Anda di halaman 1dari 44

BAB I PENDAHULUAN Perdarahan uterus disfungsional (PUD) merupakan salah satu problem kesehatan yang paling sering ditemukan

oleh ginekolog maupun dokter umum. PUD dapat menimbulkan suatu pola perdarahan abnormal yang terjadi kapan saja sepanjang hidup seorang wanita, semenjak awal menarche hingga masa perimenopause dan pascamenopause. Kebanyakan pasien yang mencari pertolongan untuk PUD mengalami perubahan dalam siklus menstruasi mereka baik dalam panjang siklus, durasi, atau volume perdarahan. Mereka mungkin mengeluhkan menstruasi yang lebih banyak, bekuan-bekuan darah yang lebih besar, spotting diantara 2 siklus, nyeri saat menstruasi yang lebih hebat, atau peningkatan jumlah pembalut yang digunakan. Menstruasi yang berlebihan dapat mengganggu pekerjaan dan aktivitas fisik, hingga berakibat disfungsi seksual. 1 PUD didefinisikan sebagai suatu perdarahan abnormal dari uterus, tanpa disertai kondisi uterus yang patologis. Keadaan ini lebih sering ditemukan pada periode pubertas dan perimenopause, dan acapkali dikaitkan dengan abnormalitas fungsi ovarium serta adanya keadaan anovulatoar, tetapi dapat pula terjadi pada siklus ovulatoar. 2,3 Individu yang terkena 20% adalah remaja, 30% usia reproduksi, dan 50% berusia antara 40-50 tahun (perimenopause). Insidensi PUD ovulatoar sebanyak 10%, sedangkan insidensi anovulatoar sebanyak 90%. PUD anovulatoar pada pascamenarche (sebanyak 20%) diakibatkan oleh imaturitas aksis ovariumhipofise-hipotalamus dan pada perimenopause (sebanyak 50%) diakibatkan oleh penurunan sensitifitas ovarium terhadap stimulasi gonadotropin. 4,5 Diagnosis PUD biasanya ditegakkan dengan adanya status anovulatoar dan menyingkirkan sebab-sebab organik dari perdarahan uterus, seperti fibroid submukosa, diskrasia darah, polip endometrial, kanker uterus, dan perdarahan yang berkaitan dengan kehamilan. Walaupun bisa saja terjadi PUD yang disertai

kelainan seperti tersebut diatas. Luasnya variasi pada pola mentruasi sering menyulitkan dalam mengidentifikasi perubahan yang abnormal. 3 Dengan pemahaman menyeluruh tentang siklus menstruasi dan pemeriksaan fisik, dapat ditegakkan suatu diagnosis dari perdarahan abnormal uterus baik ovulatoar atau anovulatoar, serta mengetahui apa penyebabnya. Setelah diagnosis ditegakkan, terapi ditujukan untuk menghentikan perdarahan akut, mencegah episode perdarahan lebih lanjut, dan untuk mencegah komplikasi jangka panjang. 2 Pengaturan hormonal biasanya berhasil untuk menghilangkan simptomatik. Dengan menginduksi ovulasi terutama pada wanita yang menginginkan kehamilan kesembuhan mencapai 80%. Frekuensi kekambuhan pada PUD dengan penanganan dilatase dan kuretase sebesar 30-40%, sehingga diperlukan kuretase berulang. Pada ablasi endometrium kesembuhan sebesar 7080%, dengan histerektomi memberikan tingkat kepuasan yang tinggi, tetapi angka morbiditas mencapai 40%. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Definisi Perdarahan uterus disfungsional (PUD) didefinisikan sebagai semua perdarahan uterus abnormal yang terjadi semata-mata hanya karena gangguan fungsional mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium, dan bukan disebabkan oleh kelainan organik alat reproduksi, kehamilan, tumor, peradangan, atau penyakit sistemik. 6,7 Terdapat 2 siklus PUD, yaitu siklus ovulatoar dan siklus anovulatoar. Kebanyakan kasus PUD berhubungan dengan keadaan anovulatoar, yang mana paling sering dijumpai pada titik ekstrim dari masa reproduksi (pubertas dan perimenopause). Insidensi PUD ovulatoar sebanyak 10% dan terjadi setelah pubertas dan sebelum perimenopause. Iregularitas menstrualnya berhubungan dengan defek korpus luteum atau suatu perdarahan intermenstrual dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari PUD. 5 Berbagai gangguan pada pelepasan GnRH, FSH, dan LH dapat mengakibatkan anovulasi. Insidensi PUD anovulatoar sebanyak 90%. PUD anovulatoar pada pascamenarche (sebanyak 20%) diakibatkan oleh imaturitas aksis ovarium-hipofise-hipotalamus dan pada perimenopause (sebanyak 50%) diakibatkan oleh penurunan sensitifitas ovarium terhadap stimulasi gonadotropin. Kebanyakan PUD anovulatoar disebabkan karena estrogen withdrawal bleeding atau estrogen breaktrough bleeding. Anovulatoar iatrogenik adalah sekunder terhadap efek samping penggunaan kontrasepsi jangka panjang progesteron seperti DMPA (12-24%) dan penggunaan pil oral kontrasepsi (2-7%). PUD anovulatoar ini merupakan kelainan proliferasi endometrium (terjadinya proliferasi endometrium selama fase sekretorik) Untuk dapat mendiagnosis dan

mengatasi PUD secara tepat, sangat penting untuk memahami dengan baik siklus menstruasi normal. 5

Gambar 1. Siklus Mentruasi 2. 2. Fisiologi Menstruasi Normal Menstruasi adalah keluarnya darah dari vagina, yang berasal dari uterus secara berkala dan siklik sebagai hasil kerja hormon dari aksis hipotalamushipofise-ovarium yang tercermin dari perubahan histologis pada endometrium. 2,8 Variasi di dalam panjang siklus menggambarkan perbedaan panjangnya fase folikular pada siklus ovarium. Beberapa tahun setelah menarche, fase luteal menjadi lebih konsisten (13-15 hari) dan terus berlangsung sampai

perimenopause. Pada umur 25 tahun, lebih dari 40% panjang siklus diantara 25-28 hari; umur 25-35 sebanyak lebih dari 60%. Kurang dari 1% wanita memiliki siklus regular yang berlangsung kurang dari 21 hari dan lebih dari 35 hari. 9,10 Siklus menstruasi normal berkisar antara 21-35 hari. Lamanya antara 4-6 hari, tetapi dapat hanya 2 hari atau sampai 7 hari. Bila lamanya lebih dari 7 hari perlu dievaluasi. Volume darah normal yang keluar selama menstruasi berkisar 10-80 ml, dengan rata-rata 30 ml. Bila darah yang keluar 80 ml atau lebih dapat menyebabkan anemia dan perlu dievaluasi lebih lanjut. 2,5,8 Unsur-unsur yang dikeluarkan pada saat menstruasi terdiri dari darah (merupakan bagian yang terbesar), getah, serpihan endometrium, makrofag, epitel, kolesterol, dan beberapa jenis lipid. 8 Darah menstruasi normal tidak membeku karena di dalamnya ada enzim litik yang dapat memecah bekuan darah di rongga uterus. Oleh karena itu darah haid yang disertai bekuan menjadi pertanda jumlah darah yang terlalu banyak, karena enzim tadi tidak cukup untuk memecah semua bekuan yang ada. Proses pembentukan bekuan itu terjadi di vagina. Ternyata sekitar 92% jumlah darah menstruasi keluar pada 3 hari pertama menstruasi. 8 Terdapat dua cara kerja hormonal yang mendasari proses menstruasi, yang kerjanya: (a) mengatur pematangan dan pengeluaran ovum (b) mengatur uterus untuk menerima embrio jika terjadi fertilisasi. Pada wanita normal kedua cara kerja ini dijumpai pada setiap siklus menstruasi.
8,11

Dalam proses terjadinya menstruasi diperlukan interaksi antara berbagai komponen fungsional siklus menstruasi, yang terdiri dari hipotalamus-hipofiseovarium dan endometrium. Peran terbesar dimainkan oleh hipotalamus-hipofise melalui mekanisme umpan balik positif dan negatif, baik lengkung panjang maupun lengkung pendek. Sekarang diketahui bahwa beberapa polipeptida seperti aktivin dan inhibin juga ikut dalam proses ini. 8

