Anda di halaman 1dari 5

Tokoh Wirausahawan di Bidang Kerajinan

1. Eni Aryani : Dari Kaleng Bekas Menjadi Produk Ratusan Juta Hingga Tembus Pasar
Australia

Biografi pengusaha sukses di Indonesia yang pertama adalah Eni Aryani. Dengan
bermodalkan kaleng dan kayu bekas, Eni bisa menghasilkan omset sampai ratusan juta per
bulannya. Ia sangat terampil menyulap sampah yang tak berguna menjadi kerajinan tangan yang
bernilai jual. Karyanya memiliki ciri khas tersendiri pada motif dan desainnya yang
membedakan dari produk kerajinan lain pada umumnya. Wanita kelahiran Yogyakarta, 22
Desember 1979 ini membuat lebih dari 20 macam varian produk. Diantaranya yaitu guci
stempel, kaleng kerupuk, vas bunga, tenong, ceret angkringan, tempat kue, ember, pensil,
siraman bunga, dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya. Walaupun hanya dari kaleng
dan kayu bekas, barang yang dibuat Eni ternyata dijual dengan harga cukup mahal. Yaitu sekitar
ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Salah satu alasan mengapa harganya cukup mahal karena
kerajinan itu dibuat sepenuhnya dengan tangan (handmade). Harga yang ditawarkan mulai dari
Rp 200 ribu sampai Rp 1,2 juta per unitnya. Barang kerajinan yang mahal biasanya berupa
hiasan atau pajangan yang dibuat custom. Bisnis Wastraloka ini dirintis oleh Eni Aryani sejak
tahun 2014.

Bagaimana bu Eni mengawali usahanya?

Konon pada saat memulai bisnis, Eni hanya menggunakan modal sebesar Rp 5 juta.
Sebagian besar hanya digunakan untuk membeli bahan baku berupa cat akrilik dan barang bekas.
Selama berjalan satu tahun usahanya terus mengalami perkembangan. Permintaan akan barang
kerajinan kian membludak setelah Eni memasarkan produknya secara online. Dengan banyaknya
permintaan maka tak heran jika Eni bisa meraup omset sampai ratusan juta per bulannya. Singkat
cerita produk wastraloka kian terkenal. Terlebih lagi selama setahun menjalankan bisnis ini atau
lebih tepatnya pada tahun 2015, Eni mengikuti ajang pameran kerajinan tangan terbesar di
Indonesia yaitu Inacraft. Eni merasa sangat beruntung mengikuti ajang tersebut karena dengan
mengikuti Inacraft ia bisa memasarkan produk kerajinan tangannya pada jangkauan yang lebih
luas. Setelah 2 tahun menggeluti bisnisnya wastraloka dengan omset yang cukup besar, Eni
mulai berpikir untuk fokus menggarap bisnisnya. Ia yang bekerja sebagai karyawan swasta pada
suatu perusahaan ingin mengundurkan diri (resign) dari pekerjaannya. Sementara untuk lokasi
bisnis wastraloka, Eni memiliki tempat workshop kerajinan tangan di Yogyakarta. Dan untuk
pemasarannya wastraloka memiliki galeri pemasaran di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Untuk pembelinya sendiri tidak hanya dari kalangan perorangan atau individu, tetapi juga dari
kalangan korporasi besar seperti restoran dan hotel. Bahkan sampai di ekspor ke Jepang dan
Australia. Dalam proses produksinya, Eni dibantu oleh 8 orang pegawai. Namun jika orderan
sedang banyak-banyaknya Eni juga mempekerjakan 5 freelancer. Untuk pengrajin kalengnya ada
3 orang dan dibantu 2 orang freelance. Sementara pelukisnya ada 5 orang dan dibantu 2
orang freelance.

