpikir untuk fokus
menggarap bisnisnya. Ia yang bekerja sebagai karyawan swasta pada suatu perusahaan ingin
mengundurkan diri (resign) dari pekerjaannya. Sementara untuk lokasi bisnis Wastraloka, Eni
memiliki tempat workhshop kerajinan tangan di Yogyakarta. Dan untuk pemasarannya Wastraloka
memiliki galeri pemasaran di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Untuk pembelinya sendiri tidak hanya dari kalangan perorangan atau individu, tetapi juga
dari kalangan korporasi besar seperti restoran dan hotel. Bahkan sampai di ekspor ke Jepang dan
Australia. Dalam proses produksinya, Eni dibantu oleh 8 orang pegawai. Namun jika orderan
sedang banyak-banyaknya Eni juga mempekerjakan 5 freelancer. Untuk pengerajin kalengnya ada 3
orang dan dibantu 2 orang freelance. Sementara pelukisnya ada 5 orang dan dibantu 2 orang
freelance.

2. Diah Rahmalita: Bisnis Piring dan Gelas Bekas yang Bernilai Jutaan Rupiah.

Jika Anda memiliki barang bekas piring, gelas, dan botol beling di rumah maka Anda patut
meniru kreativitas mbak Diah Rahmalita (47). Di tangan mbak Diah barang bekas yang berupa
piring, gelas, dan botol beling adalah sesuatu yang bisa dikreasikan menjadi barang bernilai jual
tinggi. Diah memulai bisnis Decoupage-nya pada tahun 2007. Yang awalnya membuat decoupage
hanya sebagai side job, lalu berkembang menjadi sebuah bisnis yang besar. Decoupage pada
umumnya adalas seni menempelkan kertas tisu dan dilukis dengan menggunakan cat.
Bisnis yang ditekuni Diah dengan brand Lita Art pada awalnya hanya menggunakan modal sekitar
Rp 1 juta untuk membeli cat dan media. Sementara sisanya hanya menggunakan barang bekas
berupa gelas, piring, dan botol beling. Diah bisa menjalani bisnis Decoupage ini karena hobi
semata. Ia sama sekali tak memiliki latar belakang seni. Bahkan gelar sarjana yang dimilikinya pun
justru diraih dari Jurusan Ekonomi. Walaupun awalnya Diah sempat ragu menekuni bisnisnya,
tetapi pada akhirnya ia memilih untuk terjun lebih dalam .

Berangkat dari hobinya yang senang melukis maka ia pun mencoba membuat suatu produk
yang bernilai jual. Ia memoles barang-barang bekas menjadi suatu kerajinan yang cantik dan
menarik untuk dijadikan pajangan. Setelah 4 tahun menjalani bisnis Decoupage, ia juga membuat
karya seni lukis kaca. Nama usahanya itu dikenal dengan brand Lita Art. Pada tahun 2011, ia
memprediksi bahwa Lita Art akan menjangkau pasar yang luas. Maka untuk mempertahankan
bisnisnya itu, ia rela resign dari pekerjaannya sebagai karyawan dari salah satu perusahaan swasta.
Masalah mulai muncul ketika Diah fokus menggarap bisnisnya. Diah kesulitan memasarkan
produknya karena memang ia belum memiliki pasar yang tetap. Ia bingung kemana produknya
harus dipasarkan dan tidak ada juga yang mengarahkan. Yang ada dalam benaknya ketika membuat
kerajinan adalah bagaimana ia bisa membuat karya lalu ditawarkan ke orang. Kalau laku yah
alhamdulillah kalau nggak laku yah jadi koleksi pribadi ajah. Semuanya berubah ketika karya Diah
mulai dilirik oleh Pemerintah Daerah. Mereka beranggapan bahwa keahlian Diah yang bisa
menyulap barang bekas menjadi hiasan dan pajangan yang bernilai jual adalah sesuatu yang unik
dan kreatif.

Akhirnya Diah mulai mendapat bantuan promosi gratis dari Dinas kota yaitu Disperindag,
Dinas Koperasi, dan Dinas Pariwisata sehingga Diah bisa keliling Indonesia dan bahkan sampai ke
beberapa negara untuk mengikuti pameran.

Diah mengaku memiliki beberapa pelanggan dari luar seperti negara Asia dan Eropa. Kalau dari
Asia ada Thailand, Malaysia, India, Brunei, dan China. Sedangkan dari Eropa ada Swiss, Kroasia,
Turki, Italia, dan Bulgaria. Produk Decoupage-nya dibanderol dengan harga mulai dari Rp 20 ribu
sampai jutaan rupiah. Produknya yang paling mahal adalah Decoupage yang dibuat dari botol
beling besar. Harganya mencapai Rp 1,5 juta rupiah. Saat ini omset yang diraup Diah perbulannya
sekitar 10 sampai 20 juta. Bahkan jika ikut pameran bisa lebih dari itu.

