Anda di halaman 1dari 10

Kiki Gumelar, Tak Sengaja Mencipta Chocodot

Katakan dengan cokelat! Dan Kiki Gumelar pun melakukannya dengan Kreatif. Di tangan
pria muda asal Garut ini usaha makanan ringan berbahan cokelat hadir sebagai keajaiban.
Kiki juga melihat peluang besar untuk membawa Indonesia menjadi produsen cokelat kelas
dunia.
DALAM waktu dua tahun Kiki Gumelar berhasil mengembangkan usaha dengan omzet Rp 1
miliar per bulan. Berawal dari modal sebesar Rp 17 juta pada tahun 2009, Kiki mencoba
untuk membuat makanan ringan olahan berbahan dasar cokelat. Kini, Kiki mampu
memproduksi berbagai jenis makanan cokelat dengan merek Chocodot Indonesian Chocolate,
atau lebih dikenal dengan namaChocodot.
Usaha inilah yang membuat kota Garut memiliki citra baru, dari kota dodol menjadi kota
cokelat. Sebenarnya usaha Kiki sudah dirintis sejak dia tinggal di Yogyakarta, tahun 2007.
Saat itu Kiki bekerja sebagai karyawan PT Nirwana Lestari, distributor cokelat terbesar di
Asia Pasifik, Ceres. Namun, hobinya di bidang kuliner telah menuntunnya menjadi pengajar
di bidang bakery dan cokelat.
Akhirnya Kiki memutuskan untuk membuka sendiri usaha bakery dan cokelat bernama UD
Tama Cokelat, yang diambil dari nama anaknya semata wayang, Tama. Tahun 2009, Kiki
berniat untuk serius mengembangkan usahanya. Dia ingin melakukan ekspansi usaba ke
Garut, Jawa Barat agar bisa membangun kota asalnya.
Di Garut, Kiki menghasilkan panganan ringan dari cokelat yang unik, yang dikenal dengan
nama Chocodot, sebuah akronim yang dibentuk dari kalimat chocolate berisi dodol Garut. –
Penemuan Chocodot sendiri merupakan serpihan kisah yang menarik. Suatu hari, ketika
sedang bersiap mengajar kelas cokelat di rumahnya di Yogya, ibunya datang dari Garut untuk
menengok cucunya. Saat itu ibunya datang membawa oleh-oleh khas dari Garut yaitu dodol.
Karena sibuk memanasi bahan cokelat, Kiki tidak terlalu tertarik untuk mencicipi oleh-oleh
tersebut. Namun, secara spontan Kiki justru memasukkan beberapa potong dodo tersebut ke
dalam cairan cokelat yang sedang dipanasinya. Setelah cokelat tersebut padat, Kiki pun
mencicipinya. “Enak juga,” pikirnya.
Peristiwa yang berlangsung hanya ‘sekejap’ itu ternyata sangat membekas di hatinya. Dan,
catatan tersebutlah yang akhirnya berubah menjadi sebuah langkah kecil untuk melahirkan
usaha pembuatan produk makanan ringan baru di Indonesia.