Perdarahan menstruasi siklis yang teratur secara tidak langsung menunjukkan fungsi normal dari aksis tadi. Abnormalitas aksis tersebut mengakibatkan kegagalan ovulasi dan pola perdarahan yang abnormal. 8 Siklus menstruasi normal berawal dari rangsangan nukleus arkuatus di mediobasal hipotalamus setelah menerima rangsangan dari korteks serebri, dengan dikeluarkannya hormon pelepas gonadotropin (gonadotropine releasing hormone, GnRH) atau (luteinizing hormone releasing hormone, LHRH). Sekresi hormon pelepas ini dikendalikan oleh mekanisme umpan balik lengkung panjang yang diatur oleh steroid ovarium dan mekanisme umpan balik lengkung pendek yang diatur oleh gonadotropin hipofisis. 8,11 Pelepasan GnRH merupakan prasyarat untuk berlangsungnya peristiwa siklis berikutnya. Hormon tersebut merupakan suatu hormon dekapeptida yang dilepaskan secara pulsatil (berdenyut). Frekuensi dan amplitudo denyutan itu harus terpelihara dalam rentang krisisnya. Abnormalitas dari sekresi GnRH akan mengakibatkan amenorea. Hal ini berhubungan dengan kehilangan berat badan, kerja fisik atau mental yang berlebihan, dan infertilitas. 8,11 Sebagai jawaban terhadap isyarat dari GnRH, maka di hipofise akan dilepaskan hormon perangsang folikel (Follicle Stimulating Hormone, FSH) dan hormon luteinisasi (Luteinizing Hormone, LH). FSH berperan merangsang pematangan folikel di ovarium. Sedangkan LH dalam jumlah tertentu dibutuhkan sepanjang siklus menstruasi untuk mempermudah sintesis pembakal androgen di dalam stroma ovarium, guna diubah menjadi estrogen di dalam folikel. Lonjakan LH terjadi sebagai tanggapan terhadap kadar estrogen yang tetap tinggi dari folikel yang sedang tumbuh. LH hanya akan bekerja jika ada FSH. Kedua hormon ini bersifat sinergitik. Terjadinya gangguan pada sekresi salah satu atau kedua hormon tersebut akan mengakibatkan perubahan pola ovulasi dan perdarahan. 8,11 Di ovarium, berkat rangsangan FSH dan LH, folikel-folikel akan mengalami pematangan dan diarahkan menjadi folikel matang (folikel de Graaf) yang kemudian akan berovulasi pada siklus tersebut. 8,11 Akibat rangsangan FSH dan LH, folikel akan mengsekresikan estrogen dengan sedikit progesteron dan sedikit sekali androgen. Teka interna merupakan

tempat utama produksi hormon-hormon tersebut. Setelah ovulasi, sekresi progesteron dilanjutkan oleh korpus luteum. 8,11 Pola sekresi dan ekskresi hormon-hormon ovarium telah diketahui dengan jelas. Ketika terjadi haid, kadar estrogen cepat merosot dan menetap rendah pada bagian dini fase folikuler. Dengan berkembangnya folikel, estrogen meningkat dengan cepat dan mencapai puncak dadak. Pada saat ini terjadi lonjakan LH yang mengakibatkan ovulasi. Setelah ovulasi, kadar estrogen cepat menurun kembali disusul dengan peningkatan sekunder sebagai hasil sekresi korpus luteum.
8,11

Progesteron pada fase folikuler kadarnya rendah. Baru setelah ovulasi, kadar itu meningkat secara mantap sebagai hasil produksi korpus luteum. Hormon ini berfungsi mempersiapkan endometrium untuk implantasi. Oleh karena itu abnormalitas pada sekresi hormon ini akan mempengaruhi siklus endometrium, sehingga mengakibatkan pola perdarahan acak. 8,11 Tidak terbentuknya korpus luteum aktif karena anovulasi mengakibatkan rendahnya kadar progesteron dengan estrogen normal. Pengaruh estrogen ini tidak berlawanan, sehingga endometrium mengalami proliferasi yang malar. Akibatnya terjadi pengelupasan endometrium tak beraturan. Pada insufisiensi korpus luteum, karena korpus luteum cepat mengalami regresi, maka kadar progesteron menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan pemendekan siklus menstruasi, polimenorea, atau bercak prahaid. Selain itu berubahnya nisbah estrogen/progesteron dapat pula mengakibatkan pengelupasan endometrium yang tidak teratur. 8,11 Pada keadaan tidak hamil, endometrium mengalami berbagai perubahan siklis mengikuti aktivitas hormon gonadotropin dan hormon ovarium. Perubahan ini terjadi dalam 4 fase, yaitu: 2,4,8 a. Fase menstruasi Secara mendasar, menstruasi adalah terjadinya nekrosis iskemik dari endometrium yang disebabkan vasokonstriksi arteriol spiralis pada lapisan basal, yang diakibatkan oleh penurunan estrogen dan progesteron. Berakhirnya menstruasi diterangkan oleh vasokonstriksi yang berkepanjangan dan amat sangat, juga dipengaruhi oleh mekanisme koagulasi yang diaktivasi oleh stasis vaskular

dan kolaps endometrium, disertai dengan reepitelialisasi yang diperantarai oleh estrogen yang berasal dari kumpulan folikular baru. 2,4,8 Hasil penelitian terkini tidak mendukung teori klasik hipoksia tentang menstruasi. Penelitian gagal memperlihatkan penurunan aliran darah endometrium sebelum menstruasi. Hypoxia-inducible factor (HIF) 1, protein nuklear yang mengaktivasi transkripsi gen sebagai respon untuk menurunkan oksigen selular (sejak awal diketahui sebagai marker yang berperan terhadap hipoksia) hampir saja tidak terdeteksi dan tidak secara luas tersebar di dalam kultur endometrium premenstrual. Secara histologis, endometrium pada menstruasi awal memperlihatkan nekrosis fokal, inflamasi, dan koagulasi daripada hialinisasi difus atau nekrosis koagulasi yang merupakan hasil vasokonstriksi dan hipoksia. Menggantikan teori vaskular, teori baru yang mengakibatkan menstruasi adalah autodigestik enzimatik dari lapisan fungsional endometrium yang dibawahnya terdapat pleksus kapiler yang kemungkinan meluas pada sistem arteriolar spiralis pada lapisan basal. Konsep klasik dari mekanisme yang mengakhiri menstruasi normal tidak berubah, yang meliputi mekanisme koagulasi, vasokonstriksi lokal, dan reepitelialisasi. Semua hal tersebut berperan di dalam hemostasis endometrium menstruasi dengan perubahan vaskular yang memegang peranan penting. 2,4,8 Turunnya kadar progesteron secara cepat pada akhir fase sekresi menyebabkan endometrium tidak terpelihara lagi. Pembuluh-pembuluh dara akan mengalami konstriksi, stasis, dan jaringan endometrium menjadi iskemik dan nekrotik, pembuluh-pembuluh darah mudah pecah dan terjadi ekstravasasi darah yang ditimbun di ruang interstitial. Selanjutnya jaringan endometrium mengalami fragmentasi dan lepas mulai dari permukaan hingga lapisan dalam. Keadaan ini mengakibatkan perdarahan. 4,8 b. Fase pasca menstruum Luka yang terjadi akibat endometrium yang dilepaskan berangsur-angsur tertutup kembali oleh selaput lendir baru yang terjadi dari sel-sel epitel kelenjarkelenjar endometrium. 2,4,8

Pada fase ini tebalnya endometrium 0,5 mm. Fase ini sudah mulai sewaktu fase menstruasi, dan berlangsung 4 hari. 2,4,8

10

c. Fase proliferasi Pada akhir siklus menstruasi, endometrium ditutupi oleh jaringan nekrotik, serpih stroma, dan bekuan darah. Estrogen akan menyebabkan jaringan ini pulih, dan kelenjar-kelenjar dari bentuk tubulus berubah menjadi berkelok pada saat menjelang ovulasi. Sel-sel epitel tumbuh kembali, stroma memadat dan sebagian menunjukkan aktivitas mitosis. Selama fase ini endometrium menebal dari 1 mm menjadi 5 mm, dan berlangsung antara 10-20 hari. 2,12 d. Fase sekresi Perubahan pada fase ini berlangsung sekitar 9-16 hari sejak terjadinya ovulasi, diakibatkan oleh peningkatan kadar progesteron. Penebalan tidak terjadi lagi, bentuk kelenjar berubah menjadi panjang, berkelok dan mengeluarkan getah yang berisi glikogen glikoprotein, glikolipid dan mukopolisakarida sebagai cadangan makanan untuk ovum yang dibuahi. Pembuluh darah juga berkelok. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi menimbulkan umpan balik negatif terhadap gonadotropin, sehingga progesteron akan turun dengan cepat. 2,12 2. 3. Latar Belakang PUD dan Bentuk Kelainannya PUD dapat melatarbelakangi kelainan-kelainan ovulasi, siklus haid, jumlah perdarahan, dan anemia yang ditimbulkannya. Berdasarkan kelainan tersebut maka PUD dapat dibagi seperti pada tabel 1. 8

11

Tabel 1. Latar Belakang Kelainan PUD dan Bentuk Kelainannya Dasar kelainan Ovulasi Siklus Bentuk klinis PUD ovulatorik PUD anovulatorik Metroragia Polimenorea Oligomenorea Jumlah perdarahan Amenorea Menoragia Perdarahan bercak prahaid Anemia Perdarahan bercak pascahaid PUD ringan PUD sedang PUD berat Secara rinci pengertian dari keadaan tersebut adalah sebagai berikut: Perdarahan uterus disfungsional ovulatorik Perdarahan abnormal yang terjadi pada siklus ovulatorik. Dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi korpus luteum. 2,8 Dikenal beberapa jenis PUD dengan siklus ovulatorik: Oligomenorea karena fase proliferasi memendek Ovarium yang kurang peka terhadap rangsangan FSH, atau disfungsi hipotalamus-hipofise akan mengakibatkan hambatan folikulogenesis. Dampaknya adalah hambatan pada kenaikan estrogen yang diperlukan untuk memicu lonjakan LH sebelum ovulasi. Fase sekresi pada keadaan ini berlangsung normal. 2,8 Polimenorea karena fase proliferasi memendek Fase proliferasi memendek diakibatkan oleh gangguan irama pengeluaran FSH dari hipofise, atau ovarium sangat peka (hipersensitif) terhadap FSH.

