Anda di halaman 1dari 11

EKMO51

NASKAH UAS-THE
UJIAN AKHIR SEMESTER-TAKE HOME EXAM
(THE) UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2021/22.2 (2022.1)

Perilaku Organisasi
EKMO5101
No. Soal Skor
1. JATUH BANGUNNYA EDY ONGKOWIJAYA MEMBANGUN BISNIS KULINER DI SINGAPURA 40

Hidup senang pernah dirasakan Edy Ongkowijaya sebagai anak yang terlahir dari keluarga
pengusaha otomotif. Hingga kemudian ia diminta orang tuanya tidak melanjutkan sekolahnya di
Singapura karena bisnis ayahnya bangkrut. justru bangkrutnya bisnis orang tuanya jadi titik balik
dalam hidupnya. Inilah yang mendorongnya berusaha sendiri. Pria kelahiran 1977 ini mulai
tinggal di Negeri Singa itu sejak usia 18 tahun (1993) ketika ia melanjutkan sekolah lanjutan di
sana. Siapa sangka, jatuh bangunnya membangun bisnis serta keprihatinannya membuahkan
hasil. Kini, ia sukses bisnis kuliner hingga merambah 5 negara. Jaringan resto D'Penyetz yang
dimilikinya saat ini telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan
Myanmar. Tahun 2019 akan melebarkan sayap ke negara ke 6 yaitu Australia.

Edy menceritakan, setahun setelah ia hijrah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah, usaha
otomotif milik ayahnya bangkrut. “Saya sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tua
karena sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Saya tolak permintaan mereka, saya memilih
melanjutkan sekolah dengan usaha sendiri,” kenangnya. Mulailah penderitaan hidup dirasakan
anak kedua dari 3 bersaudara ini. Yang dulunya tidak pernah merasakan hidup susah, apalagi
saat itu teman- temannya di Singapura kebanyakan dari anak keluarga berada. Bukan hanya
harus membiayai hidup dan uang sekolah, Edy harus mengirim uang belanja ke orang tuanya
dan membantu adik perempuannya bersekolah juga di Jakarta. Apapun pekerjaan halal
dilakukan agar bisa tetap menuntut ilmu di Singapura. “Pernah saya kerja di empat tempat.
Pekerjaan sebagai tukang cuci piring dan waiter di restoran dan hotel sempat dilakoninya,”
ungkapnya. Selain itu ia juga menjadi guru les privat dan melatih badminton dasar untuk anak
SD. Untuk tempat tinggal, pernah beberapa kali ia terpaksa menumpang di rumah temannya.
Tak hanya itu, Edy juga pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya
dengan mengandalkan uang 50 cents dalam hidupnya. Atau bila di rupiahkan berarti sekitar Rp
5.000 (kurs sekarang). Untuk mengisi perut setelah selesai kuliah, misalnya, ia harus
mengandalkan kemurahan hati pemilik kantin di sekolah untuk membungkus sisa lauk yang mau
dibuang. Bahkan, Edy pernah makan mie instan dan roti tawar selama hampir 1 bulan lamanya.
Hampir-hampir Edy patah semangat manakala dirinya mempunyai seorang pacar dari kalangan
orang yang sangat berada. Namun, rupanya orang tua sang Orang tua sang kekasih tidak
merestui jalinan kasih pasangan ini. "Waktu masih susah, saya pernah pacaran dengan anak
orang berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang tidak akan pernah bisa saya
lupa. Katanya, kamu mau kasih makan apa anak saya? Mulai sekarang kamu tidak boleh
berhubungan dengan anak saya lagi!” kenangnya. Tapi, penghinaan itu justru jadi pelecut
semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur double decker saya. Setiap
kali buka mata dan merasa sangat capek, atau ketika serasa mau menyerah, begitu saya lihat
foto ibu pacarnya langsung saya semangat kembali mengingat hinaannya,” ujarnya. Ada satu
prinsip hidup yang dipegang teguh Edy saat itu yang dipesan oleh ayahnya, yaitu apa yang
direndahkan oleh manusia, suatu hari akan ditinggikan oleh Tuhan. Satu poin penting yang bisa
dipetik, meski dalam keadaan sederhana dirinya tidak merasa minder atau gengsi.