PRESTASI MENUJU SUKSES

Ketika mulai membangun usahanya di Garut bulan Juli 2009, Kiki masih bekerja di PT
Nirwana Lestari, sebagai business development manager untuk area Jawa Tengah dan
Yogyakarta. Meskipun sudah beberapa kali mengajukan surat pengunduran diri,
permohonannya selalu ditolak. Masuk akal, karena selama tiga tahun berturut-turut Kiki
berhasil menyelenggarakan festival bakery bernama D’Java Bakery Festival. Festival
makanan berbahan cokelat itu berlangsung di Solo (2006), Semarang (2007), dan Yogyakarta
(2008), serta mendapat sambutan hangat masyarakat. Barulah pada November 2009, Kiki
resmi meninggalkan PT Nirwana Lestari. Kiki bukan hanya kaya ide, tapi juga mampu
merealisasikan ide-ide tersebut. Kehebatan ini sudah terlihat sejak masih duduk di bangku
SMA. Berbagai macam prestasi diraihnya. Pada tahun 1997, Kiki terpilih sebagai Jajaka
Garut dan Runner-Up Jajaka Jawa Barat. Prestasi lainnya menjadi Duta Boga dari PT
Bogasari di Yogyakarta dan Runner Up II di tingkat Nasional tahun 2000.
Prestasi, kepandaian, dan kepribadian yang menyatu ini rupanya tercium sejumlah
perusahaan. Ketika usianya baru menginjak 21 tahun, sebuah perusahaan yang bergerak di
bidang tepung terigu, PT Pangan Mas Inti Persada Cilacap, mengajaknya bergabung. Pada
2002, dia direkrut oleh perusahaan kecap, PT Aneka Food Semarang. Lalu tahun 2003, Kiki
pindah ke perusahaan santan, PT Kara Santan Pratama Jakarta sebagai promotion supervisor.
Terakhir,pada 2005, Kiki bergabung dengan PT Nirwana Lestari.
Rupanya di PT Nirwana Lestari inilah kelekatan Kiki dengan dunia cokelat semakin
terbentuk. Saat menjadi distributor technical officer di sana, ia belajar banyak untuk dapat
menjelaskan cara mencairkan cokelat, serta mengolah cokelat dan mengaplikasikannya
padaroti, cake, juga makanan lainnya.
Walaupun sudah memiliki pekerjaan tetap, Kiki tidak melupakan passion-nya di bidang
kehumasan dan mengajar. Kiki tidak pernah melewatkan undangan atau tawaran mengajar
atau melatih yang datang dari berbagai lembaga pendidikan, khususnya yang memiliki
jurusan boga. Kegiatan ini membuat Kiki semakin terdorong untuk mendalami dunia kuliner
terutama di bidang cokelat.
Dampaknya terlihat ketika ia semakin mahir mengolah cokelat. Dari pengalaman inilah, Kiki
mendapat inspirasi untuk membuat usaha cokelat sendiri. “Waktu mengajar saya sering
memberi saran agar mereka membangun usaha berbahan cokelat. Lama-lama saya mikir,
mengapa menganjurkan orang lain melakukan itu? Mengapa saya enggak merintis sendiri?”
katanya.
Suatu hari, ketika sedang menjelajah internet, secara tak sengaja ia menemukan informasi
bahwa Ceres ternyata lahir di Garut. Informasi ini semakin memperkuat niat Kiki untuk
membuka usaba di bidang cokelat. Dan, karena saat itu Kiki dan keluarga juga berencana
untuk pulang ke Garut, Kiki memutuskan untuk mengembangkan idenya tersebut di kota
asalnya.
“Toh, sejarahnya sudah ada,” katanya mengenang ide dan pemikiran awal bisnisnya itu.
Ketika kembali ke Garut, Kiki terus teringat pada peristiwa dodol Garut yang tanpa sengaja
dimasukkannya ke dalam adonan cokelat. Ia kemudian melakukan berbagai percobaan untuk
menemukan resep yang tepat. Hasilnya adalah cokelat berisi dodol Garut.
Awalnya Kiki mengusulkan tiga nama, yaitu Chodol (akronim untuk chocolate dan dodol);
Chodot (chocolate isi dodol Garut), dan Choqodot (chocolate with dodol Garut). “Tapi
akbirnya yang muncul justru nama Chocodot dan langsung saya daftarkan ke Ditjen HAKI
(Hak Kekayaan Intelektual) untuk merek, kemasan, dan resep,” katanya.
Namun, ternyata usaha cokelat tersebut tidak mendapat dukungan dari ayahnya yang tidak
ingin Kiki menekuni usaha kuliner. Pasalnya, Kiki pernah mengalami kegagalan tahun 2003
dalam usaha bakery. “Tapi saya enggak bisa berhenti. Saya jalan terus,” kenangnya lagi.
Pada bulan Juli tahun 2009, Kiki nekat membuat dummy Chocodot sebanyak 20 kg, yang
kemudian ditawarkan ke toko-toko di Garut. Dari toko-toko yang didatangi, hanya 4 toko
yang menerimanya. “Dengan empat toko itu saya ingin langsung beroperasi. Tapi saya
enggak punya modal. Minta Papa, enggak punya uang. Akhirnya Mama iba dan
meminjamkan modal sebesar Rp 17 juta berupa kartu kredit,” tuturnya.
Dengan modal tersebut, Kiki mulai merintis kembali UD Tama Cokelat-nya di Garut.
Awalnya, upaya ini tak berjalan mulus. Tetapi, dengan dukungan pamannya yang sudah
memiliki bisnis sendiri, Kiki kembali memiliki keberanian untuk berbisnis. “Beruntung saya
punya paman yang penuh perhatian dan selalu meyakinkan bahwa saya bisa melakukan
sesuatu,” katanya.
Dari hasil diskusi dengan sang Paman, Kiki semakin bersemangat. “Indonesia adalah
produsen besar tanaman cokelat tingkat dunia, tapi ternyata enggak punya oleh-oleh cokelat
yang ready to eat. Saya bermimpi Garut harus menjadi kota cokelat. Perusahaan sebesar
Ceres saja lahir di Garut, jadi apa lagi yang perlu dibuktikan?” ungkapnya.