12

Pada keadaan ini terjadi lonjakan LH dan ovulasi yang terlalu dini, yang diikuti oleh haid yang terlalu cepat. 2,8 Insufisiensi korpus luteum Kegagalan perkembangan korpus luteum mengakibatkan penurunan sekresi progesteron dan estrogen pada fase luteal. Keadaan ini disebabkan oleh kadar FSH yang kurang tinggi pada saat lonjakan LH. Regresi korpus luteum yang terlalu cepat mengakibatkan pemendekan siklus haid, polimenorea atau bercak prahaid. 2,8 Aktivitas korpus luteum memanjang Kadangkala regresi korpus luteum terlambat, sehingga fase sekresi memanjang akibat progesteron yang tetap tinggi, yang dihubungkan dengan gangguan mekanisme umpan balik negatif, atau adanya kista korpus luteum. Perdarahan yang terjadi bukan karena kadar progesteron yang rendah (perdarahan lucut progesteron), melainkan akibat penurunan relatif kadar progesteron yang mengakibatkan endometrium mengelupas tidak teratur (irregular shedding). Secara klinis keadaan ini tampil sebagai siklus memanjang (oligomenorea) disertai perdarahan banyak dan lama (hipermenorea). 2,8 Perdarahan uterus disfungsional anovulatorik Perdarahan abnormal yang terjadi pada siklus anovulatorik. Dasarnya adalah defisiensi progesteron dan kelebihan estrogen akibat tidak terbentuknya korpus luteum aktif karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian kadar progesteron rendah dan estrogen relatif tinggi. Gangguan yang menyebabkan anovulasi adalah sebagai berikut: 2,8 Gangguan fungsi sentral Hipotalamus mengeluarkan GnRH jika ada rangsangan dari korteks serebri atau mekanisme umpan balik. Intensitas pengeluaran hormon ini terkadang

13

tidak adekuat dalam menjawab permintaan steroid folikel. Keadaan ini sering terjadi pada usia remaja, cekaman psikis, ketakutan, anoreksia nervosa, penurunan berat badan yang terlalu cepat, dan hiperprolaktinemia. Pada keadaan ini kadar FSH rendah, sehingga produksi estrogen dan progesteron juga akan rendah dan tidak mampu memicu lonjakan LH pada pertengahan siklus. 2,8 Gangguan fungsi umpan balik Gangguan ini diakibatkan oleh hilangnya rangsangan FSH atau LH. Kadar estrogen yang tidak menuruti siklus, menyebabkan hilangnya rangsangan FSH. Sekresi estrogen yang menetap menyebabkan estrogen tetap tinggi sehingga FSH dihambat. Keadaan ini dijumpai pada kehamilan, tumor adrenal, kelainan metabolisme estrogen, misalnya pada kelainan hati atau kelainan tiroid. 2,8 Lonjakan LH akan hilang bila sekresi estrogen relatif kurang atau produksi hormon steroid rendah. Keadaan ini dijumpai pada usia perimenopause, karena adanya gangguan interaksi antara folikel dan hormon gonadotropin. 2,8 Gangguan fungsi ovarium Ovarium yang tidak peka terhadap rangsangan FSH atau LH akan mengakibatkan produksi hormon steroid ovarium terhambat. Keadaan ini sering dijumpai pada kegagalan ovarium bilamana rangsangan FSH dan LH berlangsung normal, tetapi dinding ovarium menebal. Oleh karena itu lonjakan LH tidak cukup mampu memicu pecahnya folikel. Gambaran ini diperlihatkan oleh ovarium polikistik. 2,8 Perdarahan uterus disfungsional ringan PUD dengan kadar Hb 12 g/dL. 2,8 Perdarahan uterus disfungsional sedang PUD dengan kadar Hb diantara 10-12 g/dL. 2,8

14

Perdarahan uterus disfungsional berat PUD dengan kadar Hb < 10 g/dL. Ada juga yang mengatakan < 8 g/dL. 2,8

Perdarahan uterus disfungsional akut PUD dengan jumlah perdarahan pada satu saat lebih dari 80 ml, terjadi pertama kali atau berulang, dan memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera. 2,8

Perdarahan uterus disfungsional kronik PUD dengan perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml, terjadi terusmenerus atau tidak hilang dalam dua siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari perdarahan setiap siklus lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian perdarahan segera dan dapat terjadi sebagai kelanjutan PUD akut. 2,8

Metroragia Perdarahan uterus yang memanjang pada interval yang sama sekali tidak teratur. 2,8

Polimenorea Perdarahan uterus yang terjadi pada interval yang teratur kurang dari 21 hari. 2,8

Perdarahan antar menstruasi Perdarahan yang jumlahnya beragam, terjadi antara haid yang teratur. 2,8

Oligomenorea Menstruasi dengan siklus memanjang lebih dari 35 hari. 2,8

15

Amenorea Tidak terjadinya menstruasi selama 3 bulan berturut-turut. 2,8

Menoragia (hipermenorea) Perdarahan uterus yang berlebihan dan memanjang yang terjadi menurut interval yang teratur. 2,8

Bercak pramenstruasi Perdarahan ringan yang terjadi beberapa hari hingga satu minggu sebelum menstruasi. 2,8

Bercak pascamenstruasi Perdarahan ringan yang terjadi beberapa hari hingga satu minggu sesudah menstruasi. 2,8

2. 4. Patogenesis PUD Patogenesis PUD belum seluruhnya terungkap. Beberapa faktor telah diketahui berperan dalam peristiwa ini, yaitu: 9,10 a. Faktor hormon seks steroid Berdasarkan pengaruh hormon seks steroid, dibagi patogenesis PUD dalam 4 kelompok sebagai berikut: 9,10 Perdarahan bercak estrogen (estrogen breakthrough bleeding) Tidak adanya ovulasi menyebabkan korpus luteum aktif tidak terbentuk, sehingga kadar progesteron serum rendah. Pada pihak lain, estrogen sejak awal siklus meningkat lamban, umpan balik negatif tidak terjadi, sehingga FSH dan LH tetap tinggi tanpa adanya lonjakan LH. Akibatnya, rangsangan estrogen terhadap endometrium berlangsung lama dan terusmenerus tak berlawan. Ini akan menimbulkan hiperplasia endometrium.

16

Pada suatu saat, estrogen ini mencapai nilai ambang mendatar atau turun, sehingga tidak mampu lagi mempertahankan endometrium. Endometrium yang tebal akibat pengaruh estrogen tak berlawan (oleh progesteron) tadi akan mengalami gangguan vaskularisasi pada bagian permukaan, sehingga timbul nekrosis dan perdarahan. Keadaan ini mengakibatkan lepasnya endometrium. 9,10 Perdarahan lucut estrogen (estrogen withdrawal bleeding) Pada keadaan ini kadar estrogen tidak adekuat sehingga tidak mampu memicu lonjakan LH yang menyebabkan ovulasi tidak terjadi. Namun demikian mekanisme hormonal lain tetap berlangsung, sehingga penurunan FSH segera diikuti dengan penurunan estrogen yang mendadak. Keadaan ini mengakibatkan terkelupasnya endometrium secara tidak sempurna dan berkepanjangan. Dapat terjadi setelah tindakan oophorektomi bilateral, radiasi folikel-folikel yang matang, kemoterapi untuk keganasan, atau pemberian estrogen untuk wanita-wanita yang ovariumnya sudah diangkat, dimana pemberian estrogen tersebut dihentikan. Keluarnya bercak pada pertengahan siklus dapat terjadi sebagai akibat penurunan estrogen yang memicu terjadinya ovulasi. 2,9,10 Perdarahan bercak progesteron (progesteron breakthrough bleeding) Pada keadaan ini perdarahan terjadi akibat terganggunya keseimbangan nisbah progesteron terhadap estrogen. Terapi progesteron dalam jangka waktu lama tanpa diimbangi kadar estrogen yang memadai menyebabkan timbulnya perdarahan dengan lama perdarahan yang bervariasi, sebagaimana terjadi pada perdarahan bercak estrogen dosis rendah. Hal ini merupakan pola perdarahan yang dapat ditemukan bersamaan dengan pemberian metode kontrasepsi kerja lama berisi progestin saja, seperti Norplant dan Depo-Provera. 2,9,10

17

Perdarahan lucut progesteron (progesteron withdrawal bleeding) Penurunan mendadak kadar progesteron, akan menyebabkan iskemia pada endometrium fase proliferasi yang diikuti oleh nekrosis. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya deskuamasi lapisan endometrium. Untuk terjadinya perdarahan kategori ini, endometrium harus terproliferasi oleh estrogen, baik endogen ataupun eksogen. Perdarahan lucut progesteron masih dapat timbul jika terapi dengan estrogen dilanjutkan setelah pemberian progesteron dihentikan. Hanya peningkatan estrogen 10-20 kali lipat yang akan menunda terjadinya perdarahan lucut progesteron. 2,9,10 b. Prostaglandin endometrium Prostaglandin yang berperan dalam mekanisme perdarahan adalah PGE2 dan PGF2. Sintesis kedua senyawa ini dipengaruhi oleh progesteron, estrogen dan prolaktin. 8 c. Lisosom endometrium (teori enzim) Lepasnya endometrium pada peristiwa haid juga disebabkan oleh enzim hidrolase asil yang disimpan dalam badan Golgi lisosom sel endometrium. Fosfolipase A2 merupakan jenis terpenting dari enzim ini, dan berperan pada pengeluaran asam arakhidonat dari fosfolipid. Asam arakhidonat merupakan pembakal prostaglandin tersebut. 8 Progesteron berperan merangsang pembentukan lisosom dan menstabilkan lisosom, bilamana kadar stabilitas lisosom akan terganggu. Akibatnya, enzim fosfolipase A2 keluar ke sitoplasma untuk mengaktifkan riam pembentukan prostaglandin. Di pihak lain hancurnya lisosom akan diikuti pula oleh pengeluaran enzim-enzim hidrolase yang berkhasiat menghancurkan jaringan. 8 d. Regenerasi dan epitelisasi jaringan endometrium Pada keadaan normal, pelepasan endometrium ketika menstruasi akan segera diikuti oleh regenerasi dan pembentukan epitel. Proses ini

