Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

HIPOTIROID
KONGENITAL

Disusun oleh:

Muhammad Fauzi
1102009183

Pembimbing:

dr. Ellen Roostaty Sianipar, Sp.A

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PASAR REBO
DESEMBER 2013

BAB I
STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS
A. Identitas Pasien
Nama
: An. N
TTL
: Jakarta, 26 Maret 2012
Usia
: 1 tahun 8 bulan
Jenis Kelamin: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jln. Bambu Kuning 1 Rt 06/Rw 05 no. 3 kel. Pondok
Ranggon Kec. Cipayung. Jakarta Timur
No. CM
: 2013-47-51-13
B. Identitas Orang Tua
Ayah
Nama
: Tn. A
Usia
: 30 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Ibu
Nama
Usia
Agama
Pendidikan
Pekerjaan

: Ny. I
: 29 tahun
: Islam
: SMP
: Ibu rumah tangga

II.

ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara Alloanamnesa (Ibu, Ayah)
Keluhan Utama : Belum dapat berdiri dan berjalan sendiri
Keluhan tambahan :

III.

RIWAYAT PENYAKIT
a) Riwayat penyakit sekarang
:
Pada tanggal 28 november 2013 pasien umur 1 tahun 8 bulan datang ke
Poli Anak RSUD Pasar Rebo untuk meminta surat rujukan kontrol ke
RSCM dengan keluhan saat ini pasien belum dapat berdiri, berjalan
sendiri, dan hanya bisa mengeluarkan kata ma, pa.
Saat pertama kali datang ke poli anak RSUD Pasar Rebo pada tanggal 27
Maret 2013 pasien merupakan rujukan dari puskesmas dengan keluhan
leher tampak lemas, baru bisa tengkurap dan membalikkan badan saat

umur 5 bulan. setiap malam nafas os terdengar penuh dahak, dan berat
badan tidak bertambah. Mual dan muntah disangkal. BAB tiap 3 hari
sekali atau 1 minggu sekali, mencret (-). Orang tua pasien merasa tumbuh
kembang anak mereka terhambat karena pasien pada umur 5 - 6 bulan
belum dapat merangkak, hanya bisa tengkurap dan membalikkan badan.
Umur 6 - 9 bulan rambut rontok, lidah keluar, kulit kering, perut tampak
membuncit hingga pusat bodong. Pasien saat ini sedang dalam pengobatan
OAT.
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat ikterik saat umur 1 minggu sampai dengan 3 bulan.
Riwayat jatuh dari kasur saat umur 8 bulan.
Penyakit asma, jantung, kejang, penyakit kelainan darah disangkal oleh ibu
pasien.
c) Riwayat Penyakit keluarga
Riwayat hipotiroid, asma, jantung, kejang, penyakit kelainan darah dan
hepatitis disangkal.
d) Riwayat kehamilan, Persalinan, dan Pasca persalinan
:
Kehamilan : Ibu dengan G2P1A0. Ante Natal Care dilakukan di
Puskesmas. Selama hamil ibu pasien rutin memeriksakan kandungan
setiap satu bulan sekali. Ibu tidak pernah mengkonsumsi jamu, obatobatan, dan alkohol saat kehamilan. Demam saat kehamilan (-), Hipertensi
dalam kehamilan (-), perdarahan saat kehamilan (-), kejang saat kehamilan
(-). Namun riwayat ketuban pecah (+).
Persalinan : Lahir saat usia kandungan 37 minggu dengan penolong bidan.
BB 2900 gr, sedangkan ibu pasien menyatakan tidak ingat PB, LK dan
nilai Apgar. Saat lahir bayi langsung menangis, tidak ikterik. Ikterik baru
di ketahui setelah umur 1 minggu. Tidak ada penyakit bawaan lainnya.
Pasca persalinan : Ibu rajin melakukan kontrol ke puskesmas
e) Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Sosial Ekonomi:
Penghasilan perbulan mencukupi (kepala keluarga tidak ingin
menyebutkan nominalnya) dengan jumlah anggota keluarga 4 orang.
Ayah, Ibu, anak pertama (umur 6 tahun) dan anak kedua (1 tahun 8 bulan).
Lingkungan
Pasien tinggal dengan 3 anggota keluarga (Ayah, Ibu, dan Kakak/anak
pertama) di rumah pribadi. Jarak rumah dengan tetangga tidak terlalu
berdekatan. Lingkungan rumah tidak kumuh, jauh dari tempat

pembuangan sampah akhir. Sirkulasi udara dan pencahayaan baik. sumber


air bersih berasal dari pompa air tanah.
f) Riwayat Imunisasi
Dilakukan di puskesmas
Hepatitis B
bulan, 11 bulan
Polio
BCG
DTP
Campak

: 4 kali, usia 7 hari setelah lahir, 4 bulan, 10


: 4 kali, usia 1 bulan, 4 bulan, 10 bulan, 11 bulan
: 1 kali, usia 1 bulan
: 3 kali, usia 4 bulan, 10 bulan, 11 bulan
: 1 kali, usia 1 tahun

g) Riwayat Makanan
(sejak lahir sampai sekarang)
6 bulan: ASI

12 bulan: ASI + Susu formula + Bubur serelac


18 bulan: ASI + Susu formula + Nasi tim + parutan daging/ikan

h) Riwayat Tumbuh Kembang


(Sejak lahir sampai sekarang)
3 bulan : tengkurep dan kepala melengkung, kulit keriput
6 bulan : tengkurep, dipanggil merespon, membalikkan badan dan
leher tampak lemas
9 bulan : bisa memegang bola/mainan dan leher tampak lemas
12 bulan : merangkak dan bicara ma, pa
18 bulan : merangkak, berpegangan dan berguling-guling.
IV.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 18 September 2013
A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran
: Compos Mentis
Tanda vital
o HR
: 132 x/menit, teraba kuat, isi cukup, reguler
o RR
: 30 x /menit
o Suhu
: 36,9oC di aksila
o BB
: 9 kg
o TB
: 70 cm
o BB/U
: 9/11.4 x 100 %: 78.94 %
o TB/U
: 70/82 x 100 %: 85.36 %
o BB/TB
: 9/8.4 x 100 %: 107.14 %

