Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit pada telinga, hidung, dan tenggorokan, terutama penyakit akibat infeksi
seperti sinusitis dan infeksi leher dalam, sangat erat kaitannya dengan infeksi mulut dan
gigi atau infeksi odontogenik. Penelitian Uluibau menyebutkan bahwa penyebab utama
dari infeksi maksilofasial adalah penyebaran dari infeksi odontogenik atau infeksi yang
berasal dari gigi dan jaringan sekitarnya.
1
Penelitian lain dari seluruh dunia juga
melaporkan hal yang sama, seperti Huang et al
2
yang melaporkan bahwa 50 persen dari
185 kasus infeksi leher dalam disebakan oleh infeksi odontogenik, sedangkan Bridgeman
et al
3
menemukan 53 persen dari 107 kasus, Bross-Sorian
4
melaporkan 89 persen dari 121
kasus, dan Juang et al
5
menemukan 86 persen dari 14 kasus.
Infeksi odontogenik ini disebabkan oleh caries gigi yang kemudian berkembang
menjadi periodontitis. Proses tersebut diawali dari mikroorganisme yang menginvasi
pulpa kemudian menyebar ke apeks. Mikroorganisme patogen yang terperangkap di dalam
socket dapat menyebabkan penyakit periodontal yang berkembang menjadi abses
periodontal atau pericoronitis.
Infeksi yang bermula pada gigi yang berkembang ke jaringan sekitar gigi dan
mulut ini dapat menyebar ke organ dan jaringan vital lain apabila tidak mendapatkan
pengobatan medis dan perawatan gigi yang baik. Infeksi ini dapat menyebar langsung ke
paranasal sinus atau melalui aliran darah, jaringan limpatik, dan ruangan kosong antara
kepala dan leher.
6

Penyebaran infeksi gigi maksila langsung ke sinus paranasal dapat menyebabkan
penyakit sinusitis maksilaris sedangkan penyebaran infeksi melalui rongga antara kepala
dan leher memungkinkan patogen menyebar dari gigi mandibula dan jaringan sekitar ke
rongga verstibular mandibula, rongga buccal, rongga submental, rongga sublingual,
rongga submandibular dan menyebar sampai ke leher dalam dan dapat menyebabkan
komplikasi yang serius seperti abses leher dalam yang salah satunya adalah Ludwids
Angina.
6

Infeksi-infeksi odontogenik ini berbahaya karena penyebaran dan komplikasinya
dapat meningkatkan mortalitas penderita. Dalam berbagai penelitian dilaporkan bahwa
angka kematian yang disebabkan oleh infeksi odontogenik dan komplikasinya adalah
sebesar 0 persen, 1,6 persen dan 23 persen dari jumlah pernderita.
1

2

Mengingat akibat yang ditimbulkan oleh infeksi odontogenik dan penyebarannya
ke rongga telinga, hidung, dan leher ini penting maka makalah ini membahas etiologi,
patogenesis, dan penanganan beberapa infeksi odontogenik seperti periondontitis,
pericoronitis serta pengaruh dan penyebarannya ke rongga telinga, hidung, dan leher.
Makalah ini juga membahas beberapa penyakit seperti abses leher dalam dan sinus
maksilaris yang disebabkan oleh infeksi odontogenik.


























3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut
Rongga mulut (oral; buccal cavity) dibentuk oleh pipi, palatum mole, palatum
durum, dan lidah. Pipi membentuk dinding lateral dari rongga mulut yang terdiri dari
lapisan kulit di bagian luar, membran mukosa yang tersusun atas epitel skuamous berlapis
nonkeratinisasi di bagian dalam, dan muskulus buccinator serta jaringan ikat di antaranya.
Bagian anterior dari pipi berujung pada bibir.
7


Gambar 1. Penampang Anterior Rongga Mulut

Bibir (labia) adalah lipatan lembut yang mengelilingi pintu masuk rongga mulut dari
bagian eksternal tubuh. Bibir terdiri dari muskulus orbikularis oris yang dilapisi oleh kulit
di bagian luar dan membran mukosa di bagian dalam. Permukaan dalam dari bibir atas dan
bawah berhubungan dengan gusi (gingivae) melalui lipatan membran mukosa di bagian
midline yang disebut labial frenulum. Selama pengunyahan makanan, kontraksi dari
muskulus buccinator dan orbicularis oris ini akan mempertahankan makanan tetap berada
di sekitar gigi-geligi.
7

Lidah adalah organ pelengkap pada sistem pencernaan yang tersusun atas otot lurik
yang dilapisi oleh membran mukosa. Lidah membentuk dasar dari rongga mulut. Bagian
4

dorsum lidah dan permukaan lateral lidah dilapisi oleh papillae berupa penonjolan dari
lamina propria yang dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis. Sebagian papillae ini berfungsi
sebagai taste buds yang menjadi resptor dari rasa makanan, sedangkan papillae yang lain
berfungsi sebagai reseptor mekanik yang memudahkan lidah untuk memindahkan
makanan di rongga mulut.
7

Palatum adalah dinding atau septum yang memisahkan rongga mulut dan rongga
hidung serta membentuk langit-langit mulut. Struktur ini memiliki peran penting karena
memungkinkan seseorang untuk mengunyah dan bernapas dalam waktu bersamaan.
Palatum durum (hard palate), bagian anterior dari langit-langit mulut yang memisahkan
rongga mulut dan rongga hidung, dibentuk oleh os maksilaris dan os palatina yang dilapisi
oleh membran mukosa. Palatum mole (soft palate), bagian posterior dari langit-langit
mulut, adalah bagian berotot di antara orofaring dan nasofaring yang dilapisi oleh
membran mukosa. Di tengah palatum mole terdapat uvula yang melindungi rongga hidung
dari makanan dan minuman pada proses penelanan.
7


Gambar 2. Penampang Sagital Rongga Mulut dan Saluran Pernapasan Atas


5

2.1.1 Kelenjar Ludah (Salivary Glands)
Kelenjar ludah adalah kelenjar eksokrin yang menghasilkan ludah (saliva) ke rongga
mulut. Saliva terdiri dari 99,5% air dan 0,5% solusio (mucus, enzim lisozim bakteriolitik,
enzim amylase, IgA, sodium, potasium, chloride, bikarbonat, fosfat, urea, dan asam urat).
Saliva yang dihasilkan sangat bermanfaat untuk menjaga membran mukosa mulut dan
faring tetap dalam keadaan basah serta membersihkan gigi dan rongga mulut. Saliva juga
berfungsi sebagai pelumas makanan yang masuk ke rongga mulut dan sebagai agen
pencernaan kimiawi pertama dalam sistem pencernaan.
7

