Lahir di Palembang pada tanggal 14 Januari 1991. Di sinilah kisah hidup Dian
Pelangi seorang perempuan dengan bakat yang luar biasa dalam bidang tata
busana dimulai.
Dea Valencia, adalah gadis manis yang sukses besar meskipun baru
berusia 19 tahun. Jika pendapatan kamu per- bulan cuma beberapa juta,
pengusaha cantik ini punya miliaran rupiah yang dihasilkan.
Apa rahasianya? pengusaha cantik Dea Valencia, umurnya baru 19 tahun, tetapi
berkat ketekunan di dunia bisnis batik, sukses dan mampu mengharumkan nama
Indonesia. Diberinya nama bisnis batik budaya, Batik Kultur, kisah batik lawas
yang dipadu- padankan.
Dea pun tak segan berbagi kisah bagaimana dan kapan usahanya ini berjalan.
Sejak usia 16 tahun Dea sudah memiliki ketertarikan terhadapa pola batik.
Namun, ketidak mampuannya membeli batik sendiri membuatnya memutar otak.
Dea lantas membuka- buka kembali lemari, menemukan batik- batik lawas yang
mungkin tak sesuai lagi. Batik- batik lawas yang sudah mulai rusak atau
mungkin tak cukup lagi dipakai. Batik- batik itu dibentangkannya lalu dipotong-
potong.
Ternyata dari pola- pola itu terbentuklah pakaian baru. Inilah cikal- bakal Batik
Kultural. Awal produksinya, Dea hanya membuat 20 potong pakaian. Kini? Ada
800 potong Batik Kultur yang dipasarkan per bulannya.
Dengan harga antara Rp 250.000 - 1,2 juta, nilainya setara Rp 3,5 M per tahun atau
Rp 300 juta per bulan.
Dia benar-benar memulai usahanya dari nol. Bahkan dia sendirilah yang menjadi
model dadakan, kebetulan gadis cantik dan manis ini memang cocok jika menjadi
model profesional.
Pelanggannya saat ini tersebar di seluruh Indonesia maupun luar negeri yang
mayoritas pembelinya dari daerah Jakarta untuk Indonesia. Untuk luar negeri,
jangkauannya sudah bisa sampai ke Australia, Amerika Serikat, Inggris,
Norwegia, Jepang, Belanda, Jerman, dan lainnya.
Saat memulai usahanya itu, Dea hanya bermodalkan sekitar Rp 50 juta. Kini, setiap
bulan ia mampu memproduksi sekira 800 potong pakaian batik. Upah
karyawannya dihitung dengan sistem harian dan dibayarkan setiap bulan.
Bukannya tanpa hambatan bisnis yang dikerjakannya. Pengusaha muda ini pernah
berhenti produksi dan depresi selama berminggu- minggu karena satu masalah hak
paten.
Melihat segala pencapaian Dea sekarang pantaslah kita mengapresiasi. Sulit bagi
kita mempercayai bahwa sukses batik ini ada ditangan seorang gadis 19 tahun yang
kini telah lulus menjadi sarjana komputer.
"Saya dulu nggak tahu kenapa sama ibu 22 bulan udah disekolahkan. Umur lima
tahun udah masuk SD. SMP dua tahun, SMA dua tahu. Jadi itu 15 tahun masuk
kuliah. Tiga setengah tahun kuliah, jadi umur 18 udah lulus," jelas Dea. Meski
masih muda dan memiliki pendapatan miliaran rupiah, Dea tak melupakan
lingkungan sekitar.
Bisnis yang dimulai tiga tahun silam telah memasuki semester ke 4. Hingga saat
ini Dea telah mempekerjakan 36 karyawan, kebanyakan warga sekitar jebolan dari
LPATR (Lembaga Pendidikan Anak Tuna Rungu) kejuruan jahit. Ada juga
beberapa pegawai Dea yang lulusan RC Jebres, Solo, sambung Dea.
Mempekerjakan tunarungu menjadi cerita sendiri bagi perjalanan usaha Dea.