Simpulan Status gizi menurut kurva CDC adalah baik

Kepala
: Normocephal
Rambut
: Kemerahan, distribusi merata, tidak mudah
dicabut
Kulit
: Putih, tidak pucat, turgor baik, ikterik (-)
Mata
: Palpebra kanan dan kiri tidak cekung dan tidak
edema, konjungtiva kanan dan kiri tidak pucat, sklera kanan dan
kiri tidak ikterik, kornea kanan dan kiri jernih, iris kanan dan kiri
berwarna coklat, pupil isokor diameter 2 mm.
Hidung
: Bentuk normal, nafas cuping hidung tidak ada,
sekret tidak ada, epistaksis tidak ada. deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut
: merah, mukosa bibir basah, sianosis (-)
Tenggorok
: T1 T1 tenang, faring tidak hiperemis.
Leher
: kelenjar getah bening tidak membesar, trakea
ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba
Toraks:
o Paru-paru :
Inspeksi
: bentuk dada simetris kanan dan kiri,
pernapasan simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, retraksi sela iga (-)
Palpasi
: Fremitus taktil dan fremitus vokal
simetris kanan dan kiri (saat anak menangis)
Perkusi
: sonor di kedua hemitoraks
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronki (-/-),
wheezing (-/-)
o Jantung :

Inspeksi : iktus kordis tampak


Palpasi
: iktus kordis teraba di ICS 4 linea
midclavicula sinistra
Perkusi
: batas jantung normal
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop
(-)

Abdomen :
o Inspeksi : bentur datar, simetris, sikatrik (-)
o Auskultasi : bising usus normal
o Palpasi
: supel, tidak teraba masa, nyeri tekan tidak ada,
tidak ada pembesaran hepar dan lien.
o Perkusi
: timpani diseluruh quadran perut

V.

Ekstremitas
: Capillary refill time <2 detik, Akral hangat (+),
edema ekstremitas (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan tanggal 15-05-2013


JENIS PEMERIKSAAN
HASIL
KIMIA KLINIK:
SGOT (AST)
30 U/L
SGPT (ALT)
20 U/L
HORMON TIROID :
T4 bebas
0.730 ng/dL
(L)
TSH sensitif
91.230 IU/mL (H)
Pemeriksaan tanggal 17-10-2013
JENIS PEMERIKSAAN
HASIL
HORMON TIROID
T4 bebas
1.440 ng/dL
TSH sensitif
0.190 IU/mL

Pemeriksaan tanggal 29-11-2013


JENIS PEMERIKSAAN
HASIL
HEMAOLOGI
Hema Lengkap
LED
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Neutrofil Batang
Neutrofil Segman
Limfosit
Monosit

NILAI RUJUKAN
<56
< 39
0.850 1.150
0.54 4.530

NILAI RUJUKAN

(L)

0.850 1.750
0.540 4.530

NILAI RUJUKAN

64 mm/jam (H)
9.9 g/dL (L)
34 % (L)
4.8 juta/L
13.10 103/L
386 ribu/L
70 fL (L)
21 ng/mL (L)
30 g/dL

<10
10. 8 12.8
35 43
3.6 5.2
5.50 15.50
229 553
73 101
23 31
26 34

0%
2%
0 % (L)
46 %
45 %
7 % (H)

0 -1
13
36
25 60
25 50
16

Pemeriksaan tanggal 1-4-2013

Pemeriksaan tanggal 17-9-2013

VI.

RESUME
Pada tanggal 28 november 2013 pasien umur 1 tahun 8 bulan datang ke Poli
Anak RSUD Pasar Rebo dengan keluhan saat ini pasien belum dapat berdiri,
berjalan sendiri, dan hanya bisa mengeluarkan kata ma, pa. Saat pertama kali
datang ke poli anak RSUD Pasar Rebo pada tanggal 27 Maret 2013, keluhan leher
tampak lemas, baru bisa tengkurap dan membalikkan badan saat umur 5 bulan.
setiap malam nafas os terdengar penuh dahak, dan berat badan tidak bertambah.
Orang tua pasien merasa tumbuh kembang anak mereka terhambat karena pasien
pada umur 5 - 6 bulan belum dapat merangkak, hanya bisa tengkurap dan
membalikkan badan. Umur 6 - 9 bulan rambut rontok, lidah keluar, kulit kering,
perut tampak membuncit hingga pusat bodong. Riwayat ikterik saat umur 1
minggu sampai dengan 3 bulan.
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda vital
HR
RR
Suhu
BB
TB

: Baik
: Compos Mentis
: 132 x/menit, teraba kuat, isi cukup, reguler
: 30 x /menit
: 36,9oC di aksila
: 9 kg
: 70 cm

Hasil Pemeriksaan Laboratrium T4 bebas 0.730 ng/dL dan TSH sensitif


91.230 IU/mL.

VII.

DIAGNOSIS KERJA
Delayed development
Hipotiroid Kongenital
Tb Paru

VIII. PENATALAKSANAAN
Fisioterapi
L-Tiroksin 5 kg/kgBB/hari
2HRZ 4HR
o INH 5 mg/kgBB
o Rifampisin 10 mg/kgBB
o Pirazinamid 25 mg/kgBB

IX.

PROGNOSIS
Ad vitam
: ad bonam
Ad fungtionam : dubia ad malam
Ad Sanactionam : ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat
dari aksis hipotalamus-hipofisis-tiroid-end organ, dengan akibat terjadinya defisiensi
hormon tiroid, ataupun gangguan respon jaringan terhadap hormon tiroid.
Menurut onsetnya, hipotiroid pada anak dibedakan menjadi 2 :
1. Hipotiroid kongenital.
2. Hipotiroid dapatan.
Hipotiroid Kongenital adalah penyakit bawaan akibat kekurangan hormon tiroid. Hormon
tiroid adalah hormon yang dihasilkan kelenjar tiroid yang mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan, metabolisme, dan pengaturan cairan tubuh.
ETIOLOGI
Beberapa defek genetik dikaitkan dengan terjadinya hipotiroid kongenital yang permanen.
Diketahui bahwa faktor imunologik, lingkungan, dan iatrogenik (tapi bukan genetik) dapat
menyebabkan hipotiroid kongenital yang transient, yang dapat sembuh secara spontan dalam
bulan pertama kehidupan.7
Penyebab dari hipotiroid kongenital dihubungkan dengan terjadainya defek pada proteinprotein yang berperan dalam sistesis hormon tiroid dan defek pada faktor transkripsi yang
berperan dalam pembentukan/perkembangan kelenjar tiroid. Namun, kasus yang demikian
hanya terjadi pada persentasi yang kecil dari populasi hipotiroid kogenital, penyebab dari
sebagian besar populasinya masih tidak diketahui.5,7
Hipotiroid kongenital yang transient dapat disebabkan oleh defisiensi iodine, paparan
terhadap iodine yang berlebih pada saat periode perinatal, atau paparan pada fetus oleh
thyriod-blocking antibodies yang diperoleh secara maternal atau obat antitiroid yang
dikonsumsi oleh wanita hamil dengan penyakit tiroid autoimun. Disfungsi tiroid kongenital
dapat juga merupakan akibat dari lahir yang prematur, dishormogenesis tiroid ringan, atau
kehilangan protein karena nefrosis (pada kasus yang jarang).5,7
Dosis OAT (Obat Anti Tiroid) berlebihan menyebabkan hipotiroidisme. Dapat juga
terjadi pada pemberian litium karbonat pada pasien psikosis. Hati-hatilah menggunakan
fenitoin dan fenobarbital sebab meningkatkan metabolisme tiroksin di hepar. Kelompok
kolestiramin dan kolestipol dapat mengikat hormon tiroid di usus. Defisiensi yodium berat
serta kelebihan yodium kronis menyebabkan hipotiroidisme dan gondok, tetapi sebaliknya

