Anda di halaman 1dari 8

Kisah Nyata Jacob Kusmanto dan Keberhasilan di Bisnis Tekstil

Sumber: Jawaban.com

Jacob Kusmanto adalah seorang pengusaha tekstil yang sukses. Siapa sangka jika
proses kehidupan membuatnya menjadi seorang yang mempunyai jiwa besar.
Suasana kerja yang begitu keras menempa pribadi Jacob semasa kecil. "Tidak bekerja,
tidak makan" itulah salah satu slogan yang dimaknainya ketika itu.

Dahulu Jacob selalu melawan orangtua jika dirinya disuruh bekerja karena itu
orangtuanya lebih sayang kepada saudaranya yang lain ketimbang kepada Jacob.
Kecewa dan iri terhadap orangtuanya yang pilih kasih, Jacob mengikuti bela diri
sebagai salah satu pelariannya.

Bela diri tersebut membuat Jacob mempunyai mental yang tidak takut terhadap
apapun. Namun hal tersebut kadang dipakai untuk membuktikan keberaniannya
dengan berkelahi. Di masa remaja Jacob begitu membuat orangtuanya pusing akibat
dirinya yang suka keluyuran hingga tengah malam. Pertengkaran terhadap orangtua
terutama sang ayah pun kerap terjadi.

Namun suatu hari seorang teman wanita memberi dorongan semangat kepada Jacob
yang kerap frustasi dengan kehidupannya, terutama hubungan dengan orangtua.
Dorongan semangat untuk berubah itulah yang membuat Jacob berbenah diri, namun
dengan pilihan yang sangat kontroversial, yaitu berhenti dari sekolah dan bekerja di
pabrik tekstil kenalan orangtuanya.

Di pabrik inilah Jacob berubah dan mendapat banyak pelajaran hidup. "saya harus
berani untuk menghadapi sesuatu yang baru, yang kedua saya harus belajar untuk
menghargai dan mencintai pekerjaan yang ada, dari kesulitan yang ada mendorong
saya untuk lebih maksimal lagi. Saya di gaji perbulan 40 ribu, tapi saya ingin lebih
memberikan apa yang saya terima," ungkapnya.

Semangat kerja Jacob ditunjukannya untuk mengambil tanggungjawab yang besar.


Dirinya menginginkan bahwa kehidupannya tidak diandalkan dari pekerjaan tersebut.
Namun Jacob ingin menghidupi pekerjaannya. Sikap hidupnya pun diakui seperti
banyak orang pada umumnya. Untuk itu dirinya memacu diri untuk terus belajar dan
belajar.

Kerja keras dan ketekunannya membawanya kepada karier yang lebih baik lagi.
Namun dirinya bertekad untuk membuat usaha tekstil sendiri, modalnya hanya
dengan limbah handuk bekas, yang dia beli dari tempat kerjanya dan didaur ulang
untuk dijual. Usahanya pun membuahkan hasil. Dengan keyakinannya, tahun demi
tahun terlewati dengan keberhasilan.

Latar belakang yang buruk tidak membuat Jacob merasa minder untuk meraih masa
depannya. Kalau dulu di dianggap sampah masyarakat, kini dirinya adalah pengusaha
yang berhasil dengan tujuh perusahaan tekstil yang ia bangun dan melayani berbagai
daerah di Indonesia.

Jacob pun tetap menyadari bahwa keberhasilannya adalah buah campur tangan dan
perkenanan Tuhan terhadap dirinya. "saya melihat bahwa itu karya Allah yang begitu
luar biasa. Allah yang sudah membawa saya akan mampu membawa saya lebih jauh
lagi, karena saya merasa campur tangan Tuhan begitu besar sekali, sampai saya bisa
duduk menjadi pengusaha.

Sumber

https://www.jawaban.com/read/article/id/2013/4/10/9/130410154011/Kisah-Nyata-
Jacob-Kusmanto-dan-Keberhasilan-di-Bisnis-Tekstil.html
Edie, Meraup Rupiah dengan Mengolah Bonggol Jagung

Tak pernah terlintas sebelumnya, jika limbah bonggol jagung bisa menghasilkan
industri kreatif yang menjadi sumber penghasilan. Adalah Edie Junedi, yang
memanfaatkan limbah bonggol jagung menjadi aneka macam kerajinan cantik, seperti
kap lampu, sketsel, tatakan gelas, tempat tisu, anyaman tas, cooler laptop, sampai tas
laptop.

Edie mengisahkan, awal mulanya tercetus ide membuat kerajinan ini didapatnya dari
seorang teman. "Waktu itu kalau nggak salah tahun 2008, ada teman ngasih vas
bunga. Saya kaget, ternyata vas bunga itu terbuat dari bonggol jagung," kenang pria
yang berusia 56 tahun ini, ketika ditemui Kompas.com di rumahnya, di wilayah
Kedung Halang, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (26/9/2014).

