Anda di halaman 1dari 15

Thierry Detournay Si Kreator Sukses Cokelat Jawa Cita Rasa Belgia

Semua orang pasti mengenal cokelat. Cokelat adalah salah satu makanan ringan
favorit yang disukai banyak orang. Rasanya yang manis membuat makanan ini diburu untuk
dijadikan makanan penutup atau hanya sekedar cemilan.
Di Kota Yogyakarta, saat ini sedang gandrung cokelat yang memiliki cita rasa unik
yang bernama Cokelat Monggo. Usut demi usut, cokelat ini dikreasikan oleh seorang pria
asal Belgia yang telah lama tinggal di Yogyakarta bernama Thierry Detournay.

Foto: Thierry Detournay/Dok: Pribadi

Kepada indotrading.com, Selasa (19/7/2016) Thierry mengungkapkan asal mula ia mulai


menjalankan bisnis Cokelat Monggo. Tidak disangka, Pria kelahiran Berchem Saint Agathe 2
Maret 1966 ini memulai bisnis Cokelat Monggo karena rasa rindu mencicipi cokelat Belgia
setelah tinggal lama di Yogyakarta.
Datang ke Yogyakarta untuk jalan-jalan lalu saya merasa betah dan aku mulai tinggal di sini
(Yogyakarta) itu tahun 2001. Lalu pasti kita kan kangen hal-hal yang terbiasa (dilakukan),
salah satunya saya kangen cokelat, ungkap Thierry.
Baca juga: Mengenal Budi Yulianto, Pengusaha Sukses Asal Bangka Belitung Pemilik 29
Perusahaan
Lantas, Thierry mulai mencari produk cokelat di ritel dan supermarket di kawasan Kota
Yogyakarta. Sayangnya, rasa cokelat yang dijual di ritel dan supermarket tidak sesuai dengan
lidah Thierry. Ia pun memutuskan untuk belajar membuat sendiri cokelat yang memiliki cita
rasa Belgia dengan sumber daya yang terbatas.
Kemudian saya bikin sendiri dengan belajar membuat cokelat. Sedikit sulit karena resep
langsung dari Belgia, tambahnya.
Thierry akhirnya berhasil membuat produk cokelat pertama jenis truffle yang memiliki cita
rasa Belgia. Setelah ia yakin cokelat bikinannya dirasa cukup enak dan pas dengan cokelat
asli Belgia, Thierry mulai menawarkan kepada teman-temannya untuk sekedar mencicipi.
Tidak disangka, cokelat buatannya banyak dipesan oleh teman- temannya yang sudah
mencicipi.
Mereka bilang enak sekali, katanya dengan sumringah.
Kemudian Thierry lebih bersemangat untuk membuat cokelat dengan jumlah yang lebih
banyak lagi. Selain menjual kepada teman-temannya, Thierry juga bertekad untuk menjual
sendiri cokelat buatannya. Akhirnya dia membeli sebuah sepeda motor bekas jenis vespa
yang sudah tua berwarna pink. Vespa tua disulap menjadi sebuah tempat berjualan yang unik.
Dengan vespa tua, ia menjual cokelat setiap Minggu pagi di daerah sekitar UGM dan di
daerah luar Gereja Kota Baru. Produk cokelat yang dibuat Thierry dijual dengan harga Rp