1 dari
EKMO51
Pada tahun 2000, Edy lulus kuliah dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing. Dia
sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan pas pasan ,
ia bisa membawa adik perempuannya ke Singapura untuk melanjutkan kuliah. Edy hanya
bertahan tiga tahun kerja di perusahaan tersebut. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya.
Disuruh diam duduk di depan komputer nggak betah," ujarnya. Hingga pada tahun 2004, Edy
tertarik untuk membuka bisnis waralaba Es Teler 77 di Far East Plaza (Orchard Road). Modal
diperoleh dari seorang kenalan untuk membeli waralaba ini dan berjalan dengan sukses. Hingga
pada suatu saat di tahun 2006 Edy melepas bisnis Es Teler 77 dan memulai ayam penyet
dengan salah satu brand waralaba di Lucky Plaza (Orchard Road). Berkat usaha gigihnya dan
koneksi dengan media Singapura, dalam waktu singkat ayam penyet menjadi sensasi dan
semakin dikenal masyarakat Singapura. Pelanggan yang ingin makan di restorannya sampai
harus rela antri. Hal ini pun jadi sensasi baru bagi usahanya. Karena kesuksesan usahanya ini
juga, pihak kampus tempatnya kuliah Nanyang Polytechnic dan beberapa asosiasi lainnya di
Singapura sering mengundangnya untuk berbagi ilmu mengenai entrepreunership.

Membesarkan D'Penyetz

Gelombang hidup kembali lagi melanda ketika kemitraan berujung perpisahan. Tidak hanya
sekali tapi hingga 2 kali. “Di kemitraan yang kedua lebih parah, karena bareng dengan 2 teman
lama dulu seangkatan sekolah ketika secondary school. Semua perjuangan berakhir sia sia.
Selama 2 tahun tidak ada laporan pembukuan dan pembagian dividen,” ungkapnya. Tapi setiap
kejadian selalu memberi hikmah dan banyak pelajaran yang dipetik untuk menjadi modal hidup.
Berawal dari semangat mendirikan usaha sendiri akhirnya pada tahun 2009 Edy memutuskan
untuk membuka usahanya sendiri dengan nama Dapur Penyet yang awalnya hanya berawal dari
gerai foodcourt yang ada di Jurong Point Mall. Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir
ikut melakukan semua tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia
juga bertugas di dapur, di counter,closing cleaning dan membuang sampah. Ia selalu katakan
kepada karyawannya, “You don’t work for me, but you work WITH me”, sehingga banyak
pegawai yang setia kepadanya karena kerendahan hati dan semangatnya dalam berusaha. Satu
kunci yang ia lakukan, work hard dan semangat baja. Edy terus berusaha tanpa lelah untuk
membangun D'Penyetz untuk menjadi restoran Indonesia yang bisa mendunia nantinya.
Usahanya pun tak sia-sia. Kini, D'Penyetz sudah memiliki lebih dari 100 outlet dan tersebar di
lima negara. Impiannya untuk bisa mewakili dan membawa kuliner Indonesia untuk go global.

Untuk negara berikutnya D'Penyetz akan masuk ke Australia (Melbourne) dan target ke
depannya adalah Amerika Serikat, Canada dan Timur Tengah. Selain dari brand D'Penyetz Edy
bersama tim juga menaungi beberapa brand lain yaitu D'Bakso, D'Cendol. D'Minang dan sedang
progress untuk beberapa inovasi baru untuk visi ke depannya termasuk membangun Culinary &
Hospitality Training Centre di Indonesia. Meski telah sukses, Edy tetap menjadi sosok sederhana
dan selalu membimbing dan mengembangkan setiap karyawannya untuk bisa maksimal.
Kegiatan bakti sosial dan penyantunan ke yayasan yatim piatu sering dilakukan bersama dengan
timnya.

Bagi seorang Edy, semua liku liku kehidupan dan cemohan adalah modal utama untuk bisa
menjadi kisah sukses nantinya. “Ingatlah apa yang direndahkan oleh manusia, suatu hari pasti
akan ditinggikan oleh Tuhan. Hormatilah dan bahagiakanlah juga orang tua yang melahirkan kita.
Doa ibu adalah doa yang sangat ampuh mujarab dan paling berharga di mata Tuhan,” pesannya.