2. Diah Rahmalita: Bisnis Piring dan Gelas Bekas yang Bernilai Jutaan Rupiah

Wirausaha yang sukses di Indonesia berikutnya adalah Decoupage dari mbak Diah Rahmalita
(47). Di tangan mbak Diah barang bekas yang berupa piring, gelas, dan botol beling adalah
sesuatu yang bisa dikreasikan menjadi barang bernilai jual tinggi. Diah memulai
bisnis Decoupage-nya pada tahun 2007. Yang awalnya membuat decoupage hanya sebagai side
job, lalu berkembang menjadi sebuah bisnis yang besar. Decoupage pada umumnya adalah seni
menempelkan kertas tisu dan dilukis dengan menggunakan cat. Bisnis yang ditekuni Diah
dengan brand Lita Art pada awalnya hanya menggunakan modal sekitar Rp 1 juta untuk
membeli cat dan media. Sementara sisanya hanya menggunakan barang bekas berupa gelas,
piring, dan botol beling. Diah bisa menjalani bisnis Decoupage ini karena hobi semata. Ia sama
sekali tak memiliki latar belakang seni. Bahkan gelar sarjana yang dimilikinya pun justru diraih
dari Jurusan Ekonomi. Walaupun awalnya Diah sempat ragu menekuni bisnisnya, tetapi pada
akhirnya ia memilih untuk terjun lebih dalam . Berangkat dari hobinya yang senang melukis
maka ia pun mencoba membuat suatu produk yang bernilai jual. Ia memoles barang-barang
bekas menjadi suatu kerajinan yang cantik dan menarik untuk dijadikan pajangan. Setelah 4
tahun menjalani bisnis Decoupage, ia juga membuat karya seni lukis kaca. Nama usahanya itu
dikenal dengan brand Lita Art. Pada tahun 2011, ia memprediksi bahwa Lita Art akan
menjangkau pasar yang luas. Maka untuk mempertahankan bisnisnya itu, ia rela resign dari
pekerjaannya sebagai karyawan dari salah satu perusahaan swasta. Masalah mulai muncul ketika
Diah fokus menggarap bisnisnya. Diah kesulitan memasarkan produknya karena memang ia
belum memiliki pasar yang tetap. Ia bingung ke mana produknya harus dipasarkan dan tidak ada
juga yang mengarahkan. Yang ada dalam benaknya ketika membuat kerajinan adalah bagaimana
ia bisa membuat karya lalu ditawarkan ke orang. Kalau laku yah alhamdulillah kalau nggak laku
yah jadi koleksi pribadi aja. Semuanya berubah ketika karya Diah mulai dilirik oleh Pemerintah
Daerah. Mereka beranggapan bahwa keahlian Diah yang bisa menyulap barang bekas menjadi
hiasan dan pajangan yang bernilai jual adalah sesuatu yang unik dan kreatif. Akhirnya Diah
mulai mendapat bantuan promosi gratis dari Dinas kota yaitu Disperindag, Dinas Koperasi, dan
Dinas Pariwisata sehingga Diah bisa keliling Indonesia dan bahkan sampai ke beberapa negara
untuk mengikuti pameran. Diah mengaku memiliki beberapa pelanggan dari luar seperti negara
Asia dan Eropa. Kalau dari Asia ada Thailand, Malaysia, India, Brunei, dan China. Sedangkan
dari Eropa ada Swiss, Kroasia, Turki, Italia, dan Bulgaria. Produk Decoupage-nya dibanderol
dengan harga mulai dari Rp 20 ribu sampai jutaan rupiah. Produknya yang paling mahal
adalah Decoupage yang dibuat dari botol beling besar. Harganya mencapai Rp 1,5 juta rupiah.
Saat ini omset mbak Diah per bulannya sekitar 10 sampai 20 juta. Bahkan jika ikut pameran bisa
lebih dari itu. Tak heran kalau mbak Diah ini disebut sebagai salah satu orang sukses di
Indonesia.