2.000/pcs. Tujuannya saat itu hanya untuk kesenangan serta mencari minat dan reaksi dari
masyarakat bukan untuk mencari keuntungan.
Itu vespa lama dan warnanya pink saat saya beli, tetapi menjadi display menarik untuk
meletakkan cokelat, jadi lucu. Kita menjual setiap sunday morning di UGM. Kita hanya
berjualan di sana. Itu hanya iseng aja karena belum punya pengalaman apa-apa, tuturnya.
Lahirnya Brand Cokelat Monggo
Thierry tetap melanjutkan rencananya untuk membuat cokelat yang variatif namun tetap
memiliki cita rasa Belgia. Untuk mewujudkan impiannya, maka pria Belgia tersebut
menggabungkan sumber daya yang terbatas dengan modal yang ada. Ide pertama muncul
yaitu untuk membuat sebuah toko. Namun hal itu gagal dan tidak dilanjutkan akibat sepinya
pembeli yang disebabkan bom Bali tahun 2002. Meski terjadi di Bali, bom Bali tahun 2002
memberikan dampak yang cukup signifikan seperti penurunan jumlah wisatawan di Kota
Yogyakarta akibat kebijakan travel warning.
Kita menderita saat itu dan tutup, sebutnya.
Meski bom Bali telah menghancurkan bisnisnya, Thierry memilih untuk tidak menyerah. Di
tahun 2005 ia kemudian mulai bangkit dan mendirikan sebuah perusahaan bernama Anugerah
Mulia. Ia bercerita, perusahaan tersebut memiliki tim kecil yang penuh kreasi. Akhirnya ia
meluncurkan produk pertama dengan nama Cacaomania yang berupa cokelatpraline yang
ditujukan bagi kalangan muda. Tetapi nama Cacaomania akhirnya ditinggalkan karena dinilai
terlalu umum dan memiliki kemiripan dengan sebuah merek produk cokelat. Thierry
mengatakan produk cokelat buatannya membutuhkan nama khusus untuk dapat diluncurkan
di pasaran.
Baca juga: Pernah Terlilit Rp 2 M, Wanita Ini Sukses Berbisnis Selat Beromzet Rp 20
Juta/Bulan
Saya cari nama sampai ke kamus karena saya ingin konsep yang baru. Saya ingin membuat
cokelat ini menjadi oleh-oleh khas dari Yogyakarta. Dengan cara itu kita punya kans
Yogyakarta itu punya cokelat, jelasnya.

Thierry dan tim berusaha menemukan nama yang pas, mudah didengar, mudah diingat dan
tentu saja unik. Tiba-tiba salah seorang dari tim mengucapkan Monggo.

Fot
o: Produk Cokelat Monggo/Dok: Pribadi
Yes! Lalu ada teman yang bilang monggo, sebutnya.
Menurut Thierry, Monggo adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti silahkan.
Kata tersebut selalu digunakan oleh orang-orang Yogyakaarta sambil mengacungkan ibu jari,
ataupun ketika kita lewat di depan orang, serta pada saat kita mengundang orang masuk ke
rumah atau meninggalkan rumah seseorang.
Namun demikian banyak orang yang bukan berasal dari Yogyakarta menggunakan kata
Monggo. Nama tersebut sangat menggambarkan budaya Jawa, kota Yogyakarta, serta nama
yang tepat untuk cokelat buatan Thierry.
Monggo itu familiar dengan orang Jawa dan tentu saja berarti sangat ramah dan nyaman saat
diucapkan. Kalau saya katakan juga cocok menggabungkan cokelat dengan kata Monggo
dan itu pas sekali. Lalu kami tampilkan dikemasan cokelat lalu dijual ke ritel dan
supermarket, tukasnya.
Gabungkan Konsep Bisnis dengan Budaya Jawa

