Anda di halaman 1dari 4

1.

Hipermetropi Kelainan refraksi pada penglihatan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mana sistem optik dari mata tanpa akomodasi gagal memfokuskan cahaya untuk jatuh tepat pada fovea. Kelainan refraksi dapat berupa hipermetropi atau hiperopia, yaitu cahaya yang difokuskan ke mata jatuh pada posterior retina dan menghasilkan pandangan kabur (Tielsch, et al., 2004). Pada hipermetropi, bola mata mungkin terlalu pendek atau lensa terlalu lemah. Benda-benda jauh terfokus di retina hanya dengan akomodasi, sementara benda-benda dekat difokuskan di belakang retina. Dengan demikian, penderita hipermetropi memiliki penglihatan jauh yang lebih baik daripada penglihatan dekat (Sherwood, 2001). Tanda dan gejala yang dapat ditemukan berupa penglihatan jauh yang lebih baik daripada penglihatan dekat. Kadang dapat dirasakan sakit kepala, strabismus pada anak-anak, eye strain dan aching eyes (Tasman dan Jaeger, 2012). Hipermetropi dapat ditangani dengan penggunaan kacamata atau lensa kontak dengan lensa konveks (Birch, et al., 2005). Hipermetropi dapat menjadi faktor resiko timbulnya glaukoma dan crossed eyes (Young, et al., 2007). 2. Miopi Miopi atau nearsightedness adalah kondisi yang mana bayangan suatu benda yang terlihat dari kejauhan difokuskan ke anterior retina atau tidak jatuh tepat pada retina, sehingga penglihatan menjadi kabur (Vitale, et al., 2009). Miopi merupakan salah satu tipe dari gangguan refraksi pada mata. Penderita miopi lebih mudah melihat dalam jarak dekat dan sulit untuk melihat dalam jauh (Tasman dan Jaeger, 2012). Miopi dapat terjadi karena panjang fisik mata lebih lebih besar daripada panjang optik (Pearce, 2009). Penyebab dari gangguan refraksi itu sendiri belum diketahui secara pasti, akan tetapi ada kemungkinan oleh karena faktor lingkungan dan genetik (Weale, 2003). Seseorang dengan riwayat keluarga miopi memungkinkan keturunannya dapat menderita miopi (Tasman dan Jaeger, 2012).

Tanda dan gejala dari miopi dapat berupa kaburnya pandangan pada objek yang jauh sedangkan dapat melihat jelas benda dalam jarak dekat. Kadang dapat pula ditemukan sakit kepala serta eye strain (Yanoff dan Duker, 2008). Penatalaksanaan pada penderita miopi meliputi penggunaan kacamata atau lensa kontak dengan lensa konkaf untuk membantu fokusnya berkas cahaya tepat ke retina. Laser excimer serta bedah refraksi seperti LASIK (laser-assisted in-situ keratomileusis) dapat secara akurat mengembalikan bentuk kornea untuk memperbaiki mata rabun (Tan, 2004). Seseorang dengan miopi tinggi dapat memiliki faktor predisposisi meningkatkan gangguan penglihatan lain seperti ablasi retina, retinopati miopi, glaukoma, serta menurunnya daya penglihatan dan kebutaan (Gwiasda, 2009). Selain hal tersebut, gangguan lain yang dapat muncul adalah myopic macular degeneration dan katarak (Tan, 2004). 3. Hemianopsia Bitemporal Hemianopsia bitemporal adalah gangguan penglihatan yang disebabkan oleh adanya lesi pada chiasma optikum bagian sentral (Chen, et al., 2008). Etiologi yang paling sering adalah tumor hipofisis. Hemianopsia dapat pula disebabkan oleh meningioma suprasellar, kraniofaringioma, dan aneurisma (McIlwaine, et al., 2005). Etiologi lain dapat berupa glioma, inflamasi, iskemia, dan kadang dapat terlihat lupus atau giant cell arteritis (Jacobs dan Galetta, 2007). Hemianopsia bitemporal mengakibatkan buta parsial untuk objek yang berada di separuh bagian temporal lapang pandang pada masing-masing mata sehingga disebut blinker phenomenon atau kacamata kuda. Hemianopsia bitemporal mengenai setengah bagian lapang pandang kontralateral pada kedua mata, separuh lapang pandang sisi kanan mata kanan dan setengah lapang pandang sisi kiri mata kiri (Baehr dan Frotscher, 2010). Penatalaksanaan pada hemianopsia bitemporal terfokus pada kondisi, yang mana dapat meningkat dari waktu ke waktu tergantung penyebabnya. Usaha terbaik adalah menggunakan alat bantu visual seperti kacamata dengan prisma atau kaca untuk membantu memperluas lapang pandang (Kerr, 2011).

DAFTAR PUSTAKA : Baehr, Mathias, Michael Frotscher. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS : Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta : EGC. Birch, Eileen E., Sherry L. Fawcett, Sarah E. Morale, et al. 2005. Risk Factors for Accommodative Esotropia among Hypermetropic Children. Investigate Ophthalmology & Visual Science. Vol. 46(2) : 526-9. Chen, Celia S., Phillipe Gailloud, Neil R. Miller. 2008. Bitemporal Hemianopia Caused by an Intracranial Vascular Loop. Archives of Ophthalmology. Vol. 126(2) : 274-6. Gwiazda, J. 2009. Treatment options for myopia. Optometry and Vision Science. Vol. 86(6) : 624-8. Jacobs, D. A., S. L. Galetta. 2007. Neuro-Ophthalmology for Neuroradiologists. American Journal of Neuroradiology. Vol. 28 : 3-8. Kerr, Sarah J. 2011. Hemianopsia. EBSCO Publishing. Hal : 1-4. McIlwane, Gawn G., Zia I. Carrim, Christian J. Lueck, T. Malcolm Chrisp. 2005. A Mechanical Theory to Account for Bitemporal Hemianopia From Chiasmal Compression. Journal of Neuro-Ophthalmology. Vol. 25(1) : 403. Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. Tan, D. T. H. 2008. The future is near : focus on myopia. Singapore Medical Journal. Vol. 45(10) : 451-5. Tasman, W., Jaeger E. A. 2012. Duane's Ophthalmology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Tielsch, James M., Alfred Sommer, Joanne Katz, et al. 2004. The Prevalence of Refractive Errors Among Adults in the United States,Western Europe, and Australia. Archives of Ophthalmology. Vol. 122(4) : 495-505. Vitale, Susan, Robert D. Sperduto, Frederick L. Ferris. 2009. Increased Prevalence of Myopia in the United States Between 1971-1972 and 19992004. Archives of Ophthalmology. Vol. 127(12) : 1632-9.

Weale, Robert A. 2003. Epidemiology of refractive errors and presbyopia. Survey of Ophthalmology. Vol. 48(5) : 515-43. Yanoff, M., Duker J. S. 2008. Ophthalmology. St. Louis : Mosby Elsevier. Young, Terri L., Ravikanth Metlapally, Amanda E. Shay. 2007. Complex Trait Genetics of Refractive Error. Archives of Ophthalmology. Vol. 125(1) : 3848.

Anda mungkin juga menyukai