Terlebih lagi, para tunarungu itu bekerja di bagian jahit dan potong, meskipun
kebanyakan dari mereka telah mendapatkan pendidikan kejuruan jahit. Memang
menjadi tantangan tersendiri baginya ketika memilih mempekerjakan mereka.
Dia menceritakan, mulai dari makan, melepas jahitan, menulis, memasukkan
benang ke dalam jarum, hingga mengirim SMS, dia bisa melakukannya sendiri.
Demikian juga dengan Sriwat, gaji pertama Sriwati yang didapatnya dari Dea
seluruhnya dikirimkan ke sang ibu yang berada di desa.
kakak beradik
Berangkat dari hobi sang ayah yang senang membuat pudding lembut
(silky pudding), kedua kakak beradik ini berhasil melihat sebuah peluang
bisnis potensial di ranah kuliner. Tokoh inspiratif Kinibisa kali ini berhasil
memadukan ilmu mereka di bidang Manajemen Bisnis dengan passion
mereka terhadap kuliner. Adrian Christopher Agus dan sang adik Eugenie
Patricia Agus berhasil mendirikan sebuah bisnis dessert yang laris manis di
kalangan anak muda, Puyo Silky Dessert.
Latar Belakang Pendidikan
Sejak sekolah dasar, kedua Co-Founder Puyo ini sepertinya tidak terpisahkan.
Buktinya, keduanya sama-sama bersekolah di tempat yang sama selama 10
tahun lebih. Global Jaya International School di Bintaro menjadi tempat kakak
beradik ini memperoleh pendidikan dasar dan menengah.
Adrian dan Eugenie sama-sama berlatar belakang pendidikan di program studi
Manajemen Bisnis. Walaupun mempelajari hal yang sama, keduanya berkuliah
di kampus yang berbeda.
Adrian berkuliah di Swinburne University of Technology, Melbourne,
menyelesaikan studinya di Universitas Pelita Harapan tahun 2015.
Sedangkan Eugenie (sang adik) terdaftar sebagai mahasiswi di Universitas
Prasetiya Mulya sejak tahun 2013
Bagi Adrian dan Eugenie, ide itu datang dari sang ayah sendiri. “Ide
kreasi pudding ini muncul dari ayah kita yang hobi masak. Beliau
menciptakan pudding yang setelah dicoba ternyata enak. Akhirnya kita
eksperimen terus dan terciptalah Puyo,” ujar Adrian dikutip dari Detik.com
(18/04/2014).
Selain enak, pudding buatan ayah mereka juga sangat ringan. “Mirip seperti Puyo,
tapi ga banyak rasa (puddingnya),” kenang perempuan yang kerap dipanggil Nini
dilansir dari Inspilog (10/04/2016). Setelah tiga bulan melakukan eksperimen dan
riset pasar, Puyo resmi dirilis pada 10 Juli 2013 lewat jejaring sosial Instagram.
Keunggulan Puyo
Dengan modal Rp. 5.000.000 yang diberikan ayahnya, Adrian dan Nini
mempersiapkan bisnis rintisan mereka ini dengan membeli bahan-bahan
untuk memasak dan lemari es. Mereka datang dengan keyakinan yang tinggi
terhadap produk mereka.
