Anda di halaman 1dari 15

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG Akne vulgaris atau dapat pula disebut sebagai jerawat merupakan penyakit kulit dengan inflamasi kronik yang mana dikarakteristikan dengan open and or closed comedones (blackheads dan whiteheads) dan lesi inflamasi termasuk papul, pustul dan nodul (Strauss, et al., 2007). Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang mudah dikenali dan sangat umum terjadi pada 100% individu (Harper, 2004). Akne vulgaris adalah penyakit inflamasi kronik pada pilosebasea (kelenjar sebasea dan folikel rambut). Inflamasi pada pilosebasea tersebut terjadi oleh karena multifaktorial, antara lain seperti genetik dan hormon (Loveckova dan Havlikova, 2002). Inflamasi dapat pula terjadi karena infeksi bakteri Staphylococcus epidermidis, Malassezia furfur dan Propionibacterium acnes. Di antara kesemuanya, P. acnes merupakan bakteri tersering penyebab akne (Zandi, et al., 2010). Berdasarkan studi epidemiologi, akne mengenai 80% remaja usia 12 hingga 18 tahun serta untuk orang dewasa, akne mengenai 5% wanita dan 1% pria (Innocenzi, et al., 2008). Meskipun akne dianggap sebagai penyakit remaja, akan tetapi akne tetap persisten hingga usia dewasa. Sebuah studi menyatakan 64% individu usia 20-29 tahun dan 43% individu usia 30-39 tahun masih menderita akne (Williams, et al., 2012). Prevalensi pada wanita cukup tinggi, yang mana prevalensi wanita ras Afrika Amerika dan Hispanik yaitu 37% dan 32%, sedangkan wanita ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India 23%. Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal. Tetapi pada ras Kaukasia, akne komedonal lebih sering dibandingkan akne inflamasi, yaitu 14% akne komedonal, 10% akne inflamasi (Movita, 2013). Gejala fisik yang timbul oleh karena akne berupa gatal dan nyeri, akan tetapi efek terpenting adalah kualitas hidup. Meskipun bukan penyakit yang mengancam nyawa, akan tetapi kualitas hidup ini sangat penting karena

berhubungan dengan psikologis terutama karena akne kebanyakan terjadi pada usia remaja yang mana usia tersebut masih labil (Williams, et al., 2012). Masalah psikologis dan emosional yang dapat terjadi pada remaja oleh karena akne berupa kecemasan, depresi, emosi, rasa ketidakpuasan dan hilangnya rasa percaya diri. Kondisi psikologis tersebut dapat menimbulkan hiperpigmentasi post-inflamasi dan formasi bekas luka. Oleh karena itu, akne vulgaris dapat mempengaruhi kualitas hidup individu sama halnya penyakit kronis lain seperti epilepsi dan asma (Akyazi, et al., 2011).

BAB II ISI

TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Pilosebasea sendiri termasuk folikel rambut, duktus sebasea dan kelenjar sebasea. Akibat dari peradangan ini menghasilkan kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut yang terjadi akibat kelainan aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotrofik maupun yang hipertrofik (Djuanda, 2007). Akne vulgaris adalah penyakit inflamasi pada kutan yang melibatkan unit pilosebasea dengan multifaktorial patogenesis. Faktor patofisiologi yang penting terhadap perkembangan akne yaitu hyperplasia kelenjar sebasea, deskuamasi abnormal dari epitel folikel sebasea (komedogenesis),

bertambahnya kolonisasi bakteri dari folikel (P. acnes), inflamasi dan reaksi imun (Innocenzi, et al., 2008).