Setelah penamaan Cokelat Monggo, Thierry mulai menata bisnis cokelatnya lebih
profesional. Dengan modal pinjaman dari orang tuanya sebesar Rp 100 juta, Thierry mulai
menyiapkan segala sesuatu mulai dari bahan baku pembuatan, proses produksi, kemasan
hingga penjualan. Untuk produksi dilakukan di sebuah pabrik yang berada di
Kotagede, Yogyakarta.
Baca juga: Hebat! Surya Agung Saputra Sukses Terbangkan Salak Pondoh Hingga ke China
Thierry menceritakan, pola bisnis penjualan Cokelat Monggo yang bakal dilakukan sedikit
berbeda dengan produk cokelat merek lainnya. Caranya, ia bakal menggabungkan produk
Cokelat Monggo dengan budaya Jawa. Kemudian untuk mempermudah rencananya itu agar
berjalan, ia memiliki konsep yang mudah dipahami oleh tim yang bekerja. Konsep yang
dicetuskan Thierry adalah CUEGS. CUEGS adalah panggalan kata dari Care yang berarti
Peduli, Unique (Unik), Educate (Edukasi), Genuine (Asli) dan Share (Membagikan
kebahagian lewat cokelat).
Kami kan punya prinsip dasar CUEGS. Kami care atau peduli, lalu kita unik
daneducate yang berarti makan cokelat itu bagus untuk kesehatan. Kita juga buat simbolsimbol dari Jawa karena kita ingin mengangkat Jawa. Tentu saja cokelat kita punya kualitas,
tambahnya.
Penerapan konsep budaya Jawa bisa dilihat pada kemasan cokelat monggo yang banyak
menggambarkan simbol wayang. Kemudian outlet penjualan juga didesain dengan arsitektur
klasik. Di dalamnya outlet penjualan, Thierry sengaja menambahkan berbagai pernak-pernik
khas Jawa. Cara ini terbilang jitu untuk mendatangkan para pembeli
dari berbagai tempat.
Banyak yang datang ke Cokelat Monggo karena keunikan. Kualitas dan gaya kita tetap
nomor satu, sebutnya.
Persaingan Ketat di Bisnis Cokelat
Tidak mudah bagi Thierry Detournay berjualan Cokelat Monggo. Apalagi di tengah
persaingan pasar cokelat di dalam negeri yang semakin ketat. Thierry mengaku agak sedikit
kesulitan saat memperkenalkan Cokelat Monggo di pasar ritel dan supermarket. Hal ini juga

diperparah karena mayoritas orang Indonesia justru lebih menyukai


produk cokelat impor dari negara lain.
Dari segi marketing banyak kendala. Masuk ritel dan supermarket sangat susah dan berat.
Lalu di kota tertentu seperti Semarang dan Surabaya susah berkembang di sana karena orang
tidak tertarik dan saya juga bingung. Tetapi produk (cokelat) dari luar mereka justru lebih
tertarik, kata Thierry.
Padahal Thierry menilai cokelat buatan dalam negeri tidak kalah bila dibandingkan produk
cokelat impor. Apalagi Cokelat Monggo yang memiliki kualitas premium dan memiiki cita
rasa beda dari cokelat lain. Thierry mengatakan Cokelat Monggo memiliki kualitas
internasional.
Kami kan selalu ingin mendorong produk lokal bisa bersaing dengan kualitas internasional.
Indonesia kalau mau bersaing harus berani memainkan kualitas. Jadi orang akan tertarik beli
dengan kualitas yang bagus, tambahnya.
Hal lain yang pernah menghambat sulitnya menjual produk Cokelat Monggo adalah
jenis kertas kemasan yang digunakan. Kertas kemasan yang digunakan Thierry adalah daur
ulang dan dinilai beberapa toko kurang menarik.Kita bilang ini kertas daur ulang, tegasnya.
Masalah lainnya muncul yaitu harga Cokelat Monggo terbilang cukup mahal bila
dibandingkan cokelat jenis lain yang dijual di pasar. Namun Thierry memastikan harga mahal
yang ditawarkan Cokelat Monggo sebanding dengan kualitas produk yang ditawarkan. Saat
ini Cokelat Monggo dibanderol mulai harga Rp 16.000-30.000/pcs hingga ratusan ribu
rupiah. Meski terbilang cukup mahal, Thierry memastikan Cokelat Monggo yang
diproduksinya enak dan halal untuk dikonsumsi.
Harganya lebih tinggi juga di pasar. Kita tentu berbeda karena bahan baku kita mahal dan
tentu saja resepnya berbeda. Rasanya jauh lebih enak, sebutnya.
Baca juga: Ivan Diryana: Mantan Teknisi Peracik Bisnis Rendang Nenek