Keyakinan itu tidak datang begitu saja dan tanpa alasan yang kuat. Menurut mereka,
Puyo memiliki produk yang unik dengan peluang bisnis yang masih jarang dilihat oleh
orang lain. “Pertama dari teksturnya. Meskipun bentuknya seperti puding, kami
menyebutnya sebagai silky dessert karena teksturnya lebih lembut dari puding. Kedua,
Puyo adalah brand lokal yang punya kelas internasional. Masih banyak yang
menyangka Puyo adalah franchise dari luar negeri.” Papar Adrian kepada Femina
(11/03/2016)
Apa yang dikatakan memang betul adanya. Puyo memiliki tekstur yang jauh lebih
lembut dari pudding pada umumya, Pudding ini juga bisa dibilang unik karena dibalik
teksturnya yang lembut, kemasannya yang terbilang cair ini tidak mudah tumpah jika
cup pudding itu dibalik. Inilah alasan mengapa Puyo disebut dengan silky dessert
Nini juga menambahkan bahwa di Indonesia, brand pudding masih sangat jarang,
berbeda dengan jenis makanan sejenis lainnya seperti eskrim dan donat. Selain itu Nini
juga membanggakan varian Puyo yang mempunyai rasa unik bagi lidah masyarakat
Indonesia kala itu. Hingga saat ini, Puyo sendiri telah memiliki sembilan varian rasa
silky dessert-nya;
Bubble Gum
Hazelnut
Green Tea
Mango
Chocolate
Taro
Lychee
Strawberry
Peach
Puyo dikemas dengan ramping dan sederhana. Cocok untuk mereka yang aktif
dalam beraktifitas dalam keseharian mereka. Kemasannya sangat grab-to-go
sehingga mudah dibawa dan dikonsumsi dimana-mana.
Membangun Puyo Lewat Social Media
Duo kakak beradik ini memutuskan untuk memaksimalkan fitur jejaring sosial
untuk produk mereka. Keputusan ini diambil untuk menghemat biaya operasional
dan promosi sampai mereka mempunyai cukup modal untuk membuka sebuah
store. Penggunaan jejaring sosial Instagram juga dinilai lebih efektif karena
medianya sesuai dengan target pasar mereka yakni anak muda.
Selain lewat Instagram, mereka juga mengandalkan bazar makanan dan acara
kampus sebagai ajang promosi Puyo kepada khalayak yang lebih luas.
Adrian dan Nini sangat memperhatikan detil-detil kecil dari produk mereka.
Mereka sangat serius menggarap Puyo. Pengawasan terhadap bahan, pembuatan,
pengemasan, pemasaran, dan basis pelanggan selalu tak pernah mereka lantarkan
Mereka bahkan merilis kuis interaktif, kompetisi foto dan game mobile apps, Puyo
Play. Semua ditujukkan untuk membentuk sebuah brand attachment masyarakat
terhadap Puyo. Berkat kerja keras mereka, Puyo menjadi kudapan yang disenangi
oleh kaum muda masa kini. Berbagai bazar dan festival makanan kerap mereka
datangi seperti Pop Up Market dan Jakarta Culinary Passport.
Pasca tiga bulan Puyo beredar di publik, mereka telah mampu membuka store
pertama mereka di Living World Alam Sutera. “Kami sadar kalau memang harus
masuk mal untuk mengembangkan bisnis Puyo. Ternyata memang hasilnya jauh
lebih memuaskan dibanding hanya jualan lewat media sosial ataupun bazaar,”
jelas Adrian dikutip dari Femina (11/03/2016)
Menjelang usia mereka yang baru menginjak 25 tahun (Adrian) dan 22 tahun
(Euginie), mereka telah mempunyai 35 outlet Puyo di sekitar Jabodetabek,
Karawang dan Bandung, Akun Puyo di Instagram (@puyodesserts) sendiri telah
diikuti oleh sekitar 67.200 akun. Melihat reaksi publik yang semakin mencintai
produk mereka, kakak-beradik ini merilis sebuah produk baru yang dinamakan
Puyo Silky Drinks dengan lima varian rasa:
Dalam menjalankan bisnisnya, Puyo didukung dan dibangun oleh 13 orang di tim
manajemen dan lebih dari 100 karyawan di divisi sales dan marketing berdasarkan
wawancara Inspilog dengan Nini pada Maret 2016. Di tahun itu, Adrian Agus juga
didapuk sebagai Endeavor Entrepreneur of The Year.
“Adrian was not just satisfy on having a strong presence in the trending food
bazaar, not on moving his business to have permanent presence in malls, not
on making it the business most efficient operations, but he is intending to make
a new classics.” - Endeavor International Selection Panel Panelist 2016.
Puyo telah diliput oleh banyak media massa konvensional dan daring seperti Net TV,
CNN Indonesia, Bakery Magazine, dll. Salah satu momen yang berkesan Puyo bagi
Nini adalah saat dirinya diundang di acara talkshow Kick Andy pada tahun 2015.
