Anda di halaman 1dari 14

1

TUGAS BACA JURNAL Hari/Tanggal Penyaji Pembimbing : Sabtu, 4 Januari 2014 : Nandy Hermawan : dr. Fitriyanti, Sp.KK

Peranan Diet pada Akne : Sebuah Penelitian Deskriptif


Nadia F. Saleh, Shahira A. Rahman, Ola M. Abu Zeid, Ruba A. Sabra, dan Shaimaa B. Abd El Aziz

Latar Belakang Banyak bukti yang tersedia saat ini menunjukkan bagaimana makanan tertentu dan bahan dari makanan secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi proliferasi keratinosit folikuler, diferensiasi, inflamasi, dan keseimbangan hormon steroid, serta menyebabkan perkembangan akne. Berbagai jenis makanan telah di umumkan memiliki hubungan dengan terjadinya akne, termasuk susu dan produk olahannya, cokelat, dan sebagainya. Tujuan Untuk menilai hubungan asupan makanan pada pasien akne dengan beratringannya akne Pasien dan Metode Penelitian Sebuah lembar frekuensi makanan yang berisi 32 jenis makanan dibagikan kepada 100 pasien akne. Para pasien ditanya jenis makanan apa yang dikonsumsi dan seberapa sering mereka mengkonsumsi serta ukuran porsi spesifik makanan ini secara rata-rata. Ukuran porsi yang biasa digunakan untuk setiap makanan telah ditentukan. Korelasi antara asupan makanan terbanyak dari jenis makanan tersebut dikaitkan dengan derajat jerawat yang terbentuk. Hasil Terdapat korelasi positif yang signifikan secara statistik antara frekuensi konsumsi kacang, cokelat, permen, dan teh merah dengan lesi akne yang berat dan telah dibuktikan. Terdapat korelasi negatif yang signifikan secara statistik antara

frekuensi konsumsi sayuran segar dengan beratnya akne yang terdeteksi pada pasien kami. Kesimpulan Beberapa makanan mungkin dapat mengakibatkan munculnya akne pada pasien akne. Konsumsi kacang, permen cokelat, dan teh merah mungkin memiliki hubungan dengan bentuk akne yang berat, sebaliknya, konsumsi sayuran segar memiliki hubungan dengan bentuk akne yang lebih ringan. Kata Kunci Akne, diet, profil lipid.

Pendahuluan
Acne merupakan sebuah penyakit pada unit pilosebasea kulit, dan penyakit tersebut dinilai sebagai penyakit yang paling banyak mengenai segala usia dan kelompok etnis [1]. Selama 30-40 tahun yang lalu, muncul sebuah konsensus umum diantara komunitas dermatologist bahwa diet tidak memiliki peran dalam etiologi akne [2]. Namun, laporan terbaru menginvestigasi pengaruh diet pada akne yang hasilnya masih diperdebatkan, dengan beberapa indikasi bahwa diet tinggi karbohidrat dan lemak memperberat akne [3], dan publikasi lain menyebutkan bahwa beberapa jenis makanan memiliki hubungan dengan akne, termasuk susu dan produk olahan susu lainnya, cokelat, sereal, roti, kacang, telur, dan daging babi [4]. Walaupun hasil dari serangkaian kasus secara tidak konsisten mendorong beberapa faktor diet, namun konsensus terkini diantara dermatologist menyarankan bahwa pasien akne menghindari makanan yang mereka percaya mempengaruhi atau memperberat kondisi akne [2]. Sebuah bukti besar yang tersedia saat ini menunjukkan bagaimana beberapa makanan dan bahan makanan secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi proliferasi keratinosit folikuler dan diferensiasi, inflamasi, serta keseimbangan hormon steroid, dan mengakibatkan sintesis sebum. Disregulasi dari ketiga mekanisme fisiologis dasar secara terus menerus disertai keterlibatan propionibacterium acnes diketahui berperan sebagai penyebab akne [5]. Makanan dengan indeks glikemik/beban glikemik (GL) yang tinggi cenderung meningkatkan level glukosa darah, kemudian menyebabkan hiperinsulinemia, dimana perubahan respon endokrin yang terjadi mendorong tidak berjalannya regulasi perkembangan jaringan dan memicu sintesis androgen, dimana akhirnya