Sumber: Herning Banirestu-November 16, 2018

Editor: Eva Martha Rahayu

2 dari
EKMO51

www.swa.co.id

Pertanyaan:
Dari kasus di atas Anda diminta untuk:
a. Menganalisis dimulai dari tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Edy, karakteristik biografi,
kepribadian Edy yang seperti apa sehingga bisa melewati proses karir tersebut.
b. Bagaimana keterkaitannya dengan Job engagement atau keterkaitan kerja, stres yang
dihadapi dan motivasi kerja apa yang membuat Edy menjadi bangkit dan bersemangat
kembali kaitkan dengan teori dan materi yang sesuai.

2. JATUH BANGUNNYA EDY ONGKOWIJAYA MEMBANGUN BISNIS KULINER DI SINGAPURA 30

Hidup senang pernah dirasakan Edy Ongkowijaya sebagai anak yang terlahir dari keluarga
pengusaha otomotif. Hingga kemudian ia diminta orang tuanya tidak melanjutkan sekolahnya di
Singapura karena bisnis ayahnya bangkrut. justru bangkrutnya bisnis orang tuanya jadi titik balik
dalam hidupnya. Inilah yang mendorongnya berusaha sendiri. Pria kelahiran 1977 ini mulai
tinggal di Negeri Singa itu sejak usia 18 tahun (1993) ketika ia melanjutkan sekolah lanjutan di
sana. Siapa sangka, jatuh bangunnya membangun bisnis serta keprihatinannya membuahkan
hasil. Kini, ia sukses bisnis kuliner hingga merambah 5 negara. Jaringan resto D'Penyetz yang
dimilikinya saat ini telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan
Myanmar. Tahun 2019 akan melebarkan sayap ke negara ke 6 yaitu Australia.

Edy menceritakan, setahun setelah ia hijrah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah, usaha
otomotif milik ayahnya bangkrut. “Saya sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tua
karena sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Saya tolak permintaan mereka, saya memilih
melanjutkan sekolah dengan usaha sendiri,” kenangnya. Mulailah penderitaan hidup dirasakan
anak kedua dari 3 bersaudara ini. Yang dulunya tidak pernah merasakan hidup susah, apalagi
saat itu teman- temannya di Singapura kebanyakan dari anak keluarga berada. Bukan hanya
harus membiayai hidup dan uang sekolah, Edy harus mengirim uang belanja ke orang tuanya
dan membantu adik perempuannya bersekolah juga di Jakarta. Apapun pekerjaan halal
dilakukan agar bisa tetap menuntut ilmu di Singapura. “Pernah saya kerja di empat tempat.
Pekerjaan sebagai tukang cuci piring dan waiter di restoran dan hotel sempat dilakoninya,”
ungkapnya. Selain itu ia juga menjadi guru les privat dan melatih badminton dasar untuk anak
SD. Untuk tempat tinggal, pernah beberapa kali ia terpaksa menumpang di rumah temannya.
Tak hanya itu, Edy juga pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya
dengan mengandalkan uang 50 cents dalam hidupnya. Atau bila di rupiahkan berarti sekitar Rp
5.000 (kurs sekarang). Untuk mengisi perut setelah selesai kuliah, misalnya, ia harus
mengandalkan kemurahan hati pemilik kantin di sekolah untuk membungkus sisa lauk yang mau
dibuang. Bahkan, Edy pernah makan mie instan dan roti tawar selama hampir 1 bulan lamanya.
Hampir-hampir Edy patah semangat manakala dirinya mempunyai seorang pacar dari kalangan
orang yang sangat berada. Namun, rupanya orang tua sang Orang tua sang kekasih tidak
merestui jalinan kasih pasangan ini. "Waktu masih susah, saya pernah pacaran dengan anak
orang berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang tidak akan pernah bisa saya
lupa. Katanya, kamu mau kasih makan apa anak saya? Mulai sekarang kamu tidak boleh
berhubungan dengan anak saya lagi!” kenangnya. Tapi, penghinaan itu justru jadi pelecut
semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur double decker saya. Setiap
kali buka mata dan merasa sangat capek, atau ketika serasa mau menyerah, begitu saya lihat
foto ibu pacarnya langsung saya semangat kembali mengingat hinaannya,” ujarnya. Ada satu
prinsip hidup yang dipegang teguh Edy saat itu yang dipesan oleh ayahnya, yaitu apa yang
direndahkan oleh manusia, suatu hari akan ditinggikan oleh Tuhan. Satu poin penting yang bisa
dipetik, meski dalam keadaan sederhana dirinya tidak merasa minder atau gengsi.

3 dari
EKMO51
Pada tahun 2000, Edy lulus kuliah dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing. Dia
sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan pas pasan ,
ia bisa membawa adik perempuannya ke Singapura untuk melanjutkan kuliah. Edy hanya
bertahan tiga tahun kerja di perusahaan tersebut. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya.
Disuruh diam duduk di depan komputer nggak betah," ujarnya. Hingga pada tahun 2004, Edy
tertarik untuk membuka bisnis waralaba Es Teler 77 di Far East Plaza (Orchard Road). Modal
diperoleh dari seorang kenalan untuk membeli waralaba ini dan berjalan dengan sukses. Hingga
pada suatu saat di tahun 2006 Edy melepas bisnis Es Teler 77 dan memulai ayam penyet
dengan salah satu brand waralaba di Lucky Plaza (Orchard Road). Berkat usaha gigihnya dan
koneksi dengan media Singapura, dalam waktu singkat ayam penyet menjadi sensasi dan
semakin dikenal masyarakat Singapura. Pelanggan yang ingin makan di restorannya sampai
harus rela antri. Hal ini pun jadi sensasi baru bagi usahanya. Karena kesuksesan usahanya ini
juga, pihak kampus tempatnya kuliah Nanyang Polytechnic dan beberapa asosiasi lainnya di
Singapura sering mengundangnya untuk berbagi ilmu mengenai entrepreunership.

Membesarkan D'Penyetz

Gelombang hidup kembali lagi melanda ketika kemitraan berujung perpisahan. Tidak hanya
sekali tapi hingga 2 kali. “Di kemitraan yang kedua lebih parah, karena bareng dengan 2 teman
lama dulu seangkatan sekolah ketika secondary school. Semua perjuangan berakhir sia sia.
Selama 2 tahun tidak ada laporan pembukuan dan pembagian dividen,” ungkapnya. Tapi setiap
kejadian selalu memberi hikmah dan banyak pelajaran yang dipetik untuk menjadi modal hidup.
Berawal dari semangat mendirikan usaha sendiri akhirnya pada tahun 2009 Edy memutuskan
untuk membuka usahanya sendiri dengan nama Dapur Penyet yang awalnya hanya berawal dari
gerai foodcourt yang ada di Jurong Point Mall. Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir
ikut melakukan semua tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia
juga bertugas di dapur, di counter,closing cleaning dan membuang sampah. Ia selalu katakan
kepada karyawannya, “You don’t work for me, but you work WITH me”, sehingga banyak
pegawai yang setia kepadanya karena kerendahan hati dan semangatnya dalam berusaha. Satu
kunci yang ia lakukan, work hard dan semangat baja. Edy terus berusaha tanpa lelah untuk
membangun D'Penyetz untuk menjadi restoran Indonesia yang bisa mendunia nantinya.
Usahanya pun tak sia-sia. Kini, D'Penyetz sudah memiliki lebih dari 100 outlet dan tersebar di
lima negara. Impiannya untuk bisa mewakili dan membawa kuliner Indonesia untuk go global.

Untuk negara berikutnya D'Penyetz akan masuk ke Australia (Melbourne) dan target ke
depannya adalah Amerika Serikat, Canada dan Timur Tengah. Selain dari brand D'Penyetz Edy
bersama tim juga menaungi beberapa brand lain yaitu D'Bakso, D'Cendol. D'Minang dan sedang
progress untuk beberapa inovasi baru untuk visi ke depannya termasuk membangun Culinary &
Hospitality Training Centre di Indonesia. Meski telah sukses, Edy tetap menjadi sosok sederhana
dan selalu membimbing dan mengembangkan setiap karyawannya untuk bisa maksimal.
Kegiatan bakti sosial dan penyantunan ke yayasan yatim piatu sering dilakukan bersama dengan
timnya.

Bagi seorang Edy, semua liku liku kehidupan dan cemohan adalah modal utama untuk bisa
menjadi kisah sukses nantinya. “Ingatlah apa yang direndahkan oleh manusia, suatu hari pasti
akan ditinggikan oleh Tuhan. Hormatilah dan bahagiakanlah juga orang tua yang melahirkan kita.
Doa ibu adalah doa yang sangat ampuh mujarab dan paling berharga di mata Tuhan,” pesannya.

Sumber: Herning Banirestu-November 16, 2018

Editor: Eva Martha Rahayu

4 dari
EKMO51

www.swa.co.id

Pertanyaan:
Analisislah komunikasi yang dilakukan Edy dan bagaimana gaya kepemimpinannya, kaitkan
dengan teori yang sesuai.
3. JATUH BANGUNNYA EDY ONGKOWIJAYA MEMBANGUN BISNIS KULINER DI SINGAPURA 20

Hidup senang pernah dirasakan Edy Ongkowijaya sebagai anak yang terlahir dari keluarga
pengusaha otomotif. Hingga kemudian ia diminta orang tuanya tidak melanjutkan sekolahnya di
Singapura karena bisnis ayahnya bangkrut. justru bangkrutnya bisnis orang tuanya jadi titik balik
dalam hidupnya. Inilah yang mendorongnya berusaha sendiri. Pria kelahiran 1977 ini mulai
tinggal di Negeri Singa itu sejak usia 18 tahun (1993) ketika ia melanjutkan sekolah lanjutan di
sana. Siapa sangka, jatuh bangunnya membangun bisnis serta keprihatinannya membuahkan
hasil. Kini, ia sukses bisnis kuliner hingga merambah 5 negara. Jaringan resto D'Penyetz yang
dimilikinya saat ini telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan
Myanmar. Tahun 2019 akan melebarkan sayap ke negara ke 6 yaitu Australia.

Edy menceritakan, setahun setelah ia hijrah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah, usaha
otomotif milik ayahnya bangkrut. “Saya sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tua
karena sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Saya tolak permintaan mereka, saya memilih
melanjutkan sekolah dengan usaha sendiri,” kenangnya. Mulailah penderitaan hidup dirasakan
anak kedua dari 3 bersaudara ini. Yang dulunya tidak pernah merasakan hidup susah, apalagi
saat itu teman- temannya di Singapura kebanyakan dari anak keluarga berada. Bukan hanya
harus membiayai hidup dan uang sekolah, Edy harus mengirim uang belanja ke orang tuanya
dan membantu adik perempuannya bersekolah juga di Jakarta. Apapun pekerjaan halal
dilakukan agar bisa tetap menuntut ilmu di Singapura. “Pernah saya kerja di empat tempat.
Pekerjaan sebagai tukang cuci piring dan waiter di restoran dan hotel sempat dilakoninya,”
ungkapnya. Selain itu ia juga menjadi guru les privat dan melatih badminton dasar untuk anak
SD. Untuk tempat tinggal, pernah beberapa kali ia terpaksa menumpang di rumah temannya.
Tak hanya itu, Edy juga pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya
dengan mengandalkan uang 50 cents dalam hidupnya. Atau bila di rupiahkan berarti sekitar Rp
5.000 (kurs sekarang). Untuk mengisi perut setelah selesai kuliah, misalnya, ia harus
mengandalkan kemurahan hati pemilik kantin di sekolah untuk membungkus sisa lauk yang mau
dibuang. Bahkan, Edy pernah makan mie instan dan roti tawar selama hampir 1 bulan lamanya.
Hampir-hampir Edy patah semangat manakala dirinya mempunyai seorang pacar dari kalangan
orang yang sangat berada. Namun, rupanya orang tua sang Orang tua sang kekasih tidak
merestui jalinan kasih pasangan ini. "Waktu masih susah, saya pernah pacaran dengan anak
orang berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang tidak akan pernah bisa saya
lupa. Katanya, kamu mau kasih makan apa anak saya? Mulai sekarang kamu tidak boleh
berhubungan dengan anak saya lagi!” kenangnya. Tapi, penghinaan itu justru jadi pelecut
semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur double decker saya. Setiap
kali buka mata dan merasa sangat capek, atau ketika serasa mau menyerah, begitu saya lihat
foto ibu pacarnya langsung saya semangat kembali mengingat hinaannya,” ujarnya. Ada satu
prinsip hidup yang dipegang teguh Edy saat itu yang dipesan oleh ayahnya, yaitu apa yang
direndahkan oleh manusia, suatu hari akan ditinggikan oleh Tuhan. Satu poin penting yang bisa
dipetik, meski dalam keadaan sederhana dirinya tidak merasa minder atau gengsi.

Pada tahun 2000, Edy lulus kuliah dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing. Dia
sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan pas pasan ,
ia bisa membawa adik perempuannya ke Singapura untuk melanjutkan kuliah. Edy hanya
bertahan tiga tahun kerja di perusahaan tersebut. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya.

5 dari
EKMO51
Disuruh diam
duduk di depan komputer nggak betah," ujarnya. Hingga pada tahun 2004, Edy tertarik untuk

6 dari
EKMO51
membuka bisnis waralaba Es Teler 77 di Far East Plaza (Orchard Road). Modal diperoleh dari
seorang kenalan untuk membeli waralaba ini dan berjalan dengan sukses. Hingga pada suatu
saat di tahun 2006 Edy melepas bisnis Es Teler 77 dan memulai ayam penyet dengan salah satu
brand waralaba di Lucky Plaza (Orchard Road). Berkat usaha gigihnya dan koneksi dengan
media Singapura, dalam waktu singkat ayam penyet menjadi sensasi dan semakin dikenal
masyarakat Singapura. Pelanggan yang ingin makan di restorannya sampai harus rela antri. Hal
ini pun jadi sensasi baru bagi usahanya. Karena kesuksesan usahanya ini juga, pihak kampus
tempatnya kuliah Nanyang Polytechnic dan beberapa asosiasi lainnya di Singapura sering
mengundangnya untuk berbagi ilmu mengenai entrepreunership.

Membesarkan D'Penyetz

Gelombang hidup kembali lagi melanda ketika kemitraan berujung perpisahan. Tidak hanya
sekali tapi hingga 2 kali. “Di kemitraan yang kedua lebih parah, karena bareng dengan 2 teman
lama dulu seangkatan sekolah ketika secondary school. Semua perjuangan berakhir sia sia.
Selama 2 tahun tidak ada laporan pembukuan dan pembagian dividen,” ungkapnya. Tapi setiap
kejadian selalu memberi hikmah dan banyak pelajaran yang dipetik untuk menjadi modal hidup.
Berawal dari semangat mendirikan usaha sendiri akhirnya pada tahun 2009 Edy memutuskan
untuk membuka usahanya sendiri dengan nama Dapur Penyet yang awalnya hanya berawal dari
gerai foodcourt yang ada di Jurong Point Mall. Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir
ikut melakukan semua tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia
juga bertugas di dapur, di counter,closing cleaning dan membuang sampah. Ia selalu katakan
kepada karyawannya, “You don’t work for me, but you work WITH me”, sehingga banyak
pegawai yang setia kepadanya karena kerendahan hati dan semangatnya dalam berusaha. Satu
kunci yang ia lakukan, work hard dan semangat baja. Edy terus berusaha tanpa lelah untuk
membangun D'Penyetz untuk menjadi restoran Indonesia yang bisa mendunia nantinya.
Usahanya pun tak sia-sia. Kini, D'Penyetz sudah memiliki lebih dari 100 outlet dan tersebar di
lima negara. Impiannya untuk bisa mewakili dan membawa kuliner Indonesia untuk go global.

Untuk negara berikutnya D'Penyetz akan masuk ke Australia (Melbourne) dan target ke
depannya adalah Amerika Serikat, Canada dan Timur Tengah. Selain dari brand D'Penyetz Edy
bersama tim juga menaungi beberapa brand lain yaitu D'Bakso, D'Cendol. D'Minang dan sedang
progress untuk beberapa inovasi baru untuk visi ke depannya termasuk membangun Culinary &
Hospitality Training Centre di Indonesia. Meski telah sukses, Edy tetap menjadi sosok sederhana
dan selalu membimbing dan mengembangkan setiap karyawannya untuk bisa maksimal.
Kegiatan bakti sosial dan penyantunan ke yayasan yatim piatu sering dilakukan bersama dengan
timnya.

Bagi seorang Edy, semua liku liku kehidupan dan cemohan adalah modal utama untuk bisa
menjadi kisah sukses nantinya. “Ingatlah apa yang direndahkan oleh manusia, suatu hari pasti
akan ditinggikan oleh Tuhan. Hormatilah dan bahagiakanlah juga orang tua yang melahirkan kita.
Doa ibu adalah doa yang sangat ampuh mujarab dan paling berharga di mata Tuhan,” pesannya.

Sumber: Herning Banirestu-November 16, 2018

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id

Pertanyaan:
Berikan analisis struktur organisasi yang terbentuk dari kasus di atas, apakah menguntungkan
atau malah merugikan?