kelebihan akut menyebabkan IIT (iodine induced thyrotoxcisos). Bahan farmakologis yang
menghambat sintesis hormon tiroid yaitu tionamid (MTU, PTU, karbimazol), perklorat,
sulfonamid, yodida dan yang meningkatkan katabolisme atau penghancuran hormon tiroid
yaitu fenitoin, fenobarbital, yang menghambat jalur enterohepatik hormon tiroid yaitu
kolestipol dan kolestiramin.
Hipotiroid primer permanen
Disgenesis kelenjar tiroid : aplasia, hipoplasia, kelenjar tiroid ektopik
Dishormonogenesis : kelainan proses sintesis, seksresi dan utilisasi hormone tiroid sejak
lahir. Dishormogenesis disebabkan oleh defisiensi enzim yang diperlukan dalam sintesis
hormone tiroid. Kelainan ini diturunkan secara autosomal resesif. Kelainan ini mencakup
10% kasus hipotiroid kongenital.
Kelainan ini terjadi karena:
1. Kelainan reseptor TSH
2. Kegagalan menangkap yodium
3. Kelainan organifikasi
4. Defek coupling
5. Kelainan deiodinasi
6. Produksi tiroglobulin abnormal
7. Kegagalan sekresi hormone tiroid
8. Kelainan reseptor hormone tiroid perifer
Ibu mendapat pengobatan yodium radioaktif
Preparat yodium radioaktif yang diberikan pada ibu dengan kanker tiroid atau penyakit
Graves setelah usia gestasi 10 minggu melewati plasenta, selanjutnya ditangkap oleh tiroid
janin sehingga mengakibatkan ablasi tiroid. Keadaan ini juga dapat menimbulkan stenosis
trakea dan hipoparatiroid.
Hipotiroid primer transien
Ibu dengan penyakit Graves atau mengkonsumsi bahan goitrogenik
Obat golongan tiourasil yang digunakan untuk mengobati penyakit Graves dapat melewati
plasenta sehingga menghambat produksi hormon tiroid. Propitiourasil (PTU) 200-400
mg/hari yang diberikan pada ibu dapat mengakibatkan hipotiroid kongenital transien yang
akan menghilang jika PTU sudah dimetabolisme dan diekskresi oleh bayi.

Defisiensi yodium pada ibu atau paparan yodium pada janin atau bayi baru lahir
Di daerah endemic goiter, hampir dapat dipastikan bahwa defisiensi yodium merupakan
penyebab utama terjadinya goiter dan hipotiroid. Pemakaian yodium berlebihan pada ibu
hamil seperti penggunaan antiseptic yodium (misal yodium povidon) pada mulut rahim saat
rupture ketuban antepartum, ataupun antiseptik topikal pada neonatus (misalnya untuk
membersihkan tali pusat) dapat menyebabkan terjadinya hipotiroid primer pada neonatus.
Amniofetografi dengan kontras beryodium dilaporkan dapat menyebabkan hipotiroid
kongenital transien.
Transfer antibodi antitiroid dari ibu
Terdapat laporan tentang tiroiditis neonatal yang berkaitan dengan antibodi antitiroid ibu
yang menembus sawar plasenta. Kondisi ini membaik bersamaan dengan menghilangnya
antibody IgG pada bayi. TSHbinding inhibitor immunoglobulin dari ibu mampu menembus
plasenta yang selanjutnya menyebabkan hipotiroid transien.
Bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang sakit dapat
memberikan hasil skrining T4 rendah dan TSH normal. Beberapa diantaranya benar benar
menunjukkan gejala hipotiroid dengan kadar T4 rendah dan TSH tinggi. Meskipun keadaan
ini hanya sementara, namun pasien harus diberikan terapi dengan hormon tiroid. Pengobatan
dapat dicoba untuk dihentikan setelah anak berusia 2-3 tahun dan diadakan pemeriksaan
ulang untuk mengetahui apakah pasien menderita hipotiroid kongenital yang permanen atau
tidak.
Idiopatik
Bila hipotiroid transien tidak cocok dengan kategori yang telah disebutkan di atas, maka
dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Etiologi pasti belum diketahui, namun beberapa
kasus diduga akibat adanya kelainan pada mekanisme umpan balik aksis hipotalamushipofisis-tiroid.
Hipotiroid sekunder menetap
Kelainan ini merupakan 5% dari kasus hipotiroid kongenital. Penyebabnya antara
lain:
-

