Anda di halaman 1dari 4

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara.

Ia adalah putera tertua dari


Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir Mangunkusumo diawali sebagai guru
bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar
di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu
adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.


Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo
berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo,
dan Syamsul Maarif bersekolah di Stovia, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari
pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar
sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta.

Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-
teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. Een begaald leerling,
atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di Stovia Cipto juga mengalami
perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan
bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya
pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan.
Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya, Stovia adalah tempat
untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan
lingkungan baru yang diskriminatif.

Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada dirnya, seperti semua mahasiswa Jawa
dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto,
peraturan berpakaian di Stovia merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme.
Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati.
Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian
Barat. Implikasi dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi
yang memakai pakaian tradisional.

Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief, pers kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di
samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi
kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan
feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi
kepincangan-kepincangan dalam masyarakat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak
kesempatan yang tertutup bagi mereka. Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian atau
kesanggupan. Seorang anak biasa akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau kaum ningrat lainnya.

Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji
yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam
berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang
pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan
negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat
kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa,
tidak ada orang Indonesia yang berani masuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna kulit.

Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari
pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemeri ntah
dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.

Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan
memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia
masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu
mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung,
dengan lantangnya Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan
bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-orang Eropa
terperangah.

Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada
kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk
memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum
konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu
perpecahan ideology yang terbuka bagi orang Jawa.

Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai
organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini
harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.
Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto
mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik.
Pernyataan-pernyataan Cipto bagi jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya
yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk
membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di
bawah kekuasaan asing, ia tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber
keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.

Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap
tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo
kehilangan kekuatan progesifnya.

Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak
meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya, Cipto mendirikan Raden
Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi -jadi setelah dia
bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes
Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk
melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij
merupakan upaya mulia mewakili kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku,
golongan, dan agama.

Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian
menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes
Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad.
Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.

Pada Nopember 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan
secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap
rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan
seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk
menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu
Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite
Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan
menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat
merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel
Suwardi Suryaningrat yang berjudul Als Ik Nederlands Was (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya
dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan
Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi
dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat
dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.

Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya
dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier
yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.

Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap
organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial
mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto,
Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep Hindia
bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh
Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia
Poetra pada 1916.

Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia
bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota
pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah
pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah
Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit,
dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula
berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya
pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal
di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggota
Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan
propinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat
menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat
oleh Limburg Stirum adalah Cipto.

Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai
tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun
Volksraad dianggap Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya
terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok
demokrasi.

Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan
Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus
dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi
28 gulden.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga
Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal
untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke
daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh
sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan
Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke
Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter.
Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung
untuk mengobati pasien.

Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923
membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional
Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap
diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers pada
1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh
kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.

Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi pemberontakan komunis.
Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam
hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu
peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan
seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan
meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta,
terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak
melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden
kepada tamunya.

Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil
pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis
dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto.
Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah
agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa
dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada
melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke
Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943.

Anda mungkin juga menyukai