Kelenjar ludah secara umum dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu kelenjar ludah
mayor dan minor. Yang termasuk kelenjar ludah mayor adalah kelenjar parotid, kelenjar
submandibularis, dan kelenjar sublingualis, sedangkan kelompok kelenjar ludah minor
tersebar di membran mukosa dari rongga mulut dan lidah. Kelenjar parotid berlokasi di
inferior anterior dari telinga di antara kulit dan muskulus masseter, menyekresi saliva
melalui parotid duct yang bermuara di dekat molar kedua rahang atas sisi buccal. Kelenjar
submandibularis berada di dasar mulut, medial inferior dari corpus os mandibula dan
bermuara ke rongga mulut melalui duktus Whartoni di lateral lingual frenulum. Kelenjar
sublingualis berada di bawah lidah dan di atas kelenjar submandibula. Saliva dari kelenjar
sublingualis memasuki rongga mulut melalui duktus Batholini di dasar rongga mulut
berdekatan dengan muara dari kelenjar submandibula.
7


Gambar 3. Lokasi Kelenjar Ludah
6

2.1.2 Gigi
Gigi adalah organ asesoris sistem pencernaan yang berada pada socket di prosesus
alveolar tulang maksila dan mandibula. Prosesus alveolar dilapisi oleh ginggivae (gusi atau
gums) dan socket dibatasi oleh jaringan ikat berupa ligamen periodontal (periodontal
membrane) yang berfungsi melekatkan gigi pada dinding socket.
Gigi memiliki tiga bagian eksternal, yaitu mahkota (korona), leher (serviks), dan akar
(radiks). Mahkota adalah bagian gigi yang terlihat dan berada di atas gusi. Serviks gigi
merupakan penghubung antara mahkota dan akar yang berada di tepi gusi. Akar tertutup
gusi dan terdiri dari satu hingga tiga cabang.
7




















Gambar 4. Penampang Sagital Gigi

Gigi terdiri dari beberapa lapisan berupa jaringan keras gigi (enamel dan dentin)
dan jaringan lunak (pulpa). Bagian terluar dari gigi adalah enamel yang tersusun dari
kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Enamel adalah substansi terkeras dari seluruh bagian
badan manusia karena terdiri dari 95% garam kalsium. Enamel berfungsi melindungi
bagian gigi yang lebih dalam dan melindunginya dari kondisi asam yang dapat merusak
gigi. Enamel tidak melapisi dentin pada bagian akar gigi, tetapi dentin dilapisi oleh
cementum. Dentin merupakan lapisan di bawah enamel yang terbentuk dari kalsifikasi
jaringan ikat dan terdiri dari 70% garam kalsium. Dentin menutupi sebuah ruangan di
dalam gigi yang disebut sebagai cavitas pulpa. Di dasar cavitas pulpa terdapat kanal kecil
(root canal) yang merupakan jalan masuk dan keluar dari jaringan pulpa yang terdiri dari
pembuluh darah, saraf, dan pembuluh limfa melalui foramen apikal.
7

Ada beberapa macam gigi manusia, yaitu gigi seri (insicivus), gigi taring (caninus),
gigi geraham depan (premolar), dan gigi geraham belakang (molar). Masing-masing gigi
memiliki akar yang berjumlah satu hingga tiga akar yang terbenam pada jaringan tulang
alveolar. Regio dentoalveolar ini dikelilingi oleh sinus maksila dan dasar cavum nasi pada
gigi rahang atas dan os mandibula pada gigi rahang bawah. Infeksi pada akar gigi-gigi ini
dapat menyebar ke daerah permukaan gigi yang ada di dekatnya seperti sinus maksilaris,
dasar cavum nasi, atau jaringan ikat di sekitar os mandibula.
7

Gigi manusia mengalami satu kali pergantian selama kehidupan. Fase pertama
disebut gigi deciduos atau disebut juga gigi primer atau gigi susu. Gigi deciduos pertama
kali erupsi pada usia 6 bulan dan terus bertambah hingga berjumlah 20 gigi (4 insicivus, 2
caninus, dan 4 molar tiap rahang). Setelah gigi deciduos tanggal, akan muncul gigi
permanen atau gigi sekunder. Gigi permanen pertama kali erupsi sekitar usia 6 tahun dan
terus bertambah hingga berjumlah 32 gigi (4 insicivus, 2 caninus, dan 4 premolar, dan 6
molar tiap rahang). Gigi terakhir yang erupsi adalah molar ketiga yaitu setelah seseorang
berusia 17 tahun atau lebih, bahkan ada juga sebagian orang yang molar ketiganya tidak
erupsi sama sekali (impaksi atau terbenam).
7


2.2 Infeksi Gigi dan Mulut (Infeksi Odontogenik)
2.2.1 Pengertian
Infeksi odontogenik merupakan suatu infeksi polimikrobial dan campuran. Infeksi
tersebut merupakan hasil dari perubahan bakteri, hubungan antar bakteri dengan morfotipe
yang berbeda dan peningkatan jenis bakteri. Perubahan bakteri yang terjadi berupa
perubahan yang pada awalnya predominan gram positif, fakultatif, dan sakarolitik menjadi
predominan gram negatif, anaerobik, dan proteolitik.
8
2.2.2 Etiologi
Infeksi odontogenik dapat disebabkan karena trauma, infeksi post-operasi dan
sekunder dari infeksi jaringan periodontal atau perikoronal. Bakteri penyebab infeksi
umumnya bersifat endogen dan bervariasi berupa bakteri aerob, anaerob maupun infeksi
campuran bakteri aerob dan anaerob. Disebutkan mikroba penyebab tersering yaitu
Streptococcus mutans dan Lactobacillus sp yang memiliki aktivitas produksi asam yang
tinggi.
8


8

Tabel 1. Persentase Mikroorganisme Penyebab Infeksi Odontogenik
8
Mikroorganisme penyebab Jumlah pasien Persentase (%)
Aerobik 28 7
Anaerobik 133 33
Aerobik-Anaerobik 243 60

Tabel 2. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Odontogenik
8

Mikroorganisme penyebab Persentase (%)
Aerobik
Coccus gram(+):
Streptococcus spp.
Streptococcus spp.(grup D)
Stafilococcus spp.
Eikenella spp.
Coccus gram(-):
Neisseria spp.
Batang gram(+):
Corynebacterium spp.
Batang gram(-):
Haemophillus spp.
Lainnya
25
85
90
2
6
2
2

3

6

4
Anaerobik
Coccus gram(+):
Streptococcus spp.
Peptostreptococcus spp.
Coccus gram(-):
Viellonella spp.
Batang gram(+):
Eubacterium spp.
Lactobacillus spp.
Actinomyces spp.
Clostridia spp.
Batang gram(-):
Bacteroides spp.
Fusobacterium spp.
Lainnya
75
30
33
65
4

14




50
75
25
6

2.2.3 Patofisiologi
Mekanisme tersering terjadinya infeksi odontogenik berawal dari karies dentis.
Proses demineralisasi enamel gigi akan merusak enamel yang selanjutnya melanjutkan
invasi bakteri ke pori/ trabekula dentin yang kemudian menyebabkan pulpitis hingga
nekrosis pulpa. Dari pulpa maka infeksi dapat menyebar ke akar gigi dan selanjutnya
menyebar ke os maksila atau mandibula, menyebabkan osteomyelitis. Kerusakan ini dapat
menyebabkan perforasi sehingga melibatkan pula mukosa mulut maupun kulit wajah.
8
9

