Katakan dengan cokelat! Dan Kiki Gumelar pun melakukannya dengan Kreatif. Di tangan
pria muda asal Garut ini usaha makanan ringan berbahan cokelat hadir sebagai keajaiban.
Kiki juga melihat peluang besar untuk membawa Indonesia menjadi produsen cokelat kelas
dunia.
DALAM waktu dua tahun Kiki Gumelar berhasil mengembangkan usaha dengan omzet Rp 1
miliar per bulan. Berawal dari modal sebesar Rp 17 juta pada tahun 2009, Kiki mencoba
untuk membuat makanan ringan olahan berbahan dasar cokelat. Kini, Kiki mampu
memproduksi berbagai jenis makanan cokelat dengan merek Chocodot Indonesian Chocolate,
atau lebih dikenal dengan namaChocodot.
Usaha inilah yang membuat kota Garut memiliki citra baru, dari kota dodol menjadi kota
cokelat. Sebenarnya usaha Kiki sudah dirintis sejak dia tinggal di Yogyakarta, tahun 2007.
Saat itu Kiki bekerja sebagai karyawan PT Nirwana Lestari, distributor cokelat terbesar di
Asia Pasifik, Ceres. Namun, hobinya di bidang kuliner telah menuntunnya menjadi pengajar
di bidang bakery dan cokelat.
Akhirnya Kiki memutuskan untuk membuka sendiri usaha bakery dan cokelat bernama UD
Tama Cokelat, yang diambil dari nama anaknya semata wayang, Tama. Tahun 2009, Kiki
berniat untuk serius mengembangkan usahanya. Dia ingin melakukan ekspansi usaba ke
Garut, Jawa Barat agar bisa membangun kota asalnya.
Di Garut, Kiki menghasilkan panganan ringan dari cokelat yang unik, yang dikenal dengan
nama Chocodot, sebuah akronim yang dibentuk dari kalimat chocolate berisi dodol Garut. –
Penemuan Chocodot sendiri merupakan serpihan kisah yang menarik. Suatu hari, ketika
sedang bersiap mengajar kelas cokelat di rumahnya di Yogya, ibunya datang dari Garut untuk
menengok cucunya. Saat itu ibunya datang membawa oleh-oleh khas dari Garut yaitu dodol.
Karena sibuk memanasi bahan cokelat, Kiki tidak terlalu tertarik untuk mencicipi oleh-oleh
tersebut. Namun, secara spontan Kiki justru memasukkan beberapa potong dodo tersebut ke
dalam cairan cokelat yang sedang dipanasinya. Setelah cokelat tersebut padat, Kiki pun
mencicipinya. “Enak juga,” pikirnya.
Peristiwa yang berlangsung hanya ‘sekejap’ itu ternyata sangat membekas di hatinya. Dan,
catatan tersebutlah yang akhirnya berubah menjadi sebuah langkah kecil untuk melahirkan
usaha pembuatan produk makanan ringan baru di Indonesia.
Ketika mulai membangun usahanya di Garut bulan Juli 2009, Kiki masih bekerja di PT
Nirwana Lestari, sebagai business development manager untuk area Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Meskipun sudah beberapa kali mengajukan surat pengunduran diri,
permohonannya selalu ditolak. Masuk akal, karena selama tiga tahun berturut-turut Kiki
berhasil menyelenggarakan festival bakery bernama D’Java Bakery Festival. Festival
makanan berbahan cokelat itu berlangsung di Solo (2006), Semarang (2007), dan Yogyakarta
(2008), serta mendapat sambutan hangat masyarakat. Barulah pada November 2009, Kiki
resmi meninggalkan PT Nirwana Lestari. Kiki bukan hanya kaya ide, tapi juga mampu
merealisasikan ide-ide tersebut. Kehebatan ini sudah terlihat sejak masih duduk di bangku
SMA. Berbagai macam prestasi diraihnya. Pada tahun 1997, Kiki terpilih sebagai Jajaka
Garut dan Runner-Up Jajaka Jawa Barat. Prestasi lainnya menjadi Duta Boga dari PT
Bogasari di Yogyakarta dan Runner Up II di tingkat Nasional tahun 2000.