Ia pun mulai mencoba untuk berkreasi memanfaatkan bonggol jagung tersebut.


Namun, ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Kegagalan demi
kegagalan harus dialaminya selama dua tahun. Edie tidak tahu bagaimana cara untuk
mengeraskan bonggol jagung yang bersifat rapuh.

"Banyak masalah ketika itu. Pertama, nggak ada yang ngajarin saya buat kerajinan ini.
Kedua, susah nanya karena nggak ada orang yang tahu. Kalau mau nanya, ya nanya ke
diri sendiri," ucapnya.

Menurut ayah dari empat anak ini, kerajinan yang terbuat dari limbah organik
terbilang susah, karena disitu hidup unsur hara atau mikro organisme. "Kalau tidak
teliti, ya nantinya akan tumbuh jamur-jamur di bonggol jagung itu," katanya.

Perlahan namun pasti, pria yang juga menduduki sebagai salah satu pengurus
Himpunan Pengrajin Anyaman Indonesia (Hipando) ini, mulai menemukan jawaban
dari semua kegagalan yang pernah dialaminya. Menurut Edie, yang terpenting adalah
harus mengenal karakteristik jagung.

"Jadi jenis jagung yang ada di Indonesia hanya ada dua secara kategori besar, yaitu
jagung hybrida atau pioner, dan jagung manis atau sweet corn. ini juga tergantung
pola pemanenannya, karena yang kita butuhkan adalah bonggolnya," jelas Edie.

Ia terus melakukan penelitian terhadap jagung yang akan digunakan sebagai bahan
baku pembuatan kerajinannya. "Saya cari jagung yang dipanen dalam keadaan basah.
Artinya dikeringkan dengan dijemur dibawah sinar matahari atau diasap. Karena
mikro organisme yg ada didalam bonggol jagung itu belum dalam keadaan hidup.
Kemudian, saya lakukan treatment. Dicampur dengan bahan campuran yang saya
racik sendiri agar bisa kuat dan tahan lama," paparnya.

Kini, hasil jerih payahnya menuai keberhasilan. Eddie pun kerap dibanjiri pesanan.
Harganya pun bervariasi, mulai termurah Rp 100.000 hingga termahal mencapai Rp 3
juta.

Kerajinan olahan dari bonggol jagung yang dibuat Edie pun menyasar hingga manca
negara. Amerika, Eropa, dan Asia, sudah mengenal kerajinan tangannya. Bahkan,
beberapa media internasional pun pernah datang ke shoowroom miliknya untuk
mewawancarai.

Namun ironisnya, meski namanya sudah terkenal di luar negeri, namun Edie merasa di
kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Terlebih di kota Bogor, tempat dimana
ia memproduksi hasil kerajinannya.

"Sampai saat ini pemerintah kota Bogor belum memberikan support yang berarti.
Makanya, dalam produk yang saya buat, saya nulis bukan kerajinan asli bogor tapi
kerajinan asli Indonesia," imbuh pria yang pernah menggeluti usaha di bidang limbah
kayu.

Kini, kesibukkannya selain membuat kerajinan dari bonggol jagung, ia kerap


memberikan pelatihan-pelatihan di seluruh Indonesia. "Saya sering diundang ke luar
daerah untuk memeberikan pelatihan-pelatihan. Lebih baik saya memberikan ilmu
kepada orang banyak, daripada harus ikut pameran-pameran yang harus keluar uang
banyak. Paling kalau ada pesenan baru saya kerjakan," tutur Edie.

Edie berharap, buah tangan kerajinannya bisa lebih mendunia lagi dan mampu
bersaing dengan produk-produk asing. "Nantinya, yang akan meneruskan usaha ini
adalah anak-anak saya. Saya pun berharap kepada anak-anak muda di Indonesia bisa
menciptakan hasil karya yang unik dengan bahan baku lokal asli Indonesia," katanya.

Sumber
https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/30/063100926/Edie.Meraup.Rupi
ah.dengan.Mengolah.Bonggol.Jagung.
Penulis : Kontributor Bogor, Ramdhan Triyadi Bempah
Nuryanto, Aneka Kerajinan Berbahan Limbah dan Barang Bekas-nya
Sukses Tembus Eropa dan Amerika

Bagi Nuryanto (36), tak pernah ada kata mati dalam berkreasi membuat kerajinan
tangan. Di tangannya, kreativitas pun tidak berhenti dengan terus menciptakan
barang-barang luar biasa dan barang-barang bekas, limbah yang tidak “biasa”, seperti
stik es krim, sisa kayu .