3. Nur Handiyah : Dari Sampah Kulit Kerang Menjadi Barang Bernilai Jutaan Rupiah

Profil wirausaha sukses berikutnya datang dari mbak Nur Handiyah J Taguba. Di tangan
Nur, tumpukan sampah kulit kerang bisa diubah menjadi produk kerajinan tangan yang bernilai
jual. Semuanya berawal ketika Nur dan sang suami Jamie Taguba melihat banyak tumpukan
sampah kulit kerang di pinggir pantai. Nah dari situ ia bersama sang suami berencana untuk
memanfaatkan sampah kulit kerang untuk diolah menjadi barang pajangan yang indah. Bisnisnya
yang bernama Multi Dimensi Shell Craft didirikan pada tahun 2000. Untuk membuat suatu
produk kerajinan, terlebih dahulu kulit kerang harus dicuci bersih sebelum akhirnya siap pakai.
Tahapan selanjutnya adalah tahap pengolahan dan desain sesuai dengan yang diinginkan. Agar
kulit kerang bisa kuat, dibutuhkan material tambahan sebagai penyangga. Biasanya berupa besi,
aluminium, dan fiber glass. Salah satu alasan khusus mengapa Nur menekuni bisnisnya ini
adalah untuk menekan jumlah sampah kulit kerang yang berserakan di pinggir pantai. Nur
mendapat pasokan sampah kulit kerang dari para nelayan yang ada di utara Jawa. Untuk setiap
ton kulit kerang dibeli dengan harga Rp 1,5 juta. Hal ini tentu bisa jadi pendapatan tambahan
bagi para nelayan yang pekerjaan utamanya mencari ikan. Setelah dicuci bersih, selanjutnya kulit
kerang dikirim ke Jalan Astapada Kavling 130, Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Sampah kulit
kerang ini bisa dibuat menjadi barang pajangan antik seperti lampu, vas bunga, piring, kursi,
meja, dan lain-lain. Dalam proses desain sampah kulit kerang, Nur dibantu oleh para pemuda
yang ada di sekitar rumahnya. Ia sendiri sama sekali tak punya basic sebagai pengrajin kulit
kerang. Ia hanya sarjana jurusan matematika dan bekerja sebagai PNS. Sedangkan sang suami
sendiri Jamie Taguba bekerja sebagai kontraktor dan mekanik. Usahanya kian melejit ketika
piring dan vas bunga yang dibuat dari kulit kerang dilirik oleh Pemerintah Daerah Cirebon.
Permintaan yang datang semakin meningkat dan Nur semakin menunjukkan kemampuannya
dalam mendesain sampah kulit kerang. Kemampuan itu ia dapatkan dari masukkan berbagai
kalangan, salah satunya dari para pembeli baik yang dari dalam negeri maupun yang dari luar.
Berangkat dari masukan itu ia mulai berani memvariasikan produknya seperti lampu gantung,
dan barang pajangan lain yang bernilai jual tinggi. Nur mengaku bahwa ia dan sang suami nekat
membangun bisnis dari sampah kulit kerang dengan modal yang sedikit. Mereka hanya
mengandalkan aset yang dimiliki seperti pesawat telepon dan mobil bak. Dalam hal ini aset
tersebut tidak dijual, melainkan dimanfaatkan secara langsung. Untuk lebih fokus dalam
pengembangan bisnis Multi Dimensi Shell Craft, Nur dan sang suami memutuskan untuk keluar
dari pekerjaannya. Di awal usahanya, proses pemasaran produk kerajinan dari kulit kerang hanya
mengandalkan jaringan pertemanan yang cukup luas dari sang suami. Harga yang ditawarkannya
pun masih dalam harga promosi. Selain itu, Nur dan sang suami juga mulai mengikuti berbagai
kegiatan pameran dengan tujuan memperkenalkan produk mereka. Nur Handiyah J Taguba
menuturkan bahwa rata-rata setiap bulannya ia dan suami mampu mengirimkan 4 kontainer
barang pajangan yang dibuat dari kulit kerang ke berbagai negara Uni Eropa. Diantaranya yaitu
Italia, Spanyol, Inggris, Perancis, dan Jerman. Selain di Eropa, barang kerajinan milik Nur juga
dikirim ke berbagai negara lain seperti Amerika Serikat dan pasar Timur Tengah, mencakup
Kuwait, Bahrain, Irak, dan Arab Saudi. Pengiriman barang juga dilakukan untuk negara Jepang
dan Thailand, bahkan sampai ke beberapa negara di benua Afrika. Dari sini kita belajar bahwa
kesuksesan apa yang sudah diraih oleh Nur Handiyah adalah buah dari kerja keras dan
pengorbanannya.
4. Jual Kerajinan dari Daun Kering Beromzet Miliaran, Ini Kisah Dewi Tanjung Sari