berdampak pada perkembangan akne termasuk mediator seperti andogen, insulin like growth factor-1 (IGF-1), insulin like growth factor binding protein-3, dan jaras jaringan retinoid [4]. IGF-1 terdapat dalam kebanyakan susu [6], meminum susu juga menstimulasi produksi IGF-1 endogen [7]. Perkembangan hiperinsulinemia dan resistensi insulin mempengaruhi timbulnya kelaianan pada konsentrasi serum asam lemak bebas nonesterifikasi [8], menyebabkan ekspresi yang berlebihan pada reseptor faktor pertumbuhan epidermal [9], dimana jika keratinosit distimulasi, akan terjadi peningkatan proliferasi keratinosit dan penurunan apoptosis keratinosit, yang kemudian berkontribusi pada pathogenesis akne [10]. Susu juga berisi progesteron yang berasal dari plasenta dan prekusor dihydrotestosterone (DHT) lain, termasuk 5-pregnanedione dan 5androstanedione. Senyawa tersebut hanya beberapa langkah enzimatik yang jauh dari DHT (yang diterima sebagai aknegen utama), dan enzim-enzim yang dibutuhkan untuk memperentarai perubahan yang terlihat pada unit pilosebaseus manusia [11]. Kemudian, beberapa senyawa tersebut telah melalui reduksi-5 . pada glandula mamae sapi yang lebih lanjut tidak memerlukan reduksi-5 [12]. Peningkatan reduksi testosteron mungkin merupakan hasil dari asupan makanan melaui sebuah reaktivasi yang jarang dari pada mekanisme absorbtif. Peningkatan glukosa darah berikut peningkatan insulin dan IGF-1 mengakibatkan peningkatan testosterone darah dan menurunkan kadar binding globulin hormone seks, hasilnya terlihat pada unit pilosebaseus dengan testosterone yang lebih banyak [13]. Hubungan antara konsumsi susu dengan akne lebih kuat pada susu skim. Spekulasi ini terjadi karena proses pembuatan susu skim mungkin relatif mengubah bioavalabilitas dari molekul bioaktif atau interaksinya dengan binding protein. Lebih lanjut, beberapa susu berisi lebih banyak estrogen dari pada susu skim, dan estrogen cendrung mengurangi akne. Hal ini memungkinkan perubahan keseimbangan komponen hormonal pada susu skim dapat menyebabkan lebih banyak pembentukan komedo [14]. Iodine yang terdapat pada susu juga berperan pada perkembangan akne. Seperti yang telah dipublikasikan bahwa asupan iodine dapat menyebabkan eksaserbasi akne [15], dan beberapa penelitian memperlihatkan tingkat iodine yang signifikan pada susu di Negara-negara yang berbeda termasuk Amerika Serikat, Inggris, Denmark, Norwegia dan Italia [16]. Diet juga diketahui sebagai modulator respon imflamasi sistemik. Satu dari faktor diet yang paling penting dalam mempengaruhi inflamasi adalah asupan omega-6 relatif (-6) dan omega-3 (-3) asam lemak tidak jenuh [17]. Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa komunitas yang mengkonsumsi diet tinggi asam

lemak -3 seperti ikan dan makanan laut, memiliki rata-rata kejadian akne yang rendah [18]. Asupan asam lemak -3 telah sering digunakan untuk menekan interleukin 1 (IL-1) [19], IL-1, TNF-, IL-6, dan IL-8 pada monosit darah perifer [20]. Penekanan pada IL-1 dengan diet -3 asam lemak tidak jenuh secara positif dapat mempengaruhi diferensiasi korneosit dengan cara mencegah atau menekan hiperkornifikasi dan membersihkannya selama pembentukan mikrokomedogenesis. Selanjutnya, diet asam lemak -3 juga diketahui dapat menghambat sintesis prostaglandin eikosanoid E2proinflamasi dan leukotrien B4 [21].