Sebagian besar bakteri yang berlokasi pada supragingival adalah gram positif,
fakultatif dan sakarolitik yang berarti bahwa pada keadaan dimana terdapat karbohidrat
terutama sukrosa, maka akan diproduksi asam. Asam ini akan membuat enamel mengalami
demineralisasi yang memfasilitasi infiltrasi dari bakteri pada dentin dan pulpa. Dengan
adanya invasi dari bakteri pada jaringan internal gigi, bakteri berkembang, terutama
bakteri gram negatif, anaerobik dan proteolitik akan menginfeksi rongga pulpa. Beberapa
bakteri ini memiliki faktor virulensi yang dapat menyebabkan invasi bakteri pada jaringan
periapikal melalui foramen apikal. Lebih dari sebagian lesi periapikal yang aktif tidak
dapat dideteksi dengan sinar-X karena berukuran kurang dari 0.1 mm
2
. Jika respon imun
host menyebabkan akumulasi dari netrofil maka akan menyebabkan abses periapikal yang
merupakan lesi destruktif pada jaringan. Namun jika respon imun host lebih didominasi
mediasi oleh makrofag dan sel limfosit T, maka akan berkembang menjadi granuloma
apikal, ditandai dengan reorganisasi jaringan melebihi destruksi jaringan. Perubahan pada
status imun host ataupun virulensi bakteri dapat menyebabkan reaktivasi dari silent
periapical lessions.
8
Infeksi odontogenik juga dapat berasal dari jaringan periodontal. Ketika bakteri
subgingival berkembang dan membentuk kompleks dengan bakteri periodontal patogen
yang mengekspresikan faktor virulensi, maka akan memicu respon imun host yang secara
kronis dapat menyebabkan periodontal bone loss. Abses periodontal dapat berasal dari
eksaserbasi periodontitis kronik, defek kongenital yang dapat memfasilitasi invasi bakteri
(fusion dari akar, development grooves, dll), maupun iatrogenik karena impaksi dari
kalkulus pada epitel periodontal pocket selama scaling. Beberapa abses akan membentuk
fistula dan menjadi kronik yang pada umumnya bersifat asimptomatik ataupun
paucisimptomatik. Bentuk khusus dari abses periodontal rekuren adalah perikoronitis yang
disebabkan oleh invasi bakteri pada coronal pouch selama erupsi molar.
8

2.3 Pola Penyebaran Infeksi
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui
beberapa cara yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi melalui aliran
limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan penyebaran dari traktus
gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau teraspirasinya materi infektif.
8


10

2.3.1 Transmisi Melalui Sirkulasi Darah (Hematogen)
Gingiva, gigi, tulang penyangga, dan stroma jaringan lunak di sekitarnya
merupakan area yang kaya dengan suplai darah. Hal ini meningkatkan kemungkinan
masuknya organisme dan toksin dari daerah yang terinfeksi ke dalam sirkulasi darah. Di
lain pihak, infeksi dan inflamasi juga akan semakin meningkatkan aliran darah yang
selanjutnya menyebabkan semakin banyaknya organisme dan toksin masuk ke dalam
pembuluh darah. Vena-vena yang berasal dari rongga mulut dan sekitarnya mengalir ke
pleksus vena pterigoid yang menghubungkan sinus kavernosus dengan pleksus vena
faringeal dan vena maksilaris interna melalui vena emisaria. Karena perubahan tekanan
dan edema menyebabkan penyempitan pembuluh vena dan karena vena pada daerah ini
tidak berkatup, maka aliran darah di dalamnya dapat berlangsung dua arah, memungkinkan
penyebaran infeksi langsung dari fokus di dalam mulut ke kepala atau faring sebelum
tubuh mampu membentuk respon perlawanan terhadap infeksi tersebut. Material septik
(infektif) yang mengalir melalui vena jugularis internal dan eksternal dan kemudian ke
jantung dapat membuat sedikit kerusakan. Namun, saat berada di dalam darah, organisme
yang mampu bertahan dapat menyerang organ manapun yang kurang resisten akibat
faktor-faktor predisposisi tertentu.
8

2.3.2 Transmisi Melalui Aliran Limfatik (Limfogen)
Seperti halnya suplai darah, gingiva dan jaringan lunak pada mulut kaya dengan
aliran limfatik, sehingga infeksi pada rongga mulut dapat dengan mudah menjalar ke
kelenjar limfe regional. Pada rahang bawah, terdapat anastomosis pembuluh darah dari
kedua sisi melalui pembuluh limfe bibir. Akan tetapi anastomosis tersebut tidak ditemukan
pada rahang bawah.
8


Tabel 3. Kelenjar Getah Bening Regional Penyebaran Infeksi Ondotogenik:
Sumber infeksi KGB regional
Gingiva bawah Submaksila
Jaringan subkutan bibir bawah Submaksila, submental, servikal profunda
Jaringan submukosa bibir atas dan bawah Submaksila
Gingiva dan palatum atas Servikal profunda
Pipi bagian anterior Parotis
Pipi bagian posterior Submaksila, fasial

11

Banyaknya hubungan antara berbagai kelenjar getah bening memfasilitasi
penyebaran infeksi sepanjang rute ini dan infeksi dapat mengenai kepala atau leher atau
melalui duktus torasikus dan vena subklavia ke bagian tubuh lainnya.
8

Weinmann mengatakan bahwa inflamasi gingiva yang menyebar sepanjang sisi
krista alveolar dan sepanjang jalur pembuluh darah ke sumsum tulang. Ia juga menyatakan
bahwa inflamasi jarang mengenai membran periodontal. Kapiler berjalan beriringan
dengan pembuluh limfe sehingga memungkinkan absorbsi dan penetrasi toksin ke
pembuluh limfe dari pembuluh darah.
8


2.3.3 Peluasan Langsung Infeksi Dalam Jaringan
Hippocrates pada tahun 460 sebelum Masehi menyatakan bahwa supurasi yang
berasal dari gigi ketiga lebih sering terjadi daripada gigi-gigi lain dan cairan yang
disekresikan dari hidung dan nyeri juga berkaitan dengan hal tersebut, dengan kata lain
infeksi antrum. Supurasi peritonsilar, faringeal, adenitis servikal akut, selulitis, dan angina
Ludwig dapat disebabkan oleh penyakit periodontal dan infeksi perikoronal sekitar molar
ketiga. Parotitis, keterlibatan sinus kavernosus, noma, dan gangren juga dapat disebabkan
oleh infeksi gigi. Osteitis dan osteomyelitis seringkali merupakan perluasan infeksi dari
abses alveolar dan pocket periodontal. Keterlibatan bifurkasio apikal pada molar rahang
bawah melalui infeksi periodontal merupakan faktor yang penting yang menyebabkan
osteomyelitis dan harus menjadi bahan pertimbangan ketika mengekstraksi gigi yang
terinfeksi.
8