"KITA berada di Indonesia tapi justru mati-matian cari barang di luar negeri dengan
harga mahal. Menurut saya itu sama saja tidak menyukuri bahan-bahan yang ada di
Indonesia," -Talita Setyadi, Pastry Chef.
Tumbuh dan besar di Swiss tidak membuat Talita Setyadi lupa akan Indonesia. Pindah
sejak umur 9 tahun, selama 15 tahun di luar negeri, ia pun kembali ke Tanah Air tercinta
setelah berusia 24 tahun dan membuat sebuah terobosan baru di bidang pembuatan kue
atau pastry.
Chef Talita, begitu ia disapa kini, dulunya adalah seorang wanita yang menyukai musik
hingga memilih fokus studi Jazz Performance on Double Bass untuk gelar S1-nya di
New Zealand. Ceritanya hingga menjadi seorang chef berawal dari hobi iseng-isengnya
yang gemar membuat makaron.
"Dulu tuh sebenernya aku cuma iseng-iseng suka bikin makaron, belajar lewat
Youtube," ucapnya sambil tersenyum ketika diwawancarai Okezone, Selasa
(17/10/2017) di Almond Zuchinni, Jakarta.
Sewaktu menggeluti hobi membuat makaron, Talita hanya mendapatkan ilmu dan
pengetahuan membuat kue dari video-video yang ada di Youtube. Lalu, setelah lulus
dirinya semakin tertarik untuk membuat kue.
"Dulu saya hanya suka membuat kue dan membagikan pada teman-teman. Tapi, lama-
lama saya senang melihat orang bahagia dengan wajah yang berbinar-binar setelah
makan kue yang saya buat," ucapnya.
Teman-teman saya bertanya cara membuat kue dan dari situ Talita sadar ternyata ia
juga menaruh passion pada membuat kue, merasa senang bila melihat orang bahagia
dan tersenyum. Ia juga merasa membuat kue sama seperti bermusik, harus kreatif, bisa
membuat orang bahagia dan mampu menghibur orang lain juga.
"Karena aku merasa membuat kue ternyata sama seperti musik yang bisa membuat
orang bahagia, jadi ku putuskan untuk mendalami pembuatan kue. Aku pun memilih
Perancis untuk sekolah kue. Tahun 2010 aku berangkat dan 2011 aku selesai belajar,"
ungkap Talita.
Wanita yang tampak aktif ketika mengajar di workshop Creamlicious Day 2017 ini pun
memiliki misi yang mulia untuk Indonesia. Ia banyak membuat resep-resep kue dari
bahan-bahan asli Indonesia, seperti gula jawa, asam jawa, pisang ambon, pisang kepok,
pandan, kelapa dan lainnya, yang belum pernah ia coba untuk membuat kue. Selain
menggunakan bahan-bahan asli Indonesia, Talita juga selalu menggunakan bahan-
bahan yang alami untuk kue-kuenya.
"Menurut saya, tampilan dan rasa tidak harus terpisah, itu semua bisa menyatu. Misal,
ketika kita melihat kue berwarna kuning maka kita juga bisa merasakan jeruk di
dalamnya, dan ketika melihat kue berwarna merah, kita juga bisa merasakan stoberi
atau rasberi di dalamnya," ucapnya.
5. Fransiska Hadiwidjana (Memulai Bisnis dengan Menciptakan Aplikasi
Pelo)
Iwan Kurniawan dan Reynold Wijaya masuk dalam kategori Finance &
Venture Capital. Dua pria ini adalah pendiri Modalku, startup keuangan yang
bergerak di bidang peer to peer lending. Modalku telah memberikan pinjaman
dana mencapai USD 75 juta untuk UKM di Indonesia.
Model Bisnis
Produk
Kami awalnya harus tahu dulu, benar tidak ada orang yang mau
memasukkan uangnya kepada petani yang tidak mereka kenal dan di tempat
yang juga mereka nggak tahu. Sebelum kami buat versi digital, kami
berkumpul dulu secara offline dengan proyek menanam mentimun dan butuh
Rp7 juta selama 70 hari.