PASIEN DAN METODE PENELITIAN


100 pasien dengan akne vulgaris yang terdaftar sebagai pasien rawat jalan pada Klinik Dermatologi di Rumah Sakit Universitas Kairo diikutsertakankan dalam penelitian ini. Penelitian berlangsung selama 6 bulan dari bulan Februari 2009 hingga berakhir pada bulan Juli 2009. Penelitian termasuk: 1. Perkembangan dari kuisioner oleh ahli diet, yang mana mencakup beberapa area: a) Wawancara personal dan informasi sosial b) Informasi medis termasuk menstruasi yang tidak teratur, hirsutisme, onset dan lamanya akne, obat yang dikonsumsi, dan riwayat akne dalam keluarga c) Kebiasaan diet utama, termasuk pertanyaan untuk medeteksi makan utama, makanan yang teratur di konsumsi dan yang tidak teratur dikonsumsi, makanan antara menu utama, makan dirumah atau tidak dan metode memasak makanan yang paling sering digunakan. d) Lembran frekuensi makanan berisi 32 jenis makanan dibagikan kepada seluruh pasien. Partisipan ditanyakan apakah jenis makanan yang dikonsumsi dan berapa sering mereka menkonsumsi dengan ukuran porsi yang telah ditentukan tiap ratarata makanan tersebut. Ukuran porsi yang paling sering digunakan spesifik untuk tiap makanan (contoh: potongan, irisan, sendok disert, sesendok penuh, segelas air) [22]. Untuk mengukur berapa sering perhari, minggu, dan bulan, kami secara umum menggunakan konsumsi untuk setiap jenis, kami menggunakan istilah sering (1-4 kali perhari), sedang (2-4 kali perminggu), sedikit (

sekali seminggu,1-3 kali perbulan) dan tidak menkonsumsi (<1kali sebulan, jarang, dan tidak menkonsumsi). Jenis makan dihitung dengan mengetahui ukuran penyajian dari masingmasing makanan dengan bantuan ahli gizi. Ke 32 jenis makanan dikelompokan dalam 9 kategori makanan utama seperti susu dan produk olahan susu, lemak, karbohidrat, protein dengan nilai biologis tinggi, minuman, kacang-kacangan, permen coklat dan makanan asin. 2. Pemeriksaan klinis dilakukan untuk mengevaluasi jenis dan berat ringannya lesi akne apakah ringan; komedo dan papul, sedang; komedo, papul dan pustul, dan berat; semua yang disebut diatas ditambah nodul dan kista. 3. Sampel darah dikumpulkan dari semua pasien setelah puasa selama 12 jam untuk menganalisis kolesterol serum dan trigliserida, jika semua atau satu dari yang disebut diatas meningkat, kami menganalisa HDL dan LDL

Analisis Statistik Seluruh data yang diperoleh dimasukkan kedalam paket statisitik untuk ilmu sosial (SPSS) versi 15 (IBM Co, New York, USA) untuk dianalisis. Data diringkas dengan menggunakan nilai rata-rata (mean), standar deviasi dan rentang untuk variabel kuantitatif; angka dan persen untuk variabel kuantitatif. Perbandingan antar kelompok menggunakan 2-test (chi-test ) dan fissures exact test untuk variabel kualitatif dan analisis multivarian dilakukan dengan Post hoc test untuk variabel kuantitatif yang terdistribusi secara normal, sedangkan, nonparametrical Kruskal-Wallis test dan Mann-Whitney test digunakan untuk variabel kuantitatif yang tidak terdistribusi secara normal. Korelasi nonparametrikal dibuat untuk diuji menggukan uji Spearman, untuk hubungan yang berbanding lurus antara berat ringannya akne dengan frekuensi jenis makanan yang berbeda-beda. Nilai P sama atau kurang dari 0,05 dianggap signifikan secara statistik.

HASIL
Data demografis pasien terlihat pada tabel 1. Dari 84 partisipan wanita, hanya 19 (22,6%) yang menstruasinya tidak teratur dan 10 orang (11,9%) menderita hirsutisme dan alopesia androgenetik. Riwayat akne dalam keluarga yang positif ditemukan pada 49 orang (49%) pasien, dan hanya 34 (34%) partisipan yang sedang menjalani terapi akne.

Empat puluh empat persen partisipan didiagnosis terkena akne sedang, sedangkan akne berat dilaporkan sebanyak 17% pasien, dan akne ringan pada 29% pasien. Data klinis yang diteliti pada pasien akne terlihat pada tabel 2. Lesi akne yang berat cenderung terjadi pada durasi yang lebih lama (P=0,006), tetapi tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara derajat akne pada pasien yang diteliti dengan jenis kelamin (P=0,130), tempat tinggal (P=0,895), status pernikahan (P=0,923), rata-rata umur (P=0,999), atau berat badan (P=0,244) yang ditemukan. Pasien wanita dengan hirsutisme menunjukkan derajat akne yang lebih berat dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita hirsutisme (P=0,006) (gambar.1), tetapi tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara derajat akne pada pasien yang diteliti dengan adanya menstruasi tidak teratur yang terdeteksi (P=0,825).