INOVASI DAN MENGOLAH PENAMPILAN


Seminggu setelah produksi pertama Chocodot berhasil masuk ke empat toko di Garut, Kiki
bertemu dengan seseorang dari Koperasi Wanita Indonesia di Garut Summit. Orang tersebut
menyarankan agar Kiki mengikuti Pameran Pangan Nusa di Kementerian Perdagangan,
Jakarta. Walau sedang sibuk mempersiapkan peluncuran Chocodot di Garut, Kiki tetap
menyanggupi pameran tersebut.
Melihat keseriusan menjalani usahanya, akhirnya hati kedua orangtuanya luluh. Mereka
memberikan biaya dan bantuan untuk acara peluncuran Chocodot di Garut, sementara Kiki
mempersiapkan pameran di Jakarta. Dengan mengusung tema ‘Garut Gemar Chocodot’,
acara peluncuran yang dimeriahkan oleh pemilihan ikon Chocodot dari semua umur—sejak
balita hingga dewasa—ini berjalan lancar dan sukses.
Sementara itu Pameran Pangan Nusa juga memberikan hasil yang memuaskan. Kehadiran
Chocodot di ajang pameran pangan tersebut mendapat sambutan cukup meriah dari
pengunjung, terutama media massa. Mereka tertarik pada Chocodot yang unik baik dari segi
kreativitas, kesegaran ide, dan kemasan.
Kiki yang mengenal baik dunia humas dan komunikasi, tidak menyia-nyiakan kesempatan
tersebut. Dia melayani media-media tersebut dengan sebaik-baiknya. Akibatnya Chocodot
mendapatkan publikasi cukup besar di sejumlah media, khususnya media kuliner.
Sejak Pameran Pangan Nusa, usaha Chocodot berkembang pesat. Pada 1 Agustus 2009, Kiki
menyewa rumah seluas 36 meter persegi sebagai tempat usaha. Rumah yang terletak di Jalan
Babakan Salawi, Garut tersebut kemudian diberi nama Saung Cokelat.
Di sisi lain, Kiki juga tidak pernah jeda melakukan inovasi. Ia merasa sudah saatnya berbuat
lebih dan memberikan sesuatu bagi Jawa Barat. Karena itu, lahirlah Van Java Cokelat. Lewat
merek Van Java Cokelat, Chocodot melahirkan produk inovasi berbahan dasar cokelat yang
belum pernah dipikirkan oleh banyak orang. Produk inovasi tersebut antara lain cokelat rasa
bajigur, bandrek, sekoteng, dan kacang.
Namun, produk inovasi paling unik yang pernah ia hasilkan adalah cokelat rasa cabai. Produk
produk baru ini kemudian diluncurkan pada tanggal 14 Februari 2010, berbarengan dengan
dibukanya mitra cabang Chocodot di Jalan Ottista, Garut, dengan nama Warung Cokelat
Intan.
Selain kaya ide, kekuatan Chocodot terletak pada kepekaannya dalam menangkap dan
mengemas gagasan dari lingkungan, seperti kondisi alam dan budaya Garut. Ia merefleksikan
kekayaan lingkungan ke dalam kemasan produk Chocodot. Hal ini dapat dilihat pada
kemasan produk Chocodot tentang gunung di Jawa Barat; Gunung Haruman untuk Dark
Chocolate; Gunung Talaga Bodas untuk White Chocolate; dan Gunung Papandayan untuk
Milk Chocolate.
Sementara untuk pertanian, Chocodot memproduksi dua edisi khusus yaitu Jeruk Garut untuk
Dark Cholocolate with Dodol Buah Jeruk dan Candi Cangkuang untuk Dark Chocolate with
Aneka Dodol. Potensi geografis, legenda, dan produk kerajinan anyaman khas Garut pun
dijadikannya bagian dalam kemasan produknya. Dalam perkembangannya, Chocodot
melahirkan beberapa produk baru lain, yaitu Brodol dan Gage. Brodol merupakan akronim
dari brownies dodol, sedangkan Gage adalah akronim Garut Geulis. Gage adalah paket
cokelat berisi krim buah yang dikemas dalam besek atau bakul yang terbuat dari anyaman
cantik khas bumi Parahyangan.
Kemasan seperti itu tidak hanya mendatangkan keuntungan bagi produk Chocodot tetapi juga
untuk para perajin anyaman di Garut. “Kami juga menggandeng para remaja desa untuk
membuat paper bag dari tali berbahan eceng gondok. Rantai ekonomi dan sosial ini
berkontribusi dalam membersihkan lingkungan dari ancaman gulma,” paparnya.

