Anda di halaman 1dari 7

Pengusaha muda sukses memang menjadi dambaan semua orang.

Dimana umur masih muda tapi sudah menginjakan kaki di dunia bisnis yang penuh tantangan. Berkat usaha yang gigih penuh inspirasi dan ide bisnis yang segar dan menantang maka lahirlah profil pengusaha muda sukses seperti Elang Gumilang.

Elang Gumilang yang lahir tanggal 6 April 1985, mahasiswa IPB sekaligus direktur utama sebuah pengembang perumahan. Dan itu sebuah usaha dengan prestasi mengesankan yaitu berhasil membangun lebih dari seribu rumah sederhana di empat proyek perumahan di Kabupaten Bogor. Bermodal awal Rp 300-an juta, kini nilai proyek Elang Group terbang menembus Rp 17 miliar. Berbekal pengalaman menjadi salesman pengembang, Elang nekat berbisnis sendiri. Pada 2005 Elang mencoba ikut tender rehabilitasi sekolah dasar di Jakarta. Nasib baik. Proyek senilai Rp 160 juta digenggamnya. Pada 2006, di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dia mengubah akta perusahaan yang hampir tutup menjadi Elang Group. Tanah nganggur milik sebuah instansi di Kabupaten Bogor, diliriknya. Elang mengajak lima kawannya

dan terkumpul duit Rp 340 juta. Lantas dia membujuk Bank Ta-bungan Negara (BTN) bekerja sama menyediakan kredit pemilikan rumah sederhana bersubsidi (KPRS). Proyek perdana Elang Group di Perumahan Griya Salak Endah itu berhasil. Sebanyak 450 unit rumah terjual. Pembelinya buruh, pedagang, tukang tambal ban, dan guru. Saya tergerak menyediakan rumah murah karena banyak orang kecil kesulitan membelinya, ujar Elang. Pada 2008, Elang membangun lagi Perumahan Bukit Warna Sari Endah, Cilebut, Bogor. Ekspansi Perumahan Griya Salak Endah II juga sukses. Pada 2009, Elang mengambil alih proyek Griya PGRI di Ciampea yang tak bisa diselesaikan oleh pengembang lain. Penghargaan yang didapat oleh Elang Gumilang yaitu Wirausaha Muda Mandiri terbaik Indonesia 2007, Lelaki Sejati Pengobar Inspirasi 2008, Man of the Year 2008 dari Radar Bogor, Pemuda Pilihan 2008 dari TV One, Indonesia Top Young Entrepreuner 2008 dari Warta Ekonomi. Profil Adinindyah, Juara III Lomba Wanita Wirausaha BNI femina 2009
Thursday, 21 January 2010 19:52 Lawe There are no translations available.

Adinindyah Terpikat Tenun Pemenang III Lomba Wanita Wirausaha BNI-Femina 2009 Ditangannya, kain tenun lurik menjadi produk yang indah, funsional, dan modern.

LULUSAN ARSITEKTUR INI melepaskan kariernya di bidang arsitek dan desain interior untuk terjun ke proyek pemberdayaan ramah lingkungan. Kepeduliannya pada nasib kain tenun tradisional Sumba, mengantar Adinindyah (36), atau yang akrab disapa Nindyah, pada sebuah pintu bisnis. Pilihannya jatuh pada kain tenun lurik, kain tradisional khas Yogyakarta, yang dulunya hanya diminati para buruh gendong, petani, atau abdi dalem. Bersama keempat temannya, ia mendirikan House of Lawe, tempat bahan lurik disulapnya menjadi berbagai produk fashion, tas, stationary, perlengkapan interior, hingga parsel. BERAWAL DARI SUMBA Kini, usaha yang ia dirikan sejak 2004, telah menjadi bisnis berlaba menggiurkan. Dalam setahun, usaha yang bermula dari modal patungan Rp5,3 juta, berhasil membukukan omzet Rp 420 juta setahun. Nindyah mengusung semangat memelihara dan memopulerkan tenun tradisional dari berbagai daerah serta mendukung pemberdayaan wanita. Itulah yang membuat para juri Lomba Wanita Wirausaha BNI-femina 2009 ini menobatkannya sebagai juara ketiga. Ide bisnisnya ini berawal dari keaktifannya sebagai kerabat WWF sewaktu masih bekerja di sebuah kantor konsultan arsitektur dan interior di Yogyakarta. Ia hijrah ke Bogor untuk bekerja sebagai tenaga freelance di sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang dibiayai oleh Filipina. Pada pertengahan 2004, Nindyah ditugaskan ke Kepulauan Sumba, Nusa Tenggara Timur, untuk melakukan pemberdayaan pengembangan basil hutan nonkayu. Ia bertugas memberikan pelatihan mengenai pewarnaan alami kepada para perajin tenun ikat Sumba yang ada di beberapa desa di Waingapu, Sumba Timur. Di sanalah ia jatuh hati pada keindahan kain tenun ikat Sumba. Sayangnya. peminat dari kain-kain tenun tersebut