18

dimulai pada hari kedua atau hari ketiga dan selesai pada hari kelima menstruasi. Epitelisasi terjadi bersamaan dengan keluar dan berhentinya darah menstruasi, serta bergantung pada rangsangan estrogen. Keterlambatan regenerasi dan epitelisasi akan mengakibatkan perdarahan banyak dan lama. 8 2. 5. Gejala Klinis PUD Perbedaan gejala klinis dari PUD siklus ovulatoar dan anovulatoar yaitu : 5 Siklus Ovulatoar 1. Perubahan dalam jumlah perdarahan dan siklus yang normal: hari) 2. Adanya gejala premenstruasi (payudara tegang, perut kembung, perubahan mood) 3. Dismenorea 4. Mittleschmertz 5. Perubahan pada mukus serviks 6. Kurva temperatur yang bifasik 7. Hasil yang positif dari penggunaan alat prediktor LH Menorrhagia (jumlah perdarahan >80 ml) atau Lamanya perdarahan memanjang (>7

Siklus Anovulatoar 1. Perubahan dalam jumlah perdarahan dan siklus yang abnormal: Kadar rendah unopposed estradiol atau estrogen: jumlah perdarahan sedikit-sedikit (spotting) dan frekuensinya jarang. Kadar yang tinggi dari unopposed estradiol atau estrogen: perdarahan withdrawal yang masif dan siklus memanjang. 2. Tanpa gejala premenstruasi 3. Tidak terdapat perubahan pada mukus serviks

19

4. Kurva temperatur monofasik 5. Hasil yang negatif dari penggunaan alat prediktor LH Estrogen Withdrawal Bleeding Satu contoh klinisnya adalah menjalani oovorektomi bilateral selama fase folikular dari siklus. Perdarahan yang terjadi setelah pengangkatan kedua ovarium dapat dihambat dengan terapi estrogen eksogen, namun perdarahan akan terjadi ketika terapi dihentikan. Contoh lain adalah terapi hormon estrogen pada wanita yang disterilisasi atau wanita pascamenopause dan perdarahan pertengahan siklus.
9,10

Estrogen Breakthrough Bleeding Contoh klinis yang paling baik yaitu pola yang berbeda dari perdarahan yang terjadi pada wanita dengan anovulasi kronik. Jumlah dan lamanya estrogen breakthrough bleeding secara luas dapat berbeda, tergantung dari jumlah dan durasi stimulasi estrogen yang diterima endometrium. Pajanan kadar estrogen yang rendah secara kronik khususnya mengakibatkan spotting atau staining yang secara umum sedikit di dalam volumenya namun dapat berkepanjangan. Sebaliknya, stimulasi kadar estrogen yang tinggi secara terus menerus secara umum menghasilkan interval yang panjang dari amenorrhoe oleh karena episode akut dari perdarahan masif yang sering terjadi dan bervariasi di dalam durasinya.
9,10

Progesterone Withdrawal Bleeding Perdarahan ini terjadi ketika terapi dengan progesteron eksogen atau progestin sintetik dihentikan. Perdarahan ini biasanya terjadi hanya ketika endometrium didahului oleh rangsangan estrogen endogen atau eksogen. Jumlah dan durasi perdarahan dapat berbeda secara luas dan secara umum berhubungan dengan kadar dan durasi estrogen yang menstimulasi proliferasi endometrium sebelumnya. Pada wanita yang memiliki kadar estrogen rendah yang sebenarnya atau amenorrhoe jangka pendek, perdarahan secara umum ringan sampai kurang

20

dan dapat tidak terjadi secara keseluruhan. Pada penderita dengan kadar estrogen yang tinggi secara terus-menerus atau interval yang panjang dari amenorrhoe, perdarahan dapat banyak dan kadang-kadang berkepanjangan, namun hal ini tetap dapat sembuh dengan sendirinya. Diantara yang ekstrim, jumlah dan durasi perdarahan yang diinduksi progesterone withdrawal secara khusus mirip dengan akhir dari siklus ovulatoar yang normal. Pada wanita yang mendapatkan terapi hormonal yang siklik dengan estrogen dan progesteron eksogen, perdarahan mengikuti progesterone withdrawal meskipun terapi estrogen tetap berlanjut Perdarahan progestin withdrawal dapat dihambat, namun hanya jika kadar estrogen meningkat 10-20 kali lipat. 9,10 Progesteron Breakthrough Bleeding Perdarahan ini terjadi ketika rasio progesteron-estrogen tidak begitu tinggi. Meskipun terdapat estrogen yang cukup untuk menyeimbangkan aksi ini, terapi yang berkelanjutan dengan progesteron eksogen atau progestin sintetik menghasilkan perdarahan yang intermiten yang durasinya bervariasi yang secara umum ringan. Polanya sangat mirip dengan breakthrough bleeding kadar estrogen yang rendah yang dijelaskan di atas. Contoh klinis dari perdarahan ini adalah perdarahan yang terjadi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi progestin mini-pill atau metode kontrasepsi progestin jangka panjang lainnya (implan progestin, depot medroksiprogesteron asetat). Breakthrough bleeding terjadi pada wanita yang menggunakan kombinasi kontrasepsi oral estrogen-progesteron yang juga merupakan bentuk dari progesterone breakthrough bleeding. Meskipun semua kontrasepsi oral standar mengandung estrogen dan progestin, komponen progestin selalu merupakan hormon dominan dan keuntungan kontrasepsi oral pada endometrium secara besar adalah untuk kehamilan. 9,10 2. 6. Diagnosis PUD Diagnosis PUD dibuat dengan menyingkirkan adanya kelainan uterus atau kelainan medis lain. Langkah utama dan yang paling penting dalam membuat diagnosis PUD adalah anamnesis yang teliti sehingga mengetahui bagaimana

21

karakteristik haid dan juga pemeriksaan fisik yang baik dan ditunjang oleh pemeriksaan penunjang. 2,5,8 Anamnesis Dari riwayat penyakit perlu diketahui usia menarche, siklus pasca menarche. Begitu pula jenis, lama, dan jumlah darah haid, sifat keteraturan interval perdarahannya, keadaan emosi penderita, serta kontrasepsi apa yang dipakai. Awitan perdarahan juga harus diketahui dengan pasti. Selain itu diperlukan anamnesis lain untuk menyingkirkan kelainan organik, patologi kehamilan seperti kehamilan ektopik, trauma, peradangan, kelainan sistemik, atau kelainan hematologis. 2,5,8 Adanya nyeri sering menunjukkan adanya patologi lain, sedangkan bekuan darah menandakan perdarahan yang sudah cukup banyak. Tetapi sebenarnya, untuk menentukan jumlah haid baik oleh penderita ataupun dokter sebenarnya kurang akurat, karena separuh dari wanita yang mengeluh darah haidnya berlebihan sebenarnya tidak berlebihan jumlah darah haidnya. Wanita sebenarnya mengetahui pola perdarahan haid mereka sendiri, sehingga bila mereka sampai mencari pertolongan dokter berarti perdarahan sudah kurang dari pola haid mereka. 2,8 Pemeriksaan Fisik - Umum Keadaan umum penderita diperiksa berdasarkan perdarahan yang terjadi. Sebab lain yang mungkin berhubungan dengan perdarahan juga perlu dicari, seperti tanda hipo/hipertiroid, kelainan hematologis, atau pembesaran organorgan. 2,5,8 - Ginekologis Kelainan genitalia interna perlu dicari, seperti erosi, radang, tumor atau keganasan, dan infeksi. Penderita dengan himen yang utuh diperiksa melalui rektum dan apabila mungkin disertai dengan vaginoskopi. 2,8 Pemeriksaan penunjang

22

A. Pemeriksaan Laboratorium Tes laboratorium dapat menolong namun tidak selalu diperlukan. Tes laboratorium ini meliputi : 9,10 1. Tes kehamilan sensitif dapat dengan cepat menyatakan adanya kemungkinan yang mungkin terjadi bahwa perdarahan berhubungan erat dengan kecelakaan atau komplikasi kehamilan. 2. Hitung darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau trombositopenia adalah penting pada wanita dengan riwayat perdarahan yang banyak atau berkepanjangan. 3. Penentuan serum progesteron pada saat yang tepat selama fase luteal dapat membantu menentukan ovulasi atau anovulasi ketika keraguan terjadi. Nilai yang lebih dari 3 ng/ml merupakan bukti bahwa ovulasi baru saja terjadi. Namun, ketika episode perdarahan sering terjadi atau sulit ditentukan, waktu yang tepat untuk mengukur progesteron dapat sulit ditetapkan. 4. Pada wanita anovulatoar, kadar TSH dapat dengan cepat menentukan adanya kelainan tiroid. 5. Pada masa pubertas, mereka yang dicurigai adanya riwayat perorangan atau keluarga dan mereka yang mengalami menorrhagia yang tidak jelas penyebabnya, adanya kelainan perdarahan yang mencurigakan adalah indikasi yang cukup untuk skrining adanya kelainan koagulasi. Ristocetin cofactor assay untuk fungsi faktor Von Willebrand dapat merupakan penyaring tunggal terbaik untuk penyakit tersebut. Namun konsultasi dengan hematologis dianjurkan karena metode pemeriksaan, pilihan, dan interpretasi bervariasi. 6. Tes fungsi hati atau ginjal diindikasikan hanya untuk mereka yang diketahui atau dicurigai kuat menderita penyakit tersebut. 9 B. Biopsi Aspirasi Dapat menyatakan adanya hiperplasia endometrium atau keganasan. Umur 40 tahun atau lebih merupakan faktor risiko dari penyakit endometrium dan merupakan indikasi untuk dilakukan biopsi pada wanita dengan perdarahan

