Anda di halaman 1dari 10

1.

Diah Rahmalita

Diah Rahmalita (47) adalah pemilik usaha Lita Art. Bisnisnya ini bergelut di bidang interior desain dengan
fokus utama adalah menyediakan pernak-pernik barang yang ditempelkan kertas tisu lalu memberikan
lukisan unik. Dia menyebutnya dengan nama decopatch.

Berangkat dari hobi, Lita memulai bisnis ini di tahun 2007 dengan modal hanya Rp 1 juta. Decopatch
sendiri dibuat dengan memanfaatkan barang-barang bekas, misalnya piring, gelas hingga botol beling.

Sempat ragu menekuni bisnis barunya ini, Lita akhirnya memilih terjun lebih dalam. Dengan kemampuan
melukis yang ia miliki, Lita memoles barang-barang bekas tadi menjadi barang kerajinan yang cantik dan
cocok menjadi hiasan serta pajangan rumah.

Foto: Diah Rahmawati, pemilik Decopatch/Dok: indotrading.com

Foto: Diah Rahmawati, pemilik Decopatch/Dok: indotrading.com

Lita akhirnya memilih resign dari pekerjaannya sebagai karyawan swasta di tahun 2011. Alasannya ia
ingin fokus membangun bisnisnya. Di tahun yang sama, ia juga empat kesulitan mencari pelanggan dan
pasar.

Namun dengan proses yang cukup panjang, decopatch milik Lita akhirnya dilirik oleh pemerintah daerah
setempat. Lita akhirnya mulai mendapatkan bantuan dan layanan bimbingan serta diberikan akses pasar
yang cukup luas dengan mengikuti berbagai ajang pameran secara gratis.

Dengan cara tersebut, bisnis decopatch milik Lita mulai tumbuh dan berkembang. Ia berhasil
menampilkan berbagai barang pajangan unik yang dibuat dari barang bekas. Produknya dijual dari harga
Rp 20 ribu sampai jutaan rupiah.

Foto: Produk-produk Decopatch/Dok: indotrading.com

Foto: Produk-produk Decopatch/Dok: indotrading.com

Hasilnya, Lita kini mampu meraup omzet rutin Rp 20 juta per bulan. Tidak hanya laku dijual di dalam
negeri, decopatch milik Lita juga sudah laku dijual ke berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa seperti
Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, India, China, Hungaria, Bulgaria, Kroasia, Turki, Swiss, sampai
Italia.

Keindahan desain serta komposisi gambar dan warna yang pas membuat produk-produk decopatch kian
banyak diminati. Banyak pembeli yang berdatangan dari berbagai kota. Umumnya, pembeli produk
decopatch ini didominasi oleh kaum hawa. Padahal, Diah tidak memiliki toko. Ia mengaku hanya
memiliki showroom dan workshop di Malang
2. Made Sutamaya

Made Sutamaya (49) adalah pemilik bisnis Kioski Gallery. Pria asal Kuta, Bali ini berhasil memanfaatkan
tumpukan sampah kayu bekas yang berserakan di pinggir pantai. Melalui Kioski Gallery, Made sukses
menyulap sampah kayu menjadi desain interior bernilai jutaan rupiah.

Kreasinya mulai diperhitungkan di jagad bisnis kerajinan yang ada di Indonesia. Made juga mampu
bersaing dengan para pengusaha yang berpengalaman dengan menampilkan berbagai karya interior
desain yang kreatif dan unik serta memiliki kesan mewah.

Pernah bekerja cukup lama di salah satu perusahaan mebel bikin Made makin percaya diri membangun
bisnisnya di tahun 2003. Akhirnya berbagai karya interior desain seperti meja, kusi, kaca rias hingga
lampu berdiri ia hasilkan dan berhasil ditawarkan kepada para pelanggannya di dalam negeri.

Made Sutamaya mengungkapkan, memulai bisnis Kioski Gallery terbilang susah-susah gampang.
Maksudnya adalah bisnis ini dibangun tanpa modal besar. Menurut Made modal awal yang dia gunakan
untuk membangun bisnis ini hanya tumpukan sampah kayu, paku dan palu.