masih sangat terbatas. Hal ini membuat para perajin kesulitan memasarkan produknya. "Padahal untuk membuat selembar tenun ikat, dibutuhkan waktu berbulan-bulan karena proses pengerjaan dilakukan menggunakan tangan dan alat tradisional serta bahan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan." jelasnya. Tergerak untuk menyebarluaskan keindahan tenun tersebut, ia langsung membawa pulang belasan meter kain tenun tersebut ke Bogor. Dibantu keempat temannya: Mita, Ani, Rina dan Ita, ia pun mencoba mengubah kain-kain tersebut menjadi produk-produk baru yang atraktif, fungsional, dan modern. Untuk itu, ia segera mengirim semua kain-kain tersebut ke Yogyakarta "Kebetulan, di Yogyakarta, kawan saya,Ani, pandai membuat kerajinan tangan, seperti agenda dan boks-boks cantik," ujar Nindyah. Dalam waktu kurang dari sebulan, produk-produk pesanannya berbahan baku kain tenun ikat Sumba selesai dibuat. Barang-barang itu langsung ia kirim kembali ke Waingapu, Sumba Barat. "Lewat cara itu, kami mencoba menunjukkan kepada mereka bahwa kain tenun ikat bisa dipasarkan dengan cara lain yang lebih menarik dan modern," ujarnya. Beberapa bulan kemudian, Nindyah hijrah ke Yogyakarta untuk mengikuti suami bertugas. Di Kota Gudeg itulah Nindyah melirik kain tenun lurik, yang banyak dipasarkan di Yogyakarta dan Solo. Dengan dukungan keempat temannya, ia lantas mencoba mengolah kain tenun tersebut menjadi produk-produk yang lebih menarik. Sayangnya, ternyata tidak lagi mudah mendapatkan kain lurik yang dulunya pernah begitu melegenda. Namun, ia tak patah semangat. Bersama Ani, ia berburu lurik ke berbagai pelosok desa di sekitar Yogyakarta untuk mencari perajin-perajin tenun lurik yang masih bertahan. "Salah satu perajin tenun yang berhasil kami temukan pertama kali adalah di Nanggulan, Kulonprogo," kenangnya. Dengan uang hasil patungan mereka berdua, mereka langsung memborong kain lurik yang ada. Kain-kain lurik tersebut langsung ia ubah menjadi agenda dan boks-boks yang variant', hasil inspirasi dari majalah atau internet. Ia juga membuat kreasi produk, mulai dari tas, sarung bantal, dan kantong HP. "Setelah dapat inspirasi, saya corat-coret sendiri saja di kertas sampai dapat sketsa desain yang diinginkan," ujar lulusan Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada ini. Sketsa desain itulah yang kemudian ia konsultasikan dan diskusikan dengan si penjahit, untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk sebuah produk. Untuk urusan menjahit, Nindyah merekrut tetangga rumahnya yang memiliki keahlian itu. SATU DALAM SEMINGGU