Dari erosi Bukit Menoreh, dan yang terakhir memanfaatkan abu dari Gunung Merapi.
Sejak membuka bisnis usaha kerajinan tahun 1999 hingga saat ini, galeri yang dlberi
nama Lidiah Art di Dusun Jowahan. Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur,
Kabupaten Magelang, telah memiliki 1.780 jenis karya seni.

Produk kerajinan yang dihasilkan Nuryanto, antara lain miniatur candi, gantungan
kunci, dan setir mobil. Ada juga gelang-gelang cantik berbahan fiber glass yang kerap
dipakai artis penyanyi Maia Estianty, hingga akhirnya populer dengan nama gelang
artis.

Seiring dengan waktu, ide dan kreativitasnya terus bertambah dan berganti-ganti.
Dengan cara itu, dia pun tidak khawatir hasi1 karyanya yang tidak dipatenkan ini ditiru
orang.

“Yang meniru mungkin akan pusing sendiri karena hampir setiap bulan saya selalu
membuat kreasi yang berbeda-beda bentuk, jenis, dan berbeda pula bahan bakunya,”
ujarnya terkekeh.

Bahan baku yang telah dipakainya saat ini antara lain adalah flber glass, kayu, limbah
kuningan, pasir, gabus, dan abu Merapi. Untuk setiap bahan baku, dia bisa membuat
ribuan jenis benda yang berbeda balk bentuk maupun fungsinya. Nuryanto
mengatakan, kreativitasnya membuat aneka barang kerajinan ini dimulai saat dia
masih kelas V SD. Ketika itu, Nuryanto kecil yang terbiasa melihat kedatangan
turis-turis ke Candi Borobudur mencoba membuat mainan-mainan kecil untuk dijual
sebagai suvenir. Bahan eksperimennya saat itu adalah kaleng susu bekas. “Waktu itu
saya bahkan bekerja sama dengan para pemulung yang berperan sebagai pemasok
kaleng susu bekas,” ujarnya.

Mainan-mainan kecil seperti mobil-mobilan ini ternyata laku dijual. Setelah itu, dia
pun terus berkreasi, bereksperimen memanfaatkan benda-benda lain. Kebiasaan itu
terus berlanjut hingga SMA. Sembari berkarya, dia mencoba mendapatkan ilmu
pengetahuan tentang seni, desain, dim teknologi pengolahan logam di berbagai
tempat seperti di Ubud Bali, Institut Seni Indonesia Yogyakarta dan di Pusat
Pengembangan Penataran Guru Kesenian Yogyakarta. Semua pelatihan diikutinya
dalam waktu singkat. Meski demikian, tak pernah ada latar belakang pendidikan
formal bagi Nuryanto. Pengetahuan tentang desain pun diketahuinya dengan bekerja
sebentar di sebuah pabrik keramik di Tangerang.

“Saya hanya ingin mengetahui sedikit ilmu dan lebih banyak meluangkan waktu untuk
mengimplementasikannya,” ujarnya

Setelah merasa mendapatkan cukup pengetahuan dan keterampilan, tahun 1999 dia
pun membuka usaha kerajinan tangan dengan bermodalkan Rp 47.000. Dia dibantu
dua karyawan.

Dari hasil pendekatannya dengan turis-turis asal Singapura yang datang ke Candi
Borobudur, dia pun mendapatkan pesanan miniatur candi dan beragam suvenir senilai
Rp 190 juta. Upaya ini dilanjutkan dengan mendekati biro-biro travel dan dia pun
sukses mendapatkan pesanan suvenir untuk rombongan haji.

“Belakangan, saya pun jadi kaget sendiri. Dari modal Rp 47.000, saya sudah
mendapatkan pesanan senilai Rp 200 juta lebih,” ujarnya. Kendatipun awalnya terasa
mustahil, berbagai pesanan berhasil dipenuhinya sesuai permintaan.

Ide Nuryanto pun muncul seiring dengan kebutuhan masyarakat. Bapak tiga anak ini
pun kerap berjalan-jalan, membaca koran, dan berupaya menangkap peluang usaha
dari peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya. Saat ada wisuda taruna di Akademi
Militer (Akmil) misalnya, dia pun menawarkan kepada Akmil untuk membuat
kenang-kenangan bagi para wisudawan berbahan fiber glass.

Saat terjadi booming tanaman anthurium jenis gelombang cinta, dia pun mencoba
membuat tiruan daun gelombang cinta berbahan kayu, yang berfungsi sebagai tempat
buah.