Foto: Pemilik Kioski Gallery, Made Sutamaya/Dok: indotrading.com

Foto: Pemilik Kioski Gallery, Made Sutamaya/Dok: indotrading.com

Made yang hanya jebolan Sekolah Menengah Atas (SMA) ini menuturkan bila sampah kayu kerap ia
dapatkan dari pinggir pantai. Ia juga menjelaskan biasanya pada saat musim hujan, sampah kayu
terbawa arus air menuju laut. Setelah itu, sampah kayu terombang-ambing ombak sampai akhirnya
berserakan di pinggir pantai.

Setelah kayu-kayu tersebut dirakit, Made kemudian mendesain serta membentuk kayu menjadi
berbagai macam model perkakas rumah yang bakal dijadikan interior desain. Misalnya meja, kursi, kaca,
lampu dan lain-lain. Saat proses perakitan sendiri, Made biasanya menggunakan paku atau lem kayu.

banner-1-01

Setelah jadi, produknya dijual dengan harga rata-rata Rp 6 juta. Meski dibuat dengan menggunakan
kayu bekas, ia bisa memastikan konstruksi kayu tetap kuat. Bahkan berbagai macam produk desain
interior yang dibuatnya dari kayu bekas ini diklaim awet sampai puluhan tahun.

Bisnis Made semakin berkembang dari tahun ke tahun. Made juga telah berhasil membangun pasar di
luar negeri. Produknya sudah diperjualbelikan di beberapa negara Uni Eropa, seperti Belanda, Jerman,
Italia dan Prancis hingga ke Afrika.

Sementara itu berbicara tentang omzet yag didapat, Made mampu meraup Rp 300 juta/bulan. Selain
memiliki omzet yang cukup besar, Made juga menyabet sejumlah penghargaan top. Salah satunya
adalah Parama Karya Award 2015 dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca selengkapnya: Dari Pengepul Sampah Kayu, Made Kini Jadi Pengusaha Beromzet Rp 300 Juta/Bulan
3. Nur Handiyah J Taguba

Sampah kulit kerang yang kerap kita jumpai di pinggir pantai masih dipandang sebelah mata oleh
kebanyakan masyarakat Indonesia. Padahal tumpukan sampah kulit kerang justru dapat diubah menjadi
barang-barang indah dan mewah, seperti yang dilakukan di rumah produksi Multi Dimensi Shell Craft.

Adalah Nur Handiyah J Taguba dan sang suami Jamie Taguba. Bagi mereka berdua, tumpukan sampah
kulit kerang mampu menghasilkan uang hingga ratusan juta rupiah.

Nur yang merupakan wanita kelahiran Banyumas, Jawa Tengah bercerita bila ia mampu mengolah
sampah kulit kerang menjadi berbagai macam barang pajangan antik misalnya vas bunga, lampu, piring,
meja, kursi dan lain-lain. Barang-barang tersebut cocok diletakkan sebagai hiasan ruangan rumah dan
memiliki nilai jual yang cukup tinggi.

Nur menceritakan bila kisahnya ini dimulai sejak tahun 2000. Pada saat itu, Nur melihat banyak sekali
tumpukan sampah kulit kerang yang ditemui di pinggir pantai. Dari situ, ia bersama sang suami
berencana memanfaatkan sampah kulit kerang dan mengolahnya menjadi berbagai macam barang
pajangan antik.

Melalui Multi Dimensi Shell Craft, Nur mulai menjalani bisnisnya ini di tahun 2000. Ia mengatakan saat
memproses sampah kulit kerang terlebih dahulu dibersihkan hingga siap pakai. Kemudian fase
selanjutnya adalah diolah serta didesain sesuai dengan kebutuhan. Sebagai penyangga agar barang
pajangan dari kulit kerang bisa kuat, Nur

menggunakan besi, alumunium sampai fiber glass.

Menurut Nur, sampah kulit kerang bisa diolah menjadi barang antik yang memiliki nilai jual. Namun
sayangnya hal ini tidak dijadikan peluang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia yang masih
memandang sebelah mata.

Foto: Pemilik usaha Multi Dimensi Shell Craft, Nur Handiyah J Taguba/Dok: indotrading.com

Foto: Pemilik usaha Multi Dimensi Shell Craft, Nur Handiyah J Taguba/Dok: indotrading.com

Akhirnya Nur mulai mengumpulkan sampah kulit kerang dari para nelayan di utara Jawa. Setiap ton kulit
kerang dibanderol dengan harga Rp 1,5 juta. Bagi Nur, itu tambahan bagi para nelayan yang memang
bukan nelayan khusus pencari kerang.