Prestasi, kepandaian, dan kepribadian yang menyatu ini rupanya tercium sejumlah
perusahaan. Ketika usianya baru menginjak 21 tahun, sebuah perusahaan yang bergerak di
bidang tepung terigu, PT Pangan Mas Inti Persada Cilacap, mengajaknya bergabung. Pada
2002, dia direkrut oleh perusahaan kecap, PT Aneka Food Semarang. Lalu tahun 2003, Kiki
pindah ke perusahaan santan, PT Kara Santan Pratama Jakarta sebagai promotion supervisor.
Terakhir,pada 2005, Kiki bergabung dengan PT Nirwana Lestari.
Rupanya di PT Nirwana Lestari inilah kelekatan Kiki dengan dunia cokelat semakin
terbentuk. Saat menjadi distributor technical officer di sana, ia belajar banyak untuk dapat
menjelaskan cara mencairkan cokelat, serta mengolah cokelat dan mengaplikasikannya
padaroti, cake, juga makanan lainnya.
Walaupun sudah memiliki pekerjaan tetap, Kiki tidak melupakan passion-nya di bidang
kehumasan dan mengajar. Kiki tidak pernah melewatkan undangan atau tawaran mengajar
atau melatih yang datang dari berbagai lembaga pendidikan, khususnya yang memiliki
jurusan boga. Kegiatan ini membuat Kiki semakin terdorong untuk mendalami dunia kuliner
terutama di bidang cokelat.
Dampaknya terlihat ketika ia semakin mahir mengolah cokelat. Dari pengalaman inilah, Kiki
mendapat inspirasi untuk membuat usaha cokelat sendiri. “Waktu mengajar saya sering
memberi saran agar mereka membangun usaha berbahan cokelat. Lama-lama saya mikir,
mengapa menganjurkan orang lain melakukan itu? Mengapa saya enggak merintis sendiri?”
katanya.
Suatu hari, ketika sedang menjelajah internet, secara tak sengaja ia menemukan informasi
bahwa Ceres ternyata lahir di Garut. Informasi ini semakin memperkuat niat Kiki untuk
membuka usaba di bidang cokelat. Dan, karena saat itu Kiki dan keluarga juga berencana
untuk pulang ke Garut, Kiki memutuskan untuk mengembangkan idenya tersebut di kota
asalnya.
“Toh, sejarahnya sudah ada,” katanya mengenang ide dan pemikiran awal bisnisnya itu.
Ketika kembali ke Garut, Kiki terus teringat pada peristiwa dodol Garut yang tanpa sengaja
dimasukkannya ke dalam adonan cokelat. Ia kemudian melakukan berbagai percobaan untuk
menemukan resep yang tepat. Hasilnya adalah cokelat berisi dodol Garut.
Awalnya Kiki mengusulkan tiga nama, yaitu Chodol (akronim untuk chocolate dan dodol);
Chodot (chocolate isi dodol Garut), dan Choqodot (chocolate with dodol Garut). “Tapi
akbirnya yang muncul justru nama Chocodot dan langsung saya daftarkan ke Ditjen HAKI
(Hak Kekayaan Intelektual) untuk merek, kemasan, dan resep,” katanya.
Namun, ternyata usaha cokelat tersebut tidak mendapat dukungan dari ayahnya yang tidak
ingin Kiki menekuni usaha kuliner. Pasalnya, Kiki pernah mengalami kegagalan tahun 2003
dalam usaha bakery. “Tapi saya enggak bisa berhenti. Saya jalan terus,” kenangnya lagi.
Pada bulan Juli tahun 2009, Kiki nekat membuat dummy Chocodot sebanyak 20 kg, yang
kemudian ditawarkan ke toko-toko di Garut. Dari toko-toko yang didatangi, hanya 4 toko
yang menerimanya. “Dengan empat toko itu saya ingin langsung beroperasi. Tapi saya
enggak punya modal. Minta Papa, enggak punya uang. Akhirnya Mama iba dan
meminjamkan modal sebesar Rp 17 juta berupa kartu kredit,” tuturnya.
Dengan modal tersebut, Kiki mulai merintis kembali UD Tama Cokelat-nya di Garut.