23

abnormal. Hiperplasia endometrium dan keganasan umumnya terdeteksi pada usia tua daripada usia muda, namun lamanya pajanan terhadap stimulasi estrogen merupakan faktor risiko yang lebih penting. Dalam rangka mengungkap beberapa penyakit endometrium intrinsik, biopsi dapat membantu untuk mengevaluasi lebih lanjut atau untuk menunjukan pilihan terapi pada wanita dengan riwayat perdarahan abnormal yang meragukan. Pada wanita dengan perdarahan abnormal dan tidak terpapar progestasional eksogen pada waktu yang dekat, sekret endometrium merupakan bukti yang dapat diandalkan dari ovulasi yang baru saja terjadi dan sinyal yang diperlukan untuk mencari penyebab anatomis. 9,10 C.USG USG uterus dapat membantu untuk membedakan perdarahan anovulatoar dari penyebab anatomis, mioma, dan polip endometrium. USG transvaginal dapat menyediakan informasi yang akurat tentang ukuran dan lokasi dari fibroid uterus yang dapat menjelaskan perdarahan abnormal atau bekas gumpalan perdarahan oleh sebab lain. USG dapat mengungkap lesi kavitas yang nyata atau kelainan endometrium berupa "garis" yang tipis maupun tebal. Garis endometrium yang tipis (kurang dari 5 mm) dan bahan untuk pengambilan biopsi adalah minimal atau tidak ada, dianjurkan endometrium yang meluruh paling baik diterapi untuk pertama kali dengan estrogen daripada dengan progestin atau kombinasi estrogenprogestin. Biopsi tidak diperlukan ketika ketebalan endometrium kurang dari 5 mm. Biopsi ini diindikasikan ketika riwayat klinis menunjukan paparan estrogen jangka panjang meskipun ketebalan endometrium adalah normal (5-12 mm), dan biopsi tersebut harus dilakukan ketika ketebalan endometrium lebih dari 12 mm meskipun kecurigaan klinis atau adanya penyakit adalah rendah. 9,10 D. Sonohisterografi Sonohisterografi, juga termasuk ultrasound transvaginal selama atau setelah pemberian saline steril dengan kateter yang bervariasi (juga dikenal sebagai hidrosonografi dan sonografi infus saline) dapat dengan jelas memperlihatkan kontur kavitas dan dapat memperlihatkan sampai lesi uterus yang

24

kecil sekalipun. Sensitifitas dan spesifisitas sonohisterografi melampaui USG transvaginal dan dibandingkan dengan baik dengan histeroskopi. Kombinasi sonohisterografi dan biopsi endometrium mempunyai sensitifitas tinggi dan nilai perkiraan negatif yang tinggi untuk mendeteksi kelainan patologis endometrium dan uterus pada wanita dengan perdarahan abnormal. 9,10 E. Histeroskopi Histeroskopi merupakan metode definitif yang baik untuk diagnosis dan terapi kelainan uterus yang simptomatik, namun juga jelas paling invasif. Histeroskopi merupakan cadangan untuk terapi penyakit terhadap metode lainnya yang kurang invasif. Namun operatif histeroskopik modern memiliki diameter terluar 2-3 mm yang dapat terdiagnosa dan prosedur operatif minor dapat dilaksanakan. Kelainan intrauterin mayor umumnya memerlukan histeroskopi operatif tradisional dengan menggunakan instrumen dengan kaliber yang lebih besar dan lebih dalam kemampuannya. 9,10 Secara umum, diagnosis USG uterus merupakan cadangan pada wanita yang riwayat menstruasinya atau hasil evaluasi lainnya menyediakan bukti yang kuat untuk penyebab anatomik dari perdarahan abnormal. 9,10 2. 7. Diagnosis Banding Penyebab lain yang menyebabkan perdarahan uterus harus dipikirkan sebelum membuat diagnosis PUD seperti di bawah ini: 1. 2. 3. Kelainan anatomis uterus (hiperplasia endometrial, keganasan endometrial, polip, leiomioma, infeksi, benda asing). Kelainan kehamilan (aborsi, kehamilan ektopik, tumor trofoblastik). Koagulopati (penyakit von-Willebrand faktor VIII, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura); sebanyak 20% remaja dengan PUD memiliki kelainan koagulopati. 4. 5. Kelainan anatomis servikal (keganasan, infeksi). Penyakit hati (sirosis, hepatitis).

25

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Terapi antikoagulan. Obat-obatan: narkotik (morfin dan zat penyalahgunaan lainnya), reserpin, monoamin oksidase inhibitor, fenotiazin, obat antikolinergik. Penyakit tiroid (hipertiroidism, hipotiroidism). Gagal ginjal kronik. Hormon eksogen (terapi estrogen, kontrasepsi oral). Penyakit adrenal (insufisiensi, hiperplasia). Tumor fungsional ovarium (sel tumor granulosa, sel tumor Sertoli-Leydig) yang memproduksi estrogen. 2

2. 8. Penatalaksanaan Secara umum dalam penatalaksanaan PUD perlu diperhatikan faktor-faktor berikut ini: 5,6 (a) Umur, status pernikahan, dan fertilitas Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenarche, reproduksi, dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara penderita yang belum dan sudah menikah, atau yang tidak dan yang ingin anak. (b) Berat, jenis dan lama perdarahan Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau tidak. (e) Kelainan dasar dan prognosisnya Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.

Pada dasarnya, tujuan penatalaksanaan PUD adalah: 8,9,10 1. memperbaiki keadaan umum 2. menghentikan perdarahan 3. mengembalikan fungsi hormon reproduksi, yang meliputi: pengembalian sikius haid abnormal menjadi normal, pengubahan siklus anovulatorik

26

menjadi

ovulatorik,

atau

perbaikan

suasana

sehingga

terpenuhi

persyaratan untuk pemicuan ovulasi, dan 4. menghilangkan ancaman keganasan.

Setelah diagnosis PUD ditegakkan, dan keadaan umum diketahui, maka langkah pertama yang harus dikerjakan adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk mengatasi anemia. Langkah kedua adalah menghentikan perdarahan, baik seeara hormonal, maupun operatif. Setelah keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya pengembalian fungsi normal siklus haid dengan cara mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi. Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturut-turut. Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk meniadakan patologi yang ada guna mencegah berulangnya PUD. 8,9,10

Langkah-langkah tersebut di atas diuraikan lebih rinci sebagai berikut: 1. Perbaikan keadaan umum Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk, pada keadaan PUD akut anemia yang terjadi harus segera diatasi dengan transfusi darah. Pada PUD kronik keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah. 5,8

2. Penghentian perdarahan Pemakaian terapi hormonal Karena anovulasi merupakan penyebab paling sering dari PUD, terapi dengan agen progestasional menjadi lini pertama terapi PUD. 2 a). Terapi Progestin Progesteron dan progestin merupakan suatu zat antiestrogenik kuat bilamana diberikan dalam dosis farmakologik. Progestin menstimulasi aktivitas 17b-hidroksisteroid dehidrogenase dan sulfotransferase, yang

27

mana merubah estradiol menjadi estron sulfat. Progestin juga mengurangi efek estrogen terhadap sel target dengan menghambat penambahan jumlah reseptor estrogen. Sebagai tambahan, estrogen menekan transkripsi onkogen yang dimediasi estrogen. Pengaruhnya termasuk antimitosis, dan antiperkembangan endometrium (mencegah dan pembalikan hiperplasia, dan atrofi yang nyata selama kehamilan atau sebagai respon terhadap kontrasepsi oral kombinasi). 9 Sehubungan dengan terapi oligomenorea, perdarahan lucut minimal yang terjadi secara rutin dapat diatasi dengan pemberian progestin seperti medroksiprogesteron asetat, 5-10 mg per hari selama paling sedikit 10 hari tiap bulannya. Beberapa sediaan lain adalah noretisteron, megestrol asetat, didrogesteron dan linestrenol. Noretisteron dapat menghentikan perdarahan setelah 24-48 jam dengan dosis 20-30 mg/hari, megestrol asetat dan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari selama 10 hari, serta linestrenol dengan dosis 15 mg/hari selama 10 hari. Perlu pemeriksaan lanjut bila tidak ada perdarahan yang harusnya muncul setelah terapi. 8,9 Untuk terapi disfungsional menometrorhagi atau polimenorea, progestin diberikan selama 10 hari sampai 2 minggu yang akan diikuti oleh perdarahan lucut (disebut juga kuretase medisinalis). Setelahnya ulangi pemberian progestin secara siklik selama paling sedikit 10 hari tiap bulannya untuk menjamin efek terapeutik. Kegagalan progestin untuk mengatasi perdarahan ireguler membutuhkan evaluasi diagnostik ulangan. Jika menginginkan penggunaan kontrasepsi, maka pemilihan kontrasepsi oral sebagai terapi merupakan pilihan yang lebih baik. 9 b). Terapi Kontrasepsi Oral Pada wanita muda, perdarahan anovulatoar dapat dikaitkan dengan stimulasi estrogen endogen unopposed yang memanjang, berakibat memanjangnya pula proses perkembangan endometrium, sehingga