Setelah mengeluarkan produk-produk cokelat inovatif tersebut, langkah Kiki selanjutnya


adalah membuat rencana promosi dengan mengemas kekayaan sosio-kultural Garut. Kiki
mengaku terkesan pada Jepang yang mengemas kekayaan alam dan sosial budayanya dalam
sikap hidup sehari-hari serta berbagai produknya.
“Garut punya banyak potensi alam dan sosial budaya seperti Jepang. Cuma satu
kekurangannya: promosi!” ujarnya penuh semangat. Untuk mewujudkan rencana promosinya
tersebut, ia mengikiankan produknya di stasiun televisi lokal. Sejak ikian tersebut muncul, ia
mulai dikenal banyak orang dan selain menjadi incaran media cetak, Kiki dan Chocodot-nya
mulai menjadi incaran stasiun televisi nasional.
Terhitung sejak tampil pada Pameran Pangan Nusa hingga awal 2011, Kiki dan Chocodot
sudah 40 kali ditayangkan oleh berbagai stasiun TV dan sudah tampil di berbagai media cetak
seperti tabloid Saji dan majalah Sedap. Kiki ‘Chocodot’ yang tak pernah kehabisan ide ini
tampil sebagai pengusaha UKM yang berhasil.
POSITIVE THINKING