B. EPIDEMIOLOGI Akne vulgaris merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Hampir 100% remaja pernah mengalami sekali atau lebih, namun hanya 15% yang mendatangi pelayanan kesehatan. Insidensi akne vulgaris sekitar 150/1000 remaja. Prevalensi terbanyak pada usia 16 tahun yaitu

1000/1000 semakin menurun sesuai usia hingga 80/1000 pada usia 25-34 tahun, dan 30/1000 pada usia 35-44 tahun. Berdasarkan National Health Examination Survey (NHIS) pada tahun 1966-1970 hanya 27,7% anak-anak yang memiliki kulit normal, selebihnya memiliki lesi yang didiagnosis sebagai akne. NHIS pada tahun 1996 mengidentifikasi prevalensi akne vulgaris kronik (>3 bulan) yaitu sebesar 2,44% pada usia 17 tahun. Akne vulgaris banyak terjadi pada usia remaja dengan usia yang paling sering yaitu 16-18 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, umumnya seimbang baik pada

remaja laki-laki maupun perempuan, namun pada laki-laki biasanya lebih parah sedangkan pada perempuan lebih persisten. Akne dengan tipe nodulokistik lebih sering terjadi pada ras kulit putih dibandingkan kulit hitam. Sekitar 50% pasien memiliki riwayat keluarga terhadap akne vulgaris (Bergfeld, 2004).

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI 1. Etiologi Akne vulgaris terjadi karena inflamasi pada unit pilosebasea yang mana dapat disebabkan oleh infeksi bakteri berupa Staphylococcus epidermidis, Malassezia furfur dan Propionibacterium acnes. Akan tetapi Propionibacterium acnes merupakan bakteri tersering penyebab akne (Zandi, et al., 2010). P. acnes merupakan bakteri gram positif dan anaerob yang merupakan flora normal kelenjar pilosebasea. Remaja dengan akne memiliki konsentrasi P. acnes lebih tinggi dibandingkan remaja tanpa akne. Peranan P. acnes pada patogenesis akne adalah memecah trigliserida, salah satu komponen sebum, menjadi asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi P. acnes yang memicu inflamasi (Movita, 2013). Berbagai faktor yang dapat memicu timbulnya akne vulgaris yaitu (Djuanda, 2007) : a. Perubahan pola keratinisasi dalam folikel. Keratinisasi dalam folikel biasanya berlangsung longgar berubah menjadi padat sehingga sukar lepas dari saluran folikel tersebut. b. Produksi sebum yang meningkat yang menyebabkan peningkatan unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi akne. c. Terbentuk fraksi asam lemak bebas sebagai penyebab terjadinya proses inflamasi folikel dalam sebum dan kekentalan sebum yang penting pada pathogenesis penyakit. d. Peningkatan jumlah flora folikel Propionibacterium acnes yang berperan pada proses kemotaktik inflamasi serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid sebum.

e. Terjadinya respon hospes berupa pembentukan circulating antibodies yang memperberat akne. f. Peningkatan kadar hormon androgen, anabolik, kortikosteroid,

gonadotropin serta ACTH yang mungkin menjadi faktor penting pada kegiatan sebasea. g. Terjadinya stres psikis yang dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea, baik secara langsung atau melalui rangsangan kelenjar hipofisis. h. Faktor lain yang secara tidak langsung dapat memicu peningkatan proses patogenesis tersebut : usia, ras, familial, makanan, cuaca/musim (Djuanda, 2007).

2. Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhi akne vulgaris, yaitu (Knutsen-Larson, et al., 2012) : a. Usia Rerata onset munculnya akne pada usia 11 tahun untuk perempuan dan 12 tahun untuk laki-laki. Akne pada laki-laki lebih sering terjadi pada usia remaja dan berkurang seiring bertambahnya usia. Sedangkan pada wanita lebih banyak terjadi pada usia dewasa (Knutsen-Larson, et al., 2012). b. Etnis dan Genetik Prevalensi munculnya skar dan hiperpigmentasi lebih banyak terjadi pada ras Hispanik dan Afrika Amerika. Sedangkan secara genetik, terjadinya akne pada remaja dan dewasa berhubungan dengan riwayat akne pada orang tua individu tersebut (Knutsen-Larson, et al., 2012). c. Faktor Lain Faktor predisposisi lain berupa merokok, intake makanan, pajanan sinar matahari (UV), cuaca serta faktor lingkungan (KnutsenLarson, et al., 2012).