Perluasan langsung infeksi dapat terjadi melalui penjalaran material septik atau
organisme ke dalam tulang atau sepanjag bidang fasial dan jaringan penyambung di daerah
yang paling rentan. Tipe terakhir tersebut merupakan selulitis sejati, di mana pus
terakumulasi di jaringan dan merusak jaringan ikat longgar, membentuk ruang (spaces),
menghasilkan tekanan, dan meluas terus hingga terhenti oleh barier anatomik. Ruang
tersebut bukanlah ruang anatomik, tetapi merupakan ruang potensial yang normalnya teriis
oleh jaringan ikat longgar. Ketika terjadi infeksi, jaringan areolar hancur, membentuk
ruang sejati, dan menyebabkan infeksi berpenetrasi sepanjang bidang tersebut, karena fasia
yang meliputi ruang tersebut relatif padat.
8

Perluasan langsung infeksi terjadi melalui tiga cara, yaitu:
a. Perluasan di dalam tulang tanpa pointing
12

Area yang terkena terbatas hanya di dalam tulang, menyebabkan osteomyelitis.
Kondisi ini terjadi pada rahang atas atau yang lebih sering pada rahang bawah. DI rahang
atas, letak yang saling berdekatan antara sinus maksila dan dasar hidung menyebabkan
mudahnya ketelibatan mereka dalam penyebaran infeksi melalui tulang.
b. Perluasan di dalam tulang dengan pointing
Ini merupakan tipe infeksi yang serupa dengan tipe di atas, tetapi perluasan tidak
terlokalisis melainkan melewati tulang menuju jaringan lunak dan kemudian membentuk
abses. Di rahang atas proses ini membentuk abses bukal, palatal, atau infraorbital.
Selanjutnya, abses infraorbital dapat mengenai mata dan menyebabkan edema di mata. Di
rahag bawah, pointing dari infeksi menyebabkan abses bukal. Apabila pointing terarah
menuju lingual, dasar mulut dapat ikut terlibat atau pusa terdorong ke posterior sehingga
membentuk abses retromolar atau peritonsilar.
c. Perluasan sepanjang bidang fasial
Menurut HJ Burman, fasia memegang peranan penting karena fungsinya yang
membungkus berbagai otot, kelenjar, pembuluh darah, dan saraf, serta karena adanya
ruang interfasial yang terisi oleh jaringan ikat longgar, sehingga infeksi dapat menurun.
Beberapa fasia dan area yang penting, sesuai dengan klasifikasi dari Burman
adalah lapisan superfisial dari fasia servikal profunda, regio submandibula, ruang (space)
sublingual, ruang submaksila dan ruang parafaringeal.
Penting untuk diingat bahwa kepala, leher, dan mediastinum dihubungkan oleh
fasia, sehingga infeksi dari kepala dapat menyebar hingga ke dada. Infeksi menyebar
sepanjang bidang fasia karena mereka resisten dan meliputi pus di area ini. Pada regio
infraorbita, edema dapat sampai mendekati mata. Tipe penyebaran ini paling sering
melibatkan rahang bawah karena lokasinya yang berdekatan dengan fasia.
8


2.4 Jenis-Jenis Infeksi Odontogenik
2.4.1 Periodontitis
Pengertian. Periodontitis adalah penyakit kronik multifactor yang disebabkan dari
mikroorganisme seperti Porphiromonas gingivalis, Protela intermedia, Actinobacillus dan
lainnya yang menyerang jaringan periodontal.
10
Manifestasi klinis. Gejala yang biasanya timbul adalah gusi mudah berdarah,
hiperemis, nyeri yang terlokalisir, pernafasan yang bau, kalkulus, hilangnya puncak tulang
13

muscular, hilangnya perlekatan gigi, adanya pocket periodontal, resesi gusi, kegoyangan
gigi sampai akhirnya kehilangan gigi.
10,11
Treatment. Perawatan dilakukan secara lokal dengan menghilangkan plak dan
kalkulus melalui Skelling, Root Planning, penggeridaan gigi lawan bila ada kontak
prematur, kuretase serta lakukan instruksi pemeliharaan kebersihan mulut. Bila perlu
diberikan antibiotik seperti Tetrasiklin dan Metronidazole.
11

2.4.2 Pericoronitis
Pengertian. Perikoronitis merupakan inflamasi jaringan gusi sekitar mahkota gigi
yang mengalami erupsi inkomplit. Hal ini biasanya dapat disertai operkulitis yakni
inflamasi pada gingival flap dari gigi yang mengalami erupsi inkomplit. Perikoronitis
sering terjadi pada molar 3 namun dapat juga terjadi pada gigi lain yang mengalami erupsi
inkomplit. Gigi yang mengalami erupsi inkomplit disebut wisdom tooth.
11,12


Gambar 5. Operkulitis (Kanan) Dan Perikoronitis Pada Molar 3 Bawah Kiri Yang Erupsi
Inkomplit (Kiri)

Faktor Risiko. Adanya gigi erupsi parsial, kelainan pada kantong periodontal,
kelainan pada upper tooth biting pada gum flap, riwayat perikoronitis, oral higiene buruk,
infeksi saluran nafas atas, adanya impaksi makanan dan akumulasi plak di bawah gum
flap, dan ginggivitis ulseratif akut.
11,12

Manifestasi klinik. Prevalensi perikoronitis terutama pada usia remaja hingga
dewasa muda. Pasien datang dengan gejala nyeri dan bengkak sekitar gigi yang erupsi
inkomplit, gangguan mengunyah dan membuka-menutup mulut, limfadenopati. pada
keadaan lanjut terkadang ditemukan keluhan sistemik seperti demam dan malaise. Pada
kasus berat dapat terjadi abses disertai supurasi.
11

Treatment. Untuk tatalaksana non-medikamentosa dapat dilakukan pembersihan
debris makanan dengan irigasi. Pasien diedukasi untuk menjaga oral higine dan
menggunakan air hangat saat gejala muncul hingga inflamasi berkurang. Pemberian
14

antibiotik terindikasi pada perikonitis dengan gejala demam dan limfadenopati. Karena
etiologi tersering adalah kombinasi bakteri aerob dan anaerob, diberikan dua jenis
antibiotik. yakni metronidazol dan golongan penisilin atau makrolid. Amoxicillin dan
pristinamycin (makrolid) paling efektif menurunkan jumlah koloni bakteri anaerob.