Setiap usaha, pasti ada rintangannya. Demikian pula usaha yang dijalani Kiki Gumelar.
Pemilik rumah yang disewa Kiki sebagai toko pertamanya, kerap menaikkan barga sewa.
Awalnya harga sewa rumah tersebut hanya Rp 4 juta per tahun, lalu pada tahun kedua naik
menjadi Rp 7 juta per tahun, dan pada tahun ketiga menjadi Rp 13 juta per tahun. Kiki tidak
bereaksi negatif terhadap tindakan tersebut sebab pasar Chocodot terus meluas.
Jumlah cabang toko yang menjual Chocodot bertambah menjadi 10 toko, sehingga jumlah
karyawan yang semula hanya satu orang terus bertambah menjadi i6 orang. Selain itu, Kiki
juga sempat mengalami penipuan. Pernah suatu ketika, Kiki didatangi relasi bisnis yang ingin
menjadi agen penjualan Chocodot untuk Jakarta. Kiki pun tidak menyiakan-nyiakan
kesempatan ini.
Namun, setelah kerja sama berjalan dan barang-barang dikirimkan, ternyata sang agen
menghilang tanpa jejak. Akibatnya uang sebesar Rp 50 juta pun bablas. Kiki memang
cenderung tidak memiliki prasangka buruk. Sayangnya, justru sifatnya inilah yang
membuatnya mudah diperdaya. Suatu kali ia mendapatkan telepon dari seseorang di
Pekanbaru, Riau yang mengajaknya pameran di sana.
Tanpa buruk sangka, Kiki pun menyetujuinya. Tapi sejak pameran selesai hingga saat ini,
uang hasil penjualan Chocodot sebesar Rp 33 juta, tak pernah diterimanya. “Selain itu saya
juga sering menghadapi pemilik toko yang handel. Mau utangnya, tapi susah bayarnya. Tapi
saya menganggap semua ini sebagai peringatan agar saya bisa naik kelas. Intinya saya harus
teliti,” katanya.
Dalam mengalami berbagai masalah, Kiki tetap berpikir positif. Dia pun mencari modal
tambahan dari bank. Meskipun setelah mengajukan ke beberapa bank, belum juga berhasil,
Kiki tidak pernah mengeluh. Masalahnya terpecahkan ketika Kiki tampil dalam suatu seminar
yang diselenggarakan oleh UMKM Centre bank bjb.
Saat itu Kiki menemukan jalan untuk mendapatkan modal tambahan dari bank bjb sebesar Rp
100 juta. Sejak saat itu, Kiki tak henti memberikan apresiasi kepada bank daerah yang tengah
berjuang untuk menjadi bank nasional, sama seperti dirinya.
Selain masalah keuangan, Kiki juga sempat mendapatkan tekanan dari para pendahulunya
yang sudah lama dan menjadi ikon kota Garut. Mereka merasa sebaiknya Chocodot tidak
menggunakan istilah cokelat isi dodol Garut atau chocolate with dodol Garut karena
mengancam popularitas produk dodol Garut.
Tidak ingin masuk ke lingkaran persaingan yang tidak sehat, Kiki memutuskan untuk
mengganti istilah tersebut menjadi Chocodot Indonesian Chocolate. “Hikmahnya saya terpicu
untuk menjadi lebih kreatif,” katanya. Walau awalnya berpikiran positif sempat membuatnya
sulit, namun kini Kiki berhasil membuat kekurangannya tersebut menjadi kelebihan. Berpikir
positif membuatnya tetap melangkah maju,melawan semua kendala.
MANAJEMEN USAHA
Bisnis UD Tama Cokelat ini tentu belum bisa dilepaskan dari pendirinya. Pengalamannya
bekerja dalam bidang kuliner membuat Kiki menjadi perancang utama. Kiki jugalah yang
menentukan dan merancang sistem manajemen usahanya.
Pengalaman terdahulu mengajarkan Kiki dan keluarganya agar tetap bersikap terbuka dan
lebih profesional. Kini, ia mulai menggeser karakter bisnis keluarga menjadi usaha yang
profesional. Ia mulai merekrut tenaga professional dalam bidang manajerial. Ia berharap
struktur organisasi perusahaannya juga akan semakin profesional, dengan 60 orang karyawan
di luar keluarganya.
Meski demikian Kiki masih melibatkan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga
dengannya. Ibunda Kiki, Nina Herlina, bertugas sebagai pengawas produksi. Ayahnya yang
masih berstatus karyawan negeri sipil di Dinas Tenaga Kerja, Garut, Tatang Kurnia, bertugas
menangani karyawan dan informasi seputar dunia tenaga kerja.
Sementara adiknya, Mila Ariani, dipercaya sebagai manajer keuangan. Dengan sistem
