DEWI SARTIKA
KELAS XII MIPA I
Ayah : “Bu, bagaimana jika kita tetap menyekolahkan Uwi ke Sekolah Belanda?”
Ibu : “Saya sangat setuju kanda. Namun, bukankah hal ini bertentangan dengan adat saat ini?”
Ayah : “Kanda paham hal ini, akan tetapi melihat bagaimana semangat Uwi dalam belajar, kanda rasa
menyekolahkannya adalah pilihan yang tepat. Panggilkan Uwi kemari adinda.”
Ibu : (Pergi memanggil Dewi Sartika)
Ayah : “Uwi, duduk kemari nak.”
Dewi : “Ada apa ayah memanggil uwi? Apa yang akan kita bicarakan?”
Ayah : “Ayah dan Ibumu sudah sepakat, bahwa kau akan melanjutkan Sekolah Belanda mu lagi
Uwi.”
Dewi : “Benarkah? Uwi tidak mimpikan Ayah? Ibu?”
Ibu : “Tidak sayang, kamu tidak mimpi, ini nyata.”
Dewi : “Terima kasih Ibu, Ayah. Uwi senang sekali (sambil memeluk ibunya).”
Ibu : (berbicara dalam hati) “Kau berhak Nak, kau berhak untuk menggapai mimpimu.
Kau harus menjadi manusia yang lebih berguna dibanding Ayah dan Ibumu. Kejarlah Nak,
sejauh dan sesulit apapun jalannya. Semoga kelak , menjadi perempuan yang hebat.”
Setiap hari Dewi Sartika bersekolah, meskipun ia bersekolah di sekolah khusus anak-anak
Belanda. Namun, hal ini tak menyurutkan semangat Dewi Sartika dalam mencari ilmu.
Lambat laun, Pemerintah Balanda pun mengetahui bahwa Dewi Sartika seorang anak Priyayi Sunda
bersekolah di sekolah khusus anak-anak Belanda. Sehingga, orang tuanya harus menerima hukuman,
yakni diasingkan ke Ternate dan Dewi Sartika jugan harus dikeluarkan dari Sekolah Belanda tersebut.
Pemerintah Belanda : “Dewi Sartika, kau kan bukan anak Belanda. Lalu, kenapa kau
bersekolah disini? “
Dewi : “Memangnya seorang anak Priyayi seperti saya tidak boleh bersekolah
disini? Saya disini hanya bersekolah, menimba ilmu bukan untuk
menggangnggu.”
Pemerintah Belanda : “Apapun alasan kau, kau tetap melanggar aturan. Yang boleh bersekolah disini
hanya anak-anak Belanda.
Dewi : “Setiap anak, berhak untuk mendapatkan pendidikan. Bukan hanya anak-anak
Belanda saja. Ini Negeri kami, kami berhak atas Negeri kami sendiri!”
(memasang wajah marah)
Pemerintah Belanda : “Berani sekali kau berkata seperti itu. Mari ikut kami!”(sambil menarik
tangan Dewi Sartika)
Pemerintah Belanda menarik secara paksa tangan Dewi Sartika dan bergegas menemui orang
tuanya Dewi Sartika.
Ayahandanya tidak dapat berbuat apa-apa lagi, ia hanya megikuti bagaimana keinginan mereka.
Ibundanya pun turut ikut menemani. Sedangkan Dewi berpasrah, kemudian ia tinggal bersama
Pamannya yang merupakan seorang Patih di Cicalengka.
Dewi Sartika tak patah arang, ia tetap meneruskan pendidikannya dengan mengikuti pendidikan
Sekolah Dasar di Cicalengka. Sepulang sekolah, ia sering bermain dengan teman perempuan
sebayanya, sambil ia mengajari Baca Tulis, Bahasa Belanda, Menari, bahkan Menyulam. Ia berlaku
layaknya seorang guru.
Teman I : “Uwi, mari kita belajar kembali. Saya sudah tidak sabar untuk belajar kembali.”
Dewi : “Baik baik, mari…”
Teman II : “Uwi, memangnya kau tidak merasa bosan terus mengajarkan kami? Kulihat kau
tak pernah mengeluh.”
Dewi : “(sedikit tersenyum) “Tidak ada rasa bosan dan mengeluh bagi saya jika itu
berkaitan dengan pendidikan. Apapun akan saya lakukan agar semua anak seperti kita bisa
mendapatkan pendidikan yang seharusnya. Kita semua berhak untuk mendapatkan pendidikan, bukan
hanya anak-anak Belanda saja. Ini Negeri kita, kita juga berhak.’
Teman III : “Aku selalu bangga kepada kau Uwi, kau selalu bersemangat dalam menimba
ilmu.”
Dewi : “Kau juga sama.” (tertawa kecil)
Dewi Sartika tidak pernah mengeluh mengajarkan teman-temannya. Ia justru senang, ternyata
ilmunya bisa bermanfaat. Semakin hari, semakin banyak ilmu yang ia berikan kepada teman-
temannya. Sehingga teman-temannya juga mempunyai ilmu baru dari Dewi Sartika.
Dewi Sartika kian beranjak remaja. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik nan anggun, dan juga
pintar. Karena kecantikan dan idealisme mengenai pendidikan, ada pria yang tertarik padanya, yaitu
Raden Kanjun Surianingrat yang merupakan sepupunya sendiri.