Kebiasaan Makan Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik yang ditemukan antara berat ringannya akne dengan kebiasaan konsumsi makanan pada pasien yang diteliti termasuk apakah pasien makan 3x sehari atau tidak (P=0,454), makan diantara waktu makan (P=0,394), lebih memilih masakan rebus (P=213), makan goreng (P=0,898), makan panggang (P=0,312), makan pedas (P=0,743), atau makanan asin (P=0,454)

Profil Lipid Hanya 87 pasien dari 100 pasien pada penelitian ini yang menyelesaikan pemeriksaan profil lipidnya. Hasilnya terlihat pada tabel 3. Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik yang ditemukan, dalam hal ini rata-rata kadar lipid serum dengan berat ringannya akne, termasuk kolesterol serum (P=0,781), trigliserida (P=0,630), HDL (P=0,432) atau LDL (0,103).

Hubungan Antara Derajat Akne Dengan Jenis Makanan Yang Dikonsumsi Susu dan produk olahannya Tidak ada hubungan signifikan yang terdeteksi antara berat ringannya lesi akne pada pasien yang diteliti dengan konsumsi susu dan produk olahannya ketika menghitung mereka secara bersama-sama sebagai satu jenis atau ketika kami meneliti tiap produk olahan susu, apakah susu full cream, susu skim, susu bubuk; susu full cream putih, keju skim putih, jenis keju lain, yoghurt, es krim, atau krim. Lemak dan minyak Tidak ada hubungan signifikan yang terdeteksi antara berat ringannya lesi akne pada pasien yang diteliti dengan lemak dan minyak yang mereka konsumsi. Buah-buahan dan sayur-sayuran Terdapat korelasi negatif secara signifikan antara frekuensi mengkonsumsi sayuran segar dengan berat ringannya lesi akne yang terdeteksi. (r= -0,219, P= 0,028) (gambar.2) Kacang-kacangan Terdapat korelasi positif secara signifikan antara frekuensi konsumsi kacang dengan berat ringannya lesi akne yang terdeteksi (r= 0,265, P= 0,008) (gambar.3) Permen cokelat Terdapat korelasi positif secara signifikan antara frekuensi konsumsi permen cokelat dengan berat ringannya lesi akne yang terdeteksi (r= 0,236, P= 0,018) (gambar.4) Asinan/acar Tidak ada korelasi antara frekuensi konsumsi asinan dengan berat ringannya akne yang ditemukan.

DISKUSI
Diet secara langsung kemungkinan besar berdampak sebagai faktor lingkungan utama dalam perkembangan akne. Konfirmasi hipotesis diet-akne memerlukan banyaknya intervensi diet yang terkontrol dengan baik serta meneliti beberapa faktor nutrisi [13]. Analisis dari kuisioner frekuensi makanan pada penelitian ini menghubungkan makanan tertentu dengan timbulnya akne pada beberapa pasien