Stok produk pertamanya berupa selendang, stationary, tas, dan sarung bantal yang berjumlah 50 buah, langsung diborong oleh salah seorang kawannya. Kebetulan, kala itu ia hendak pergi ke Kepulauan Fiji, untuk menghadiri seminar. Di sana, semua ternyata sukses terjual. Hal ini makin menambah kepercayaan diri Nindyah untuk terus berproduksi. Meski masih dalam skala kecil, ia mulai banyak menerima pesanan teman-teman. Biasanya, untuk suvenir pernikahan maupun perlengkapan seminar. Promosi usahanya pun baru ia lakukan dari mulut ke mulut. Tahun 2007, setelah memiliki cukup banyak stok barang dengan beragam variasi model, Nindyah pun memberanikan diri mengikuti pameran Inacraft di Jakarta. "Sebenarnya, sejak tahun 2005 produk Lawe sudah ada di Inacraft. Saya menitipkannya kepada salah seorang teman yang mengikuti pameran tersebut. Tetapi, hasilnya kurang menggembirakan. Dari ratusan barang yang saya titipkan, hanya laku tidak sampai 20 persen," kenangnya. Ia tak menyerah, tetap rajin ikut pameran.Tak disangka, keikutsertaannya pada tahun 2007 akhirnya berhasil menuai sukses. Barang dagangannya nyaris, habis terjual. Ia juga banyak menerima pesanan barn. Kunci kesuksesan Lawe lainnya adalah keberanian Nindyah dalam

berinovasi membuat motif-motif lurik dengan permainan warna yang lebih playful dan berani. Padahal, lurik umumnya identik dengan warna-warna gelap dan cenderung kusam. "Warna-warna terang ternyata disukai anak-anak muda yang menjadi salah satu konsumen potensial Lawe. Warna cerah juga membuat lurik terlihat lebih modern. Makanya, setiap waktu saya juga rajin mengikuti tren warna yang sedang in," ujar Nindyah. Kepiawaian Nindyah dalam membuat desain-desain produk yang cantik dan fungsional juga menjadi salah satu keunggulannya yang lain. Lihat saja bagaimana kain-kain lurik tersebut menjadi sebuah tas cantik, blus anggun, hingga bedcover modern. "Dalam seminggu, saya menargetkan membuat sebuah desain produk baru untuk dilempar ke pasaran," ujarnya. Sejak keikutsertaannya di Inacraft 2007 itu pula, produk-produk Lawe --yang namanya diambil dari bahasa Jawa, yang berarti serat alam untuk bahan tenun-- pun makin banyak dikenal orang. Pada tahun itu pula, Nindyah langsung membuka showroom Lawe yang pertama di Amri Museum and Art Gallery, Yogyakarta. Ia juga mulai membangun website usaha. Diakuinya, keberadaan website berperan besar dalam memopulerkan produk-produk karyanya ke seluruh Indonesia. Kini pelanggannya sudah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, tidak sedikit pembeli dari luar negeri yang datang ke kantornya untuk membeli produk-produk Lawe dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual kembali. "Salah satu pelanggan rutin saya adalah seorang wanita dari Australia.Tiga bulan sekali ia datang ke workshop untuk membeli produk-produk Lawe terbaru," ujarnya. MENCARI PESAING Seiring pasar yang berkembang, Lawe pun membesar. Dari yang awalnya hanya mempekerjakan seorang penjahit freelance di dekat rumahnya, kiln di workshop-nya sudah ada tujuh pekerja yang siap membantunya menjalankan roda bisnis. Jumlah tersebut belum termasuk puluhan perajin tenun dan penjahit yang tersebar di seluruh kawasan Yogyakarta yang rutin mengerjakan pesanannya. Nindyah memang sengaja tidak mengumpulkan semua pekerjanya (hampir semuanya wanita), di dalam sebuah workshop. Selain menghemat biaya, cara ini juga dipilihnya sebagai jalan untuk memberdayakan wanita-wanita di daerahnya, agar bisa memiliki penghasilan namun tetap bisa membagi waktunya untuk suami dan anak-anak di rumah. Secara berkala, perajin-perajin tersebut akan mengambil bahan baku ke workshop Lawe, untuk dikeijakan di rumah. Pada waktu yang sudah ditentukan, hasil jahitannya dibawa kembali ke workshop Lawe. Bagi perajin yang lokasi rumahnya jauh, Nindyah tak segan mengantar bahan baku ke rumah perajin. Tak hanya merekrut orang-orang yang sudah berpengalaman, Nindyah juga tak segan menerima orang-orang yang berniat untuk belajar. Untuk menjamin kesejahteraan para pekerja yang tergabung di workshop Lawe, Nindyah sengaja membangun usahanya dalam bentuk koperasi, di mana ia bertindak sebagai ketuanya. Nindyah tidak sepenuhnya menjadi pemilik tunggal Lawe karena semua pekerjanya juga memiliki kontribusi saham di dalamnya. Sehingga, keuntungan yang diperoleh dibagi secara adil kepada semua pemilik saham. "Sistem ini efektif untuk menumbuhkan rasa memiliki dari para pekerja sehingga bermanfaat bagi keberlangsungan roda bisnis House of Lawe," lanjut Nindyah Program lain yang dijalankan Nindyah adalah sisterhood. Ia mengajak para wanita Indonesia yang memiliki kain tenun tradisional di daerahnya untuk bekerja sama mengolah kain-kain terse- but menjadi produk yang lebih fungsional dan bernilai jual. Selain memberi pelatihan produksi, pihaknya juga tak pelit memberi arahan untuk