Akhirnya kami berani buat lagi, masih offline walaupun ada secara
grup di WhatsApp . Coba lagi untuk cabai merah, perlu modal Rp60 juta.
Senilai itu biasanya bisa untuk tanah seluas 1 hektare. Itu pun sukses lagi
akhirnya.
Kemajuan lain, tak yang dipakai untuk budi daya jamur ditambah
sehingga panen menjadi lebih banyak. Saya tentu merasa ikut senang bisa
menjadi bagian dari perubahan ekonomi seseorang. Saya magang di salah
satu perusahaan besar di Indonesia, tapi yang saya rasakan malah tidak sabar
untuk mengerjakan pekerjaan yang saya suka (ujarnya).
Saya ingin merasakan lagi apa yang pernah saya rasakan sewaktu
membantu ibu di desa saat PKL. Saya juga mau menyebarkan perasaan
tersebut kepada semua orang karena itu sangat memuaskan hidup. Makanya
tujuan Crowde bukan cuma saat kita ada peluang kita bisa
memanfaatkannya. Namun, ingin melihat lebih banyak senyum di muka
petani. Itu yang menjadi tujuan kami. Simpel saja. Apakah ada 1.000 petani
yang tersenyum lagi? Kalau nggak ada, berarti gagal.
Di Crowde ada investor dan petani yang ingin kami bantu. Petani
tersebut kami pilih melalui analisis. Apakah ini petani bagus atau tidak,
dilihat dari cerita sejarahnya atau background mereka. Kedua, apakah petani
tersebut punya pengetahuan pertanian atau tidak. Contohnya saat hujan,
tepat atau tidak menanam cabai. Kalau tidak tahu, kami akan arahkan. Calon
investor yang mau ikutan bantu bisa masuk website atau aplikasi.
Cukup mudah dan murah. Jadi, investasinya minimal Rp10.000.
Investor lalu bisa memilih siapa petaninya, tanaman apa, dan di mana tempat
penggarapannya. Setelah itu menentukan nilai investasi, kemudian transfer.
Setelah dana terkumpul, kami kasih ke petani. Setiap proyek maksimal enam
bulan. Ada juga yang lama, seperti di peternakan bebek, lele, atau sapi.
Para petani pragmatis kalau tidak ada bukti tidak mau. Mereka tak
terbiasa dengan cara pendanaan baru, jadi harus ada bukti. Namun, kami
coba jelaskan lagi. Ada dua cara pendanaan, yang biasa dan syariah. Kami
jelaskan secara rinci petani mau yang mana. Kalau memilih syariah harus
transparan semua bon belanjanya, kebutuhan tanam harus dikumpulkan.
8. Carline Darjanto (Pengusaha fashion dengan Brand Cotton Ink)
Baru pada 2011, Cotton Ink membuat situs jual belinya sendiri. Lalu 4 tahun
kemudian membuka toko yang berlokasi di Jakarta. Cotton Ink saat ini
memproduksi hingga 8.000 pakaian per bulan untuk konsumen Australia,
Malaysia, Singapura, dan Eropa. Selain itu, produksi ini juga datang dari
280.000 pengikutnya di media sosial.
Jual beli lampu hias adalah pilihan pertama yang dia jalani. Karena
memang dari awal tidak pernah menekuni dunia bisnis, akibatnya bisnis
pertamanya tersebut tidak begitu lancar. Dan tak lama, dia pun tidak lagi
meneruskan usaha jual beli lampu hias, dan akhirnya mencoba berbisnis jual
beli kaos pria. Karena kegigihannya, bisnis penjualan kaos tersebut setiap
bulannya bisa menghasilkan lebih dari 30 juta rupiah. Selanjutnya dia
memutuskan untuk melanjutkan bisnis keduanya, yaitu membuka warung
kopi “Ini Teh Kopi”. Namun dalam waktu tidak sampai 1 tahun bisnis
kopinya menurun sehingga tidak dilanjutkan lagi. Kemudian fokus dan
sepenuh hati meneruskan bisnis jual beli kaos pria. Yasa pun membuat
merek pribadi miliknya yaitu Man’s Republic.