Kelainan kongenital perkembangan otak tengah

Aplasia hipofisis kongenital

Idiopatik

Hipotiroid sekunder transien

Bayi dengan kadar T4 total, T4 bebas, dan TSH normal rendah masih mungkin mengalami
hipotiroid sementara. Keadaan ini sering dijumpai pada bayi prematur karena imaturitas
organ dianggap sebagai dasar kelainan ini, yaitu imaturitas aksis hipotalamus-hipofisis.
Hipotiroid pada bayi prematur sulit dibedakan dengan bentuk yang terjadi akibat penyakit
nontiroid. Bila dicurigai hipotiroid terjadi akibat penyakit nontiroid, maka pengobatan dengan
hormon tiroid tidak diberikan tetapi dilakukan tes fungsi tiroid secara serial sampai penyakit
akut atau kronik sembuh sehingga fungsi tiroid yang sebenarnya dapat diketahui.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi hipotiroidisme didasarkan atas masing-masing penyebab yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme, yaitu :
1. Hipotiroidisme sentral (HS)
Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan hipofisis, maka disebut
hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di hipothalamus disebut
hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan klinis tidak hanya
karena desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena produksi hormon
yang berlebih (ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali, prolaktin
galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat desakan
tumor hipofisis lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain, dan TSH.
2. Hipotiroidisme Primer (HP)
Hipogenesis atau agenesis kelenjar tiroid. Hormon berkurang akibat anatomi kelenjar.
Jarang ditemukan, tetapi merupakan etiologi terbanyak dari hipotiroidisme kongenital di
negara barat. Umumnya ditemukan pada program skrining massal. Kerusakan tiroid dapat
terjadi karena:
a. Pascaoperasi
Strumektomi dapat parsial (hemistrumektomi atau lebih kecil), subtotal atau total.
Tanpa kelainan lain, strumektomi parsial jarang menyebabkan hipotiroidisme.
Strumektomi subtotal M. Graves sering menjadi hipotiroidisme dan 40%
mengalaminya dalam 10 tahun, baik karena jumlah jaringan dibuang tetapi juga
akibat proses autoimun yang mendasarinya.
b. Pascaradiasi
Pemberian RAI (Radioactive iodine) pada hipertiroidisme menyebabkan lebih dari
40-50% pasien menjadi hipotiroidisme dalam 10 tahun. Tetapi pemberian RAI
pada nodus toksik hanya menyebabkan hipotiroidisme sebesar <5%. Juga dapat
terjadi pada radiasi eksternal di usia <20 tahun : 52% 20 tahun dan 67% 26 tahun
pascaradiasi, namun tergantung juga dari dosis radiasi.
c. Tiroiditis autoimun.
Disini terjadi inflamasi akibat proses autoimun, di mana berperan antibodi
antitiroid, yaitu antibodi terhadap fraksi tiroglobulin (antibodi-antitiroglobulin,

Atg-Ab). Kerusakan yang luas dapat menyebabkan hipotiroidisme. Faktor


predisposisi meliputi toksin, yodium, hormon (estrogen meningkatkan respon
imun, androgen dan supresi kortikosteroid), stres mengubah interaksi sistem imun
dengan neuroendokrin. Pada kasus tiroiditis-atrofis gejala klinisnya mencolok.
Hipotiroidisme yang terjadi akibat tiroiditis Hashimoto tidak permanen.
d. Tiroiditis Subakut.
(De Quervain) Nyeri di kelenjar/sekitar, demam, menggigil. Etiologi yaitu virus.
Akibat nekrosis jaringan, hormon merembes masuk sirkulasi dan terjadi
tirotoksikosis (bukan hipertiroidisme). Penyembuhan didahului dengan
hipotiroidisme sepintas.
e. Dishormogenesis
Ada defek pada enzim yang berperan pada langkah-langkah proses hormogenesis.
Keadaan ini diturunkan, bersifat resesif. Apabila defek berat maka kasus sudah
dapat ditemukan pada skrining hipotiroidisme neonatal, namun pada defek ringan,
baru pada usia lanjut.
f. Karsinoma.
Kerusakan tiroid karena karsinoma primer atau sekunder, amat jarang.
3. Hipotiroidisme sepintas.
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat
menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca tiroidektomi
subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus mengalami
hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali,
sehingga jangan tergesa-gesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi
yodium keadaan ini banyak ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan
perkembangan saraf.
KLASIFIKASI
Hipotiroidisme kongenital terdiri dari hipotiroidisme kongental primer dan sekunder.
Untuk hipotiroidisme kongenital primer, kerusakan terjadi pada bagian tiroid. Untuk kondisi
ini kita dapat membagi pasien dengan hipotiroidisme kongenital primer ke dalam 4
kelompok. 6 sebagai berikut:
1. Tidak Adanya Kelenjar Tiroid (Athyrosis)
Pada kelompok ini, kelenjar tiroid gagal terbentuk sebelum kelahiran. Kelenjar tersebut
absen dan tidak akan pernah dapat berkembang, sehingga sebagai konsekuensinya tidak ada
hormon tiroksin yang diproduksi. Kondisi ini disebut Agenesis Tiroid atau Atirosis. Kondisi
ini lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki, sekitar 2:1. Kondisi ini
ditemukan pada 1 dari 10.000 bayi lahir, dan merupakan 35% kasus yang ditemukan pada
Newborn Screening. Alasan mengapa hormon tiroid gagal berkembang belum diketahui.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa salah satu kaskade pada gen yang berperan
dalam pembentukan kelenjar tiroid tidak teraktivasi tepat pada waktunya.6