10

akne. Peningkatan konsumsi kacang, permen cokelat, dan teh merah berhubungan dengan berat ringannya akne yang terbentuk, sedangkan konsumsi sayuran segar sepertinya berhubungan dengan bentuk akne yang lebih ringan. Konsumsi permen cokelat berhubungan dengan derajat akne yang lebih berat pada penelitian kami. Meskipun konsumsi cokelat telah lama dituding sebagai faktor penyebab penting dalam eksaserbasi akne, semua penelitian yang dilakukan oleh Fulton dkk [23], Cordain [13], Adebamowo dkk [24], Adebamowo dkk [25], menunjukkan tidak ada hubungan antara akne dengan konsumsi cokelat batangan. Namun, permen cokelat yang mungkin berisi bahan lain yang dimasukkan kedalam biji cokelat padat seperti biji cokelat, mentega, gula (biasanya sukrosa), susu padat tanpa lemak, lemak susu, emulsifikasi (biasanya lechitin), dan pemberi aroma (biasanya vanilla). Oleh karena itu, beberapa bahan tambahan pada permen cokelat, baik secara terpisah atau pada kombinasi antara satu dengan lainnya tidak dapat dikesampingkan pada etiologi akne [13]. Korelasi positif antara frekuensi konsumsi kacang-kacangan dengan berat ringannya lesi akne pada pasien kami dapat dikaitkan satu sama lain dengan kandungan garam atau nilai kalori yang tinggi pada kacang. Namun, temuan tersebut berbeda dengan apa yang ditemukan oleh Anderson [26], yang melihat pasien akne yang melaporkan bahwa kacang meyebabkan eksaserbasi akne mereka, terlihat tidak ada perbedaan pada berat ringannya akne ketika mereka diberi makanan kacang dalam 1 minggu. Kami menguji konsumsi garam, diwakili oleh asinan, untuk mendemonstrasikan peranannya sebagai salah satu jenis makanan penting dalam pathogenesis akne, dan ditemukan tidak ada korelasi antara frekuensi mengkonsumsi asinan dengan berat ringannya akne pada pasien kami. Kafein yang terdapat pada teh dapat dijadikan sebagai alasan dibalik asosiasi positif antara konsumsi teh pada pasien kami dengan berat ringannya akne yang terbentuk. Namun, tidak ada korelasi signifikan yang ditemukan sehubungan dengan jenis minuman lain yang mengandung kafein, seperti kopi instan dan kopi Turki dengan berat ringannya akne pada penelitian kami. Namun perlu dicatat bahwa minuman tersebut hanya dikonsumsi oleh sekelompok kecil pasien. Walaupun saat ini susu dianggap sebagai makanan yang paling terlibat dalam eksaserbasi pada lesi akne, kami tidak menemukan hubungan yang signifikan antara berat ringannnya lesi akne pada pasien ketika kami menghitungnya secara bersama-sama sebagai satu jenis atau ketika kami meneliti tiap jenis susu dan produk olahan susu secara tersendiri. Temuan tersebut berbeda dengan temuan Robinson [3], Adebamowo dkk [24], dan Adebamowo dkk [25], yang

11

mengumumkan adanya asosiasi positif antara konsumsi susu, khususnya susu skim dengan berat ringannya akne. Perbedaan antara temuan kami dengan temuan pada penelitian lainnya dapat disebabkan oleh fakta bahwa susu tidak rutin dikonsumsi oleh pasien kami seperti 42% pasien yang jarang atau tidak mengkonsumsi susu full cream sama sekali, serta susu skim dan keju skim tidak umum di konsumsi di Mesir (hanya 7% pasien kami yang mengkonsumsi susu skim, dan hanya 5% yang mengkonsumsi keju skim). Hubungan antara konsumsi sayuran segar dengan akne, seperti yang diketahui belum pernah di teliti sebelumnya pada literatur. Korelasi negatif yang signifikan antara frekuensi konsumsi sayuran segar pada pasien kami dengan berat ringannya akne terlihat dengan banyaknya konsumsi sayuran segar mengurangi beratnya lesi akne. Oleh karena itu, terlihat bahwa sayuran segar mungkin memiliki peranan protektif dalam melawan timbulnya akne. Hal ini mungkin berkaitan dengan adanya antioksidan pada sayuran segar atau rendahnya nilai kalori pada sayuran, namun disisi lain, tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan antara frekuensi konsumsi sayuran atau buah segar yang dimasak dengan berat ringannya akne. Makanan dengan beban gukosa (GL) yang tinggi diketahui meningkatkan kadar glukosa darah yang kemudian diikuti hiperinsulinemia, yang mana mempengaruhi respon endokrin dengan memicu tidak berjalannya regulasi pertumbuhan jaringan dan meningkatkan sintesis androgen, yang akhirnya berdampak pada perkembangan akne [4]. Namun, kami tidak menemukan korelasi antara berat ringannya akne pada pasien kami dengan frekuensi mengkonsumsi jenis karbohidrat yang berbeda-beda seperti sereal, kacang, pemanis dan gula. Penelitian ini sesuai dengan temuan oleh Kaymak dkk [27], namun berbeda dengan temuan Smith dkk [28], yang menemukan bahwa penghitungan total dan jumlah akne yang meradang berkurang setelah mengkonsumsi percobaan diet rendah beban glukoasa (GL), dibandingkan dengan percobaan pada diet konvensional dengan beban glikemik yang tinggi. Lebih lanjut profil hormonal menjadi meningkat pada kelompok diet dengan beban glukosa (GL) yang rendah, seperti yang telah diukur, terjadi penurunan yang signifikan pada dehydroepiendresterone sulfat dan indeks androgen bebas. Pada penghitungan bersama pada pasien dengan resistensi insulin dan obesitas, diharapkan angka kejadian akne mungkin lebih sering pada individu dengan obesitas. Namun, tidak ada hubungan signifikan yang ditemukan dalam hal ini rata-rata berat badan pada pasien kami dengan derajat akne meraka (P= 0,244), dan hal ini sesuai dengan penelitian Kaymak dkk [27] dan Adebamawo dkk [24], dan Adebamowo dkk [25], yang melaporkan tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat akne pada pasien dengan menggunakan BMI sebagai pengukur