3. Made Sutamaya : Pengepul Sampah Kayu Menjadi Pengusaha Beromset Rp 300 Juta Per
Bulan.
Sampah kayu terkadang masih dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Padahal dengan hanya
memberikan sentuhan seni dan kreativitas maka sampah itu bisa jadi produk yang bernilai jual. Hal
itulah yang dilakukan oleh salah satu tokoh wirausahawan di bidang kerajinan yang sukses di Bali,
Made Sutamaya (49). Dalam usahanya yang bernama Kioski Gallery, Ia berhasil mengolah
tumpukan sampah kayu bekas yang berserakan di pinggir pantai menjadi desain interior bernilai
jutaan rupiah. Karyanya cukup mampu menggemparkan jagad bisnis kerajinan yang ada di
Indonesia. Ia juga bisa bersaing dengan para pengusaha yang lebih berpengalaman dengan
menampilkan berbagai karya interior desain unik, kreatif, dan berkesan mewah.
Made memaparkan bahwa ia mendirikan bisnis ini pada tahun 2003. Pengalaman kerja
selama 23 tahun pada salah satu perusahaan mebel menjadi modal dasar (basic) dalam membangun
bisnisnya. Made mengungkap bahwa modal awalnya memulai usaha ini hanya dua karung plastik
kayu pantai, paku, dan palu. Dengan berbekal pengalaman mengolah kayu, Made berhasil menyulap
sampah kayu menjadi produk berharga jutaan. Made yang hanya lulusan SMA seringkali melihat
banyaknya sampah kayu yang kerap berada di pinggir pantai. Jumlahnya cukup banyak apalagi jika
musim hujan.
Dalam proses pembuatan kerajinan, potongan-potongan kayu yang didapat langsung disortir
terlebih dahulu mana yang layak digunakan dan mana yang tidak. Selanjutnya kayu-kayu itu
dikeringkan kemudian lanjut pada tahap perakitan. Setelah melalui proses perakitan, Made lalu
mendesain dan membentuknya menjadi berbagai macam model interior yang diinginkan seperti
kursi, kaca, meja, lampu, dan lain-lain. Dalam proses merakit Made biasanya menggunakan lem
kayu atau paku. Untuk membuat produk yang berkualitas tinggi tentu harus memerhatikan dengan
seksama jenis sampah kayu yang digunakan. Mulai dari konsep, konstruksi, maupun kualitas kayu
agar nanti tidak terjadi masalah dalam hal perakitan. Setelah semuanya selesai, langkah selanjutnya
adalah pernis. Seluruh kursi, meja, kaca, dan karya lainnya akan dibuat mengkilap dengan cairan
tertentu.
Untuk masalah persediaan kayu Made tidak terlalu ambil pusing karena memang melimpah
di pinggir pantai pada saat musim hujan. Kalau pun suatu saat ia kehabisan stock di pantai, ia siap
membeli kayu bekas pada orang-orang yang menawarkannya. Harga yang dibanderol untuk karya-
karya Made Sutamaya melalui Kioski Gallery seperti kursi, meja, kaca, maupun lampu berdiri
sekitar ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Produk buatan Made ini juga bisa dijamin kualitasnya. Walaupun berasal dari kayu bekas tapi ia
bisa menjamin kalau karyanya itu bisa bertahan 20 sampai 30 tahun mendatang. Made menuturkan
bahwa kuatnya konstruksi kayu dikarenakan terjadi proses kimiawi. Pada saat terombang-ambing
dilautan kayu mengalami reaksi kimia dengan air laut yang berkadar garam tinggi. Akibatnya kayu
menjadi awet dan tidak mudah keropos.

Ada kesenangan tersendiri yang dirasakan Made dalam menjalankan bisnisnya. Karena
selain mendapat keuntungan ia juga mampu menekan jumlah sampah kayu yang ada di pinggir
pantai. Untuk pemasaran produknya sendiri sudah mencapai pasar internasional seperti Jerman,
Perancis, Belanda, Afrika, dan Italia.
Made mengaku mengalami kesulitan untuk menjual produknya pada awal mula bisnis ini.
Pasalanya ia hanya menunggu datangnya pembeli di Gallery-nya. Karena kurangnya pembeli
sehingga mau tidak mau ia harus bergerak sendiri mencari pembeli. Satu-satunya cara yang bisa
dilakukan untuk menjual lebih banyak produk adalah dengan mengikuti pameran. Cara ini dianggap
sebagai jalan alternetif untuk menemukan calon pembeli yang potensial. Setelah mengikuti
pameran, Made mulai bermanuver dengan media online seperti Facebook untuk memasarkan
produk dagangannya. Alhasil, dengan kedua cara itu ia berhasil meraup keuntungan besar dari
bisnisnya.
Lama-kelamaan nama Made Sutamaya semakin terkenal lewat interior desain yang
menggunakan sampah kayu bekas yang mampu meraup omset sampai Rp 300 juta per bulan. Selain
mempunyai omset yang besar, Made juga berhasil meraih beberapa penghargaan. Salah satunya
adalah Parama Karya Award 2015 dari sang Presiden Indonesia, Joko Widodo. Made menuturkan
bahwa apa yang didapatkannya saat ini adalah buah hasil kerja kerasnya yang dibantu oleh 30 orang
karyawan yang justru sebagian besar dari kalangan yang putus sekolah termasuk ibu-ibu
pengangguran.
Made saat ini telah memiliki 250 mitra bisnis yang tersebar di Bali, Sumbawa, Lombok, dan
Jawa Timur. Ia juga menambahkan bahwa semakin banyak rekan bisnis yang dimiliki maka akan
semakin baik untuk memperluas jaringan pemasaran.