Setelah terkumpul dan dibersihkan, sampah kulit kerang tersebut lalu dikirim ke di Jalan Astapada
Kavling 130, Kecamatan Tengah Tani, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kulit kerang lalu diolah menjadi
berbagai barang pajangan rumah yang antik dan mewah.

Dalam mendesain sampah kulit kerang, Nur awalnya dibantu oleh para pemuda yang ada di sekitar
rumahnya. Ia sendiri mengaku tidak memiliki dasar sebagai seorang pengrajin kerang.
Singkat cerita, usahanya mulai melejit setelah vas bunga dan piring yang dibuat dari kulit kerang
miliknya mulai dilirik oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Cirebon. Setelah itu permintaan mulai meningkat
dan Nur mulai menunjukan kemampuan lebih dalam mendesain sampah kulit kerang. Kemampuan dia
dapatkan salah satunya dari masukan berbagai kalangan, termasuk dari para pembeli. Dari masukan
tersebut, Nur mulai berani membuat lampu gantung sampai barang pajangan lainnya yang antik dan
memiliki nilai jual cukup tinggi.

Agar lebih fokus untuk mengembangkan bisnisnya ini, sang suami Jamie Taguba memilih mengundurkan
diri dari pekerjaannya sebagai kontraktor. Begitu pula dengan Nur yang memilih mengundurkan diri
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Setelah itu, Nur aktif memasarkan produknya terutama memanfaatkan jaringan pertemanan yang cukup
luas dari sang suami. Setelah itu, bisnisnya terus menggeliat hingga berhasil dipasarkan ke Uni Eropa
seperti ke Jerman, Spanyol, Italia, Inggris, dan Prancis.

Selain di Eropa, barang pajangan milik Nur juga dikirim ke negara-negara lain misalnya pasar Amerika
Serikat (AS) hingga pasar Timur Tengah misalnya Arab Saudi, Kuwait, Irak dan Bahrain. Ia juga rutin
mengirim ke negara-negara lain seperti Thailand dan Jepang sampai beberapa negara di Afrika.

Baca selengkapnya: Nur Handiyah Sulap Sampah Kulit Kerang Jadi Barang Mewah Bernilai Jutaan Rupiah
4. Andra Prasetyo

Pengusaha terakhir yang akan diulas adalah Andra Prasetyo (42). Di tahun 2000, pria kelahiran Tuban 15
September 1974 itu sukses membangun bisnis yang bergerak di bidang furniture export dengan nama
Pangjati Rustic Furniture & Crafts.

Selama 16 tahun menekuni bisnisnya ini, Andra telah menghasilkan berbagai macam jenis produk
kerajinan dan furnitur. Sebut saja ada meja, rak meja, sofa hingga kursi.

Andra mencatat, sedikitnya sudah ada 300 jenis model craft dan furniture yang berhasil dia buat. Setiap
bulan, Andra rutin membuat model baru dengan alasan agar tidak ketinggalan zaman dan bisa
memberikan pilihan bagi para customer.

Namun siapa sangka, sejak pertama kali usahanya dibangun di tahun 2000 dengan nama Pangjati Rustic
Furniture & Crafts, Andra Prasetyo mengaku sama sekali tidak mengeluarkan modal. Andra awalnya
hanya memanfaatkan limbah bekas seperti kayu dan ranting sebagai bahan baku utama pembuatan
berbagai macam produk kerajinan dan furnitur.

Kebanyakan kayu bekas yang digunakan Andra adalah kayu jenis mahoni atau jati. Kedua kayu tersebut
memiliki struktur yang kuat dan cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan kerajinan dan furnitur.

Kayu dan ranting bekas yang didapat kemudian dipilih oleh Andra. Usai dipilih kayu tersebut masuk ke
tahapan penggergajian untuk mengupas kulit kayu. Setelah digergaji, kayu lalu dibelah dan diserut.
Tahapan selanjutnya adalah mendesain dan merakit kayu siap pakai tersebut sesuai dengan kebutuhan.
Misalnya apakah diperuntukan menjadi kursi, sofa atau meja.

Proses terakhir adalah finishing yang merupakan proses pelapisan akhir permukaan kayu yang bertujuan
untuk memperindah permukaan kayu sekaligus memberikan perlindungan furnitur dari serangan
serangga ataupun kelembaban udara. Dalam beberapa jenis dan tipe furnitur, proses finishing harus
dilakukan sebelum komponen dirakit. Hal ini dilakukan karena finishing lebih mudah dilakukan sebelum
komponen dirakit.