2. Kelenjar Tiroid Ektopik


Pada bayi dengan kondisi ini, kelenjar tiroid berukuran kecil dan tidak terletak secar
normal pada posisinya di depan trakea. Seringkali kelenjar tiroid ditemukan di bawah lidah di
dekat lokasi di mana kelenjar pertama kali terbentuk pada embrio. Tiroid ektopik memiliki
derajat fungsi yang berbeda-beda. Terkadang ukurannya sangat kecil dan tidak aktif, namun
pada kondisi tertentu masih dapat menghasilkan hormon tiroid yang jumlahnya hampir
mencapai normal, oleh karena itu ada derajat keparahan pada kondisi ini. Setelah kelahiran,
kelenjar tiroid ektopik tidak akan bertambah besar dan turun pada posisi normalnya.
Fungsinya pun akan semakin menurun seiring perjalanan waktu.
Kelenjar tiroid ektopik juga dua kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria.
Kondisi tersebut merupakan 50% dari yang terdeteksi pada Newborn Screening dan sedikit
lebih sering terjadi dibandingkan atirosis. Penyebab pastinya juga tidak diketahui, namun
penyebab yang sama seperti pada atirosis dapat menimbulkan kondisi ini.6
3. Malformasi Kelenjar Tiroid pada Posisi Normal (Hypoplasia)
Kondisi ini terkadang disebut sebagai Hipoplasia Thyroid dan hanya terjadi dengan
persentase yang sangat kecil pada total seluruh kasus. Pada hipoplasia tiroid, kelenjar
berukuran kecil, tidak terbentuk secara optimal dan terkadang hanya memiliki satu lobus.6
4. Kelenjar Tiroid Tumbuh dengan Normal Namun Tidak Dapat Berfungsi Optimal
(Dysmorphogenesis)
Kondisi ini merupakan 15% dari kasus yang ditemukan pada Neonatal Screening.
Dismorfogenesis seringkali terjadi akibat defek enzim tertentu, yang dapat bersifat transien
maupun permanen. Pada bayi dengan dismorfogenesis, ukuran kelenjar tiroid mengalami
pembesaran dan dapat dilihat atau diraba pada bagian depan.6
MANIFESTASI KLINIS
Pada neonatus, gejala khas hipotiroidisme seringkali tidak tampak dalam beberapa
minggu pertama kehidupan. Hanya 10-15% bayi baru lahir hipotiroidisme yang datang
dengan manifestasi klinik mencurigakan, yang membuat dokter waspada akan kemungkinan
hipotiroidisme.4,5,8 Salah satu tanda yang paling khas dari hipotiroidisme kongenital pada bayi
baru lahir adalah fontanela posterior terbuka dengan sutura cranial yang terbuka lebar akibat
keterlambatan maturasi skeletal prenatal. Kelambatan maturasi tulang, dapat dinilai dengan
pemeriksaan radiologik pada daerah femoral distal lutut, tidak hanya untuk kepentingan
diagnostik, tetapi juga menggambarkan berat serta lamanya penyakit in utero. Gejala
berikutnya yang paling sering adalah hernia umbilikalis, namun kurang spesifik. Sebagian
besar pasien memiliki berat lahir besar untuk kehamilan (di atas 3,5 kg dengan periode
kehamilan lebih dari 40 minggu). Kurang dari separuh pasien didapatkan ikterus
berkepanjangan pada awal kehidupannya. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin untuk
terjadinya hipotiroidisme kongenital. Tanda dan gejala lain yang jarang terlihat adalah
konstipasi (Riwayat BAB pertama > 20 jam setelah lahir dan sembelit ), hipotonia, suara

tangis serak, kesulitan makan atau menyusui, bradikardi dan kulit kering dan kasar. Selain
itu, bayi dengan hipotiroidisme kongenital memiliki insiden anomaly kongenital lain lebih
tinggi, namun kemaknaannya tidak jelas. Berbagai anomali congenital pada bayi
hipotiroidisme kongenital yang diidentifikasi melalui program skrining hipotiroidisme, antara
lain penyakit jantung bawaan, penyimpangan kromosom, kelainan tulang, dan sindrom
rambut terbelah.4,8,9,10
Apabila keadaan hipothyroid ini tidak ditangani selama masa neonatus dan bayi, maka
akan dapat menyebabkan kelainan yang lebih berat berupa:
1.

Keterlambatan Pertumbuhan
Walaupun tiroksin tampaknya tidak begitu diperlukan untuk pertembuhan sebelum
kelahiran, namun sangat esensial untuk pertumbuhan normal setelah kelahiran. Jika seorang
bayi memilki defisiensi tiroid yang tidak ditangani, ia akan memiliki postur yang kecil pada
masa bayi maupun kanak-kanak dan berujung pada postur yang sangat pendek.
Keterlambatan pertumbuhan ini mempengaruhi seluruh bagian tubuh termasuk tulang.6

2.

Keterlambatan Perkembangan Mental


Retardasi intelektual dapat terjadi pada kondisi kekurangan tiroksin. Derajat retardasi
bergantung pada keparahan defisiensi hormon tiroid. Jika hanya ada kekurangan parsial
tiroksin, kelainan mental minimal dapat terjadi.4,5 Ketika tiroksin sepenuhnya tidak ada dan
bayi tidak mendapatkan penanganan, retardasi mental yang parah mungkin dapat terjadi.
Namun, kondisi ini tidak akan terjadi jika penatalaksanaan dilakukan sejak awal.5,8,10

3.

Jaundice Persisten
Secara normal, kondisi jaundice adalah kondisi yang fisiologis yang dapat terjadi pada
neonatus yang berlangsung selama 1-2 minggu. Namun pada kondisi hipotiroidisme yang
tidak ditangani (untreated hypothiroidism), jaundice dapat berlangsung lebih dari waktu yang
normal.4,5,10
Enzim glukoronil teransferase merupakan enzim yang mengkatatalisis proses konjugasi
bilirubin di dalam hepatosit. Pada hipotiroid aktivitas enzim ini menurun sehingga terjadi
penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dari hepatosit ke dalam usus. Hal ini menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Peningkatan rasio klesterol-fosfolipid pada
membran hepatosit dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada proses pengambilan
bilirubin tak terkonjugasi oleh hepatosit. Gangguan karena penningkatan rasio kolesterol
fosfolipid ini mengganggu kelarutan bahanbahan yang akan memasuki sel hepatosit, salah
satunya adalah bilirubin tak terkonjugasi yang berasal dari siklus enterohepatik. Selain itu
tejadi juga gangguan kerja dari enzim Na+, K+-ATPase yang merupkan enzim yang berperan
dalam proses up take bilirubin oleh hati yang terjadi melalui suatu proses transport aktif.
DIAGNOSIS

1.

Anamnesis

Tanpa adanya skrining pada bayi baru lahir, pasien sering datang terlambat dengan
keluhan retardasi perkembangan disertai dengan gagal tumbuh atau perawakan pendek. Pada
beberapa kasus pasien datang dengan keluhan pucat. Pada bayi baru lahir sampai usia 8
minggu keluhan tidak spesifik. Perlu ditanya riwayat gangguan tiroid dalam keluarga,
penyakit ibu saat hamil, obat anti tiorid yang sedang diminum dan terapi sinar.14
Dari anamnesis dapat digali berbagai gejala yang mengarah kepada hipotiroid kongenital
seperti ikterus lama, letargi, konstipasi, nafsu makan menurun dan kulit teraba dingin. Selain
itu, didapat pertumbuhan anak kerdil, ekstremitas pendek, fontanel anterior dan posterior
terbuka lebih lebar, mata tampak berjauhan dan hidung pesek. Mulut terbuka, lidah yang
tebal dan besar menonjol keluar, gigi terlambat tumbuh. Leher pendek dan tebal, tangan besar
dan jari-jari pendek, kulit kering, miksedema dan hernia umbilikalis.perkembangan
terganggu, otot hipotonik kadang dapat ditemukan hipertrofi otot generalisata sehingga
menghasilkan tampakan tubuh berotot. Perlu pula digali adanya riwayat keluarga dengan
hipothyroidisme, terutama kedua orang tua. Penting juga mengevaluasi riwayat kehamilan
untuk mengetahui pengobatan yang mungkin didapat ibu selama hamil, terutama yang
bekerja mempengaruhi sintesis dan kerja hormon thyroid atau kelainan lainnya.5,8,9,10
2.