28

dapat menyebabkan perdarahan hebat. Pada kasus demikian dapat digunakan terapi kombinasi progestin-estrogen dalam bentuk pil kontrasepsi kombinasi. Kontrasepsi oral dosis rendah (kurang dari 50 g estrogen) sangat efektif dalam mengatasi perdarahan baik akut maupun kronis. Terapi diberikan sebanyak 1 pil dua kali sehari, selama 5-7 hari. Perdarahan akan berhenti dalam waktu 12-24 jam. Pasien harus diberi penjelasan akan adanya perdarahan lucut progestinestrogen yang hebat, disertai kram perut berat, dua sampai empat hari setelah terapi dihentikan. Pada terapi yang berhasil, pengobatan lanjutan diberikan pada hari ke-5 menstruasi (perdarahan lucut progestin-estrogen) sebanyak 1 pil sehari. 2,10 Jika pasien tidak menginginkan penggunaan kontrasepsi, maka pengobatan lanjutan seperti tersebut diatas diberikan selama tiga siklus dan setelahnya pasien dapat diterapi dengan medroksiprogesteron asetat tiap bulan. Perdarahan lucut progestin akan terjadi 2-7 hari setelah penggunaan pil terakhir. Dengan terapi ini, perkembangan endometrium yang berlebihan dapat dicegah, dan dicegah pula peningkatan risiko keganasan endometrium dan kemungkinan keganasan payudara. Jika menginginkan penggunaan kontrasepsi, penggunaan kontrasepsi oral secara rutin memiliki pula nilai profilaksis. 2,10 Untuk pasien dengan kepatuhan minimal dapat diberikan depot medroksiprogesteron asetat 150 mg intramuskular tiap 3 bulan (dosis kontrasepsi). 2,10 c). Estrogen Pada kasus dimana terjadi perdarahan yang memanjang dan terdapat ketidakcukupan jaringan untuk kerja progestin, maka diindikasikan pemberian estrogen untuk menyebabkan perkembangan pesat endometrium. Lebih jauh lagi estrogen menstimulasi pembentukan clot pada kapiler. Estrogen dipakai pada PUD untuk

29

menghentikan perdarahan karena memiliki berbagai khasiat, yaitu: penyembuhan luka (healing effect), pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah, vasokonstriksi karena merangsang pembentukan prostaglandin, meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin, serta menghambat proses fibrinolisis. 2,8,10 Pasien dengan perdarahan akut atau hebat diberikan 25 mg estrogen konjugasi intravena tiap 4 jam sampai perdarahan terkontrol, atau selama 12 jam. Dapat pula digunakan estrogen oral, 1,25 mg estrogen konjugasi atau 2 mg estradiol tiap 4 jam selama 24 jam, diikuti 1,25 mg per hari selama 7-10 hari. Setelah terapi tersebut dilanjutkan dengan penggunaan secara siklik kontrasepsi oral dosis rendah untuk menginduksi perdarahan lucut. Terapi medroksiprogesteron asetat, bersamaan dengan atau diikuti oleh terapi estrogen dapat diberikan. Untuk mencegah episode ulangan dari PUD harus dipertimbangkan penggunaan kontrasepsi oral. 2 Untuk kasus dengan perdarahan yang lebih sedikit, sebagaimana terlihat dimana ditemukan penggunaan kontrasepsi oral jangka panjang, depot progestin, atau kontrasepsi Norplant, dapat digunakan 1,25 mg estrogen konjugasi per oral atau 2 mg estradiol per oral selama 7-10 hari. Pada kasus ini terjadi pengaruh progestin yang memanjang terhadap endometrium dimana tidak terdapat estrogen endogen atau eksogen, sehingga berakibat pseudoatrofi endometrium farmakologik. Endometrium tersusun dari stroma pseudodesidua dan pembuluh darah dengan sedikit kelenjar yang mengacu pada fragilitas endometrium dan perdarahan. Paparan terhadap estrogen eksogen jangka pendek secara efektif menekan perdarahan tipe ini. 2,10 Terapi inisial dengan estrogen harus diambil bila ditemui hal-hal sebagai berikut : 1. perdarahan banyak selama beberapa hari, dan tampak kavum uteri hanya dibatasi oleh membrana basalis. 2. bila pada kuretase hanya menghasilkan jaringan minimal.

30

3. bila pasien dalam medikasi progestin (kontrasepsi oral atau intramuskular progestin), dan endometrium dangkal dan atrofi. 4. bila pada follow-up tampak meragukan, sebab estrogen akan menghentikan sementara semua kategori PUD. 10 Jika terapi estrogen tidak menghentikan perdarahan secara signifikan dalam 24 jam, harus segera dilakukan evaluasi ulang dan mungkin dibutuhkan kuretase. 10 Pengobatan dengan menggunakan estrogen harus diambil oleh klinisi bersama pasien setelah menimbang risiko dan keuntungan yang melingkupi masalah perdarahan uterus, sehubungan dengan peningkatan risiko komplikasi vaskular. Pada wanita dengan riwayat penyakit dahulu atau riwayat penyakit keluarga dengan tromboemboli vena idiopatik, paparan terhadap dosis tinggi estrogen harus dihindari.
10

c). Androgen Androgen merupakan pilihan lain bagi penderita yang tidak cocok dengan estrogen dan progesteron. Pengaruh sampingan yang perlu diperhatikan adalah maskulinisasi. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah isoksasol (danazol), dan metil testosteron. Danazol merupakan suatu turunan 17 -a-etiniltestosteron. Dosis yang diberikan adalah 200 mg/hari selama 12 minggu. Danazol memiliki beberapa mekanisme aksi sebagai berikut : 1. mengikat androgen, progesteron, dan reseptor glukokortikoid yang menyebabkan aksi antagonis maupun agonis. 2. mengikat globulin pengikat hormon seks (memindahkan testosteron dan meningkatkan testosteron bebas). 3. mencegah FSH pada pertengahan siklus dan LH surge tanpa penekanan signifikan dari FSH basal dan LH. 4. menghambat enzim-enzim yang terkait dalam steroidogenesis.

31

2,8

Kombinasi dari mekanisme diatas menghasilkan lingkungan dengan estrogen yang rendah dimana tidak mendukung perkembangan endometrium dan menyebabkan amenorea. Penggunaan danazol terbatas karena harganya yang mahal, efek samping androgenik (maskulinisasi) dan efek androgenik negatif terhadap profil lipid. Senyawa ini tidak berkhasiat jika diberikan secara siklis pada fase proliferasi awal dan fase sekresi. 2,8 Metil testosteron diberikan dengan dosis 10 mg/hari selama 7 hari prahaid pada perdarahan siklus atau hari ke 10 pasca perdarahan pada perdarahan asiklis. 8 d). Terapi AKDR dengan Progestin Pemberian agen progestasional secara lokal dimungkinkan dengan penggunaan progesteron alat atau kontrasepsi dalam rahim yang melepaskan dengan levonorgestrel. Pada perbandingan

antiprostaglandin dan antifibrinolitik, hasilnya ternyata sangat dramatis. Berkurangnya menstruasi tercapai 96% setelah 12 bulan, bahkan beberapa pasien amenorea. Hal ini merupakan opsi menarik bagi pasien dengan PUD yang tidak mempan dengan terapi lain, disertai penyakit kronis (misalnya gagal ginjal kronis). AKDR dengan progestin juga pilihan yang bagus untuk wanita dengan ovulasi normal yang memiliki perdarahan menstruasi sangat banyak. 10 e). GnRH Agonis Terapi dengan regimen ini dapat memberikan kelegaan sementara dari masalah perdarahan seperti gagal ginjal kronik atau diskrasia darah. Merupakan pilihan yang baik untuk pasien yang mengalami gangguan perdarahan menstruasi setelah transplantasi organ dimana toksisitas dari obat-obat imunosupresif menyebabkan penggunaan

32

hormon seks steroid kurang dianjurkan. Tetapi terapi ini tidak untuk digunakan untuk terapi kronik karena biayanya besar dan efek samping jangka panjang. Jikalau menginginkan demikian, maka setelah supresi gonad tercapai (2-4 minggu), dianjurkan pemberian terapi add-back harian dengan kombinasi antara 0,625 mg estrogen konjugasi atau 10 mg estradiol dan 2,5 mg medroksiprogesteron asetat atau 0,35 mg norethindron. 10 f). GnRH Antagonis Regimen ini merupakan suatu peptida sintetik yang berkompetisi dengan reseptor GnRH, sehingga memblok reseptor tersebut, menurunkan atau menghentikan aksi dari GnRH, sehingga tidak dihasilkannya FSH dan LH. Sebaliknya pada GnRH antagonis tidak ditemukan flare effect seperti pada GnRH agonis, juga efek terapinya yang segera. Namun karena masa kerjanya pendek, regimen ini memerlukan injeksi harian untuk memelihara efek terapi. 9 g). Desmopressin Desmopressin asetat adalah suatu analog sintetik dari arginin vasopressin. Obat ini digunakan untuk perdarahan uterus abnormal pada pasien dengan gangguan koagulasi, khususnya pada pasien dengan penyakit von Willebrand. Dapat diberikan secara intranasal, tetapi lebih efektif bila diberikan intravena (0,3 g/kg dilarutkan alam 50 ml saline dan diberikan selama 15-30 menit). 10 Pemakaian penghambat sintesis prostaglandin Pada peristiwa perdarahan, prostaglandin penting peranannya pada vaskularisasi endometrium. Dalam hal ini PGE2 dan PGF2a meningkat secara bermakna. Dengan dasar itu, penghambat sintesis prostaglandin atau obat anti inflamasi non steroid telah dipakai untuk pengobatan PUD, terutama PUD ovulatorik. Untuk itu asam mefenamat dan naproksen