Awalnya, upaya ini tak berjalan mulus. Tetapi, dengan dukungan pamannya yang sudah
memiliki bisnis sendiri, Kiki kembali memiliki keberanian untuk berbisnis. “Beruntung saya
punya paman yang penuh perhatian dan selalu meyakinkan bahwa saya bisa melakukan
sesuatu,” katanya.
Dari hasil diskusi dengan sang Paman, Kiki semakin bersemangat. “Indonesia adalah
produsen besar tanaman cokelat tingkat dunia, tapi ternyata enggak punya oleh-oleh cokelat
yang ready to eat. Saya bermimpi Garut harus menjadi kota cokelat. Perusahaan sebesar
Ceres saja lahir di Garut, jadi apa lagi yang perlu dibuktikan?” ungkapnya.
Setiap usaha, pasti ada rintangannya. Demikian pula usaha yang dijalani Kiki Gumelar.
Pemilik rumah yang disewa Kiki sebagai toko pertamanya, kerap menaikkan barga sewa.
Awalnya harga sewa rumah tersebut hanya Rp 4 juta per tahun, lalu pada tahun kedua naik
menjadi Rp 7 juta per tahun, dan pada tahun ketiga menjadi Rp 13 juta per tahun. Kiki tidak
bereaksi negatif terhadap tindakan tersebut sebab pasar Chocodot terus meluas.
Jumlah cabang toko yang menjual Chocodot bertambah menjadi 10 toko, sehingga jumlah
karyawan yang semula hanya satu orang terus bertambah menjadi i6 orang. Selain itu, Kiki
juga sempat mengalami penipuan. Pernah suatu ketika, Kiki didatangi relasi bisnis yang ingin
menjadi agen penjualan Chocodot untuk Jakarta. Kiki pun tidak menyiakan-nyiakan
kesempatan ini.
Namun, setelah kerja sama berjalan dan barang-barang dikirimkan, ternyata sang agen
menghilang tanpa jejak. Akibatnya uang sebesar Rp 50 juta pun bablas. Kiki memang
cenderung tidak memiliki prasangka buruk. Sayangnya, justru sifatnya inilah yang
membuatnya mudah diperdaya. Suatu kali ia mendapatkan telepon dari seseorang di
Pekanbaru, Riau yang mengajaknya pameran di sana.
Tanpa buruk sangka, Kiki pun menyetujuinya. Tapi sejak pameran selesai hingga saat ini,
uang hasil penjualan Chocodot sebesar Rp 33 juta, tak pernah diterimanya. “Selain itu saya
juga sering menghadapi pemilik toko yang handel. Mau utangnya, tapi susah bayarnya. Tapi
saya menganggap semua ini sebagai peringatan agar saya bisa naik kelas. Intinya saya harus
teliti,” katanya.
Dalam mengalami berbagai masalah, Kiki tetap berpikir positif. Dia pun mencari modal
tambahan dari bank. Meskipun setelah mengajukan ke beberapa bank, belum juga berhasil,
Kiki tidak pernah mengeluh. Masalahnya terpecahkan ketika Kiki tampil dalam suatu seminar
yang diselenggarakan oleh UMKM Centre bank bjb.
Saat itu Kiki menemukan jalan untuk mendapatkan modal tambahan dari bank bjb sebesar Rp
100 juta. Sejak saat itu, Kiki tak henti memberikan apresiasi kepada bank daerah yang tengah
berjuang untuk menjadi bank nasional, sama seperti dirinya.
Selain masalah keuangan, Kiki juga sempat mendapatkan tekanan dari para pendahulunya
yang sudah lama dan menjadi ikon kota Garut. Mereka merasa sebaiknya Chocodot tidak
menggunakan istilah cokelat isi dodol Garut atau chocolate with dodol Garut karena
mengancam popularitas produk dodol Garut.
Tidak ingin masuk ke lingkaran persaingan yang tidak sehat, Kiki memutuskan untuk
mengganti istilah tersebut menjadi Chocodot Indonesian Chocolate. “Hikmahnya saya terpicu
untuk menjadi lebih kreatif,” katanya. Walau awalnya berpikiran positif sempat membuatnya
sulit, namun kini Kiki berhasil membuat kekurangannya tersebut menjadi kelebihan. Berpikir
positif membuatnya tetap melangkah maju,melawan semua kendala.
