Anda di halaman 1dari 2

Nama : Mochamad kafi Fazle

Kelas : X MIPA 5

Tugas PKWU

Kisah Sukses Pengusaha di Bidang Kerajinan

Dewi Tanjung Sari:

Sebagai anak yatim sejak kecil, anak semata wayang ini telah terlatih hidup mandiri sejak masa
kanak-kanak. Ibunya yang saat itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, menguatkan
keinginannya agar kelak mampu menjadi anak yang dapat mensejahterakan ibunya.

Berwirusahalah dengan gigih, penuh ketekunan, tidak gampang menyerah, dan selalu menyikapi
segala keadaan dan kebutuhan dengan kreatif, dan memiliki mimpi sukses. Dewi Tanjung Sari (33)
adalah tipe orang yang gigih memperjuangkan cita-citanya sebagai pewirausaha sukses. Ia telah
memulai usaha sejak awal kuliah di Program Diploma III, Universitas Brawijaya Malang, kemudian
mengembangkan usahanya dengan berbagai kendala dan hambatan, melanjutkan kuliah lagi di
jurusan yang sama di IKIP Budi Utomo.

Semua berawal dari keinginannya untuk mencari uang, membantu ibunya yang saat itu mulai
membuka warung, dan berjualan kecil-kecilan untuk biaya hidup dan kuliahnya. Sejak masuk kuliah
di Program Diploma Univeristas Brawijaya, tahun 2003, Dewi sering sepulang kuliah mencari daun-
daun kering, limbah yang banyak berserakan di kampusnya untuk digunakan berbagai produk
kerajinan.

Daun-daun kering tersebut dibersihkan, kemudian dikeringkan dan dibentuk menjadi pigura foto,
kotak pensil, undangan, dan bentuk kerajinan lainnya. Modal untuk membuat kerajinan tersebut
juga tidak banyak, hanya Rp. 50 ribu. Hasil kerajinan tersebut ia jual kepada teman-teman di
kampusnya. Bahkan dalam sebuah pameran produk kerajinan yang diadakan dikampusnya,
kerajinan milik Dewi yang dijual seorang teman ternyata habis terjual.

Suatu hari di tahun 2005, ia bertemu dengan seseorang yang menjadi eksportir produk-produk
kerajinan yang terbuat dari berbagai limbah. Ia kemudian memperoleh pesanan pembuatan
kerajinan dari daun kering berbagai bentuk cukup banyak. Dari sinilah awal usahanya berkembang.
Semula semua kegiatan ia lakukan sendiri, namun karena permintaannya cukup banyak ia
kemudian melibatkan 16 orang karyawan lepas yang sebagian besar adalah para tetangganya untuk
membuat produk kerajinan pesanan untuk ekspor tersebut.

Namun diluar dugaan, tahun 2007 perusahaan eksportir yang biasa memesan hasil kerajinan
kepadanya ternyata bangkrut. Dewi bingung bagaimana harus mengelola orang dan produk yang
sudah dibuat. Ia juga berfikir bagaimana melanjutkan usahanya.

Untuk sementara ia menghentikan kegiatan produksi dan mencoba memasarkan sendiri produknya
ke berbagai teman. Ia juga memajang produk di warung ibunya, yang berhadapan dengan sebuah
kantor. Saat ada orang yang belanja di warung ibunya dan tertarik dengan salah satu produk hasil
kerajinan produk Dewi. Tamu tersebut kemudian memesan sebanyak 750 pcs dengan harga
Rp1500/pcs yang akan digunakan untuk merchandise perkawinannya. Bukan main senangnya.

Saat itulah ia menyiapkan produk merchandise dan memberinya label sendiri dengan label De
Tanjung. Pada label tersebut tercantum telepon, alamat, serta website yang dibuatnya secara
sederhana. Selain itu ia juga menitipkan produk-produknya ke Gramedia, pusat-pusat kerajinan
dengan cara penjualan konsinyasi, hasilnya cukup laku di pasaran.