pemasaran produk. "Sejauh ini beberapa tenun daerah yang sudah kami garap adalah Sumba Barat, Lombok, Bali, dan Pontianak. Karenanya, ia berharap dalam beberapa tahun ke depan akan makin banyak pihak yang bergabung dalam program mereka tersebut. Tidak takutkah jadi banyak saingan? "Justru itu yang saya inginkan. Biar Lawe tidak sendirian," tuturnya. KOMENTAR DELIA MURWIHARTINI, PENGUSAHA, EKSPORTIR TAS THE SAK & DOWA BAG PELUANG MENEMBUS PASAR EKSPOR Memilih jenis material produk yang tidak umum dan memiliki identitas serta ciri khas yang kuat, dalam hal ini kain lurik, peluang Adinindyah bermain di pasar internasional sebenarnya cukup besar. Namun, terlebih dahulu, melakukan riset pasar untuk mengetahui selera masyarakat luar negeri yang hendak dituju. Perlu diingat apa yang dianggap bagus oleh pasar lokal, belum tentu dinilai sama oleh pasar luar negeri. Karena, kualitas produk dan desain yang menarik menjadi faktor penting yang diagungkan oleh pasar asing, khususnya Eropa dan Amerika. lbaratnya. produk yang dihasilkan tidak boleh ada cacat sedikit pun. Adinindyah hendaknya tidak pernah berhenti berinovasi menghasilkan produk-produk baru yang lebih balk dan berkualitas. Juga pandai menyesuaikan did dengan perkembangan mode di luar negeri yang berjalan sangat cepat. Caranya, dengan rajin membuka majalah fashion luar negeri atau menonton channelchannel fashion asing di televisi. Selain murah, cara tersebut efektif menangkap tren-tren mode yang berlangsung. Untuk memperkenalkan produknya ke pasar luar negeri, Adinindyah bisa mulai mencoba mengikuti pameran-pameran di luar negeri. Biaya yang harus dikeluarkan memang cukup tinggi. Namun, dengan pemilihan jenis pameran yang tepat, cara ini cukup ampuh menjaring pembeli. Cara lain yang lebih murah adalah memasukkan produknya ke jaringan pusat perbelanjaan internasional yang kini banyak terdapat di Jakarta. Adinindyah juga perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan pemahaman seputar tata niaga perdagangan di luar negeri. Hal ini salah satunya bisa ia peroleh dengan belajar kepada pengusaha-pengusaha senior yang sudah berpengalaman. Jangan sampai, ia menjadi korban penipuan oknum-oknum pengusaha di luar negeri. la diharapkan bisa segera merencanakan langkah memperkuat sistem produksinya agar slap memenuhi permintaan produk dalam jumlah besar. Dengan sistem produksi menggunakan tenaga kerja outsourcing yang dijalankan Lawe, hal ini sebenarnya cukup riskan terjadi penjiplakan desain. Karena itu, Adinindyah perlu komunikasi yang balk kepada seluruh pekerjanya agar produk-yang ia hasilkan tetap memiliki nilai eksklusivitas tinggi. Hal yang penting, Adinindyah harus berpikir dan bertindak fokus dan konsisten. Fokus, agar bisa mengembangkan desain dan meningkatkan kualitas produk dengan maksimal. Konsisten, sehingga semakin mendapatkan pelajaran baru yang bermanfaat dalam proses perjalanannya menuju tangga kesuksesan berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai