Anda di halaman 1dari 3

EKMA5101

NASKAH UAS-THE
UJIAN AKHIR SEMESTER-TAKE HOME EXAM (THE)
UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2020/21.2 (2021.1)

Perilaku Organisasi
EKMA5101

No. Soal Skor


JATUH BANGUNNYA EDY ONGKOWIJAYA MEMBANGUN BISNIS KULINER DI
SINGAPURA

Hidup senang pernah dirasakan Edy Ongkowijaya sebagai anak yang terlahir dari keluarga
pengusaha otomotif. Hingga kemudian ia diminta orang tuanya tidak melanjutkan sekolahnya di
Singapura karena bisnis ayahnya bangkrut. justru bangkrutnya bisnis orang tuanya jadi titik balik
dalam hidupnya. Inilah yang mendorongnya berusaha sendiri. Pria kelahiran 1977 ini mulai tinggal
di Negeri Singa itu sejak usia 18 tahun (1993) ketika ia melanjutkan sekolah lanjutan di sana. Siapa
sangka, jatuh bangunnya membangun bisnis serta keprihatinannya membuahkan hasil. Kini, ia
sukses bisnis kuliner hingga merambah 5 negara. Jaringan resto D'Penyetz yang dimilikinya saat
ini telah hadir di Singapura, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Myanmar. Tahun 2019
akan melebarkan sayap ke negara ke 6 yaitu Australia.

Edy menceritakan, setahun setelah ia hijrah ke Singapura untuk melanjutkan sekolah, usaha
otomotif milik ayahnya bangkrut. “Saya sempat diminta kembali ke Indonesia oleh orang tua karena
sudah tidak bisa mengirim uang lagi. Saya tolak permintaan mereka, saya memilih melanjutkan
sekolah dengan usaha sendiri,” kenangnya. Mulailah penderitaan hidup dirasakan anak kedua dari
3 bersaudara ini. Yang dulunya tidak pernah merasakan hidup susah, apalagi saat itu teman-
temannya di Singapura kebanyakan dari anak keluarga berada. Bukan hanya harus membiayai
hidup dan uang sekolah, Edy harus mengirim uang belanja ke orang tuanya dan membantu adik
perempuannya bersekolah juga di Jakarta. Apapun pekerjaan halal dilakukan agar bisa tetap
menuntut ilmu di Singapura. “Pernah saya kerja di empat tempat. Pekerjaan sebagai tukang cuci
piring dan waiter di restoran dan hotel sempat dilakoninya,” ungkapnya. Selain itu ia juga menjadi
guru les privat dan melatih badminton dasar untuk anak SD. Untuk tempat tinggal, pernah beberapa
kali ia terpaksa menumpang di rumah temannya. Tak hanya itu, Edy juga pernah mengalami
bagaimana susahnya hidup di Singapura hanya dengan mengandalkan uang 50 cents dalam
hidupnya. Atau bila di rupiahkan berarti sekitar Rp 5.000 (kurs sekarang). Untuk mengisi perut
setelah selesai kuliah, misalnya, ia harus mengandalkan kemurahan hati pemilik kantin di sekolah
untuk membungkus sisa lauk yang mau dibuang. Bahkan, Edy pernah makan mie instan dan roti
tawar selama hampir 1 bulan lamanya. Hampir-hampir Edy patah semangat manakala dirinya
mempunyai seorang pacar dari kalangan orang yang sangat berada. Namun, rupanya orang tua sang
Orang tua sang kekasih tidak merestui jalinan kasih pasangan ini. "Waktu masih susah, saya pernah
pacaran dengan anak orang berada. Ibunya telepon dan mengucapkan satu kalimat yang tidak akan
pernah bisa saya lupa. Katanya, kamu mau kasih makan apa anak saya? Mulai sekarang kamu tidak
boleh berhubungan dengan anak saya lagi!” kenangnya. Tapi, penghinaan itu justru jadi pelecut
semangatnya. “Saya sengaja tempel foto ibunya di atas tempat tidur double decker saya. Setiap kali
buka mata dan merasa sangat capek, atau ketika serasa mau menyerah, begitu saya lihat foto ibu
pacarnya langsung saya semangat kembali mengingat hinaannya,” ujarnya. Ada satu prinsip hidup
yang dipegang teguh Edy saat itu yang dipesan oleh ayahnya, yaitu apa yang direndahkan oleh
manusia, suatu hari akan ditinggikan oleh Tuhan. Satu poin penting yang bisa dipetik, meski dalam
keadaan sederhana dirinya tidak merasa minder atau gengsi.

1 dari 3
EKMA5101

Pada tahun 2000, Edy lulus kuliah dari Universitas Nanyang Polytechnic Jurusan Marketing. Dia
sempat bekerja di sebuah perusahaan logistik asal Jepang. Meski gajinya lumayan pas pasan , ia
bisa membawa adik perempuannya ke Singapura untuk melanjutkan kuliah. Edy hanya bertahan
tiga tahun kerja di perusahaan tersebut. “Saya dari dulu kerja banyak geraknya. Disuruh diam duduk
di depan komputer nggak betah," ujarnya. Hingga pada tahun 2004, Edy tertarik untuk membuka
bisnis waralaba Es Teler 77 di Far East Plaza (Orchard Road). Modal diperoleh dari seorang kenalan
untuk membeli waralaba ini dan berjalan dengan sukses. Hingga pada suatu saat di tahun 2006 Edy
melepas bisnis Es Teler 77 dan memulai ayam penyet dengan salah satu brand waralaba di Lucky
Plaza (Orchard Road). Berkat usaha gigihnya dan koneksi dengan media Singapura, dalam waktu
singkat ayam penyet menjadi sensasi dan semakin dikenal masyarakat Singapura. Pelanggan yang
ingin makan di restorannya sampai harus rela antri. Hal ini pun jadi sensasi baru bagi usahanya.
Karena kesuksesan usahanya ini juga, pihak kampus tempatnya kuliah Nanyang Polytechnic dan
beberapa asosiasi lainnya di Singapura sering mengundangnya untuk berbagi ilmu mengenai
entrepreunership.

Membesarkan D'Penyetz

Gelombang hidup kembali lagi melanda ketika kemitraan berujung perpisahan. Tidak hanya sekali
tapi hingga 2 kali. “Di kemitraan yang kedua lebih parah, karena bareng dengan 2 teman lama dulu
seangkatan sekolah ketika secondary school. Semua perjuangan berakhir sia sia. Selama 2 tahun
tidak ada laporan pembukuan dan pembagian dividen,” ungkapnya. Tapi setiap kejadian selalu
memberi hikmah dan banyak pelajaran yang dipetik untuk menjadi modal hidup. Berawal dari
semangat mendirikan usaha sendiri akhirnya pada tahun 2009 Edy memutuskan untuk membuka
usahanya sendiri dengan nama Dapur Penyet yang awalnya hanya berawal dari gerai foodcourt
yang ada di Jurong Point Mall. Di tahun pertama membuka usahanya, ia hampir ikut melakukan
semua tugas, walaupun telah memiliki karyawan. Selain mengurus manajerial, ia juga bertugas di
dapur, di counter,closing cleaning dan membuang sampah. Ia selalu katakan kepada karyawannya,
“You don’t work for me, but you work WITH me”, sehingga banyak pegawai yang setia kepadanya
karena kerendahan hati dan semangatnya dalam berusaha. Satu kunci yang ia lakukan, work hard
dan semangat baja. Edy terus berusaha tanpa lelah untuk membangun D'Penyetz untuk menjadi
restoran Indonesia yang bisa mendunia nantinya. Usahanya pun tak sia-sia. Kini, D'Penyetz sudah
memiliki lebih dari 100 outlet dan tersebar di lima negara. Impiannya untuk bisa mewakili dan
membawa kuliner Indonesia untuk go global.

Untuk negara berikutnya D'Penyetz akan masuk ke Australia (Melbourne) dan target ke depannya
adalah Amerika Serikat, Canada dan Timur Tengah. Selain dari brand D'Penyetz Edy bersama tim
juga menaungi beberapa brand lain yaitu D'Bakso, D'Cendol. D'Minang dan sedang progress untuk
beberapa inovasi baru untuk visi ke depannya termasuk membangun Culinary & Hospitality
Training Centre di Indonesia. Meski telah sukses, Edy tetap menjadi sosok sederhana dan selalu
membimbing dan mengembangkan setiap karyawannya untuk bisa maksimal. Kegiatan bakti sosial
dan penyantunan ke yayasan yatim piatu sering dilakukan bersama dengan timnya.

Bagi seorang Edy, semua liku liku kehidupan dan cemohan adalah modal utama untuk bisa menjadi
kisah sukses nantinya. “Ingatlah apa yang direndahkan oleh manusia, suatu hari pasti akan
ditinggikan oleh Tuhan. Hormatilah dan bahagiakanlah juga orang tua yang melahirkan kita. Doa
ibu adalah doa yang sangat ampuh mujarab dan paling berharga di mata Tuhan,” pesannya.

Sumber: Herning Banirestu-November 16, 2018

Editor: Eva Martha Rahayu

www.swa.co.id

2 dari 3
EKMA5101

1. Dari kasus di atas Anda diminta untuk 40


a. Menganalisis dimulai dari tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Edy, karakteristik biografi,
kepribadian Edy yang seperti apa sehingga bisa melewati proses karir tersebut.
b. Bagaimana keterkaitannya dengan Job engagement atau keterkaitan kerja, stres yang dihadapi
dan motivasi kerja apa yang membuat Edy menjadi bangkit dan bersemangat kembali kaitkan
dengan teori dan materi yang sesuai.

2. Analisislah komunikasi yang dilakukan Edy dan bagaimana gaya kepemimpinannya kaitkan 30
dengan teori yang sesuai.

3. Berikan analisis struktur organisasi yang terbentuk dari kasus di atas, apakah menguntungkan atau 20
malah merugikan?

4. Berikan analisis mengenai perbedaan budaya yang terjadi pada kasus di atas antara Indonesia 10
dengan singapura jika dilihat dari dimensi budaya Hofstede untuk Uncertainty Avoidance dan
Certainty Avoidance dilihat dari ciri-ciri masyarakatnya.

Skor Total 100

3 dari 3

Anda mungkin juga menyukai