Berbagai furnitur yang diproduksi Andra akhirnya berhasil menembus pasar internasional seperti
Belanda, Jerman dan Yunani. Di luar negeri, furnitur buatan Andra dipasarkan di berbagai ritel. Ada juga
beberapa coffee shop dan restoran yang sengaja memesan langsung kursi dan meja kepada Andra.
Sedangkan di dalam negeri, penjualan terbesar adalah di Jakarta dan Bali.

Andra mengaku telah memiliki pelanggan tetap yang setia membeli berbagai produk kerajinan dan
furnitur buatannya. Kebanyakan pelanggannya adalah berasal dari kalangan menengah ke atas.
Misalnya pengusaha cafe dan restoran. Oleh karena itu, bila dihitung-hitung omzet penjualan yang
diterima Andra setiap tahunnya berkisar Rp 12 miliar.
Di tempat produksinya yaitu di Klaten (Jawa Tengah), Andra mengerjakan berbagai pesanan dari para
pelanggannya dengan dibantu oleh 75 orang pengrajin. Saat ini ia sudah berhasil menciptakan 300
desain baik itu kerajinan maupun produk furnitur. Harga yang ditawarkan berkisar antara ratusan ribu
rupiah hingga puluhan juta rupiah.

Baca selengkapnya: Jualan Furniture Dari Kayu Bekas, Andra Raup Omzet Rp 12 Miliar/Tahun
“Kita ingin mengangkat kembali motif-motif kuno itu tidak hanya dalam bentuk kain karena dalam
bentuk kain kan relatif mahal. Nah kita ingin mengaplikasikan motif-motif kain itu ke berbagai
perangkat, termasuk perangkat rumah tangga, hiasan, dekorasi, dan sebagainya,” tulis pemilik
Wastraloka, Eni Aryani.

Bagi sebagian orang, sampah sering dianggap sebagai barang yang tidak berharga. Namun di tangan Eni
Aryani (37), sampah justru menjadi sumber pemasukan tambahan dengan omzet yang cukup besar.

Dengan hanya bermodal kaleng dan kayu bekas, Eni mampu meraup omzet hingga puluhan bahkan
ratusan juta setiap bulannya. Ia berhasil menyulap sampah seperti kaleng dan kayu bekas menjadi
barang hiasan dan kerajinan tangan yang memiliki nilai jual.

“Jadi Wastraloka ini usaha yang bergerak di bidang hiasan dan dekorasi rumah yang dihias oleh seni
lukisan.” ujar Eni kepada indotrading.com, Jumat (28/10/2016).

Baca juga: Nur Handiyah Sulap Sampah Kulit Kerang Jadi Barang Mewah Bernilai Jutaan Rupiah

Eni mengatakan barang hiasan kerajinan tangan yang ia buat biasanya berasal dari kaleng dan kayu
bekas serta memiliki ciri khas keunikan yang berbeda dari produk kerajinan tangan lainnya. Selain itu,
Eni juga memberikan sentuhan berbeda pada motif dan desain agar menarik perhatian para
pelanggannya.

Alhasil, wanita kelahiran Yogyakarta, 22 Desember 1979 ini telah berhasil membuat lebih dari 20 macam
produk, misalnya kaleng kerupuk, tenong, guci tempel, vas bunga, ceret angkringan, dan barang-barang
keperluan rumah tangga lainnya.

“Ada kotak pos, kaleng untuk tempat kerupuk dan kue, ember, pensil, ceret angkringan, siraman bunga,
tenong, dan lain lain,” jelas Eni.

Meski hanya berasal dari kaleng dan kayu bekas, barang hiasan kerajinan tangan buatan Eni ternyata
dijual cukup mahal yaitu dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Salah satu alasannya adalah karena
semua barang hiasan kerajinan tangan dibuat sepenuhnya dengan menggunakan tangan (handmade).

“Mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 1,2 juta (per item). Yang paling mahal itu biasanya hiasan atau
pajangan yang custom,” ucap Eni.

Ubah Barang Bekas Jadi Barang Berkualitas

Eni Aryani merintis bisnis Wastraloka sejak tahun 2014 lalu. Ia membuat berbagai macam barang hiasan
kerajinan tangan yang memiliki nilai jual hingga jutaan rupiah.