2.4.3 Abses Periodontal
Pengertian. Inflamasi pada jaringan periodontal yang terlokalisasi dan mempunyai
daerah yang virulen yang menyebabkan pembengkakan dan rasa sakit.
13

Patofisiologi. Suatu proses periodontal dapat dihubungkan dengan gigi nonvital
atau trauma. Tipe dari infeksi ini biasanya dimulai pada gingival crevice pada permukaan
akar, sering sampai ke permukaan apeks. Perkembangan abses terjadi ketika poket menjadi
bagian dari sumber infeksi. Abses periodontal dapat meluas dari gigi penyebab melalui
tulang alveolar ke gigi tengtangga, dan menyebabkan goyangnya gigi tersebut.
13

Manifestasi Klinis. Infeksi biasanya ditandai dengan gingival membesar, berwarna
merah, edema dan ada rasa sakit dengan sentuhan yang lembut, permukaan gingival
mengkilat, terjadi kegoyangan gigi, gigi sensitive terhadap perkusi, ada eksudat purulen,
wajah dan bibir terlihat membangkak, adanya malaise, demam, dan pembengkakan
limfonodi.
10

Treatment. Perawatan abses dilakukan dengan cara pemberian antibiotik dan
analgetik, menggerinda gigi lawan bila dipandang perlu, serta drainase. Sebelumnya
lakukan foto rongent untuk menentukan indikasi dan prognosa perawatan, bila perlu
dirujuk pada Dokter Spesialis Periodontik.
10

2.4.4 Nekrosis Pulpa
Pengertian. Nekrosis pulpa merupakan kematian pulpa yang disebabkan iskemik
jaringan pulpa yang disertai dengan infeksi. Infeksi tersebut disebabkan oleh
mikroorganisme yang bersifat saprofit namun juga dapat disebabkan oleh mikroorganisme
yang memang bersifat patogen. Nekrosis pulpa sebagian besar terjadi oleh komplikasi dari
pulpitis baik yang akut maupun kronik yang tidak ditata laksana dengan baik dan
adekuat.
14,15

Etiologi. Penyebab nekrosis pulpa yang paling sering adalah karies dentis, trauma,
dan iatrogenik. Nekrosis pulpa sebagian besar berawal dari pulpitis yang disebabkan oleh
15

karies dentis. Trauma dapat menyebabkan pulpitis yang berakhir dengan nekrosis
pulpa.
14,15

Manifestasi Klinis. Berbeda dengan pulpitis yang bermanifestasi klinis nyeri yang
hebat, nekrosis pulpa pada umumnya bersifat asimptomatik. Nyeri pada nekrosis terjadi
dari penjalaran dari daerah periapikal. Gigi dapat berubah warna menjadi putih keabu-
abuan atau kehitaman. Perubahan warna gigi ini disebabkan penghancuran sel darah merah
akibat ekstravasasi dan degradasi dari protein matriks pulpa. Kematian jaringan pulpa
menyebabkan gigi menjadi mudah retak dan patah. Selain itu dengan adanya infeksi, dapat
berisiko terjadi penyebaran fokus infeksi secara hematogen yang berlanjut dengan adanya
reaksi sistemik. Nekrosis pulpa dapat disertai atau tanpa adanya penyakit periapikal. Pada
pemeriksaan elektrikal pulpa dan tes dengan suhu dingin, nekrosis pulpa tidak memberikan
respon. Namun nekrosis pulpa masih dapat berespon pada tes dengan suhu panas.
14


Gambar 6. Nekrosis Pulpa yang Terlihat Diskolorasi Keabuan pada Mahkota

Penatalaksanaan. Penatalaksanaan nekrosis pulpa adalah menghentikan proses
dan penyebaran infeksi dengan pemberian antibiotik/antiseptik kumur seperti
khlorhexidine dan antibiotik oral bila terdapat reaksi sistemik serta perlu dilakukan
perawatan saluran akar gigi atau ekstrasi gigi (bila diperlukan).
14


2.5 Infeksi THT yang disebabkan Infeksi Ondotogenik
2.5.1 Sinusitis Maksilaris Odontogenik
Pengertian
Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus baik yang disebabkan oleh
infeksi atau alergi. Sinusitis maksilaris odontogenik merupakan bentuk penyakit geligi-
maksilaris yang khusus bertanggung jawab pada 10 persen kasus sinusitis yang terjadi
setelah gangguan pada gigi. Infeksi yang bersumber pada gigi rahang atas terutama gigi
posterior.
16
16

Etiologi
Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, di mana
sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.
Highmore mengemukakan bahwa tulang yang membungkus antrum maksilaris dan
memisahkannya dari soket geligi sangat tipis. Oleh sebab itu, antrum maksilaris seringkali
disebut sebagai antrum Highmore. Infeksi gigi lainnya seperti abses apikal atau penyakit
periodontal dapat menimbulkan kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis
odontogenik terutama didominasi oleh infeksi gram negatif.
16
Manifestasi Klinik
Tabel 4. Manifestasi Klinis Sinusitis Maksilaris Odontogenik
SINUS MAKSILARIS ODONTOGENIK
AKUT
SINUS MAKSILARIS
ODONTOGENIK KRONIK
Gejala Subjektif Gejala Objektif Gejala Subjektif Gejala Objektif
KU : demam,
pusing, sakit
kepala, nausea
Rasa tertekan,
berat, dan sakit di
daerah sinus yang
akan bertambah
bila membungkuk,
menggerakkan
kepala, batuk, dan
bersin
Cairan (encer-
mikropurulen)
menetes ke
nasofaring dan
akan keluar
melalui mulut,
tertelan, atau
melalui hidung
saat membungkuk
Gigi premolar atau
molar sakit dan
terasa menonjol
(kontak prematur)
KU : malaise,
berkeringat,
menggigil
Inspeksi : edema
dan kemerahan pipi
(di daerah sinus)
s.d. palpebra
EO : nyeri tekan (+)
IO : perkusi gigi
penyebab (+),
mobil pada tekanan
KU : sakit dan
demam (-)
Cairan mukopurulen
dan berbau busuk
keluar dari hidung
saat bangun tidur
pagi atau saat tidur
dengan sisi sinus
yang terinfeksi
Cairan mukopurulen
menetes ke
tenggorok dan
halitosis
Bila sudah terbentuk
polip, maka akan
terasa berat dan sakit
pada sinus yang
terinfeksi, sakit tak
terlokalisir dan sakit
gigi (-)
KU : flu lama,
anoreksia, cepat
lelah
Inspeksi : EO
dan IO t.a.k.

Gejala yang terjadi pada sinusitis maksilaris rhinogen umumnya hampir sama
dengan sinusitis maksilaris odontogenik, kecuali pada sinusitis maksilaris odontogenik,
gejala tersebut terjadi unilateral.
17
Perbedaan lain khususnya pada sinusitis maksilaris
odontogenik biasanya lebih kronis, subvirulen, rasa sakit terasa lebih berat terutama jika
17

terjadi akut, terdapat gigi infeksi sebagai sumber infeksi atau ada fistula oroantral, cairan
mukopurulen lebih kental, banyak, dan bau, serta pada gambaran radiologi tampak
hubungan antara gigi yang menjadi sumber infeksi dengan rongga sinus maksilaris.
Gambaran radiologi sinusitis odntogenik khususnya pada rontgen panoramic akan
terlihat gambaran radiolusen tidak berbatas jelas di daerah periapikal gigi penyebab. Pada
foto Waters, gambaran terbagi menjadi dua seperti berikut.