keterbukaan dan profesionalitas, Kiki mampu membangun relasi yang manusiawi. UD Tama
Cokelat memberikan gaji di atas UMR sesuai dengan kinerja masing-masing karyawannya.
Sistem ini terbukti mampu mengembangkan bisnisnya dan tidak ada kendala yang berarti.
Intuisinya mengatakan usaha ini memiliki masa depan yang cerah. Bukan hanya karena
penduduk Indonesia yang sangat besar, melainkan juga posisi Indonesia sebagai penghasil
cokelat.
Untuk itu, diperlukan kreativitas dan pengelolaan yang tepat, baik di sisi hulu maupun hilir.
Di sisi hulu, selain produktif melahirkan inovasi produk baru yang berkualitas, Kiki tidak
lupa untuk terus belajar dan memperbarui teknologi produksi. Melalui internet, Kiki
mendapatkan informasi mengenai perkembangan teknologi produksi dan marketing.
Karenanya Kiki pun tidak lupa untuk mengembangkan keahlian para karyawan dengan
memberikan pelatihan yang sesuai kepentingan karyawannya.
Misalnya, pelatihan marketing, pelatihan membuat cokelat, dan pelatihan keterampilan
lainnya. Sementara di sisi hilir, Kiki giat melakukan promosi. Selain menggunakan media
cetak, Kiki juga menggunakan jejaring sosial. “Tentunya kami tak melupakan kekuatan word
of mouth, pelayanan yang menyenangkan, mau mendengarkan, dan memberikan diskon
sesuai KTP. Kalau ada pembeli berusia 70 tahun kami berikan diskon 70 persen; 60 tahun
mendapat diskon 60 persen, dan seterusnya,” katanya.
Karena promosi dan pemasaran tersebut cukup berhasil, maka Chocodot mulai dikenal di
mana-mana. Kini, Chocodot sudah bisa di dapatkan di Jakarta. “Kami juga sudah
mendapatkan pelanggan di kalangan pejabat dan public figure,” ujar Kiki bangga.
Selain itu, UD Tama Cokelat juga mulai mengeksplorasi pengembangan jaringan dengan
metode business opportunity. Dengan cara ini Kiki telah memiliki dua gerai pribadi dan dua
gerai milik mitranya. Gerai-gerai yang telah beroperasi itu menggunakan nama yang berbeda-
beda, yaitu Saung Cokelat, D’Jieun Cokelat, Warung Cokelat Intan, dan Toko Cokelat Neo.
“Pendirian D’Jieun Cokelat mendapatkan bantuan modal dari bank bjb sebesar Rp 450 juta.
Luasnya 500 meter persegi,” paparnya. Sikap bank bjb yang memberikan bantuan modal
dengan mudah bagi pengusaha UKM membuat Kiki memiliki kelekatan emosional khusus
terhadap bank ini. Kiki yang melunasi pinjaman dari bank bjb dengan system membayar
cicilan tepat waktu setiap bulannya, tidak segan-segan menempelkan logo bank bjb besar-
besar di tempat usahanya.
“Saya senang menjadi PR (public relations) bank bjb,” katanya. Kini, praktis tidak ada
kendala yang berarti. Tiga impian besar bagi usaha cokelatnya ini mulai tampak hasilnya.
Pertama, membuat Garut terkenal karena cokelatnya. Bahkan terkenal dengan wisata belanja
cokelat. KalauYogya bisa mengembangkan bisnis wisata agro sekaligus rumah inap dan spa,
maka siapa pun yang datang ke Garut pasti akan singgah di berbagai gerai cokelat miliknya
untuk mencari oleh-oleh cokelat khas Garut.
Kedua, men-cokelat-kan Indonesia. Indonesia merupakan penghasil tanaman cokelat ketiga
terbesar di dunia, tetapi masyarakat Indonesia belum memiliki produk cokelat dalam negeri.
Karenanya ia harus lebih menyebarluaskan produk cokelat ke seluruh Indonesia.
Yang ketiga, memiliki istana cokelat di Garut, Yogyakarta, Bali, Makassar, Kalimantan, dan
Sumatera. Untuk mewujudkan ini ia perlu menyiapkan sistem kemitraan yang lebih baik dan
membentuk sistem untuk memantau perkembangan pasar di daerah-daerah tersebut. Semua
impian tersebut tentu saja juga akan tampak dalam omzet usahanya.
Saat ini, omzet UD Tama Cokelat baru mencapai sekitar Rp 1 miliar per bulan. Kiki percaya
dia mampu meningkatkannya menjadi sekitar Rp 2 miliar dalam waktu dekat. Selain
peningkatan omzet, tujuannya yang paling penting adalah agar bisa membuka lapangan kerja.
“Semakin banyak lapangan kerja yang dapat dibuka, maka semakin banyak orang bisa
membuka usaha bersama Chocodot,” katanya mantap.