OLEH: REGINA RUKMORINI

Sumber: Harian Kompas cetak, Sabtu, 6 Agustus 2011

https://wirasmada.wordpress.com/2012/10/20/nuryanto-aneka-kerajinan-berbahan-l
imbah-dan-barang-bekas-nya-sukses-tembus-eropa-dan-amerika/
Pasutri Ini Sukses 'Menyulap' Sampah Kayu Jadi Rupiah

Jakarta - Sepak terjang pasangan suami istri (Pasutri) asal Malang, Hery dan Retno
patut menjadi inspirasi bagi pasangan lainnya. Pasutri ini sukses menjalankan bisnis,
pengolahan sampah kayu, mungkin bagi banyak orang benda tersebut tak bernilai.

Hery dan Retno merupakan pasutri asal Malang, Jawa Timur yang mampu
memaksimalkan bahan kayu bekas pabrik mebel dan furnitur yang tidak terpakai
menjadi desain-desain hiasan kayu yang unik seperti tempat pensil, tempat gulungan
tisu, boneka kayu dan gantungan baju. Namun proses keduanya menjadi pengusaha
dengan omset Rp 30-50 juta/bulan, dilewati dengan kerja keras.

"Saya memulai bisnis ini tahun 1992 dimulai dari limbah pabrik kayu perusahaan
mebel yang tidak terpakai. Kemudian kita desain dan kita pasarkan," ungkap Retno
kepada detikFinance di JCC Senayan Jakarta, Kamis (13/12/2012).

Retno menuturkankan ketika memulai bisnisnya pertama kali, tidak membutuhkan


modal. Awalnya usahanya pun masih belum berkembang karena ketidaktahuan
mereka pada produk kayu yang disukai masyarakat.

"Saya nggak modal karena pakai limbah pabrik itu dan pengerjaan kita menggunakan
gergaji pabrik di Malang. Dahulu kita masih melihat-lihat dan laku di pasaran tidak.
acara pertama Expo pembangunan di Malang kita pamerkan produk kita. Dari acara
itu kita mendapat masukan bentuk produk yang laku dan bermanfaat dipasaran.
Tahun 1992 omset masih Rp 100.000 itupun jika ada acara saja," tuturnya.

Dari pengalaman itu, Hery dan Retno kemudian mengubah desain pada produk kayu
yang dibuatnya. Tahun 1995, mereka menambahkan desain buah-buahan seperti
strawberry dan terus menambah desain pada tahun yang sama. Selain itu perluasan
pasar kembali dilakukan walaupun belum masih lingkup Kota Malang Jawa Timur.

"Lama-lama kita tahu pasarnya, kemudian kita beli kayu gelondongan jenis Pinus atas
izin Perhutani dan hasil produksinya saya titipkan ke toko-toko dan koperasi. Tahun
1995 kita memberikan motif strawberry dan tahun berikutnya kita terus menambah
model," imbuhnya.

Masa puncak bisnisnya terjadi pada tahun 2003, produk Hery dan Retno dilirik pasar
Malaysia dan Jamaika. Akhirnya inilah pengalaman mereka untuk melakukan ekspor
dan hasilnya negatif. Menurutnya tidak ada kesepakatan harga dan penipuan yang
dilakukan eksportir membuat mereka menghentikan ekspor produknya ke Jamaika
dan Malaysia.

"Tahun 2003 kita merambah pasar internasional yaitu Jamaika dan Malaysia ada order
sekitar Rp 25 juta dari Jamaika dan Kuala Lumpur Rp 25 juta. Setelah itu tidak ada
kesepakatan harga dan kami berhenti. Selain itu saya juga rugi imateril tenaga kerja.
Saya juga belum siap dan saya pernah tertipu lewat eksportir di Bali hingga kami harus
menutupi kekurangan yang ada," katanya.

Sejak saat itu, Heri dan Retno lebih konsentrasi untuk merambah pasar domestik.
Hasilnya tidak sia-sia. Saat ini keduanya mampu meraup omset hingga Rp 30-50 juta
per bulan. Harga juga beragam mulai dari Rp 10.000 hingga jutaan rupiah. Produk
yang dijual seperti tempat pensil, tempat gulungan tisu, boneka kayu dan gantungan
baju.

"Nggak mahal produk kami dari Rp 10.000 hingga jutaan rupiah itu untuk desain
khusus. Omset pendapatan per bulan Rp 30 juta. Musim pameran dan pernikahan
omset saya lebih dan bisa mencapai Rp 50 juta. Januari nanti sudah mulai banyak
pemesanan. Rumah saya di Gondosuli Malang sering dijadikan tempat kunjungan. Ini
kayu pinus dari Malang dan saya sudah tahu peluang ini baik ke depan," tutupnya.

Sumber

https://finance.detik.com/solusiukm/d-2118464/pasutri-ini-sukses-menyulap-sampah
-kayu-jadi-rupiah

Anda mungkin juga menyukai