MANAJEMEN USAHA
Bisnis UD Tama Cokelat ini tentu belum bisa dilepaskan dari pendirinya. Pengalamannya
bekerja dalam bidang kuliner membuat Kiki menjadi perancang utama. Kiki jugalah yang
menentukan dan merancang sistem manajemen usahanya.
Pengalaman terdahulu mengajarkan Kiki dan keluarganya agar tetap bersikap terbuka dan
lebih profesional. Kini, ia mulai menggeser karakter bisnis keluarga menjadi usaha yang
profesional. Ia mulai merekrut tenaga professional dalam bidang manajerial. Ia berharap
struktur organisasi perusahaannya juga akan semakin profesional, dengan 60 orang karyawan
di luar keluarganya.
Meski demikian Kiki masih melibatkan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga
dengannya. Ibunda Kiki, Nina Herlina, bertugas sebagai pengawas produksi. Ayahnya yang
masih berstatus karyawan negeri sipil di Dinas Tenaga Kerja, Garut, Tatang Kurnia, bertugas
menangani karyawan dan informasi seputar dunia tenaga kerja.
Sementara adiknya, Mila Ariani, dipercaya sebagai manajer keuangan. Dengan sistem
keterbukaan dan profesionalitas, Kiki mampu membangun relasi yang manusiawi. UD Tama
Cokelat memberikan gaji di atas UMR sesuai dengan kinerja masing-masing karyawannya.
Sistem ini terbukti mampu mengembangkan bisnisnya dan tidak ada kendala yang berarti.
Intuisinya mengatakan usaha ini memiliki masa depan yang cerah. Bukan hanya karena
penduduk Indonesia yang sangat besar, melainkan juga posisi Indonesia sebagai penghasil
cokelat.
Untuk itu, diperlukan kreativitas dan pengelolaan yang tepat, baik di sisi hulu maupun hilir.
Di sisi hulu, selain produktif melahirkan inovasi produk baru yang berkualitas, Kiki tidak
lupa untuk terus belajar dan memperbarui teknologi produksi. Melalui internet, Kiki
mendapatkan informasi mengenai perkembangan teknologi produksi dan marketing.
Karenanya Kiki pun tidak lupa untuk mengembangkan keahlian para karyawan dengan
memberikan pelatihan yang sesuai kepentingan karyawannya.
Misalnya, pelatihan marketing, pelatihan membuat cokelat, dan pelatihan keterampilan
lainnya. Sementara di sisi hilir, Kiki giat melakukan promosi. Selain menggunakan media
cetak, Kiki juga menggunakan jejaring sosial. “Tentunya kami tak melupakan kekuatan word
of mouth, pelayanan yang menyenangkan, mau mendengarkan, dan memberikan diskon
sesuai KTP. Kalau ada pembeli berusia 70 tahun kami berikan diskon 70 persen; 60 tahun
mendapat diskon 60 persen, dan seterusnya,” katanya.
Karena promosi dan pemasaran tersebut cukup berhasil, maka Chocodot mulai dikenal di
mana-mana. Kini, Chocodot sudah bisa di dapatkan di Jakarta. “Kami juga sudah
mendapatkan pelanggan di kalangan pejabat dan public figure,” ujar Kiki bangga.
Selain itu, UD Tama Cokelat juga mulai mengeksplorasi pengembangan jaringan dengan
metode business opportunity. Dengan cara ini Kiki telah memiliki dua gerai pribadi dan dua
gerai milik mitranya. Gerai-gerai yang telah beroperasi itu menggunakan nama yang berbeda-
beda, yaitu Saung Cokelat, D’Jieun Cokelat, Warung Cokelat Intan, dan Toko Cokelat Neo.
“Pendirian D’Jieun Cokelat mendapatkan bantuan modal dari bank bjb sebesar Rp 450 juta.
Luasnya 500 meter persegi,” paparnya. Sikap bank bjb yang memberikan bantuan modal
dengan mudah bagi pengusaha UKM membuat Kiki memiliki kelekatan emosional khusus
terhadap bank ini. Kiki yang melunasi pinjaman dari bank bjb dengan system membayar
cicilan tepat waktu setiap bulannya, tidak segan-segan menempelkan logo bank bjb besar-
besar di tempat usahanya.