Men’s Republic
Kini, produk Men's Republic telah menjual 500 buah pasang sepatu
per- bulan. Tanpa ada pabrik Yasa mampu menghasilkan omzet ratusan juta
rupiah. Dari usaha tersebut ia mampu mendapatkan laba bersih 40% . Tak
puas pada produknya sekarang, masih ada pemikiran dibenaknya untuk
menjual produk ikat pinggang, dan celana. Yang paling pasti adalah ia akan
terus mematangkan konsep bisnis sambil berjalan.
Sampai dengan sekarang ia masih sering kali gagal, gagal dan gagal
dalam setiap hal yang ia lakukan, karena Yasa percaya bahwa gagal =
belajar. Bahkan ia telah menghabiskan uang puluhan juta rupiah untuk
mengikuti seminar, training dan workshop pengambangan diri dan bisnis.
When you stop learning, you stop growing.
Penghargaan:
Maka tidak heran jika kemudian dia masuk kedalam daftar “30
Under 30 Asia” versi Forbes sebagai wanita berpengaruh di indonesia . Daftar
ini dikhususkan bagi mereka para pengusaha yang berhasil suskses dibawah
usia 30 Tahun.
Tentunya hal ini tidak diraih secara instan, sebab membutuhkan proses yang
panjang sebagaimana juga kisah dewi sartika dan cut nyak dien . Tidak hanya
itu kesuksesan yang diraihnya juga merupakan hasil dari kepekaan sekaligus
kepedulian terhadap lingkungan yang dibalut dalam ide kreatif.
Namanya mulai dikenal saat pertama kali membuka usaha katering makanan
dengan nama “Burgreens”. Mengusung tema menu makanan sehat yang
berbahan dasar nabati dan organik. Siapa sangka bahwa ide ini malah menjadi
salah satu bisnis yang kian berkembang. Ia menuturkan bahwa usaha ini telah
dimulai sejak tahun 2013, namun tentunya masih dalam tahap kecil-kecilan.
Baru pada tahun 2014 Helga memberanikan diri membuka gerainya secara
profesional.
Ide bisnis ini tidak muncul begitu saja, hal ini bermula dari
pengalaman pribadi yang dialami oleh Helga. Dimana sejak kecil ia telah
divonis menderita beberapa penyakit kronis seperti asma, eksim dan sinusitis
sebagaimana tokoh pahlawan wanita indonesia . Sehingga membuatnya rutin
mengkonsumsi obat-obatan kimia, yang pada akhirnya berujung pada masalah
liver dan ginjal. Dari situlah ia kemudian bertekad merubah pola dan gaya
hidup sehat vegetarian dan melalui langkah Natural healing seperti akupuntur
dan self healing.
Tentunya hal ini merupakan tantangan tersendiri terutama bagi bisnis kuliner
sebagaimana cara menjadi wanita tangguh . Hingga saat ini mulai dikenal
tentunya membutuhkan perjuangan dan juga proses yang panjang.
Kini Burgreens mulai dikenal oleh banyak orang, sehingga usaha ini relatif
berjalan mulus. Meskipun hanya menyisir jelas dan kelompok kunsumen
tertentu namun kini Burgreens telah berhasil memiliki pelanggan tetap.
Meskipun masih dibuka di jakarta namun kini Burgreens telah memiliki dua
cabang dan rencananya akan kembali membuka cabang baru. Tentunya hal ini
tidak lepas dari usaha dan kerja keras pemiliknya untuk memberikan sosial
impact kepada para konsumen untuk lebih peduli akan kesehatan.
Itulah tadi Kisah Sukses Helga Angelina Tjahjadi Pemilik Burgreens. Semoga
dapat menjadi inspirasi bagi wanita indonesia untuk terus berkarya
sebagaimana juga cara menjadi ibu rumah tangga yang pintar . Dan semoga
artikel ini dapat bermanfaat.