7 dari
EKMO51

8 dari
EKMO51

4. JATUH BANGUNNYA EDY ONGKOWIJAYA MEMBANGUN BISNIS KULINER DI SINGAPURA 10

Hidup senang pernah dirasakan Edy Ongkowijaya sebagai anak yang terlahir dari keluarga
pengusaha otomotif. Hingga kemudian ia diminta orang tuanya tidak melanjutkan sekolahnya di
Singapura karena bisnis ayahnya bangkrut. justru bangkrutnya bisnis orang tuanya jadi titik balik
dalam hidupnya. Inilah yang mendorongnya berusaha sendiri. Pria kelahiran 1977 ini mulai
tinggal di Negeri Singa itu sejak usia 18 tahun (1993) ketika ia melanjutkan sekolah lanjutan di
sana. Siapa sangka, jatuh bangunnya membangun bisnis serta keprihatinannya membuahkan
hasil. Kini, ia sukses bisnis kuliner hingga merambah 5 negara. Jaringan resto D'Penyetz yang
dimilikinya saat ini telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan
Myanmar. Tahun 2019 akan melebarkan sayap ke negara ke 6 yaitu Australia.

Edy menceritakan, setahun setelah ia hijrah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah, usaha
otomotif milik ayahnya bangkrut. “Saya sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tua
karena sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Saya tolak permintaan mereka, saya memilih
melanjutkan sekolah dengan usaha sendiri,” kenangnya. Mulailah penderitaan hidup dirasakan
anak kedua dari 3 bersaudara ini. Yang dulunya tidak pernah merasakan hidup susah, apalagi
saat itu teman- temannya di Singapura kebanyakan dari anak keluarga berada. Bukan hanya
harus membiayai hidup dan uang sekolah, Edy harus mengirim uang belanja ke orang tuanya
dan membantu adik perempuannya bersekolah juga di Jakarta. Apapun pekerjaan halal
dilakukan agar bisa tetap menuntut ilmu di Singapura. “Pernah saya kerja di empat tempat.
Pekerjaan sebagai tukang cuci piring dan waiter di restoran dan hotel sempat dilakoninya,”
ungkapnya. Selain itu ia juga menjadi guru les privat dan melatih badminton dasar untuk anak
SD. Untuk tempat tinggal, pernah beberapa kali ia terpaksa menumpang di rumah temannya.
Tak hanya itu, Edy juga pernah mengalami bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya
dengan mengandalkan uang 50 cents dalam hidupnya. Atau bila di rupiahkan berarti sekitar Rp
5.000 (kurs sekarang). Untuk mengisi perut setelah selesai kuliah, misalnya, ia harus
mengandalkan kemurahan hati pemilik kantin di sekolah untuk membungkus sisa lauk yang mau
dibuang. Bahkan, Edy pernah makan mie instan dan roti tawar selama hampir 1 bulan lamanya.
Hampir-hampir Edy patah semangat manakala dirinya mempunyai seorang pacar dari kalangan
orang yang sangat berada. Namun, rupanya orang tua sang Orang tua sang kekasih tidak
merestui jalinan kasih pasangan ini. "Waktu masih susah, saya pernah pacaran dengan anak
orang berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang tidak akan pernah bisa saya
lupa. Katanya, kamu mau kasih makan apa anak saya? Mulai sekarang kamu tidak boleh
berhubungan dengan anak saya lagi!” kenangnya. Tapi, penghinaan itu justru jadi pelecut
semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur double decker saya. Setiap
kali buka mata dan merasa sangat capek, atau ketika serasa mau menyerah, begitu saya lihat
foto ibu pacarnya langsung saya semangat kembali mengingat hinaannya,” ujarnya. Ada satu
prinsip hidup yang dipegang teguh Edy saat itu yang dipesan oleh ayahnya, yaitu apa yang
direndahkan oleh manusia, suatu hari akan ditinggikan oleh Tuhan. Satu poin penting yang bisa
dipetik, meski dalam keadaan sederhana dirinya tidak merasa minder atau gengsi.