33

seringkali dipakai dosis 3x500 mg/hari selama 3-5 hari. Terbukti asam mefenamat dengan dosis 3x500 mg.hari mampu mengurangi perdarahan, sedangkan naproksen dipakai pada dosis 3x500 mg/hari selama 3 hari dengan hasil yang sama. 8 Khasiat hemostasis penghambat sintesis prostaglandin ini belum lengkap seluruhnya terungkap, karena kerja dari tiap prostaglandin saling berlawanan. 8 Pemakaian antitibrinolitik Sistem pembekuan darah juga ikut berperan secara lokal pada PUD. Peran ini tampil melalui aktifitas fibrinolitik yang diakibatkan oleh kerja enzimatik. Proses itu berfungsi sebagai mekanisme pertahanan dasar untuk mengatasi penumpukan fibrin. Unsur utama pada sistem fibrinolitik itu adalah plasminogen, yang bila diaktifkan akan mengeluarkan protease plasmin. 8 Enzim tersebut akan menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin, sehingga proses fibrinolitik akhimya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk keperluan ini adalah asam arakhidonat dan asam traneksamat. Dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5 g/hari selama 4-7 hari. 8 Antifibrinolitik mempunyai efek samping yang berarti seperti mual, diare, sakit kepala, dan alergi, dan tidak dapat digunakan pada penderita gagal ginjal. Karena efek sampingnya yang banyak dan juga mahal, obat ini jarang digunakan untuk pengobatan PUD. 5 Pengobatan operatif Jenis pengobatan ini mencakup: a. Dilatasi dan kuretase Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif pada PUD. Tujuan pokok dari kuretase pada PUD adalah untuk diagnostik, terutama pada umur di atas 35 tahun, atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya frekuensi

34

keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan perdarahan karena menghilangnya daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. 9,10 Namun demikian tindakan kuretase pada PUD masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya cukup tinggi (30-40%), sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Tidak dianjurkan kuretase sebagai pilihan utama menghentikan perdarahan pada PUD, kecuali jika pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan.
8,9,10 5,

b. Ablasi endometrium dengan laser Pada tindakan ini ketiga lapisan endometrium diablasikan dengan cara vaporisasi neodymium YAG laser. Endometrium akan hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen pula. cara ini dipilih untuk penderita yang mempunyai kontraindikasi pembedahan, dan tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai pengganti histerektomi. Terapi ini menghasilkan 50% amenorea komplit, berkurangnya perdarahan pada 90% wanita dengan menoragia. Hasil terbaik ialah bila endometrium sebelumnya disupresi dengan GnRH analog, danazol, atau MPA selama 4-6 minggu. 2,8 e. Histerektomi Tindakan histerektomi pada penderita PUD harus memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda, tindakan ini merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan yang menetap atau berulang. Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk PUD dengan gambaran histologis endometrium hiperplasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan kuretase. 2,8

35

3.

Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,

pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi. 2,8 Siklus ovulatorik PUD ovulatorik secara klinis tampil sebagai polimenorea, oligomenorea, menoragia, dan perdarahan pertengahan siklus, perdarahan bercak prahaid atau pasca haid. 8 Perdarahan pertengahan siklus diatasi dengan estrogen konjugasi 0,625-1,25 mg/hari atau etinil estradiol 50 mikrogram/hari dari hari ke 10 hingga hari ke 15. Perdarahan bercak prahaid diobati dengan progesteron (medroksiprogesteron asetat, atau didrogesteron) dengan dosis 10 mg/hari dari hari ke 17 sampai hari ke 26. 8 Beberapa penulis menggunakan progesteron dan estrogen pada polimenorea dan menoragia dengan dosis yang sesuai dengan kontrasepsi oral, mulai hari ke 5 hingga hari ke 25 siklus haid. 8

Siklus anovulatorik PUD anovulatorik mempunyai dasar kelainan kekurangan progesteron. Oleh karena itu pengobatan untuk mengembalikan fungsi hormon reproduksi dilakukan dengan pemberian progesterone, seperti medroksi progesterone asetat dengan dosis 10-20 mg/hari mulai hari ke 16-25 siklus haid. Dapat pula digunakan didrogesteron dengan dosis 10-20 mg/hari dari hari ke 16-25 siklus haid, linestrenol dengan dosis 5-15 mg/hari selama 10 hari mulai dari hari ke 16-25 siklus haid. Pengobatan hormonal ini diberikan untuk tiga siklus haid. 8 Jika gagal setelah pemberian 3 siklus dan ovulasi tetap tidak terjadi, dilakukan pemicuan ovulasi. Pada penderita yang tidak menginginkan anak, keadaan ini diatur dengan penambahan estrogen dosis 0,625-1,25 mh/hari atau

36

kontrasepsi oral selama 10 hari, dari hari kelima hingga hari ke 25. 8 Menurut usia kejadian pada PUD maka pengobatan dapat dikelompokkan sebagai berikut: 6 PUD pada Usia Perimenarche PUD pada usia ini umumnya terjadi pada siklus anovulatorik. Selama perdarahan yang terjadi tidak berbahaya, maka tidak perlu dilakukan tindakan apapun. Pengobatan hanya diberikan bila gangguan haid terjadi selama 6 bulan, atau 2 tahun setelah menarche belum juga dijumpai siklus haid yang berovulasi. 6 Pada keadaan yang tidak akut dapat diberi antiprostaglandin, OAINS, atau asam traneksamat. Pemberian tablet kombinasi estrogen-progesteron, atau tablet progesteron saja maupun analog GnRH dilakukan bila dengan obatobatan di atas tidak membaik. 6 Pada keadaan akut, bila diperlukan dapat diberi transfusi darah. Untuk mengurangi perdarahan dapat diberi sediaan kombinasi estrogen-progesteron, misalnya 17 estradiol 2x2 mg, estrogen equin konjugasi 2x1,25 mg, estropipete 1x1,25 mg dikombinasikan dengan noretisteron asetat 2x5 mg, didrogesteron 2x10 mg atau MPA 2x10 mg. Pemberian cukup 3 hari. Yang paling mudah adalah pemberian pil kontrasepsi kombinasi. 6 Pengobatan dikatakan berhasil bila perdarahan yang terjadi berhenti/berkurang, dan 3-4 hari setelahnya terjadi perdarahan lucut. Setelah perdarahan akut dapat diatasi, tindakan selanjutnya adalah pengaturan siklus, misal pemberian tablet progesteron saja dari hari ke 16- hari ke 25, selama 3 bulan. MPA atau didrogesteron cukup 10 mg/hari, sedang noretisteron asetat 5 mg/hari. 6 PUD pada Usia Reproduksi PUD pada usia ini dapat terjadi siklus yang berovulasi maupun tidak. Pengobatan pada keadaan akut sama seperti pada PUD usia perimenarche. Namun setelah pengaturan siklus 3 bulan perlu dicari penyebab tidak terjadinya ovulasi, karena selama belum terjadi siklus yang berovulasi

37

perdarahan akan terulang kembali. Obat pemicu ovulasi yang dapat diberikan adalah klomifen sitrat, epimestrol, atau hormon gonadotropin. 6 PUD pada siklus yang berovulasi umumnya lebih ringan dan jarang akut. Yang paling sering ialah bercak pada pertengahan siklus. Pengobatan dengan 17 estradiol 1x2 mg, estrogen equin konjugasi 1x1,25 mg, estropipete 1x1,25 mg, dari hari ke-10 sampai hari ke-15. Perdarahan bercak prahaid diberikan MPA 1X10 mg, didrogesteron 1x10 mg, noretisteron asetat 1x5 mg, nomogestrol asetat 1x5 mg mulai hari ke 16 sampai hari ke 25 siklus haid. Sedangkan bercak pascahaid dapat diberi 17 estradiol, estropipete, estrogen equin konjugasi dosis sama seperti diatas dan diberi mulai hari ke 2 sampai hari ke 8. 6 Dapat pula diberi pil kontrasepsi kombinasi, diberikan sepanjang siklus haid. 6 PUD pada Usia Perimenopause PUD pada usia ini hampir 95% terjadi pada siklus yang tidak berovulasi. 6 Setiap perdarahan pada usia ini harus dipikirkan adanya keganasan pada endometrium. Pada keadaan tidak akut, pasien dilakukan tindakan D&C. Dapat pula dilakukan USG untuk melihat adanya hiperplasia endometrium. PUD akut pada usia perimenopause penanganannya sama dengan PUD akut usia reproduksi, namun setelah perdarahan teratasi tetap harus dilakukan D&C. 6 Bila dari pemeriksaan patologi anatomi diketahui terdapat hiperplasia endometrium, maka dapat diberikan pengobatan dengan progesteron seperti MPA, atau DMPA cara Kistner, analog GnRH. Setelah terapi dilakukan D&C ulang, bila tidak ditemukan lagi hiperplasia, maka pasien yang mendapatkan tablet progesteron meneruskan pengobatan selama 6 bulan. Setiap selesai pengobatan dilakukan pengaturan siklus. 6 Jika hasil D&C ulang tidak menunjukkan adanya perubahan, sebaiknya pasien dilakukan histerekstomi. 6

38

Berikut ini adalah nama obat berikut dosis, kontraindikasi, interaksi, dan halhal yang perlu mendapat perhatian khusus. 5 Tabel 2. Daftar Nama Obat yang Digunakan pada PUD Nama ESTROGEN Premarin (conjugated equine estrogen) Dosis Episode perdarahan akut: 2,5 mg PO q6h atau 25 mg IV q4h selama 48 jam; diikuti penambahan progestin setelah perdarahan akut berhenti. Perdarahan anovulatorik kronik pada perimenopause: 0,625-1,250 mg/hr PO selama 1 mgg; tambahkan progestin untuk 10-12 hr/mgg PROGESTERON 10 mg/hr PO Provera selama 10-12 (Medroxyprogesterone hr/mgg acetate) Progestin sintetik kerja pendek DOC untuk penderita dengan PUD anovulatorik. Kontra Indikasi Hipersensitif; hamil atau diduga hamil; kanker payudara; perdarahan abnormal yang tidak terdiagnosa; thrombophlebitis; thrombosis; atau gangguan thromboembolic yang berhubungan dengan penggunaan estrogen sebelumnya. Perhatian Khusus Dapat terjadi manifestasi yang tidak diharapkan dari stimulasi estrogen yang berlebihan (mis: perdarahan uterus abnormal atau berlebihan, mastodinia); dapat menyebabkan retensi cairan; pemberian terapi estrogen yang berkepanjangan dapat risiko hiperplasia endometrium.