Tabel 5. Gambaran Radiologi Sinusitis Maksilaris Odontogenik
SINUS MAKSILARIS
ODONTOGENIK AKUT
SINUS MAKSILARIS
ODONTOGENIK KRONIK
Tampak air fluid level di dalam sinus
Penebalan mukosa (radioopaque)
pada dinding sinus
Radioopaque pada dinding sinus
Radioopaque pada rongga sinus, polip
nasi, atau polip antrum

Treatment
Prinsip penatalaksanaan penyakit ini yaitu memperbaiki ventilasi dan drainase,
mengurangi nyeri, dan eliminasi kausa. Hal tersebut dapat dilakukan denagn terapi bedah
maupun non bedah. Terapi bedah dapat berupa irigasi dan drainase dari sinus, bedah
Caldwell Luc (eliminasi mukosa sinus baik intranasal, astronomi, dan antrekromi),
ekstraksi gigi penyebab, dan bila teradpat fistula oroantral (fistulektomi). Terapi lainnya
yakni terapi non bedah berupa obat-batan untuk mengeluarkan cairan dari hidung dan
hiatus semilunaris (humidifikasi), antibiotik, dekongestan, dan analgetik.
2.5.2 Abses Septum Nasi Dentogen
Definisi
Abses septum nasi dentogen adalah suatu kumpulan pus yang terbentuk di antara
kartilago septum nasi dengan mukoperikondrium atau di antara tulang septum dengan
mukoperiosteum akibat penyebaran dari infeksi gigi.
18
Epidemiologi
Abses septum nasi jarang ditemui dan biasanya terjadi pada laki-laki. Sebanyak
74% mengenai usia di bawah 31 tahun, 42% di antara 2-14 tahun. Lokasi yang paling
sering ditemui adalah anterior kartilago septum.
18
Etiologi
Penyebab abses septum nasi yang paling sering adalah trauma (75%), dapat juga
terjadi karena infeksi sinus, vestibulitis, furunkulosis, komplikasi operasi hidung. Infeksi
18

gigi juga merupakan salah satu penyebab abses septum nasi, tetapi jarang ditemukan.
Penyebab lain yang pernah ditemukan adalah pasien dengan status imunologi rendah
(immunocompromised). Organisme yang paling sering menyebabkan abses septum nasi
adalah Staphylococcus aureus, Sterptococcus pneumonia, Streptococcus milleri,
Streptococcus viridians, Staphylococcus epidermidis, Haemophillus influenza.
18
Patofisiologi dan Patogenesis
Patofisiologi abses septum nasi bergantung penyebabnya, misalnya karena infeksi
gigi. Infeksi gigi dapat menyebar ke jaringan sekitarnya secara langsung
(perkontinuitatum), hematogen, maupun limfogen. Biasanya infeksi gigi dapat mencapai
septum nasi melalui perluasan langsung. Lokasi anatomis yang berdekatan antara gigi
insicivus atas dan dasar cavum nasi menjelaskan bahwa abses dari gigi insicivus atas sapat
meluas ke dasar cavum nasi.
18
Pada tahap awal fase seluler ditandai dengan akumulasi pus dalam tulang alveolar
yang disebut abses intraalveolar. Pus kemudian menyebar keluar setelah terjadi perforasi
tulang ke ruang subperiosteal sehingga disebut abses subperiosteal. Setelah terjadi
perforasi periosteum, pus menyebar ke berbagai arah melalui jaringan lunak, termasuk
menuju dasar kavum nasi yang selanjtunya dapat meluas ke septum nasi. Abses palatum
sekunder dari infeksi akar palatal molar dapat juga menyebabkan abses septum nasi
melalui penyebaran secara langsung juga.
18


Gambar 7. Bagan Patogenesis Abses Septum Nasi
Infeksi gigi rahang atas
Akumulasi pus dalam tulang
alveolar (abses intralveolar)
Perforasi tulang alveolar
abses subperiosteal
Perforasi periosteum menyebar ke
jaringan lunak menuju dasar cavum nasi
Abses septum nasi
19

Diagnosis
Diagnosis abses septum nasi dentogen ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat progresif dan nyeri pada
hidung seperti berdenyut terutama di puncak hidung. Dari anamnesis juga dapat
diketahui adanya riwayat penyakit gigi atau periodontal.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, apeks nasi tampak hiperemis, edema, dan kulit mengkilat
serta nyeri pada sentuhan. Dapat juga terlihat ada pembengkakan pada daerah muka,
bibir, dan dasar mulut. Rinoskopi anterior tampak pembengkakan septum nasi baik
unilateral maupun bilateral terutama pada bagian anterior dengan warna yang bervariasi
dari abu-abu hingga ungu kemerahan, terasa lunak, perabaan dengan benda tumpul
pembengkakan terasa fluktuatif. Pemberian kapas dengan solution efedrin 1% tidak
mengempis.
18
Pada pemeriksaan gigi dapat ditemukan gigi sensitif terhadap panas dan nyeri
berkurang dengan dingin. Dapat juga ditemukan ada gigi luksasi, kantong periodontal,
edema ginggiva, gangrene gigi, dan nyeri ketika diperiksa.
18
c. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiografi, ditemukan ada perluasan dari membran periodontal
(foto periapikal), ditemukan osteitis, kista radikuler atau radiolusen pada periapikal gigi
(foto panoramik).
18

Tata Laksana
Abses septum nasi merupakan kasus emergensi yang harus ditata laksana segera.
Pertam akli disarankan untuk melakukan aspirasi jarum untuk emngambil sampel pus yang
kemudian dikirim untuk pewarnaan, kultur, dan uji resistensi antibiotic. Selanjutnya
dilakukan insisi dan drainase. Beberapa peneliti menyarankan pemasangan drain, tetapi
ada juga yang menyarankan pemasangan tampon hidung.
18
Pemberian antibiotic spectrum luas secara parenteral. Sebelum diperoleh hasil
kultur dan uji resistensi, dianjurkan pemberian preparat penisilin intravena dan terapi
terhadap bakteri anaerob. Jika tidak ada komplikasi, terapi antibiotic parenteral diberikan
20

selama 3 hingga 5 hari dan dianjurkan pemberian antibiotic dengan pemberian oral selama
7 hingga 10 hari.
18
Bila terjadi destruksi kartilago septum nasi maka rekonstruksi harus segera
dilakukan untuk mempertahankan punggung septum nasi dan mukosa septum. Hal ini
dilakukan untuk mencegah perforasi dan mencegah kelainan perkembangan muka.
Penatalaksanaan infeksi gigi meliputi terapi antibiotic dan drainase abses. Jika gigi
sudah tidak dapat diperbaiki, gigi tersebut dapat diekstraksi atau dapat dilakukan
perawatan saluran akar.
18
Komplikasi
Komplikasi abses septum nasi dapat berupa estetik maupun intrakranial.
Komplikasi estetik berupa deformitas tulang hidung, yaitu hidung pelana (saddle nose).
Komplikasi intrakranial dapat menyebabkam trombosis sinus kavernosus, meningitis,
abses otak, dan empiema subarachnoid. Penyebaran infeksi ke daerah mata dan sinus
paranasal dapat menyebabkan selulitis orbita dan abses.
18