D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Hormon androgen

Keratinisasi folikel abnormal

Peningkatan produksi sebum

Obstruksi P. acnes

Lesi non inflamasi (komedo) P. acnes

Lesi

inflamasi

(papul,

pustul, nodul)

Gambar 1. Skema Patogenesis Akne Vulgaris (Tahir, 2010)

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap proses terjadinya akne vulgaris : 1. Peningkatan produksi androgen pre-pubertas 2. Keratinisasi dan deskuamasi folikel pilosebasea yang abnormal 3. Peningkatan proliferasi sebosit, pelebaran kelenjar sebasea dan akumulasi sekresi sebum 4. Obstruksi folikel sebasea 5. Kolonisasi bakteri Propiniobacterium acnes dan inflamasi perifolikuler di kelenjar sebasea (Bergfeld, 2004).

Hormon androgen menstimulasi kelenjar pilosebasea sehingga kelenjar pilosebasea menjadi besar dengan densitas mencapai 400-800 kelenjar/cm2 pada daerah wajah dan kulit kepala, sedangkan pada ekstremitas menjadi 50 kelenjar/cm2. Selama periode pre-pubertas, adrenal androgen merupakan

faktor utama dari aktivitas kelenjar sebasea. Pada laki-laki dan perempuan, konsentrasi plasma dari dehydroepiandrosterone (DHEA) dan

dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS) akan mulai meningkat ketika adrenarche atau pubertas adrenal, yang umumnya dimulai ketika usia 8 tahun dan berlanjut hingga memasuki masa pubertas (Bergfeld, 2004). Stimulasi androgen menyebabkan perubahan pada folikel keratinosit dan sebosit yang menyebabkan terbentuknya mikrokomedo. Mikrokomedo tidak terlihat namun sudah ada pada 40% anak usia 8-10 tahun, mikrokomedo kemudian berkembang ketika sel-sel deskuamasi yang terkornifikasi pada folikel sebasea menjadi sangat lekat dan menghambat lumen dengan adanya peningkatan produksi sebum. Mikrokomedo ini menjadi penuh dengan lipid, membesar, dan terlihat (Webster, 2002). Onset produks DHEA dan DHEAS diikuti oleh dengan peningkatan kadar adrenal androstenedione di dalam plasma, yang diikuti oleh peningkatan produksi testosteron gonad. Hal ini disebut gonadarche atau pubarche. Mikrokomedo menjadi besar dan mulai tampak pada periode ini dan membentuk open and close microcomedones yang merupakan lesi non inflamasi. Komedogenesis ini menyebabkan terjadinya peningkatan kadar interleukin-1 yang berasal dari duktus keratinosit (Bergfeld, 2004). Kolonisasi Propiniobacterium acnes terjadi pada kanal folikular.

Propiniobacterium acnes merupakan flora normal yang bersifat anaerob, aerotoleran, lipofilik, dan tumbuh subur pada sebum trigliserida. Inflamasi akne terjadi karena adanya respon imun tubuh terhadap bakteri tersebut. Eritema, pustul superfisial, papul, dan nodul akan terbentuk bergantung pada intensitas proses inflamasi dan lokalisasi folikel kelenjar. Penderita memiliki lesi inflamasi dan non inflamasi yang berbeda, disebabkan adanya perbedaan sensitivitas respon imun masing-masing penderita (Bergfeld, 2004).