Meski memiliki harga lebih mahal, Thierry punya jurus jitu menaklukan pesatnya persaingan
pasar cokelat. Hal ini dilakukan agar Cokelat Monggo tetap dilirik masyarakat dibandingkan
cokelat jenis lainnya.
Semua hambatan itu bisa dikurangi dengan cara bagi-bagi cokelat dengan orang secara
gratis. Kita ini pecinta cokelat jadi bukan hanya bisnis yang dipikirkan tetapi juga kita sering
bagi-bagi cokelat secara gratis. Kemudian di setiap toko kami, orang bisa cicip Cokelat
Monggo gratis, tegasnya.
Lirik Pasar Luar Negeri
Cokelat Monggo memang sudah memiliki nama yang cukup dikenal di Kota Yogyakarta.
Thierry menyediakan 6 outlet khusus penjualan Cokelat Monggo di Kota Yogyakarta seperti
di kawasan Kotagede dan Jalan Tirtodipuran. Kemudian Thierry juga membangun satu outlet
di Kota Solo.
Skema perluasan bisnis sudah disiapkan Thierry untuk mengantisipasi pesatnya permintaan
Cokelat Monggo. Tahun ini, Thierry bakal menyiapkan outlet penjualan di Bandara Adi
Sucipto (Yogyakarta), satu outlet di Bandara Adi Sumarmo (Solo). Thierry juga sudah
berencana untuk membangun outlet di Jakarta, Bandung, Semarang, Bali, dan Surabaya
untuk memperkuat pasar.
Bisnis kita setiap tahun terus berkembang, sebutnya.
Selain memasarkan produknya di Pulau Jawa, di tahun mendatang Thierry sudah
mentargetkan Cokelat Monggo bisa dijual di luar Pulau Jawa seperti Sumatera dengan
bekerjasama dengan ritel atau supermarket. Sementara itu, Thierry juga sudah berniat untuk
memasarkan Cokelat Monggo di luar negeri seperti di kawasan Asia dan Eropa.
Namun prioritas pasar luar negeri yang bakal digarap adalah pasar Asia Tenggara.
Kalau di luar masih rencana. Tahun depan prioritasnya keluar pulau Jawa dan Bali dan bisa
saja mungkin juga diekspor. Peluangnya ada di Prancis dan Asia khususnya pasar ASEAN.
Kenapa juga tidak ke Belanda dimana negara tersebut suka produk Indonesia karena punya
ikatan sejarah. Kemudian bila ada orang yang tertarik dari negara lain kita terbuka saja,
tuturnya.

Merambah pasar ekspor buakan hal baru bagi Thierry. Produk Cokelat Monggo pernah
diperkenalkan di Amerika Serikat lewat sebuah pameran. Di Amerika, Cokelat Monggo
mendapatkan apresiasi yang cukup baik.
Di Amerika juga ada komunitas bangsa Indonesia yang cukup aktif loh, tukasnya.
Mantab di Bisnis Cokelat dan Hidupkan Budaya Jawa
Bisnis Cokelat Monggo bergerak cukup cepat. Dengan modal pinjaman sebesar Rp 100 juta,
Thierry Detournay berhasil membesarkan nama Cokelat Monggo. Cokelat Monggo
diproduksi dengan menggunakan biji kakao lokal yang didatangkan dari Gunung Kidul dan
Kulonprogo, Yogyakarta dengan campuran kakao fermentasi.
Kami melibatkan petani biji kakao di sana, kata Thierry.
Sayangnya jumlah biji kakao yang berasal dari Gunung Kidul dan Kulonprogo jumlahnya
sedikit atau tidak sebanding dengan produk Cokelat Monggo. Maka Thierry memilih untuk
memasok biji kakao juga dari daerah lain di Pulau Jawa.
Meski sudah meraih kesuksesan, Thierry tidak besar kepala. Ia berpendapat saat ini belum
mencapai kesuksesan karena masih banyak pekerjaan berat terutama untuk membesarkan
nama Cokelat Monggo. Dari bisnis cokelat Monggo yang dimulai sejak tahun 2005, Thierry
mampu mempekerjakan 150 orang.
Saya pikir bisnis ini akan terus berkembang, apalagi dengan adanya golongan middle class
yang berkembang. Peluang pasar cokelat masih cukup besar, tambahnya.