4. Nur Handiyah : Dari Sampah Kulit Kerang Menjadi Barang Bernilai Jutaan Rupiah.

Pengusaha lain yang sukses dari memanfaatkan barang bekas sebagai bahan bakunya adalah
Nur Handiyah J Taguba. Di tangan Nur, tumpukan sampah kulit kerang bisa diubah menjadi produk
kerajinan tangan yang bernilai jual. Semuanya berawal ketika Nur dan sang suami Jamie Taguba
melihat banyak tumpukan sampah kulit kerang di pinggir pantai. Nah dari situ ia bersama sang
suami berencana untuk memanfaatkan sampah kulit kerang untuk diolah menjadi barang pajangan
yang indah. Bisnisnya yang bernama Multi Dimensi Shell Craft didirikan pada tahun 2000.
Untuk membuat suatu product kerajinan, terlebih dahulu kulit kerang harus dicuci bersih
sebelum akhirnya siap pakai.Tahapan selanjutnya adalah tahap pengolahan dan desain sesuai
dengan yang diinginkan. Agar kulit kerang bisa kuat, dibutuhkan material tambahan sebagai
penyangga. Biasanya berupa besi, alumunium, dan fiber glass. Salah satu alasan khusus mengapa
Nur menekuni bisnisnya ini adalah untuk menekan jumlah sampah kulit kerang yang berserakan di
pinggir pantai. Nur mendapat pasokan sampah kulit kerang dari para nelayan yang ada di utara
Jawa. Untuk setiap ton kulit kerang dibeli dengan harga Rp 1,5 juta. Hal ini tentu bisa jadi
pendapatan tambahan bagi para nelayan yang pekerjaan utamanya mencari ikan.

Setelah dicuci bersih, selanjutnya kulit kerang dikirim ke Jalan Astapada Kavling 130,
Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Sampah kulit kerang ini bisa dibuat menjadi barang pajangan antik
seperti lampu, vas bunga, piring, kursi, meja, dan lain-lain. Dalam proses desain sampah kulit
kerang, Nur dibantu oleh para pemuda yang ada di sekitar rumahnya. Ia sendiri sama sekali tidak
memiliki basic sebagai pengrajin kulit kerang. Ia hanya sarjana jurusan matematika dan bekerja
sebagai PNS. Dan sang suami sendiri Jamie Taguba bekerja sebagai kontraktor dan mekanik.

Usahanya kian melejit ketika piring dan vas bunga yang dibuat dari kulit kerang dilirik oleh
Pemerintah Daerah Cirebon. Permintaan yang datang semakin meningkat dan Nur semakin
menunjukkan kemampuannya dalam mendesain sampah kulit kerang. Kemampuan itu ia dapatkan
dari masukkan berbagai kalangan, salah satunya dari para pembeli baik yang dari dalam negeri
maupun yang dari luar.
Berangkat dari masukan itu ia mulai berani memvariasikan produknya seperti lampu
gantung, dan barang pajangan lain yang bernilai jual tinggi. Nur mengaku bahwa ia dan sang suami
nekat membangun bisnis dari sampah kulit kerang dengan modal yang sedikit. Mereka hanya
mengandalkan aset yang dimiliki seperti pesawat telepon dan mobil bak. Dalam hal ini aset tersebut
tidak dijual, melainkan dimanfaatkan secara langsung. Untuk lebih fokus dalam pengembangan
bisnis Multi Dimensi Shell Craft, Nur dan sang suami memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya.

Di awal usahanya, proses pemasaran produk kerajinan dari kulit kerang hanya
mengandalakan jaringan pertemanan yang cukup luas dari sang suami. Harga yang ditawarkannya
pun masih dalam harga promosi. Selain itu, Nur dan sang suami juga mulai mengikuti berbagai
kegiatan pameran dengan tujuan memperkenalkan produk mereka.

Nur handiyah J Taguba menuturkan bahwa rata-rata setiap bulannya ia dan suami mampu
mengirimkan 4 kontainer barang pajangan yang dibuat dari kulit kerang ke berbagai negara Uni
Eropa. Diantaranya yaitu Italia, Spanyol, Inggris, Perancis, dan Jerman. Selain di Eropa, barang
kerajinan milik Nur juga dikirimke berbagai negara lain seperti Amerika Serikat dan pasar Timur
Tengah, mencakup Kuwait, Bahrain, Irak, dan Arab Saudi. Pengiriman barang juga dilakukan untuk
negara Jepang dan Thailand, bahkan sampai ke beberapa negara di benua Afrika.

Anda mungkin juga menyukai