Gejala Klinis
Indeks hipotiroidisme kongenital merupakan ringkasan tanda dan gejala yang paling
sering terlihat pada hipotiroidisme kongenital. Dicurigai adanya hipotiroid bila skor indeks
hipothyroid kongenital > 5. Tetapi, tidak adanya gejala atau tanda yang tampak tidak
menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.

3.

Laboratorium
Penyakit hipotiroid kongenital dapat dideteksi dengan tes skrining, yang dilakukan dengan
pemeriksaan darah pada bayi baru lahir atau berumur 3 hari atau minimal 36 jam atau 24 jam
setelah kelahiran. Tes skrining dilakukan melalui pemeriksaan darah bayi. Darah bayi akan
diambil sebelum ibu dan bayi meninggalkan rumah sakit bersalin. Jika bayi dilahirkan di
rumah, bayi diharapkan dibawa ke rumah sakit / dokter sebelum usia 7 hari untuk dilakukan
pemeriksaan ini. Darah diambil melalui tusukan kecil pada salah satu tumit bayi, lalu
diteteskan beberapa kali pada suatu kertas saring (kertas Guthrie) dan setelah mengering
dikirim ke laboratorium.4,5 Adapun pemeriksaannya ada tiga cara, yaitu:
a)
b)
c)

Pemeriksaan primer TSH.


Pemeriksaan T4 ditambah dengan pemeriksaan TSH dari sampel darah yang
sama, bila hasil T4 rendah.
Pemeriksaan TSH dan T4 sekaligus pada satu sampel darah.

Nilai cut-off adalah 25 mU/ml. Bila nilai TSH < 25 >50 mU/ml dianggap abnormal dan
perlu pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 plasma. Bila kadar TSH tinggi > 40
mU/ml dan T4 rendah, Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50 mmU/ml, dilakukan
pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.4
Pemeriksaan penunjang lainnya yang penting dilakukan, antara lain:

a)
b)
c)

Darah, air kemih, tinja, kolesterol serum.


T3, T4, TSH.
Radiologis :
1)
USG atau CT scan tiroid.
2)
Tiroid scintigrafi.
3)
Umur tulang (bone age).
4)
X-foto tengkorak .

Selain untuk mendiagnosis keadaan hipothyroid, perlu juga dilakukan evaluasi tambahan
guna menentukan etiologi dasar penyakit. Hal ini perlu dilakukan untuk menentukan apakah
HK bersifat permanent atau transient sehingga dapat diperkirakan lama terapi dan prognosis.
1. Pengukuran kadar hormon kelenjar gondok
Thyroxine total (T4). Cara pemeriksaan T4 yang umum dilakukan ialah cara competitive
protein binding assay (CPBA), radioimmuno assay (RIA) dan enzyme immuno assay (EIA).
Cara CPBA dikembangkan oleh Murphy dan Pattee (1964) dimana digunakan T4 J125
dan thyroxine binding globulin (TBG) untuk mengukur kadar T4 serum. Saat ini yang lebih
sering digunakan adalah cara RIA dimana digunakan antibodi spesifik terhadap T4 (anti
T4). T4 terlebih dulu dilepaskan dari ikatannya dengan TBG dengan penambahan zat
tertentu. T4 yang telah dibebaskan bersaing dengan T4 J125 dalam berikatan dengan anti
T4. Ikatan T4-anti T4 kemudian dipisahkan dari T4 bebas dan salah satu fraksi diukur
radioaktivitasnya. Ukuran radioaktivitas ini digunakan untuk mendapatkan kadar T4, dengan
membandingkan dengan satu seri standard yang dikerjakan bersama bahan pemeriksaan dari
pasien.
Selain cara diatas, dapat pula dilaporkan sebagai thyrobinding index (TBI) yaitu
persentase radioaktivitas yang diikat oleh unsaturated TBP. Kadar TBG dapat pula diukur
secara langsung dengan cara RIA.
T4 bebas
Kadar T4 bebas dapat diperkirakan dengan menghitung Free Thyroxine Index (FTI)
dengan rumus : FTI = T4 x T3U atau FTI = T4/TBG. T4 bebas (Free T4 = FT4)Idapat pula
diulcur langsung. Cara yang klasik adalah dengan cars dialysis ekuilibrium. Cara ini sulit dan
tidak praktis untuk digunakan secara rutin, sehingga seisms ini perkiraan T4 bebas dengan
menghitung FTI yang lebih banyak digunakan. Akhir-akhir ini telah dibuat suatu tehnik
pemenksaan FT4 yang lebih sederhana. Dasar dari cara ini adalah penggunaan antibody
spesifilc terhadap T4 yang dibuat sedemikian sehingga hanya bereaksi dengan T4 bebas.
Triiodothyronine (T3)
T3 dapat diukur dengan cars RIA dengan menggunakan T3-J'25 dan antibodi spesifik
terhadap T3. Prinsip pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan T4 dengan cara RIA. Seperti
halnya T4 total, kadar T3 juga dipengaruhi kadar protein pengikatnya dalam darah. Untuk
mendapatkan gambaran kadar T3 bebas dalam darah dapat pula diitung Free T3 Index (FT3I)
dengan rumus l FT3I = T3 (ng/dl) x T3U (%)/ 1000