“Saya senang menjadi PR (public relations) bank bjb,” katanya. Kini, praktis tidak ada
kendala yang berarti. Tiga impian besar bagi usaha cokelatnya ini mulai tampak hasilnya.
Pertama, membuat Garut terkenal karena cokelatnya. Bahkan terkenal dengan wisata belanja
cokelat. KalauYogya bisa mengembangkan bisnis wisata agro sekaligus rumah inap dan spa,
maka siapa pun yang datang ke Garut pasti akan singgah di berbagai gerai cokelat miliknya
untuk mencari oleh-oleh cokelat khas Garut.
Kedua, men-cokelat-kan Indonesia. Indonesia merupakan penghasil tanaman cokelat ketiga
terbesar di dunia, tetapi masyarakat Indonesia belum memiliki produk cokelat dalam negeri.
Karenanya ia harus lebih menyebarluaskan produk cokelat ke seluruh Indonesia.
Yang ketiga, memiliki istana cokelat di Garut, Yogyakarta, Bali, Makassar, Kalimantan, dan
Sumatera. Untuk mewujudkan ini ia perlu menyiapkan sistem kemitraan yang lebih baik dan
membentuk sistem untuk memantau perkembangan pasar di daerah-daerah tersebut. Semua
impian tersebut tentu saja juga akan tampak dalam omzet usahanya.
Saat ini, omzet UD Tama Cokelat baru mencapai sekitar Rp 1 miliar per bulan. Kiki percaya
dia mampu meningkatkannya menjadi sekitar Rp 2 miliar dalam waktu dekat. Selain
peningkatan omzet, tujuannya yang paling penting adalah agar bisa membuka lapangan kerja.
“Semakin banyak lapangan kerja yang dapat dibuka, maka semakin banyak orang bisa
membuka usaha bersama Chocodot,” katanya mantap.
Toh, bisnis baru Kiki tak langsung sukses. Toko makanan di seputar Garut ogah menampung
Chocodot. Apes, kontestan Jejaka Jawa Barat 1997 ini bahkan sempat tertipu. Barangnya
dibawa kabur mitra dagang. “Mungkin semua itu pelajaran buat naik kelas,” ujarnya seraya
menolak menyebut angka kerugian. Kepalang basah, ayah satu anak ini terus berusaha. la
merangkul kolega dan sesekali memasarkan produknya lewat jejaring sosial Facebook.
Chocodot juga tak pernah absen ikut berpameran, hingga akhirnya menarik perhatian Dicky
Chandra.
Mantan artis yang kini menjadi Wakil Bupati Garut itu punya program mengembangkan
UKM. Kegigihan Kiki kali ini membuahkan hasil. Pemerintah daerah Garut menjadikan
Chocodot sebagai salah satu suvenir buat tetamu. Chocodot semakin terkenal dan diincar
wisatawan. “Toko yang dulu menolak Chocodot kini antre minta jatah,” ujar Kiki terkekeh-
kekeh. Bank-bank juga mulai melirik. Sukses mendapat kredit Rp 100 juta, Kiki berekspansi
menambah peralatan, bahan baku, dan membangun dua gerai.
Dengan bendera UD Tama Cokelat, produksi per bulan mencapai empat ton cokelat dan
dodol. Jenis produknya pun bertambah. Kini Chocodot memiliki 30 varian, misalnya cokelat
rasa cabai, brownies, dan pizza isi dodol. Kemasannya bermacam-macam, dari bakul bambu,
sangkar burung, kertas alumunium, hingga dalam boneka domba Garut. Dalam bungkus
cokelat Batangan dipasang gambar dan informasi obyek wisata Garut.
Dari penganan yang harganya Rp 5 ribu hingga Rp 40 ribu sebungkus itu, Kiki bisa meraup
omzet Rp 1 miliar saban bulan. Bagi pengusaha lain, meski Chocodot menjadi pesaing anyar,
toh ada juga sisi positifnya. Ato Hermanto, pemilik merek Picnic, produsen dodol ternama
asal Garut, mengatakan pamor dodol justru semakin terangkat. “Pasar lebih menggairahkan
lagi,” ujarnya. Kini merek legendaris itu malah latah membuat produk serupa: Cokodol.
(Fery Firmansyah, Sigit Zulmunir, Tempo 20-26 Juni 2011 Hal. 112)