Pada tahun 2000, Edy lulus kuliah dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing. Dia
sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan pas pasan ,
ia bisa membawa adik perempuannya ke Singapura untuk melanjutkan kuliah. Edy hanya
bertahan tiga tahun kerja di perusahaan tersebut. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya.
Disuruh diam duduk di depan komputer nggak betah," ujarnya. Hingga pada tahun 2004, Edy
tertarik untuk membuka bisnis waralaba Es Teler 77 di Far East Plaza (Orchard Road). Modal
diperoleh dari seorang kenalan untuk membeli waralaba ini dan berjalan dengan sukses. Hingga
pada suatu saat di tahun 2006 Edy melepas bisnis Es Teler 77 dan memulai ayam penyet
dengan salah satu brand waralaba di Lucky Plaza (Orchard Road). Berkat usaha gigihnya dan
koneksi dengan media Singapura, dalam waktu singkat ayam penyet menjadi sensasi dan
semakin dikenal masyarakat
9 dari
EKMO51
Singapura. Pelanggan yang ingin makan di restorannya sampai harus rela antri. Hal ini pun jadi

10
EKMO51
sensasi baru bagi usahanya. Karena kesuksesan usahanya ini juga, pihak kampus tempatnya
kuliah Nanyang Polytechnic dan beberapa asosiasi lainnya di Singapura sering mengundangnya
untuk berbagi ilmu mengenai entrepreunership.

Membesarkan D'Penyetz

Gelombang hidup kembali lagi melanda ketika kemitraan berujung perpisahan. Tidak hanya
sekali tapi hingga 2 kali. “Di kemitraan yang kedua lebih parah, karena bareng dengan 2 teman
lama dulu seangkatan sekolah ketika secondary school. Semua perjuangan berakhir sia sia.
Selama 2 tahun tidak ada laporan pembukuan dan pembagian dividen,” ungkapnya. Tapi setiap
kejadian selalu memberi hikmah dan banyak pelajaran yang dipetik untuk menjadi modal hidup.
Berawal dari semangat mendirikan usaha sendiri akhirnya pada tahun 2009 Edy memutuskan
untuk membuka usahanya sendiri dengan nama Dapur Penyet yang awalnya hanya berawal dari
gerai foodcourt yang ada di Jurong Point Mall. Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir
ikut melakukan semua tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia
juga bertugas di dapur, di counter,closing cleaning dan membuang sampah. Ia selalu katakan
kepada karyawannya, “You don’t work for me, but you work WITH me”, sehingga banyak
pegawai yang setia kepadanya karena kerendahan hati dan semangatnya dalam berusaha. Satu
kunci yang ia lakukan, work hard dan semangat baja. Edy terus berusaha tanpa lelah untuk
membangun D'Penyetz untuk menjadi restoran Indonesia yang bisa mendunia nantinya.
Usahanya pun tak sia-sia. Kini, D'Penyetz sudah memiliki lebih dari 100 outlet dan tersebar di
lima negara. Impiannya untuk bisa mewakili dan membawa kuliner Indonesia untuk go global.

Untuk negara berikutnya D'Penyetz akan masuk ke Australia (Melbourne) dan target ke
depannya adalah Amerika Serikat, Canada dan Timur Tengah. Selain dari brand D'Penyetz Edy
bersama tim juga menaungi beberapa brand lain yaitu D'Bakso, D'Cendol. D'Minang dan sedang
progress untuk beberapa inovasi baru untuk visi ke depannya termasuk membangun Culinary &
Hospitality Training Centre di Indonesia. Meski telah sukses, Edy tetap menjadi sosok sederhana
dan selalu membimbing dan mengembangkan setiap karyawannya untuk bisa maksimal.
Kegiatan bakti sosial dan penyantunan ke yayasan yatim piatu sering dilakukan bersama dengan
timnya.

Bagi seorang Edy, semua liku liku kehidupan dan cemohan adalah modal utama untuk bisa
menjadi kisah sukses nantinya. “Ingatlah apa yang direndahkan oleh manusia, suatu hari pasti
akan ditinggikan oleh Tuhan. Hormatilah dan bahagiakanlah juga orang tua yang melahirkan kita.
Doa ibu adalah doa yang sangat ampuh mujarab dan paling berharga di mata Tuhan,” pesannya.

Sumber: Herning Banirestu-November 16, 2018

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id

Pertanyaan:
Berikan analisis mengenai perbedaan budaya yang terjadi pada kasus di atas antara Indonesia
dengan singapura jika dilihat dari dimensi budaya Hofstede untuk Uncertainty Avoidance dan
Certainty Avoidance dilihat dari ciri-ciri masyarakatnya.
Skor Total 100

11

Anda mungkin juga menyukai