Disamping pemeriksaan T3 dapat pula diperiksa kadar neversed T3 (rT3) yang juga
menggunakan carai RIA. Selain pemeriksaan-pemeriksaan hormon kelenjar gondok diatas,
dilcenal pula pemeriksaan Protein bound iodine (PBI) dan Butanol extractable iodine (BEI),
akan tetapi pemeriksaan ini telah ditinggalkanehingga tidak dibicarakan dalam tulisan ini.
2. Penlaian jalur hipotalamus hipofisis - kelenjar gondok Thyroid Stimulating
Hormone (TSH).
TSH adalah suatu glikoprotein yang disekresi oleh kelenjar hipofisis pars anterior. Dulu
kadar TSH diperiksa dengan cant bioassay, sekarang telah dapat digunakan cara RIA yang
sensitif untuk mengukurnya. Kadar normal TSH adalah mulai dari tidak terdeteksi sampai
10uU/ml. Tes TRH. Pengukuran kadar TSH dilakukan sebelum, 20 menit sesudah
penyuntikan S00ug TRH intravena.
3. Pemeriksaan tidak langsung.
Pemeriksaan basal metabolic rate (BMR) dan lemak darah dapat digunakan untuk menilai
faal kelenjar gondok secara tidak langsung. Padahipotiroidisme seringkali dijumpai adanya
hiperlipidemia.
4. Pemeriksaan terhadap etiologi
Autoantibodi terhadap kelenjar gondok. Pada keadaan-keadaan tertentu mungkin dijumpai
adanya antibodi terhadap komponen- komponen kelenjar gondok seperti thyroglobulin,
komponen koloid, mikrosom dan komponen nukleus dari sal folikuler. Antibodi ini dapat
diperiksa dengan cara imunologis seperti hemaglutinasi, presipitasi, fiksasi komplemen dan
imunofluoresens. Penyakit yang dihubungkan dengan adanya autoantibodi ini antara lain
thyroiditis Hashimoto dan penyakit Grave. Long acting thyroid stimulator (LATS). LATS
adalah IgG yang bersifat antibodi terhadap komponen kelenjar gondok yang mampu
merangsang fungsi kelenjar gondok. Sekarang ini dikenal beberapa macam thyroid
stimulating immunoglobulins (TSI). Zat-zat ini dapat diukur dengan cara bioassay, akan
tetapi cara ini sulit dilakukan.
5. Penggunaan dan Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Karena hampir seluruh T4 dalam sirkulasi darah terikat TBP, terutama TBG, pengukuran
kadar T4 total dipengaruhi oleh juinlah T4 yang dibuat oleh kelenjar gondok dan kadar TBG.
14 bebas merupakan bentuk hormon yang dapat mendifusi kedalam sel dan mempengaruhi
metabolisme, karena itu pengukuran FT4 lebih menggambarkan fungsi kelenjar gondok.
Kadar T4 total dan T3U dipengaruhi oleh kadar TBG seperti dapat dilihat pada gambar
dibawah.
Pada hipertiroidisme, baik kadar T4 total maupun T3U akan bersama-sama meningkat.
Demikian pula pada hipotiroidisme, hasil kedua pemeriksaan menurun. Pada perubahan kadar
TBG, perubahan kadar T4 total dan T3 U terjadi dalam arah yang berlawanan, sedangkan
nilai FTI akan tetap normal.

Nilai FTI yang rendah sesuai dengan keadaan hipotiroid. sebaliknya nilai FTI yang tinggi
sesuai dengan hipertiroid. (lihat gambar 41 Nilai FTI yang jelas meninggi dijumpai pada
penyakit Grave, struma toksik, pengobatan hormon tiroid yang berlebihan dan fase awal
thyroiditis subakut.
Apabila nilai FTI meragukan (normal tinggi), sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar T3
serum. Kadar T3 yang tinggi menunjukkan keadaan hipertiroid. Bila kadar T3 juga
meragukan (normal tinggi), status kelenjar gondok dapat dinilai lebih lanjut dengan tes TRH.
Kadar T3 yang normal atau rendah menunjukkan keadaan eutiroid. Adanya sedikit
peningkatan FTI memang sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit- penyakit
sistemik akut maupun kronik seperti keganasan
Nilai FTI normal sesuai dengan keadaan eutiroid, akan tetapi apabila gambaran klinis jelas
hipertiroid sebaiknya diperiksa kadar T3. Sebagian kecil (35%) keadaanhipertiroid
disebabkan oleh peningkatan kadar T3 tanpa peningkatan kadar T4, keadaan ini disebut
toksikosis T3. Begitu pula apabila gambaran klinis hipotiroid, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan kadar TSH.
Apabila didapat nilai FTI yang rendah, sebaiknya dilakukan pemeriksaan kadar TSH.
Peningkatan kadar TSH yang nyata dijumpai pada hipotiroidisme primer yaitu hipotiroidisme
yang disebabkan oleh kegagalan kelenjar gondok sendiri. Kurangnya sintesis hormon
kelenjar gondok menyebabkan berkurangnya umpan balik yang menghambat pelepasan TSH.
Peningkatan kadar TSH sangat sensitif untuk keadaan ini dan bahkan sudah terjadi pada
keadaan "prehipotiroid" dimana sintesis hormone kelenjar gondok masih dapat dipertahankan
normal oleh adanya kadar TSH yang tinggi.
Akan tetapi hipotiroidisme tidak selalu disebabkan oleh gangguan kelenjar gondok itu
sendiri. Hipofungsi kelenjar gondok mungkin pula disebabkan oleh gangguan hipofisis atau
hipotalamus. Pada keadaan-keadaan ini kadar TSH rendah atau tidak terdeteksi. Umumnya
pasien akan memperlihatkan gejala kegagalan hipofisis lain seperti gangguan fungsi kelenjar
adrenal dan gonad. Tes TRH dapat membedakan kedua sebab hipotiroidisme sekunder ini.
Pemberian TRH sintetik akan meningkatkan kadar TSH serum pada kelainan hipotalamus,
sedangkan respons negatif dijumpai pada kelainan hipofisis.
DIAGNOSIS BANDING

Sindrome Down
Sering disertai hipotiroid kongenital, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan faal
tiroid secara rutin. Gejala lainnya pada penyakit mongolisme ini antara lain
epikantus (+), makroglosi (+), miksedema (-), retardasi motorik dan mental,
Kariotyping (trisomi 21).