Raden Kanjun : “Dewi, apakah kau mengajar semua teman-temanmu sendirian? Apa kau tidak
kerepotan?”
Dewi : “Benar, saya mengajar mereka sendirian. Saya tidak pernah merasa kerepotan sama
sekali. Saya selalu merasa senang kalau melihat merek a sudah bisa membaca,
menulis, meyulam, menari, itu menjadi hal yang selalu membuat saya semangat
untuk terus mengajarkan mereka.
Raden Kanjun : “Dewi, kau cantik. Pintar pula.” (sambil terus menatap wajah Dewi Sartika)
Dewi : “Terima kasih”.
Raden Kanjun : “Dewi maukah kau menikah denganku?”
Dewi : “Maaf Raden, saya belum berniat untuk melangsungkan pernikahan.”
Raden Kanjun : “Kenapa? Apakah aku kurang pantas untukmu?”
Dewi : “Bukan begitu raden, kita memiliki prinsip yang berbeda Raden. Aku lebih
mementingkan pendidikan, sedangkan kau lebih mengarah pada kekuasaan. Kita
memiliki prinsip yang berbeda.”
Raden Kanjun : “Tapi dewi….”
Dewi : “Maaf Raden, saya tidak bisa.” (pergi meninggalkan Raden Kanjun).
Dewi Sartika pergi dari hadapan Raden Kanjun. Ia pergi ke sebuah tempat. Tak selang lama,
datanglah seorang perempuan memberitahu bahwa Ayahnya, Raden Samonagara meninggal. Dan
Ibunya, Nyi Raden Rajapernas kembali ke Bandung setelah sekian lama mengikuti suaminya di
pengasingan.
Perempuan : “Dewi.. Dewi…”
Dewi : “Iya, ada apakah gerangan?”
Perempuan : “Ayahanda kau, Dewi.” (berbicara dengan begitu terburu-buru)
Dewi : “Ada apa dengan Ayahandaku?”
Perempuan : “Ayahanda kau meninggal Dewi, ia meninggal di pengasingan. Ibundamu juga
sudah kembali ke Bandung.”
Dewi : (kaget dan matanya mulai berkaca-kaca) “Benarkah itu? Aku harus segera menemui
Ibunda.”
Dewi Sartika segera mengemas barang-barangnya lalu pamit pada keluarga Pamannya.
Sesampainya di depan rumah, ia langsung berlari dan menghampiri Ibundanya.
Pada tahun 1904, Dewi Sartika memutuskan untuk mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat.
Alasan Ia memutuskan mendirikan sekolah adalah agar anak-anak perempuan di sekitarnya dapat
memproleh kesempatan menuntut ilmu. Dalam mendirikan sekolah tersebut,ia dibantu oleh Kakeknya
R.A.A.Martanegara dan C.Den Hemmer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran pada saat itu.
Berlangsunglah sekolah tersebut didirikan. Akhirnya, sekolah khusus perempuan pribumi berdiri
pertama kalinya di Hindia Belanda. Seusai didirikannya sekolah Isteri tersebut, semakin banyakn
anak-anak perempuan yang bersekolah disana. Sehinnga, Sekolah Isteri yang hanya memiliki dua
ruangan kelas, tidak dapat menampung semua aktivitas sekolah. Maka, untuk ruangan belajar harus
meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-
murid yang hanya perempuan itu, diajarkan berhitung, membaca, menulis, merenda, menari,
menyulam dan pelajaran agama.
Dewi : “Nak, kalian harus menjadi manusia yang berguna ya. Harus membuat banggga
Ayah dan Ibu kalian. Kalian harus menjadi anak yang pintar, menjadi orang yang hebat walaupun
kalian perempuan.”
Semakin hari, semakin bertambah anak-anak yang bersekolah di Sekolah Isteri. Sehingga sebagian
ruangan kepatihan saja, sudah tidak cukup lagi menampung murid-murid. Akhirnya, Sekolah Isteri
pun dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Suatu hari, Dewi Sartika lantas menemui saudaranya
yakni Nyi Poerwa dan Nyi Oewid untuk meminta bantuan, untuk dapat membantunya mengajar di
Sekolah yang ia dirikan.
Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seorang guru
di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Dewi Sartika dan saudara-saudaranya terus mengembangkan Sekolah Isteri. Hingga pada tahun
1910, nama Sekolah Isteri sedikit diperbaharui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan
hanya pada nama saja, namun pada mata pelajaran juga bertambah. Ia terus memberikan pelajaran
yang berkaitan dengan pembinaan rumah tangga, agar kelak mereka bisa menjadi Ibu Rumah Tangga
yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes dan terampil.
Pada tahun 1929, Dewi Sartika dianugerahi Bintang Jasa oleh pemerintah Hindia Belanda. Hingga
pada suatu waktu, pasukan Jepang memporak-porandakan semuanya. Saat itu, Dewi Sartika dan yang
lainnya berjalan menuju Bandung Selatan. Ia tinggal di Ciamis, dan mulai sakit-sakitan dan akhirnya
wafat pada tanggal 11 September 1947, di Tasikmalaya. Dan dimakamkan dengan suatu upacara
pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon, desa Rahayu, kec. Cineam. Tiga tahun kemudian
dimakamkan kembali d kompleks Pemakaman Bupati Bandung, Jalan Karang Anyar, Bandung.