2.5.3 Abses Submandibula
Infeksi yang berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dapat menyebar ke ruang
submandibula melalui beberapa jalur, yaitu secara langsung melalui pinggir myolohioid
(bila apeks gigi ditemukan di bawah perlekatan dari muskulus myolohioid), posterior dari
ruang submandibula, periostitis dan melalui ruang mastikator. Bila hal ini terjadi, maka
akan terjadi abses submandibula.
19
Pengertian
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai dengan pembentukan
pus pada ruang submandibula. Abses submandibula merupakan salah satu dari abses leher
dalam.
Etiologi
Kira-kira 61% kasus abses submandibula disebabkan oleh infeksi gigi. Sebagian
besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob,
anaerob, maupun fakultatif anaerob. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah
Stafilokokus, Streptokokus sp. Haemofilus influenza, Streptococcus pneumonia, Moraxtella
catarrhalis, Klebsiella sp. Neisseria sp. Kuman anaerob yang sering ditemukan pada abses
21

leher dalam adalah kelompok batang gram negatif, seperti Bacteroides, Prevotella,
maupun Fusobacterium.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis abses leher dalam berupa demam, air liur yang banyak, trismus
akibat keterlibatan musculus pterygoid, disfagia, dan sesak nafas akibat sumbatan jalan
nafas oleh lidah yang terangkat dan terdorong ke belakang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya bengkak di daerah submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada
insisi didapatkan material yang bernanah atau purulen, angulus mandibula dapat
teraba.
20,21
Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium darah rutin didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang
purulen dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik. Radiologis: rontgen
jaringan lunak kepala AP, rontgen panoramik dibutuhkan untuk mendiagnosis sumber
infeksi gigi, rontgen thoraks untuk mengevaluasi mediatinum, episema subkutis,
pendorongan saluran nafas dan pneumonia akibat aspirasi abses, dan CT-scan dengan
kontras merupakan baku emas pada abses leher dalam. Gambaran abses yang tampak
adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air
fluid level.
20,21

2.5.4 Angina Ludwig
Pengertian
Infeksi odontogenik yang berasal dari ekstraksi gigi dan higienitas oral yang buruk,
khususnya yang berasal dari molar bawah kedua dan ketiga dapat menyebabkan terjadinya
angina Ludwig. Akar gigi ini berada setinggi otot mylohyoid, sehingga abses yang berasal
dari gigi ini dapat meluas ke ruang submandibular. Angina Ludwig adalah selulitis
polimikrobial progresif secara cepat pada ruang sublingual dan submandibular yang dapat
mengancam kehidupan karena mengganggu jalan nafas.
22

Etiologi
Bakteri penyebab angina Ludwig umumnya merupakan flora pada kavum oral.
Bakteri yang paling sering adalah Streptococcus viridians dan Staphylococcus aureus.
Bakteri anaerob yang sering adalah bakteroides, peptostreptococci, dan peptococci. Bakteri
gram positif yang pernah diisolasi termasuk Fusobacterium nucleatum, Aerobacter
22

aeruginosa, spirochetes, dan Veillonella, Eubacteria, dan spesies Clostridium. Organisme
gram negatif yang pernah diisolasi adalah spesies Neisseria, Escherichia coli, spesies
Pseudomonas, Haemophilus influenza, dan spesies Klebsilla.
22

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menunjukkan gejala sepsis, dan termasuk demam, takipnoe, dan
takikardia. Pasien dapat terlihat cemas, agitasi, dan bingung. Keluhan utama berupa
pembengkakkan dan nyeri pada dasar mulut, leher anterior, demam, disfagia, odinofagia,
mengiler, trismus, sakit gigi, dan pernafasan fetid. Bila terdengar suara serak, stridor,
distress pernafasan, penurunan masukkan udara, sianosis, dan pasien dalam posisi sniffing
menunjukkan ancaman gangguan jalan nafas. Pasien dapat menunjukkan disfonia, bahkan
hot potato voice, karena edem pada pita suara.
22
Diagnosis
Pemeriksaan oral didapatkan lidah terangkat, indurasi dasar mulut dan leher
anterior yang berotot dan seperti kayu, dan pembengkakkan suprahyoid nonfluktuan
(bulls neck appearance), edema submandibular bilateral yang nyeri tekan saat palpasi,
emfisema subkutaneus.
22
Diagnosis angina Ludwig dapat dilakukan dengan 4 tanda cardinal, yaitu:
1. Bilateral melibatkan lebih dari satu ruang jaringan dalam
2. Gangrene dengan serousanguinous, infiltrasi putrid tapi kecil
3. Melibatkan jaringan ikat, fascia dan otot tapi tidak struktur glandular
4. Penyebaran melalui kontinuitas ruang fascial dibanding sistem limfatik
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi menunjukkan pembengkakkan jaringan lunak, keberadaan gas, dan
menyempitan jalan nafas. USG guna mengidentifikasi kumpulan cairan pada jaringan
lunak. Rontgen panoramic akan menunjukkan focus infeksi dental. CT-scan akan
menunjukkan pembengkakkan jaringan lunak yang luas, keberadaan gas, kumpulan cairan,
dan gangguan jalan nafas.
22

2.5.5 Abses Parafaringeal
Pangertian
Abses parafaringeal adalah peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Pembentukan abses parafaringeal sebagian besar disebabkan oleh infeksi
23

sekunder yang berasal dari infeksi struktur anatomi terdekat seperti gigi, submandibular
dan parotid kelenjar, faring, jaringan adenotonsillar, dan telinga. Abses parafaringeal yang
disebabkan oleh benda benda asing jarang ditemukan.
23
Ruang leher dalam dapat dikelompokan menurut modifikasi dari Hollingshead
berdasarkan penampang panjang leher yaitu ruang retrofaring, danger space, ruang
prevertebral dan ruang viseral vaskular. Berdasarkan lokasinya di atas atau di bawah
tulang hyoid. Ruangan yang berada di atas tulang Hyoid, dibagi menjadi ruang
submandibula, ruang parotis, ruang peritonsil, ruang mastikator, ruang parafaring dan
ruang temporal. Sedangkan yang terdapat di bawah os hyoid terdiri dari ruang pretrakea
dan ruang suprasternal.
24

Di dalam rongga parafaringeal terdapat arteri karotid internal, vena jugularis
interna, saraf vagal, glossopharyngeal dan hypoglossal, rantai simpatik dan kelenjar getah
bening termasuk node Rouviere. Rongga ini berhubungan dengan ruang submandibula
inferomedially, masticator dan ruang parotid lateral dan ruang peritonsillar medial. Infeksi
odontogenik adalah penyebab yang paling umum terjadinya infeksi parafaringeal
23
Sebelum adanya antibiotik, 70% abses leher dalam disebabkan oleh infeksi pada
tonsil dan faring. Sekarang infeksi pada tonsil dan faring ini, merupakan penyebab infeksi
leher dalam yang tersering pada anak-anak, sedangkan pada dewasa umumnya disebabkan
oleh infeksi gigi. Sekitar 20 50 % kasus abses leher dalam tidak diketahui penyebabnya.
Bakteri aerob gram positif merupakan bakteri yang paling sering diisolasi pada abses leher
dalam ini, diikuti oleh bakteri anaerob, bakteri aerob gram negatif dan jamur. Infeksi leher
dalam ini juga dapat disebabkan oleh polimikroba yaitu sekitar 62% kasus.
24
Komplikasi
Abses leher dalam dapat mengancam kehidupan bila tidak ditatalaksana dengan
adekuat. Infeksi dapat meluas ke ruang leher dalam lainnya sehingga dapat menimbulkan
penyulit dalam penanganan infeksi. Penyulit yang sering timbul berupa obstruksi jalan
nafas karena penekanan dari abses, mediastinitis akibat penjalaran abses ke inferior,
komplikasi vaskuler (thrombosis vena jugularis dan ruptur arteri karotis), sepsis,
osteomielitis, defisit neurologis dan fistel akibat rupture dari abses.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan trismus, pembengkakan disekitar angulus mandibula, pembengkakan, dinding
24