F
oto: Outlet Cokelat Monggo/Dok: Pribadi
Selain sukses di bisnis cokelat, Thierry juga memberikan perhatian khusus kepada budaya
Jawa yang semakin langka. leh karena itu, ia tetap akan meletakkan simbol-simbol budaya
Jawa kuno di setiap penjualan produk Cokelat Monggo.
Budaya Jawa saat ini semakin langka dan tradisi Jawa dulu, orang sudah mulau tidak
tertarik. Kita berjuang agar budaya Jawa itu tidak punah. Kita angkat budaya Jawa lewat
Cokelat Monggo, tegasnya.
Setekah sukses, Thierry tidak ragu membagikan tips dan trik. Salah satu yang ditekankan
Thierry agar Anda menjadi pengusaha sukses adalah hanya perlu fokus pada satu bisnis yang
dikerjakan.
Baca juga: Hafizh Suradiharja Permak Bisnis Jajanan Roti Singapura Ala Indonesia
Kita bisa sukses dari apa yang kita suka dan kita lakukan. Saya berbulan-bulan melakukan
sesuatu tanpa gaji, siap menderita. Tetapi saya senang karena Cokelat Monggo adalah hasil
buatan saya. Jangan pernah menyerah dan kita tidak akan berhasil kalau gampang nyerah.
Lalu fokus. Saya liat di Indonesia orang banyak tidak fokus. Banyak

membangun bisnis lain dan akhirnya tenaganya terpecah dan tidak fokus lagi sehingga
hancur. Jadi fokus itu penting. Fokus, fokus dan fokus, tutupnya.
Penulis : Wiji Nurhayat, Editor : Wiji Nurhayat

Repoeblik Telo
Pasuruan Terlahir dari keluarga akademisi, sang ayah mantan rektor Universitas
Brawijaya periode 1968 - 1971, Prof Dr Ir Moeljadi Banoewidjojo dan sang ibu Soemarni
Kartamihardja, Unggul abinowo justru memilih jalur berbeda. Bahkan saat 3 saudaranya
memilih berkarir dijalur yang sama dengan sang ayah, semua menjadi dosen.

Pria kelahiran Semarang, 6 mei 1960 (54 tahun) ini makin berkibar dengan
bisnisnya. Dialah Unggul Abinowo, presiden Republik Telo, pemilik kerajaan bisnis makanan
olahan berbahan dasar telo, yang menjadi pionir sekaligus satu-satunya usaha olahan telo di
Indonesia. Bukan tanpa alasan jika ayah dari Abinanto Dewabrata dan Mokhammad Farrel
Abinawa ini memilih berwirausaha. Perbincangan dengan mendiang sang ayah yang juga
professor di bidang pertanian membuka matanya. Nak , dari segi karir, jabatan bapak sudah
mentok (menjadi rektor), tak ada yang lebih tinggi lagi. Dari segi gelar, yang bapak punya
sudah mentok, tak ada yang lebih tinggi lagi, Begitupun masa kerja, cerita Unggul mengutip
perbincangan dengan sang ayah. Dengan segala potensi puncak yang sudah dicapai, sang
ayah mengingatkan Unggul. diluar apa yang sudah diusahakanya untuk pendidikan 4
putranya, yang tersisa mereka miliki hanya 1 buah rumah dan 1 buah mobil saja. Sehingga
beliau memberikan pilihan singkat pada unggul. jika kamu ingin seperti bapak menjadi
dosen dengan akhir seperti ini, silahkan. Tapi jika kamu ingin lebih, lakukanlah usahamu
sendiri. begitu nasehat sang ayah. Sebuah nasehat singkat yang dimaknainya dan membekas
dalam , sekaligus menjadi salah satu motivasi besar untuk memiliki usaha sendiri.