Di dunia bisnis, kreativitas adalah kunci utama untuk bisa bertahan dan sukses. Tanpa
kreativitas, gempuran persaingan yang ketat akan meluluhlantakkan segala hal. Hal itu telah
disadari oleh Dewi Tanjung Sari. Berangkat dari kreativitasnya, ia memulai sebuah usaha dengan
modal yang tergolong sedikit. Berlatarbelakang keluarga yang sederhana, keadaan tak mengubur
semangat Dewi untuk menjadi pengusaha sukses. Masuk kuliah diploma di Universitas
Brawijaya pada tahun 2003, ia mulai menunjukkan geliatnya di dunia bisnis. Di sela-sela
kesibukan perkuliahan, Dewi berinisiatif membuat kerajinan dari daun kering. Pada awalnya,
Dewi memunguti daun-daun yang ada di halaman kampusnya untuk dijadikan kerajinan. Ia
membentuk daun-daun itu menjadi pigura foto, kotak pensil, undangan, dan kreasi kerajinan lain.
Dengan hanya bermodal Rp 50 ribu, dijadikannya ajang-ajang pameran di kampus sebagai
kesempatan Dewi menjual produk kerajinan buatannya. Adapun selain menjualnya di pameran,
Dewi biasa menitipkan kerajinannya kepada teman kuliah untuk dijual. Dari situ, ia kemudian
mengetahui bahwa kerajinan buatannya itu banyak diminati orang. Hampir setiap membuatnya
dalam jumlah tertentu, produk kerajinan itu habis terjual ke teman-teman kuliahnya. Maka dari
situ, Dewi semakin bersemangat untuk menjalankan bisnis itu. Hanya berlangsung 2 tahun saja,
yakni di tahun 2005, usaha Dewi berkembang begitu pesat. Ia mulai mengekspor kerajinan
buatannya ke luar negeri. Namun ketika itu, produk-produknya telah dimodifikasi. Salah satu
modifikasi tersebut ialah Dewi mulai membuat kerajinan dari limbah. Dari sini, Dewi lalu
merekrut 16 karyawan. Karena keunikan bahan baku dan kreativitasnya, produk Dewi laku di
Australia, Hongkong, Malaysia, hingga Jerman. Omzet yang didapatkan Dewi kala itu mencapai
puluhan juta. Namun, kemonceran bisnis kerajinannya tak hanya sampai di situ. Setelah sempat
mengalami krisis di tahun 2009, Dewi lalu berinisiatif membuat franchise untuk bisnisnya
dengan nama De Tanjung. Dari ide itu, usahanya lalu berkembang di banyak kota di Indonesia
mulai dari Malang, Bekasi, Bontang, Palu, Cirebon, bahkan hingga Papua. Di tahun 2010 saja,
omzet bisnis Dewi mencapai Rp 1,1 miliar dengan keuntungan bersih hingga Rp 237 miliar.
Maka, akibat kreativitas juga kegigihannya menjalankan bisnis dari waktu ke waktu, nasib telah
membayar perjuangannya.

Anda mungkin juga menyukai