USAHA KECIL MENENGAH ASGAR DAN COKELAT DODOLNYA


Chocodot jadi buah tangan baru di Garut. Meraih penghargaan di Italia. NUANSA SERBA
KECOKELATAN menghiasi sebuah toko di Jalan Oto Iskandar Dinata, Tarogong, Garut,
Jawa Barat. Tak hanya dinding, kusen-kusen kayu di rumah berdesain minimalis itu pun
dilabur kelir cokelat cerah. Ruangan depannya penuh rak yang memajang bermacam
penganan dari cokelat. Ada permen, cokelat batangan, hingga bolu cokelat. Bahkan dipajang
pula patung replika prajurit terakota dari Tiongkok setinggi 1 meter yang juga terbuat dari
cokelat.
Sekilas cokelat di toko itu biasa saja. Tapi, ketika dikunyah, terasa ada yang unik. Ternyata
makanan cokelat ini dilapisi lempengan dodol Garut empuk dan legit. Inilah Chocodot atau
cokelat isi dodol yang belakangan jadi buah tangan favorit dari Kota Intan. “Paduan enak dan
unik,” ujar Resti Eka, 21 tahun, warga Tangerang, Banten, yang menyambangi gerai itu,
Kamis pekan lalu.
Lantaran keunikannya itulah Chocodot menjadi istimewa. Selain laris manis, penganan ini
kerap meraih penghargaan. Chocodot sudah meraih 10 penghargaan sejak diproduksi dua
tahun lalu. Pertengahan Mei lalu, misalnya, Chocodot dianugerahi gelar Product Niche dalam
TuttoFood Milano World Food Exhibition di Italia, pameran dua tahunan yang dilkuti
produsen makanan dari 65 negara.
Product Niche adalah penghargaan untuk produk yang melestarikan tradisi, inovatif, dan
tentu saja laku di pasar. Sekarang dalam setiap kemasan Chocodot ada tambahan logo Tutto
Food. Sukses di balik sukses Chocodot tak lain Kiki Gurnelar. Pria asal Garut—terkenal
dengan sebutan Asgar—ini memilih jalan sebagai pengusaha kuliner karena ingin pulang
kampung dan mandiri. Rupanya, setelah beberapa tahun bekerja di Yogyakarta sebagai
kepala cabang sebuah pabrik cokelat ternama, Kiki merasa jenuh.
Kebetulan seluruh keluarga mendukung,” kata dia. Dengan modal Rp 17 juta, Kiki
mendirikan toko roti dan cokelat. Duitnya pinjam dari sang Ayah, Tatang Kurnia, yang
kebetulan pegiat Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Garut. Meski pemiliknya
berpengalaman jadi kepala cabang produsen cokelat, usaha mandiri ini terantuk-antuk juga.
Lelaki berusia 31 tahun itu lalu putar otak. Muncul ide meromnbak dodol ketan penganan
khas Garut. Iseng-iseng camilan kenyal itu dicelupkan ke cokelat cair. “Ternyata jadi lebih
enak.” Kiki menjual makanan baru ini. Modalnya, Rp 52 juta, pinjam lagi dari orangtua.
Dana ini buat membeli bahan baku dan menyewa toko kecil di kawasan Babakan Selawi,
Cipanas, Garut. Pada 19 Juli 2009, Chocodot diperkenalkan pertama kali dalam sebuah
pameran yang digelar pemerintah daerah.

Toh, bisnis baru Kiki tak langsung sukses. Toko makanan di seputar Garut ogah menampung
Chocodot. Apes, kontestan Jejaka Jawa Barat 1997 ini bahkan sempat tertipu. Barangnya
dibawa kabur mitra dagang. “Mungkin semua itu pelajaran buat naik kelas,” ujarnya seraya
menolak menyebut angka kerugian. Kepalang basah, ayah satu anak ini terus berusaha. la
merangkul kolega dan sesekali memasarkan produknya lewat jejaring sosial Facebook.
Chocodot juga tak pernah absen ikut berpameran, hingga akhirnya menarik perhatian Dicky
Chandra.
Mantan artis yang kini menjadi Wakil Bupati Garut itu punya program mengembangkan
UKM. Kegigihan Kiki kali ini membuahkan hasil. Pemerintah daerah Garut menjadikan
Chocodot sebagai salah satu suvenir buat tetamu. Chocodot semakin terkenal dan diincar
wisatawan. “Toko yang dulu menolak Chocodot kini antre minta jatah,” ujar Kiki terkekeh-
kekeh. Bank-bank juga mulai melirik. Sukses mendapat kredit Rp 100 juta, Kiki berekspansi
menambah peralatan, bahan baku, dan membangun dua gerai.
Dengan bendera UD Tama Cokelat, produksi per bulan mencapai empat ton cokelat dan
dodol. Jenis produknya pun bertambah. Kini Chocodot memiliki 30 varian, misalnya cokelat
rasa cabai, brownies, dan pizza isi dodol. Kemasannya bermacam-macam, dari bakul bambu,
sangkar burung, kertas alumunium, hingga dalam boneka domba Garut. Dalam bungkus
cokelat Batangan dipasang gambar dan informasi obyek wisata Garut.
Dari penganan yang harganya Rp 5 ribu hingga Rp 40 ribu sebungkus itu, Kiki bisa meraup
omzet Rp 1 miliar saban bulan. Bagi pengusaha lain, meski Chocodot menjadi pesaing anyar,
toh ada juga sisi positifnya. Ato Hermanto, pemilik merek Picnic, produsen dodol ternama
asal Garut, mengatakan pamor dodol justru semakin terangkat. “Pasar lebih menggairahkan
lagi,” ujarnya. Kini merek legendaris itu malah latah membuat produk serupa: Cokodol.
(Fery Firmansyah, Sigit Zulmunir, Tempo 20-26 Juni 2011 Hal. 112)