12

deposit lemak tubuh. Lebih lanjut, tidak ada hubungan yang signifikan antara normal atau tidaknya profil lipid pada pasien dengan berat ringannya akne menunjukkan bahwa kadar lipid serum tidak berhubungan dengan perkembangan lesi akne. Lebih lanjut, perbedaan kebiasaan makan yang di praktekkan pada pasien kami seperti makan pada jam makan atau melewati jam makan, makan sebelum jam makan, dan metode yang paling sering digunakan untuk memasak makan, apakah direbus, digoreng, dibakar, pedas, maupun asin tidak berhubungan dengan derajat akne mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan anggapan bahwa makanan yang digoreng dengan bahan yang tinggi lemak dan makanan yang asin menyebabkan eksaserbasi lesi akne [2]. Untuk mendukung hubungan antara ketidakseimbangan hormonal dengan perkembangan akne, pasien wanita pada penelitian kami yang mengeluh menderita hirsutisme memiliki bentuk akne yang lebih berat dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita hirsutisme. DHT telah terbukti memperantarai penyakit kulit yang bergantung pada androgen seperti akne, hirsutisme, dan alopesia androgenetik [29].

KESIMPULAN
Pada kesimpulan kita dapat memperkirakan bahwa beberapa makanan dapat berdampak timbulnya akne pada pasien akne tertentu, beberapa makanan, jika dihilangkan dari diet pada pasien tersebut, dapat mempengaruhi hasil akhir pada penatalaksanaan akne. Pada penelitian ini kami mendemostrasikan bahwa peningkatan konsumsi kacang, permen cokelat, dan teh memiliki hubungan dengan bentuk akne yang lebih berat, sedangkan konsumsi sayuran segar terlihat memiliki hubungan dengan bentuk akne yang lebih ringan. Tidak ada konflik kepentingan dalam publikasi penelitian ini

REFERENSI
1. Zouboulis ChC, Fimmel S, Ortmann J, Turnbull JR, Boschnakow A. Sebaceous glands. In: Hoath SB, Maibach HI, editors. Neonatal skin: structure and function. 2nd ed. New York: Marcel Dekker; 2003. p. 59.