PENATALAKSANAAN
Begitu diagnosis hipothyroid kongenital ditegakkan, dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan untuk menetukan etiologi dasar penyakit. Bila hal ini tidak memungkinkan,
tretment awal dengan L-thyroxine harus segera dilaksanakan. Dosis awal pengobatan dengan
L-thyroxine adalah 10-15 g/kgBB/hr yang bertujuan segera mencapai kadar hormon tiroksin
yang adekuat. Pada pasien dengan derajat hipothyroidisme yang berat, ditandai dengan
terbukanya fontanela mayor, harus diberikan dosis yang lebih besar, yaitu lebih besar dari
15g/kgBB/hr.4,5,11 Selanjutnya, diikuti dengan terapi maintenence dimana besar dosis
mentenence disesuaikan kondisi pasien. Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar
hormon tiroksin dan free T4 dalam batas normal, yaitu 10-16 g/dL untuk hormon tiroksin
dan 1.4 - 2.3 ng/dl untuk free T4.4
Untuk hipothyroidisme kongenital, satu-satunya terapi adalah dengan replacment hormon.
Dalam tatalaksananya, yang paling penting adalah follow up dan montoring terapi untuk
memepertahankan kadar TSH dan T4 plasma dalam ambang normal. 4,8 Untuk itu, perlu
dilakukan follow up kadar TSH dan hormon T4 dlam waktu-waktu yang ditentukan, yaitu:
Usia pasien

Jadwal follow up

0-6 bulan

Tiap 6 minggu

6 bln-3thn

Tiap 3 bln

>3thn

Tiap 6 bln

Umur

Dosis kg/kg BB/hari

0-3 bulan
3-6 bulan
6-12 bulan
1-5 tahun
2-12 tahun
> 12 tahun

10-15
8-10
6-8
5-6
4-5
2-3

Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring 6-8 minggu setiap pergantian dosis. Hal ini
guna mengantisipasi terjadinya overtreatment yang dapat menyebabkan efek samping seperti
penutupan sutura yang premature, dan masalah temperament dan perilaku.4,8
Bila fasilitas untuk mengukur faal tiroid tidak ada, dapat dilakukan therapeutic trial
sampai usia 3 tahun dimulai dengan dosis rendah dalam 2-3 minggu; bila ada perbaikan
klinis, dosis dapat ditingkatkan bertahap atau dengan dosis pemberian + 100 g/m2/hari.
Penyesuaian dosis tiroksin berdasarkan respon klinik dari uji fungsi tiroid T3, T4, dan
TSH yang dapat berbeda tergantung dari etiologi hipotiroid.
PROGNOSIS
Prognosis meningkat secara dramatis dengan adanya neonatal screening program.
Diagnosis yang cepat dan pengobatan yang adekuat dari minggu pertama kehidupan dapat
memberikan pertumbuhan yang normal termasuk intelegensi dibandingkan dengan lainnya
yang tidak mendapatkannya. 8 Sebelum berkembangnya skrining bayi baru lahir, suatu
penelitian di RS Anak Pittsburgh melaporkan bayi-bayi yang diobati > 7 bulan IQ rata-rata
54.2. Prognosis juga bergantung pada etiologi yang pasti. 4,10 Infant yang megalami keadaan
kadar T4 yang rendah dengan retardasi pematangan skeletal, mengalami penurunan IQ 5-10m
point, dan kelainan neuropskikologis misalnya, inkoordinasi, hypotonic atau hypertonis,
kurang perhatian, dan kesulitan bicara. Pada 20% kasus terjadi kesulitan mendengar. Tanpa
pengobatan, infant yang mengalamianya akan ditemukan defisensi mental dan retardasi
pertumbuhan. Hormone thyroid sangat penting untuk pertumbuhan otak, maka diperlukan
diagnosis biokimia untuk mengetahuai apakah ada kelainan atau tidak agar dapat segera di
tatalaksana untuk mencegah kerusaka otak yang irreversible. Keterlambatan diagnosis,
kegagalan untuk menangani hypertyroxemia secara cepat, pengobatanya yang tidak adekuat,
dan pemenuhan yang kurang pada 2-3 tahun pertama kehidupan dapat menghasilkan derajat
kerusakan otak yang bervariasi.8

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Ricard S. 2006. Anatomi Klinik untuk mahasiswa kedokteran, Edisi 6. EGC, Jakarta.
Bagian: Leher.
2. Faizal, Frans. 2009. Brosur Prodia Laboratorium Klinik : Selamatkan Bayi Anda Sebelum
Terlambat Dengan Melakukan Skrining Neonatus.
3. Crisostomacleo. 2008. Hipotiroidisme Kongenital: penyebab hambatan pertumbuhan dan
retrdasi mental pada anak
4. Agarwal, Ramesh, Vandana Jain, Ashok Deorari, dan Vinod Paul. 2008. Congenital
Hypothyroidism. Department of Pediatric: All India Institute of Medical Sciences (AIIMS).
NICU: New Delhi India Downloaded from: www.newbornwhocc.org
5. Coakley, John C., dan John Connelly. 2007. Congenital Hypothyroidism: An Information
Guide For Parents. Education Research Center of Royal Childrens Hospital: Victoria
Australia
6. Moreno JC, et al. Inactivating mutations in the gene for thyroid oxidase 2 (Thox2) and
congenital hypothyroidism, N Engl J Med 2002; 347(2): 95-102.
7. Park SM, Chatterjee VKK. Genetics of congenital hypothyroidism, J Med Genet 2005; 42:
379-389.
8. Jameson, J Larry. Disorders of the Thyroid Glands. In: Braunwald, TR. et al. 2008, Harrisons
Principles of Internal Medicine, Seventeenth Edition, McGraw Hill, New York.
9. LaFranci, Stpehen. Bherman, RE, Kliegman, RM, Jneson, HB (eds)2009. Nelson Testbook of
Pediatry, 18thed. WB Saunders, Philadelphia. Chapter 24: Endocrine System
10.Juliaty, Aidah dan Satriono. 2005. Laporan Kasus: Hipotiroidisme Kongenital pada Dua
Saudara Kandung. SMF Anak FK UNHAS: Makassar
11. Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6.
EGC, Jakarta. Bagian 10 : Gangguan Sistem Endokrin dan Metabolik
12. Anonim, 2006. Hipotiroidisme Kongenital. www.genetics home reference.com
13. Silman, Erwin. Kusnandar Simon. Pemeriksaan Laboratorium untuk Menilai Faal Kelenjar
Gondok, CDK 1983; 30: 46-48.
14. IDI, 2004. Standar Pelayanan Medik, Edisi 1. IDI, Jakarta. Bagian : Endokrinologi.
15. Haqiqi, Himan S. 2008 Biosintesis Hormon Tiroid dan Paratiroid. Fakultas Peternakan
UNIBRAW: Malang.

Anda mungkin juga menyukai