Catatan Rhenald Kasali


SEMUA ORANG BISA membuat sesuatu lebih baik. Dan semua orang bisa berbicara bahwa
produk atau makanan buatannya lebih baik dari buatan orang lain. Tetapi sedikit sekali orang
yang berani menggulirkan produknya ke pasar, berhenti berbicara, beralih profesi menjadi
wirausaba, sarta membangun usaha dari nol.
Berbeda dengan Kiki, ia benar-benar berhenti dari pekerjaan bagusnya dan mengambil
langkah berani. Pulang kampung, mambuat ookelat buatannya sendiri, dan menjajakannya
dari toko ke toko, memungut bayaran-bayaran kecil mendengarkan suara pelanggan dan
menyewa rumah untuk mengembangkan usahanya sampai usaha itu tumbuh menjadi lebih
stabil. Ia juga berani maju menghadapi tantangan demi tantangan dari para incumbent yang
bishisnya terancam.
Seperti dodol garut yang terancam dengan kehadiran dodol berbalut cokelat masa depan
setiap produk pangan selalu menghadapi tantangan-tantangan baru Selalu muncul inovasi
yang mengubah salera. Maka itu perbaruilah produk Anda dan beradalah selangkah di depan
selera-selera baru.
Setiap usaha memiliki dua sisi yaitu aspek tangibles (fisik, kasat mata) dan aspek intangibles
(melekat pada manusia, nonfisik tak kelihatan). Pengusaha selalu terkait oleh kedua hal itu
tetapi sering melupakan atau tidak paham bahwa segala yang tak terlihat, kasat mata
(intangibles) jauh lebih penting daripada yang kasat mata.
Apa sajakah aspek-aspek intangibles itu? Aspek-aspek intangibles itu adalah segala sesuatu
yang hanya didapat kalau kita melatih dan melangkah, dan melekat pada diri manusia.
Keterampilan mernasak, reputasi, kelincahan kaki melangkah mendatangi outlet, keberanian
berhenti dari pekerjaan dan mengambil resiko, kejelian melihat lokasi, jaringan pertemanan,
nama usaha (brand image), kegelisahan tangan untuk membuat produk-produk inovatif dan
Seterusnya. Kiki Gumelar melatih dirinya melalui serangkaian tindakan. Ia tidak hanya
sekolah lima sentimeter melainkan sekolah dua meter. Ia belajar mengolah tepung di
Bogasari, belajar membuat kecap dan mengolah cokelat dari perusahaan tempat ia bekerja. Ia
belajar menghadapi suara ibu-ibu, mengajar di sekolah dan mendengarkan apa kata pasar.
Lalu, ia melangkah pulang kampung membuka usaha memberi nama yang unik,
menghubungi orangtua untuk mencari pinjaman modal, menghubungi para pemilik toko,
membangun Kerjasama dengan perajin, dan seterusnya. Intangibles tak pernah terputus. Ia
terus mengakumulasi harta Anda, harta yang tak terlihat. Dari bisa membuat satu menjadi
serba bisa. Dari tak dikenal menjadi mulai dikenal dan sangat terkenal. Inilah modalnya Kiki
Gumelar, modal yang memperbesar Chocodot.
Ini pulalah yang membedakan usaha Yang tetap kecil—berkisar jutaan rupiah saja—dengan
usaha yang berevolusi menjadi besar—berkisar miliaran rupiah. Maka berhentilah berbicara
dan mulailah bekerja, eksplorasi dunia ini dengan segenap kreasi dan impian Anda. Kelak
dunia mimpi itu akan jadi milik Anda jua.

Anda mungkin juga menyukai