Gambar 2. Skema Patofisiologi Akne Vulgaris (Tahir, 2010)

E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS 1. Anamnesis Umumnya keluhan penderita adalah keluhan estetis namun juga dapat disertai rasa gatal (Djuanda, 2007). 2. Pemeriksaan Fisik Tempat predileksi akne vulgaris adalah di muka, bahu, dan dada bagian atas. Lokasi kulit lain misalnya leher, lengan atas, dan glutea 8

kadang terkena. Akne vulgaris memiliki lesi polimorfik. Lesi bisa inflamasi dan non-inflamasi. Lesi non-inflamasi adalah papul, pustul dan komedo, dimana komedo bisa terbuka (komedo hitam) atau yang tertutup (komedo putih). Lesi inflamasi yaitu nodus dan kista (Djuanda, 2007).

Gambar 3. Akne vulgaris dengan komedo (A) dan akne vulgaris dengan pustul dan nodul (B)

Gambar 4. Akne inflamasi dengan papul dan nodul

Komedo hitam tampak sebagai lesi yang datar atau sedikit menonjol dengan bagian tengahnya hitam. Komedo putih mungkin tampak sukar untuk dapat dilihat karena letaknya lebih dalam dan tidak mengandung unsur melanin. Gambarannya bisa pucat, sedikit menimbul, papul-papul kecil (Djuanda, 2007).

Gambar 5. Komedo Hitam dan Komedo Putih

3. Pemeriksaan Penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam mendiagnosis akne vulgaris, yaitu (Djuanda, 2007) : a. Pemerksaan Ekskohlesasi sebum Pemeriksaan ekskohlesasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan ekstraktor komedo (sendok Unna). Sebum dapat tampak sebagai massa padat seperti lilin atau massa lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam (Djuanda, 2007). b. Pemeriksaan histopatologis Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran berupa sebukan sel radang pada pilosebasea (Djuanda, 2007). c. Pemeriksaan Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi terhadap jasad renik yang memiliki peran pada etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan di laboratorium mikrobiologi. 2007). d. Pemeriksaan Skin surface lipids Pemeriksaan skin surface lipids atau susunan dan kadar lipid permukaan kulit dapat juga dilakukan. Pada akne vulgaris kadar asam lemak bebas meningkat dan oleh karena itu pada pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya (Djuanda, 2007). Namun hasilnya sering tidak memuaskan (Djuanda,

10

F. PENATALAKSANAAN 1. Farmakologi a. Pengobatan Topikal 1) Bahan iritan yang mengelupas kulit (Peeling) Bahan iritan yang mengelupas kulit contohnya adalah sulfur (4-8%), resolsinor (1-5%), asam salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%), dan asam azeleat (15-20%). Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara pemberian hati hati dimulai dengan konsentrasi yang paling rendah (Djuanda, 2007). 2) Antibiotik topikal Antibiotik topikal dapat mengurangi jumlah mikroba dalam folikel yang berperan dalam etiopatogenesis akne vulgaris, misalnya oksi tetrasiklin 1%, eritromisin 1%, klindamisin fosfat 1% (Djuanda, 2007). 3) Antiperadangan topikal Salep atau krim kortikosteroid kekuatan ringan atau sedang (hidrokortison 1-2.5%) atau suntikan intralesi kortikosteroid kuat (triamsinolon asetonid 10 mg/cc) pada lesi nodulo-kistik (Djuanda, 2007). 4) Lainnya, misalnya etil laktat 10% untuk menghambat pertumbuhan jasad renik (Djuanda, 2007). b. Pengobatan Sistemik 1) Antibiotik sistemik Diindikasikan untuk akne yang moderat hingga berat dan pada pasien dengan inflamasi dimana obat topikal gagal menunjukkan hasil atau tidak ditolerir dengan baik. Misalnya Tetrasiklin (250 mg1g/hari), doksisiklin 50 mg/hari, eritromisin 4x250 mg/hari, azitromisin 250-500 mg seminggu 3x, dan trimetoprim

sulfanetoksazol untuk akne yang parah (Djuanda, 2007). 2) Terapi hormonal Terapi hormonal ditujukan untuk penderita wanita dewasa akne vulgaris beradang yang gagal dengan terapi lain. Obat