Hipesensitif; cerebral apoplexy; perdarahan vaginal tak terdiagnosa; thrombophlebitis; disfungsi hepar; missed abortion; keganasan payudara atau saluran kelamin; thrombophlebitis; ggn thromboemboli.

Hati-hati pada asma, depresi, disfungsi ginjal atau jantung, ggn thromboemboli. Pemeriksaan fisik lengkap, data papsmear terakhir, riwayat penyakit keluaga sebelum memulai terapi. Perhatikan tensi, payudara, abdomen,dan organ panggul. Ulangi pemeriksaan setiap tahun. Progestin

39

Nama Pil Oral Kombinasi Ethinyl estradiol dan derivat progestin

Dosis 1 tab PO qd untuk 3 mgg, dilanjutkan seminggu pil inaktif dimana biasanya perdarahan akan timbul.

Kontra Indikasi Hipersensitif, hamil; ggn thromboemboli, ggn perdarahan otak, infark miokard, penyakit arteri koroner, kanker payudara atau genital; riwayat kuning pada penggunaan pil sebelumnya; tumor hati.

dapat menyebabkan retensi cairan. Perhatian Khusus Diperlukan pemeriksaan fisik lengkap, data papsmear terakhir, riwayat penyakit keluaga sebelum memulai terapi. Perhatikan tensi, payudara, abdomen, dan organ panggul. Ulangi pemeriksaan setiap tahun selama pasien memakai terapi hormon. Dapat menyebabkan retensi cairan. Campuran progestin dapat meningkatkan LDL, kontrol hiperlipidemia sulit (awasi ketat); hipertrigliserid kongenital dapat muncul, pankreatitis. Hentikan bila timbul uning, pasien dapat hipertensi sekunder pada peningkatan produksi angiotensin (cek tensi 3 bulan setelah dimulainya terapi).

40

Nama ANDROGEN Danazol (Isoxazole derivat 12 alphaethinyl testosterone.

Dosis 200-400 mg/hr PO diberi dalam beberapa dosis

Kontra Indikasi Hipersensitif, ibu menyusui, ggn kejang, ggn fungsi hati, porphyria.

OAINS Naproxen

Mulai dengan 550 mg PO; diikuti 275 mg q6h selama 6 hari

Perhatian Khusus Diperlukan pemeriksaan fisik lengkap, data papsmear terakhir, riwayat penyakit keluaga sebelum memulai terapi. Perhatikan tensi, payudara, abdomen, dan organ panggul. Ulangi pemeriksaan setiap tahun selama pasien memakai terapi hormon. Dapat menyebabkan retensi cairan. Hipersensitf, Dapat terjadi ulkus, insufisiensi akut perdarahan GIT renal, atau perforasi, interstitialnephritis, insufisiensi hiperkalemia, ginjal. hiponatremia, renal papillary nekrosis. Pasien dengan penyakit ginjal akan beresiko gagal ginjal akut. Leukopenia (jarang), dan sementara, biasanya normal kembali setelah terapi. Bila menetap dievaluasi lanjut dan terapi hentikan.

41

Nama GnRH SUPERAGONIS Depot leuprolide acetate

Dosis 3,5-7,5 mg IM qmo; jangan melebihi 6 bln tanpa tambahan estrogen dosis rendah dan terapi progestin. Intranasal spray atau 0,3 mcg/kg dilarutkan dalam 50 ml saline IV selama 15-30 min

Kontra Indikasi Hipersensitif, menyusui, perdarahan vaginal tak terdiagnosa, kompresi medulla spinalis.

ARGININE VASOPRESSIN DERIVATIVES Desmopressin acetate (DDAVP)

Perhatian Khusus Beberapa pasien terjadi pembesaran ovarium akibat pelepasan gonadotropin (akan membaik sekitar 10 hari; rawat konservatif dengan bedrest dan cairan). Hipersensitif, Dapat terjadi penyakit von agregasi platelet Willebrand tipe pada tipe IIB platelet penyakit von Willebrand. Minum cukup untuk mengatasi haus dalam mengurangi kemungkinan intoksikasi air dan hiponatremia.

2.

9. Prognosis Kebanyakan pasien akan membaik setelah diagnosis ditegakkan dan mendapat regimen pengobatan hormonal oleh ginekolog. Angka penyembuhan dengan terapi hormonal pada pasien dengan perdarahan anovulatorik adalah 90%. 8

Prognosis tergantung pada patofisiologi yang mendasari. 8 Pada wanita muda, kebanyakan siklus anovulatorik dapat diterapi dengan baik dan berhasil dengan pengobatan biasa tanpa memerlukan tindakan operatif. 8

2. 10. Edukasi Penderita Pasien dihimbau untuk meneruskan pengobatan yang ditentukan walaupun perdarahan mungkin tetap terjadi pada awal pengobatan. Jika pasien mendapat pengobatan kombinasi estrogen pada 25 hari pertama dan progesteron pada 10

42

hari terakhir siklus, maka pasien diberi penjelasan bahwa haid akan timbul setelah obat habis. 5 Penderita yang masih muda dengan perdarahan ireguler yang sedikit harus dipastikan dan diobservasi dahulu sebelum memulai suatu regimen pengobatan. Obat yang diberikan tidak perlu diteruskan bila kemudian siklus haid menjadi teratur. 5 Diskusikan dengan pasien cara-cara untuk mengatasi stress yang

berkepanjangan atau kelabilan emosi bila ada. 5 Mungkin cara yang terbaik untuk menentukan keberhasilan pengobatan adalah dengan menggunakan kalender. Motivasikan pasien untuk mencatat pola perdarahan setiap hari. Hal ini akan memperlihatkan seberapa parah dan seringnya perdarahan yang dapat mengganggu kehidupan pasien. 5

43

BAB III KESIMPULAN Perdarahan uterus disfungsional merupakan diagnosis paling akhir dari setiap gejala perdarahan uterus yang abnormal, setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab perdarahan lain seperti kehamilan, iatrogenik, mekanik, infeksi, atau keganasan. Diperlukan evaluasi diagnostik secara seksama dan menyeluruh. Pemahaman tentang mekanisme menstruasi beserta respon endometrium terhadap hormon yang berpengaruh dalam siklus menstruasi sangat krusial dalam pemilihan regimen obat untuk hampir semua kasus perdarahan uterus disfungsional.

44

DAFTAR PUSTAKA 1. Stanford, E.J. 2001. Abnormal and dysfunctional uterine bleeding. In: Ling, F.W., Duff, P., editors: Obstetrics and gynecology principles for practice. London: McGraw-Hill. p.975-991 2. Severino, M.F. 1995. Dysfunctional uterine bleeding. In: Sciarra, J.J., editor: Gynecology and obstetrics. Volume 5. Philadelphia: J.B. Lippincott Company. p.1-6 3. Kim, M.H. 2000. Dysfunctional uterine bleeding. In: Copeland, L.J., Jarrel, J.F., editors: Textbook of gynecology. 2nd ed. London: W.B Saunders Company. p.533-539 4. Sulaiman, S. 1983. Obstetri Fisiologi. Bandung: Eleman. hal.73-94 5. Queenan, J.T. 2001, May. Dysfunctional uterine bleeding. In: Sciscione, A.C., editor: eMedicine Journal. Vol 2, no 5, 7 6. Badziad, A. 2003. Endokrinologi Ginekologi. Edisi kedua. Jakarta: Media Aesculapius UI. hal.26-34 7. Taber, B. 1994. Perdarahan Per Vaginam. Dalam: Melfiawati, S., editor: Kapita selekta kedaruratan obstetri dan ginekologi. Jakarta: EGC. hal.459473 8. Badziad, A., Jacoeb, T.Z., Kadarusman, Y. 1993. Perdarahan uterus disfungsional kronik pada masa reproduksi: Aspek patofisiologi dan pengobatan dengan progesteron. Jakarta: Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia, Vol 19, no 2, April 1993 9. Speroff, L., Fritz, A. 2005. Dysfunctional uterine bleeding. In: Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 7th ed. London: Williams & Wilkins. p.547-567 10. Speroff, L., Glass, R.H., Kase, N.G. 1999. Dysfunctional uterine bleeding. In: Clinical gynecologic endocrinology and infertility. 6th ed. London: Williams & Wilkins. p.575-583 11. Dhanardono, D., Hidayat, S.T. 2002. Pengelolaan perdarahan uterus disfungsional di klinik infertilitas, endokrinologi & reproduksi . Pertemuan Ilmiah Tahunan ke XIII Perkumpulan Obstetri & Ginekologi, Malang 12. McGovern, P.G., Little, A.B. 2000. Dysfunctional uterine bleeding. In: Quilligan, E.J., Zuspan, F.P., editors: Current therapy in obstetrics and gynecology. 5th ed. London: W.B. Saunders Company. p. 27-31

Anda mungkin juga menyukai