Namun siapa sangka saat pertama kali bisnis ini dirintis, Eni tidak mengeluarkan modal yang cukup
besar. Hal ini disebabkan karena Eni hanya memanfaatkan barang-barang bekas seperti kaleng dan kayu
bekas yang sudah tidak terpakai.
“Hampir sebagian besar kan kita menggunakan material nya kaleng dan seng, tapi ada juga kayu dan
benda-benda lainnya yang notabene-nya sudah tidak digunakan lagi,” kata Eni.

Karena terbuat dari barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, Eni mengaku tidak pernah merasa
kesulitan mencari barang bekas. Barang bekas biasa ia dapatkan dari pabrik atau peralatan elektronik
rusak yang sudah tidak terpakai.

Baca juga: Dari Pengepul Sampah Kayu, Made Kini Jadi Pengusaha Beromzet Rp 300 Juta/Bulan

Eni juga kerap mendapatkan suplai barang bekas dari para pengepul. Kebetulan di sekitar tempat
tinggalnya banyak pengepul yang siap sedia memasok barang-barang bekas secara rutin kepadanya.

“Kebetulan semua sumber daya itu ada di sekitar kita. Di daerah kami itu isinya adalah pengrajin semua.
Jadi bahan-bahan bekas untuk bahan material ini ada semua dan mudah didapat. Bahan seperti seng
dan kaleng ada pengepulnya sendiri juga,” papar Eni.

Setelah terkumpul, barang bekas tersebut kemudian dipilih dan dibersihkan. Kemudian barang bekas
kembali masuk ke tahap sortir hingga dirancang menjadi sebuah barang hiasan baru oleh para pengrajin.

Eni juga menambahkan beberapa kreasi motif gambar unik di setiap barang hiasan kerajinan tangan
yang ia buat. Misalnya motif batik, bunga, sampai angsa yang terkesan eksotik.

Baca juga: Gitar Batik Buatan Guruh: Dipakai Gitaris Terkenal Sampai “Terbang” ke 5 Negara

“Kaleng kita ambil sisa-sisa dari pabrik, seperti kulkas. Dari sisa itu kita ada pengrajin untuk
membentuknya, dari desain kita sendiri juga ada, dari desain yang sudah jadi atau sudah umum juga
ada, misalnya kaleng kerupuk kan desain umum, tapi kita modifikasi, bagaiamna kaleng itu bisa beda
dengan kaleng yang lain. Nah setelah desain kaengnya suda jadi, kita membat cat dasar putihnya,”
tuturnya.

Eni mengklaim barang kerajinan tangan buatannya memiliki kualitas yang cukup tinggi meski sebagian
besar dibuat dari barang-barang bekas. Agar berkualitas dan barang tahan lama, Eni menggunakan cat
akrilik. Penggunaan cat akrilik diperlukan terutama agar barang kerajinan tangan miliknya bisa bertahan
dalam jangka waktu yang cukup lama.

“Yang kita gunakan adalah cat akrilik. Sebenarnya cat tapi berbasis air dan dicampurnya juga pake air,
cat akriik itu tidak mudah terhapus. Setelah itu kita sketch dan kita warnai dengan cat akrilik tadi
kemudian di-coating agar ngunci, agar tidak luntur, dan kena panas pun masih aman,” ujar Eni.

Dengan Modal Rp 5 Juta Mampu Raup Omzet Hingga Ratusan Juta


Pada saat bisnis Wastraloka berdiri di tahun 2014, Eni mengaku hanya menggelontorkan modal sebesar
Rp 5 juta. Modal tersebut sebagian besar digunakan untuk membeli bahan baku berupa barang bekas
serta cat akrilik yang digunakan sebagai pewarna.

“Saya waktu itu mengeluarkan modal awal sebesar Rp 5 juta,” ujar Eni.

Baca juga: Jualan Furniture dari Kayu Bekas, Andra Raup Omzet Rp 12 Miliar/Tahun

Dengan modal tersebut, Eni berhasil membuat berbagai macam kerajinan tangan yang memiliki nilai jual
hingga jutaan rupiah. Misalnya kaleng kerupuk, tenong, guci tempel, vas bunga, ceret angkringan, dan
barang-barang keperluan rumah tangga lainnya.

Setelah berjalan satu tahun, usahanya terus berkembang. Permintaan barang kerajinan tangan miliknya
terus mengalami peningkatan setelah Eni membangun sistem pemasaran secara online.