11

hormonal digunakan untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea. Misalnya estrogen 50 mg/hari selama 21 hari dalam sebulan atau antiandrogen siproteron asetat 2 mg/hari (Djuanda, 2007). 3) Retinoid Isotretionin digunakan untuk merupakan pengobatan retinoid akne, sistemik khususnya utama pada yang akne

nodulokistik yang berat. Dosis yang direkomendasikan adalah 120 150 mg/kgBB (Djuanda, 2007). c. Bedah Kulit Tindakan bedah kulit diperlukan terutama untuk memperbaiki jaringan parut akibat akne vulgaris meradang yang berat yang sering menimbulkan jaringan parut, baik yang hipertrofik maupun hipotrofik. Jenis bedah kulit yang dipilih disesuaikan dengan macam dan kondisi jaringan parut yang terjadi. Tindakan dilakukan setelah akne vulgarisnya sembuh (Djuanda, 2007). 1) Bedah scalpel dilakukan untuk meratakan sisi jaringan parut yang menonjol atau melakukan eksisi elips pada jaringan parut hipotrofik yang dalam. 2) Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah pengeluaran sebum atau pada nodulo-kistik untuk drainase cairan isi yang dapat mempercepat penyembuhan. 3) Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan jaringan parut yang berbenjol. 4) Bedah beku dengan bubur CO2 beku atau N2 cair untuk mempercepat penyembuhan radang. 5) Dermabrasi untuk meratakan jaringan parut hipo dan hipertrofi pasca akne yang luas (Djuanda, 2007). d. Terapi terbaru Spironolakton (aldakton, spiraktin) adalah steroid sintetik dan diuretik lemah, dapat menambah efikasi terapi kombinasi hormonal estrogen dan antiandrogen terhadap akne, apabila akne disertai gejala

12

seborea dan atau hipertrikosis. Dosis yang diberikan adalah 50-100 mg/hari selama 6-9 bulan dan dapat diulangi setelah tenggang 3 bulan (Djuanda, 2007). Metformin dapat digunakan pada akne dengan obesitas yang disebabkan resistensi insulin atau sindrom polikistik ovarium. Dosis yang diberikan 2x500 mg/hari selama 3 bulan, lalu 2x1000 mg/hari. Metformin dapat diberikan bersama terapi topikal atau bersama terapi sistemik antibiotik (Djuanda, 2007). e. Terapi Sinar Terapi sinar biru (Blue Light Therapy) adalah terapi akne dengan memakai sinar biru (panjang gelombang 420 nm) yang dapat membasmi P.acnes dengan merusak porfirin dalam sel bakteri (Djuanda, 2007). Photodynamic Therapy (PDT) merupakan hal terbaru yang diuji cobakan pada pasien akne, terdiri atas 2 tahap/langkah terapi yaitu pemberian photosensitizer (asam aminolevulinik, metilaminolevulinat) secara topikal, oral atau intravena yang akan ditangkap oleh sel target dalam jaringan hiperproliferatif (kelenjar sebasea), kemudian diaktivasi menghasilkan oksigen oleh sumber sinar (Blue U, intense pulse light) (Djuanda, 2007). 2. Non-farmakologi Berikut ini merupakan terapi non-farmakologi, yaitu (Truter, 2009) : a. Membersihkan area yang terkena 2-3 kali sehari dengan sabun antibakteri dan hindari keringat berlebih. b. Pasien diminta untuk mengubah tatanan rambut yang mana rambut tidak secara konstan menyentuh kulit wajah. c. Hindari menekan atau menggaruk akne (baik komedo maupun papul atau pustul). d. Terkena sinar matahari yang cukup, tidak berlebihan. e. Hindari kosmetik yang berminyak, gunakan water-based moisturizers. f. Diet rendah lemak, perbanyak olahraga dan minum air. g. Pendekatan psikologis bagi remaja (Truter, 2009).

13

3. Contoh Penulisan Resep

14

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

15

Anda mungkin juga menyukai