Anda di halaman 1dari 3

Jilbab Saya Lebih Berharga Dibanding Uang Yang Anda Tawarkan

Vemale.com - Oleh: Widya A. L.



Kisah ini dikirim oleh sahabat kami. Semoga bisa menjadi sebuah inspirasi untuk sahabat muslimah
Vemale.

***

Orang bilang, selalu ada godaan besar saat kita berpegang teguh pada sebuah keputusan. Bagaimana
seseorang menanggapi godaan itu, apakah akan tetap kuat pada pendirian atau goyah, tergantung
masing-masing orang. Saya pernah berada dalam situasi itu, mendapat materi melimpah, tetapi harus
melepas kewajiban saya sebagai seorang muslimah.



Saya adalah wanita sederhana, dibesarkan oleh keluarga yang memiliki pikiran modern. Sejak kecil, saya
dibebaskan untuk mengambil keputusan apapun. Orang tua saya tidak pernah meminta saja harus
masuk sekolah mana, harus masuk jurusan apa, tidak seperti orang tua kebanyakan, yang sering
memaksa anak mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kata hati. Maka saya tumbuh
menjadi gadis mandiri yang ambisius. Menurut saya, ambisius itu bagus, karena tanpa sikap ambisius,
seseorang hanya akan jadi pemalas yang membebani orang lain.

Sikap itu membuat saya selalu mendapatkan nilai-nilai terbaik di sekolah. Mendapat beasiswa menjadi
hal biasa, karena tanpa mengajukan beasiswa sekalipun, sekolah selalu mengajukan saya untuk
menerima beasiswa berprestasi. Tentu saja saya bersyukur, karena itu adalah bukti bahwa saya tidak
main-main dengan pendidikan, saya juga bisa meringankan beban kedua orang tua. Bagi saya,
pendidikan adalah jalan terbaik untuk pegangan masa depan. Setidaknya, kelak saya akan menjadi ibu,
maka pengetahuan adalah salah satu pondasi kuat untuk mendidik anak-anak, dengan agama sebagai
pondasi agama tentunya.

Walaupun ambisius, saya tidak meninggalkan nilai-nilai agama yang sudah diberikan kedua orang tua
saya. Saya tidak pernah dipaksa memakai busana muslimah atau jilbab. Kesadaran itu datang saat saya
duduk di kelas 3 SMA. Ada keyakinan kuat untuk memperbaiki penampilan saya. Maka sejak saat itu,
saya selalu memakai jilbab. Sedikit demi sedikit belajar memakai jilbab sesuai yang diperintahkan. Bukan
hal yang mudah, saat itu masih sedikit yang memakai jilbab. Kadang saya masih iri dengan teman-teman
saya yang bisa memakai pakaian dengan jenis yang beragam. Beruntung, saya tetap bertahan dengan
keputusan saya.

Tahun berlalu dan saya lulus dari sebuah perguruan tinggi sebagai Sarjana Akuntansi di tahun 2003.
Sama seperti lulusan pada umumnya, saya mulai melempar surat lamaran kerja di berbagai perusahaan.
Dengan nilai yang memuaskan, bukan hal yang sulit untuk menerima panggilan kerja. Hingga saya
berhasil melewati empat tahapan tes di sebuah bank swasta yang cukup terkenal. Saat memasuki tahap
wawancara, pihak bank tersebut menawarkan posisi dan jabatan yang jarang didapat oleh fresh
graduate seperti saya. Menurut mereka, saya punya kemampuan analisis yang baik, sehingga sangat
mungkin ditempatkan di posisi yang lebih tinggi dibanding posisi yang saya lamar.

Saya bahagia, seperti mendapatkan berkah yang besar sekali. Tetapi kebahagiaan saya hanya sesaat,
karena pihak bank meminta saya untuk mengikuti salah satu syarat yang ada, yaitu memakai seragam
untuk karyawati. Seragam tersebut memakai kemeja, blazer lengan panjang, dan rok selutut. Rambut
harus diperlihatkan dan digulung rapi. Dengan kata lain, saya harus melepas jilbab dan pakaian
muslimah yang melekat di tubuh saya.

Menanggapi hal itu, saya mencoba melakukan tawaran untuk memakai seragam rok panjang dan
memakai jilbab yang rapi. Tetapi peraturan bank tersebut tidak bisa dengan mudah diganti begitu saja.
Sehingga mereka kembali menawarkan gaji dan bonus yang sangat besar. Jujur, saya manusia biasa,
jumlah uang yang ditawarkan sangat banyak. Saya bisa memberangkatkan orang tua ke Tanah Suci, itu
adalah salah satu cita-cita saya. Saya bisa mewujudkan cita-cita itu dalam waktu beberapa bulan saja.

Hati saya seolah mengalami pertengkaran. Pihak bank bersedia menunggu jawaban saya selama tiga
hari. Selama tiga hari, saya curhat dengan orang tua terlebih dahulu. Mereka menganggap saya sudah
dewasa untuk mengambil keputusan, sehingga semua diserahkan kembali pada saya. Batin saya belum
tenang, kesempatan tidak datang dua kali. Tetapi apakah saya harus mengorbankan perintah Allah SWT
demi semua materi itu? Setelah melakukan Salat Istikhaarah, saya mantap untuk menolak tawaran itu.
Saya menolaknya dengan halus, pihak bank juga melepas saya dengan baik.

Tidak apa-apa, mengapa takut kekurangan materi, karena saya yakin, Allah SWT lebih kaya dibandingkan
tawaran yang diberikan. Mengenai impian untuk kedua orang tua saya, naik haji, pasti ada jalan. Niat
baik selalu mendapat jalan yang baik, saya percaya akan hal itu.

Dua bulan setelah kejadian tersebut, saya diterima bekerja di sebuah bank pemerintah. Memang,
gajinya tidak sebesar tawaran yang lalu, tetapi hati ini tenang karena saya diizinkan memakai seragam
yang sesuai. Jika percaya akan sebuah keyakinan, maka itulah yang terjadi. Pihak bank menilai prestasi
kerja saya sangat bagus. Bonus mengalir hampir setiap bulan. Sedikit demi sedikit saya menabung, untuk
masa depan saya dan tabungan haji kedua orang tua.

Alhamdulillah, di tahun 2008, kedua orang tua saya berangkat ke Tanah Suci. Saya tidak ikut, biarlah
kedua orang tua saya berangkat terlebih dahulu, saya yakin suatu saat kelak akan menyusul ke sana.

Sekarang, kehidupan saya lebih baik. Saya juga sudah menikah di tahun 2009. Bersama suami saya, kami
sudah punya tabungan sendiri untuk pergi ke Tanah Suci, semoga impian kami terkabul beberapa tahun
lagi.

Itulah kisah saya yang sempat goncang saat melihat sejumlah materi yang ditawarkan. Tetapi keyakinan
saya memilih untuk tetap di jalan-Nya, dan saya tidak menyesali keputusan tersebut, tidak sedikitpun.

Semoga kisah ini bisa menjadi inspirasi bagi Anda.

Anda mungkin juga menyukai