Mulai Bertani sejak SMA


Meski awalnya mengaku tidak menyukai kegiatan bertani, namun virus sang ayah
yang juga seorang profesor dibidang pertanian, juga ketiga saudaranya yang lain,
membuatnya lekat dengan kegiatan bertani. Saat kecil unggul sering diajak sang ayah, yang
disebut Unggul membuat kulitnya jadi menghitam. Lama-lama Unggulpun mencintai dunia
pertanian. Bahkan saat duduk dikelas dua SMA, pria ramah ini sudah memulai bisnis
pertamanya dibidang pertanian.

Dengan modal awal uang saku dan sedikit dana pinjaman dia menyewa lahan dan
ditanami padi. Usahanya makin berkembang saat dia kuliah di fakultas pertanian Universitas
Brawijaya. Saat tingkat dua, Unggul sudah mengelola sekitar 22 hektaer lahan sewa yang
ditanami aneka jenis komoditi, mulai dari tanaman pangan, hingga tanaman perkebunan.
Saat kuliah, saya sudah punya kendaraan dan sopir sendiri, katanya.
Setelah lulus kuliah, Unggul melepaskan semua lahan sewa dan membeli lahan
sendiri di Desa Sentul, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan. Dengan modal Rp 200
ribu, dia menanami lahannya dengan bawang merah dan semangka. Dari dua komoditi ini,
Unggul berhasil meraup keuntungan dan mengembangkan lahannya menjadi lima hektar.
Selain bertani, Unggul juga membuat pupuk pelengkap cair yang diberi nama
Abitonik. Usaha ini juga sukses. Pada tahun 1991, Dinas PertanianJawa Timur mengirim
Unggul ke Australia untuk melakukan studi banding tentang pertanian. Berkat kunjungan ini,
Unggul bisa membuat formula perawatan tanaman. Formula yang akrab lingkungan, organik,
dan manjur untuk mengatasi berbagai penyakit ini kemudian dijual ke umum dengan merk
Constan 2000.
Modal awal 900 ribu sisa sumbangan nikah
Jatuh bangun dalam usaha itu biasa, dan Unggul abinowo juga mengalaminya.
Sebelum menjual bakpao, bisnis Unggul sempat hancur total. Saat itu bertepatan juga saat
Unggul menikah dengan istri tercinta, Anggraeni Rahmawati sri Dewi pada 1993 di
Purwokerto. Saya kehilangan semua modal usaha, habis total karena merugi saat bertani
bawang putih, paparnya.

Beruntung Unggul pantang menyerah. Usai resepsi mereka

mendapatkan uang sumbangan sekitar Rp 7-9 juta. Dikurangi semua tanggungan Unggul
tinggal membawa uang Rp 900 ribu, yang kemudian digunakanya sebagai modal usaha.
Kekagumanya pada keuletan etnis Tionghoa dalam mengembangkan makanan khas mereka,
membuatnya memilih bakpao sebagai makanan olahan.
Pilihan Unggul ini didasarkan pengalamanya sendiri saat menjadi petani telo pada
tahun 1984. Saat itu dia sering mengalami kesulitan memasarkan ubi jalar. Lahan seluas 1
hektar yang ditanami ubi jalar bisa menghasilkan 20 ton ubi jalar, namun sayangnya ubi jalar
sebanyak itu hanya menghasilkan uang sebesar Rp 1,6 juta dengan harga jual sebesar Rp 400