13

2. Thiboutot DM, Strauss JS. Diet and acne revisited. Arch Dermatol 2002; 138:15911592. 3. Robinson HM. The acne problem. South Med J 1949; 42:1050. 4. Cordain L, Lindeberg S, Hurtado M, Hill K, Eaton SB, Brand Miller J. Acne vulgaris: a disease of Western civilization. Arch Dermatol 2002; 138:15841590. 5. Burkhart CN, Gottwald L. Assessment of etiologic agents in acne pathogenesis. SKINmed 2003; 2:222228. 6. Zhao X, McBride BW, Trouten Radford LM, Golfman L, Burton JH. Somatotropin and insulin-like growth factor-I concentrations in plasma andmilk after daily or sustained-release exogenous somatotropin administrations. Domest Anim Endocrinol 1994; 11:209216. 7. Adebamowo CA, Spiegelman D, Berkey CS, Danby FW, Rockett HH, Colditz GA, et al. Milk consumption and acne in adolescent girls. Dermatol Online J 2006; 12:1. 8. Boden G, Shulman GI. Free fatty acids in obesity and type 2 diabetes: defining their role in the development of insulin resistance and beta-cell dysfunction. Eur J Clin Invest 2002; 32:1423. 9. Vacaresse N, Lajoie Mazenc I, Auge N, Suc I, Frisach MF, Salvayre R, et al. Activation of epithelial growth factor receptor pathway by unsaturated fatty acids. Circ Res 1999; 85:892899. 10. Seiwert TY, Cohen E. The emerging role of EGFR and VEGF inhibition in the treatment of head and neck squamous cell carcinoma. Angiogenesis Oncol 2005; 1:710. 11. Chen W, Thiboutot D, Zouboulis CC. Cutaneous androgen metabolism: basic research and clinical perspectives. J Invest Dermatol 2002; 119:9921007. 12. Leyden J, Bergfeld W, Drake L, Dunlap F, Goldman MP, Gottlieb AB, et al. A systemic type I 5 alpha-reductase inhibitor is ineffective in the treatment of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol 2004; 50:443447. 13. Cordain L. Implications for the role of diet in acne. Semin Cutan Med Surg 2005; 24:8491. 14. Wolford ST, Argoudelis CJ. Measurement of estrogens in cows milk, human milk and dairy products. J Dairy Sci 1979; 62:14581463. 15. Hitch JM. Acneform eruptions induced by drugs and chemicals. JAMA 1967; 200:879880. 16. Girelli ME, Coin P, Mian C, Nacamulli D, Zambonin L, Piccolo M, et al. Milk represents an important source of iodine in schoolchildren of the Veneto region (Italy). J Endocrinol Invest 2004; 27:709713. 17. Simopoulos AP. Omega-3 fatty acids in inflammation and autoimmune diseases. J Am Coll Nutr 2002; 21:495505. 18. Logan AC. Omega-3 fatty acids and acne. Arch Dermatol 2003; 139: 941942. 19. Mayer K, Meyer S, Reinholz Muhly M, Maus U, Merfels M, Lohmeyer J, et al. Short-time infusion of fish oil-based lipid emulsions, approved for parenteral nutrition, reduces monocyte proinflammatory cytokine generation and adhesive interaction with endothelium in humans. J Immunol 2003; 171:48374843.

14

20. Trebble T, Arden NK, Stroud MA, Wootton SA, Burdge GC, Miles EA, et al. Inhibition of tumour necrosis factor-alpha and interleukin 6 production by mononuclear cells following dietary fish-oil supplementation in healthy men and response to antioxidant co-supplementation. Br J Nutr 2003; 90:405412. 21. James MJ, Gibson RA, Cleland LG. Dietary polyunsaturated fatty acids and inflammatory mediator production. Am J Clin Nutr 2000; 71:343S348S. 22. Pennington JAT. Food values of portions commonly used. 18th ed. Philadelphia: Lippincott; 2004. 23. Fulton JE, Plewig G, Kligman AM. Effect of chocolate on acne vulgaris. JAMA 1969; 210:2071. 24. Adebamowo CA, Spiegelman D, Danby FW, Frazier AL, Willett WC, Holmes MD. High school dietary dairy intake and teenage acne. J Am Acad Dermatol 2005; 52:207214. 25. Adebamowo CA, Spiegelman D, Berkey CS, Danby FW, Rockett HH, Colditz GA, et al. Milk consumption and acne in teenaged boys. J Am Acad Dermatol 2008; 58:787793. 26. Anderson PC. Foods as the cause of acne. Am Fam Physician 1971; 3:102103. 27. Kaymak Y, Adisen E, Ilter N, Bideci A, Gurler D, Celik B. Dietary glycemic index and glucose, insulin, insulin-like growth factor-I, insulin-like growth factor binding protein 3, and leptin levels in patients with acne. J Am Acad Dermatol 2007; 57:819823. 28. Smith RN, Mann NJ, Braue A, Ma kela inen H, Varigos GA. A lowglycemicload diet improves symptoms in acne vulgaris patients: a randomized controlled trial. Am J Clin Nutr 2007; 86:107115. 29. Thiboutot DM, Knaggs H, Gilliland K, Hagari S. Activity of type 1 5 alphareductase is greater in the follicular infrainfundibulum compared with the epidermis. Br J Dermatol 1997; 136:166171.

Anda mungkin juga menyukai