Produknya dijual mulai dari Rp 50.000 – Rp 300.000, sedangkan untuk barang berukuran besar
Rp 800.000 ke atas. Paling laku menurutnya adalah barang kecil seperti baki dan kursi kayu.
“Omzet sekarang Rp 20 juta – Rp 30 juta per bulan. Lebih banyak jualan di pameran atau
barang kita dititipkan di gerai-gerai yang ada di mal,” tutur Ivan membuka rahasia suksesnya
berwirausaha

Kisah Hery budianto:

Berawal dari banyaknya limbah kayu mebel disekitar rumahnya, Hery Budianto (57)
memamfaatkannya untuk menjadikan sebuah lahan usaha. Di 1992, niatnya bersambut dengan
diajak bekerjasama oleh salah satu pabrik furnitur untuk mengolah limbah kayu agar bisa
menjadi sebuah produk yang menarik dan bisa dijual. Dari kondisi tersebut, bapak 3 orang
anak ini mulai rajin menambah pengalaman dengan mengikuti berbagai pameran yang
ditujukan untuk memperkenalkan produknya sekaligus mempelajari kebutuhan dan minat
masyarakat.

Melalui pameran-pameran yang dia ikuti, akhirnya Hery mulai memahami apa yang diinginkan
masyarakat dan mulai membuat perabotan rumah seperti nampan, tempat piring, tempat tisu,
tempat pensil, meja lipat, tempat minuman dan produk lainnya.
Namun karena jumlah dan ukuran kayu yang terbatas sehingga dirinya hanya bisa membuat
kerajinan dalam ukuran kecil dan modelnyapun tidak bervariasi.
Akhirnya pada tahun 1993 Hery memutuskan untuk tidak lagi bekerjasama dengan pabrik
furniture dan mencoba untuk memulai usaha kerajinan kayunya sendiri.
Karena sudah tidak lagi bekerjasama dengan pabrik furnitur, Hery kemudian menjadikan kayu
Pinus dari daerah Batu sebagai bahan dasar untuk membuat kerajinan.
Rupanya keputusan dosen Arsitektur Universitas Merdeka ini untuk menggunakan kayu pinus
sangat tepat. Tekstur dan warna terang alami dari kayu pinus membuat kerajinan kayu
GS4WOODCRAFT berbeda dengan hasil pengrajin lainnya.
“Jarang pengrajin kayu yang menggunakan kayu Pinus sebagai bahan kerajinannya,” jelasnya.
Pada tahun 1994, Hery berinovasi untuk membuat motif buah Strawbery sebagai ciri khas
semua produk buatannya. Lagi-lagi keputusan tepat diambil oleh Hery, dengan ciri khas motif
strawbery mendapat respon yang bagus dari masyarakat, terutama dari anak-anak muda
pecinta strawbery.
Tidak hanya itu, keputusannya tersebut membuat produknya mulai di lirik oleh Pemerintah
Kota Malang maupun Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur untuk di ikutkan pameran di luar
kota.
Tahun 1995, Hery mengembangkan dua motif lainnya yaitu motif Bunga Matahari dan Bunga
Tulip. Dengan dibantu 6 orang karyawan tetap dan 4 orang pekerja, produknya kini sudah di
pasarkan di seluruh daerah di Indonesia, terutama Jakarta.
“Dulu pernah juga produk saya di ekspor ke luar negeri, namun ternyata saya tertipu,
pembayarannya hanya di bayar tiga puluh persen dan akhirnya saya harus menjual mobil saya
untuk membayar pekerja,” kisahnya. Namun baginya, kejadian tersebut hanya dijadikan
sebagai pengalamannya saja.
Laki-laki kelahiran Klaten Jawa Tengah yang pernah mengenyam pendidikan S3 di Johor
Malaysia ini mematok harga untuk produk-produknya dengan kisaran harga Rp. 10.000,-
sampai dengan Rp. 500.000,- dengan omset perbulannya mencapai 30 juta Rupiah.
Hery yang juga menjabat sebagai ketua Asosiasi Pengrajin Kota Malang mengajak masyarakat
dapat menjadikan kerajinan sebagai pekerjaan utama, karena prospek usaha kerajinan sangat
bagus dan tidak akan pernah mati. Terbukti ketika terjadi krisis, usaha kerajinan tetap mampu
bertahan.
Selain itu, Hery juga mengajak pengrajin untuk ikut dalam Asosiasi, melalui asosiasi ini para
pengrajin bisa mendapatkan jaringan yang lebih luas untuk memasarkan produk kerajinan
mereka, pungkasnya.(Agus Nurchaliq)

Anda mungkin juga menyukai