“Kalau tempat workshop sih di Yogyakarta. Tapi unuk pemesanan bisa melalui telepon, Whatsapp,
Instagram, dan website,” tambahnya.

Dengan besarnya permintaan maka tidak heran bila omzet yang didapat Eni cukup besar. Eni mampu
meraup omzet hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya. Bila beruntung, omzet yang didapat bahkan
bisa mencapai ratusan juta rupiah.

“Kalau omzet sih naik turun. Kalau saya mengikuti pameran omzetnya bisa mencapai puluhan juta
bahkan Rp 100 juta. Kalau bulan biasa, tidak mengikuti pameran, paling di atas Rp 20 juta,” ucapnya.

Singkat cerita, produk Wastraloka semakin dikenal banyak orang. Apalagi setelah setahun menjalankan
bisnis ini atau tepatnya di tahun 2015, Eni mulai mendapatkan tawaran untuk mengikuti ajang pameran
kerajinan tangan terbesar di Indonesia, Inacraft.

Eni menceritakan awalnya ia mengalami dilema. Hal ini karena untuk bisa mengikuti ajang Inacraft
2015, ia harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Untungnya, saat itu ia berhasil mendapatkan
modal mengikuti Inacraft 2015 dari uang asuransi.

“Tahun 2015 tiba-tiba ada tawaran untuk ikut Inacraft. Nah untuk modal ke Inacraft itu pas kebetulan
uang saya dari asuransi cair. Jadi bisa digunakan untuk modal ke Inacraft. Kan modal untuk pameran
Inacraft secara mandiri tidak sedikit, sekitar belasan juta. Itu pas saya diajak pas ada permintaan produk
dari customer,” papar Eni.

Eni mengaku beruntung bisa mengikuti ajang Inacraft 2015. Bagi Eni ajang Inacraft 2015 dapat
membantu dirinya membuka pasar kerajinan tangan yang jauh lebih luas. Namun saat mengikuti ajang
ini, Eni mengaku ada sedikit kendala teknis.
“Kita sebenarnya kesulitannya itu akses penyelenggaranya. Kalau awal-awal sebagai pemula atau
pengusaha-pengusaha startup lebih ke informasi persyaratannya. Inacraft kan ada saratnya seperti
harus jadi anggota ASEPHI (Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia),” jelas Eni.

Sukses Diekspor ke Pasar Jepang Hingga Australia

Setelah dua tahun menggeluti bisnis barang kerajinan tangan Wastraloka dan mendapatkan omzet yang
cukup besar, Eni mengaku ingin lebih fokus menggarap bisnisnya. Wanita yang sehari-hari bekerja
sebagai karyawan swasta ini berniat ingin mengundurkan diri dari perusahaannya saat ini.

“Saya sampai sekarang masih kerja kantoran juga dan tengah proses untuk resign karena ingin fokus ke
usaha saya,” tegas Eni.

Sementara itu ketika ditanya mengenai lokasi produksi Wastraloka, Eni mengatakan ia memiliki tempat
workshop kerajinan tangan yang berpusat di kota Yogyakarta. Namun, Wastraloka juga memiliki sebuah
galeri pemasaran di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Dari berbagai macambarang kerajinan tangan yang dihasilkan, Eni mengatakan peminat produknya di
dalam negeri cukup beragam. Pembeli tak hanya datang dari kalangan perorangan atau individu tetapi
juga dari korporasi besar seperti hotel dan restoran.

Tidak hanya itu, produk kerajinan tangan Wastraloka buatan Eni pun sudah dipasarkan ke berbagai
negara. Misalnya pasar Jepang dan Australia.

“Kita berusaha meraup pasar Indonesia. Kita juga sudah ada market di luar negeri, sudah ada di Australia
dan Jepang. Waktu itu yang dikirim ke Jepang konsepnya adalah untuk gift. Nah kalau di Australia, kita
sudah ada kerjasama dengan gallery seni di sana,” ujarnya.

Sedangkan dalam proses pengerjaannya, Eni dibantu oleh 8 orang pegawai. Namun jika permintaan
(order) sedang banyak, Eni juga mempekerjakan 5 orang freelancer.

“Kalau untuk pengrajin kalengnya ada tiga dan ada dua orang yang freelance. Kalau untuk pelukisnya itu
ada 5 orang dan 3 orang yang freelance. Jadi kalau produksi lagi full, kita mempekerjakan freelance
juga,” pungkas Eni.

Anda mungkin juga menyukai