Rp 500 perkilonya. Karena itu dia berpikir, nilai jual telo akan meningkat jika dibuat dalam
bentuk makanan olahan.
Awalnya banyak orang yang menertawainya, tak terkecuali seorang pegawai yang
dimilikinya saat itu. Unggul turun sendiri mengolah ubi menjadi tepung. Awalnya , Unggul
hanya menjual 20 buah bakpao yang dihargai Rp 500 dalam gerobak sederhana. Semuapun
ludes terjual .
Unggulpun makin percaya diri, berbagai varian isi bakpao dibuat dan semua disukai
pembeli.lama-lama penjualan meningkat, dari produksi ratusan perhari, meningkat menjadi 2
ribu hingga kini produksi bakpao mencapi 20 ribu buah perhari. Respon pembeli yang luar
biasa membuat bakpao telo cepat dikenal se-antero Indonesia. Menjadikan bakpao telo
menjadi jujugan para wisatawan yang berkunjung ke Kota Malang. Membuat Unggul berpikir
cepat menciptakan berbagai varian makanan lain dari telo.
Mulai dari membuat bakpia, es juice, mie telo, kue kukus, dodol, es krim, brownies
bahkan nugget telo, pizza dan masih banyak lainnya. sekarang ini kami memiliki hampir 60
varian produk olahan telo. untuk bahan baku sekarang mencapai 7 ton perhari biasa hingga
mencapai 20 ton pada momen-momen tertentu seperti saat liburan, papar Unggul.
Perkembangan bisnis bakpao telo dari tahun ketahun, membuat Unggul terus
berinovasi. Tak hanya sukses membentuk image telo sebagai makanan murah
termarginalkan, penerima penghargaan pemuda pelopor nasional pada tahun 1996 ini sukses
menggandeng ratusan petani plasma sebagi mitra. Sekaligus menjadikan gerai bakpao telo
miliknya di jl. Raya

Purwodadi no 1 Simping Pasuruan, sebagai kantor Sentra

Pengembangan Agribisnis Terpadu (SPAT).


Selain 3 gerai Republik telo dan SPAT Unggul kini bahkan menekuni usaha rumah
makan. 4 tahun terakhir ini dia membuka resto Waroeng Daoen dan membuka Conttage
Republik Telo. Lokasinya sekitar 200 meter dari jalan raya Purwodadi Pasuruan-Lawang
Malang, Jawa Timur. Restoran yang dikonsep dengan kemasan pedesaan nan artistik . di
sekelilingnya terdapat kolam ikan, dimana pengunjung memancing disana.
Benar-benar

eksoktik dan berada di tengah persawahan dengan menghadap

pemandangan alam pegunungan yang indah. Lokasinya bersatu dengan pabrik pengolahan

produk bakpao telo. Menempati 8 hektar dari total 20 hektar lahan milik unggul yang juga
ditanami telo untuk bahan baku dan organic farm yang bias dinikmati langsunmg pengunjung
yang datang.
Benar-benar sebuah berkah, dari tanaman telo ubi jalar yang sbelumya dipandang
sebelah mata, seorang Unggul Abinowo mampu membangun kerajaan bisnisnya. Menjadi
presiden Republik Telo yang dipimpinya , dengan 250 karyawan dan laba mencapai Rp. 500
juta perbulanya. Semua menurut Unggul bermodal kenekatan dan berani melakukan inovasi
di atas rata-rata. Belakangan ini mereka juga membuat bakpia telo yang malah langsung
mendapat penghargaan dari Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jajanan
tradisional terbaik. Harus saya akui, bakpia yang sangat renyah bagian luarnya ini malah
lebih bagus daripada bakpia terkenal dari satu kota di Jawa.
Kenapa pula sebagian rakyat kita harus menderita kelaparan bila sebenarnya kita
dapat menyediakan ubi rebus dan brambang asem sebagai salah satu alternatif pengayaan
gizi. Sayangnya, paradigma kita sekarang selalu mengacu pada beras manakala kita menyoal
pangan. Mari kita masyarakatkan telo, dan me-nelo-kan masyarakat! Pungkas Unggul
Abiwono.

Tolak Angin
Segmentasi:
Demografis: tidak terbatas usia, berpendidikan tinggi, kelas sosial menengah keatas.
Psikografis: gaya hidup modern.
Geografis: masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan.
Targeting:
Model, artis, kalangan akademisi, mahasiswa, anak muda, anak-anak, orang yang memiliki
prestasi dibidangnya, pengusaha ataupun karyawan kantor.
Positioning:
Produk yang simpel dan praktis dimana konsumennya adalah orang yang menyukai jamu
bukan karena rasa dan ritualnya tetapi manfaatnya.
Setelah dianalisa strategi ini berhasil, dimana PT. SIDO MUNCUL untuk produk Tolak
Angin cair telah berhasil menanamkan produk di benak konsumennya.

Anda mungkin juga menyukai