lateral faring hingga menonjol ke arah medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos
jaringan lunak leher dan tomografi komputer.
Treatment
Perawatan awal pasien dengan abses parafaringeal adalah antibiotik intravena
spektrum luas yang bertujuan untuk menekan bakteri aerobik dan anaerobik. Penanganan
Abses parafaringeal lainnya termasuk aspirasi jarum dan drainase. Pada kasus dengan
abses drainase bedah terbuka wajib dilakukan untuk mengeluarkan pus dan untuk
memastikan kecurigaan terhadap benda asing.
23


























25

BAB III
PENUTUP

Infeksi rongga mulut dan gigi atau infeksi odontogenik memiliki peranan penting
pada infeksi jaringan sekitar. Selain menyebabkan permasalahan lokal pada rongga mulut
maupun gigi, infeksi rongga mulut dan gigi dapat menyebabkan komplikasi berupa infeksi
jaringan sekitar seperti infeksi telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) yang
penyebarannya dapat melalui aliran darah (hematogen), aliran limfa (limfogen), atau
melalui penyebaran secara langsung (perkontinuitatum).
Proses penjalanan infeksi odontogenik menjadi infeksi THT ini disebabkan oleh
beberapa hal utama, yaitu kurangnya perhatian pasien terhadap kebersihan gigi dan mulut
(oral hygiene), terlambatnya identifikasi infeksi rongga mulut dan gigi yang berpotensi
berkomplikasi pada infeksi jaringan sekitar, atau penanganan infeksi rongga mulut dan
gigi yang tidak tepat. Oleh karena itu, oral hygiene yang baik, identifikasi dan
penangangan infeksi odontogenik yang cepat dan tepat, serta kehati-hatian dalam merawat
dan menganani penderita infeksi odontogenik dapat mengurangi risiko penyebaran infeksi
odontogenik ke jaringan sekitar.
Hal yang tidak kalah penting dalam rangka penanganan permasalahan infeksi
odontogenik adalah kerja sama yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tenaga medis
yang menjadi lini pertama identifikasi permasalahan infeksi odontogenik ini sebaiknya
dapat membangun kerja sama yang baik dengan pasien dalam mengungkapkan etiologi
mendasar dari komplikasi sejenis komplikasi THT odontogenik ini. Dengan demikian,
tingkat morbiditas dan mortalitas akibat infeksi odontogenik dapat diminimalisasi sehingga
masyarakat dapat mencapai tingkat kesehatan yang diharapkan.









26

DAFTAR PUSTAKA

1. Uluibau, IC. Severe Odontogenic Infection. Australian Dental Journal Medications
Supplement 2005; 50:4.
2. Huang TT, Liu TC, Chen PR, Tseng FY, Yeh TH, Chen YS. Deep Neck Infection:
Analysis of 185 Cases. Head Neck 2004; 26:854-860.
3. Bridgeman A, Wiesenfeld D, Hellyar A, Sheldon W. Major Maxillofacial Infections.
An evaluation of 107 Cases. Aust Dent J 1995; 40:281-288.
4. Bross-Soriano D dkk. Management of Ludwigs angina with small neck incisions: 18
years exprerince. Otolaryngol Head Neck Surg 2004; 130:712-717
5. Juang YC dkk. Ludwig Angina: an Analysis of 14 cases. Scand J Infect Dis 1989; 21:
122-125.
6. Fehrenbach, M.J. Spread of Dental Infection. Partical Hygiene. September/ Oktober
1997.
7. Tortora, G. J. dan Bryan H. D. 2009. Principles of Anatomy and Physiology 12th
Edition Volume 2. Hoboken: Wiley.
8. Rully, M.A dkk. Makalah. 2009. Fokal Infeksi: Kaitan Fokal Infeksi dengan Infeksi
Fokal Multi Organ. Jakarta: Bagian Gigi dan Mulut, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, RSUP Cipto Mangunkusumo.
9. Heasman, P. 2003. Master Dentistry: Restorative Dentistry, Paediatric Dentistry and
Orthodontics. Volume 2. Oxford: Philadelphia.
10. Usri, K dkk. 2012. Diagnosis dan Terapi Edisi Penyakit Gigi dan Mulut. Edisi 2.
Bandung: Lembaga Studi Kesehatan Indonesia.
11. Cawson RA, Odell E.W. 2002. Cawsons Essential of Oral Pathology and Oral
Medicine. 7th edition. Churcill livingstone. p.82-3
12. Sixou, J.L et al. 2003. Microbiology of mandibular third molar pericoronitis: Incidence
of -lactamase-producing bacteria. Oral surgery, Oral medicine, Oral pathology, Oral
radiology, and Endodontology Vol, Issue 6, p. 655-9.
13. Sumber : http://aryou-snooker.blogspot.com/2009/12/infeksi-odontogen.html
14. Pantera E. Endodontic Disease. 1990. In: Schuster G, editor. Oral Microbiology and
Infectious Disease. 3
rd
ed. Philadelphia. BC Decker inc; p554-5
27

15. Neville, B.W., D. Damm, C. Allen, J. Bouquot. 2002. Oral & Maxillofacial Pathology.
Second edition.
16. Hilger, P.A. 1994. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: Adams, G.L., dkk (Editor).
BOEIS: Buku Ajar Peyakit THT Edisi ke-6 (halaman 244). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
17. Lee, K.C, dan Lee, S.J. 2010. Clinical Features and Treatments of Odontogenic
Sinusitis. Yonsei Medical Journal. 51(6):932-937.
18. Wulandari, R. R. dan Puspa Zuleika. 2013. Laporan Kasus: Abses Septum Nasi
Odonteogenik. Palembang: FK Unsri.
19. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N. 2002. Odontogenic
Infection Pathway To The Submandibular Space: Imaging Assessment. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 31:165-9
20. Calhoun, KH. 2001. Head And Neck Surgery-Otolaryngology. Volume 2. 3
rd
Edition.
USA: Lippincott Williams and Wilkins. 705,712-3
21. Ballenger, JJ. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jilid 1. Edisi
ke-13. Jakarta: Bina Rupa Aksara, hal: 295-304.
22. Lemonick DM. Ludwigs angina: Diagnosis and treatment. Clinical Review Article.
July 2002: 31-4.
23. Hasan. 2005. Difficulty In The Diagnosis And Management Of Parapharyngeal
Abscess: Foreign Body?. Turkey hal. 192-194
24. Novialdi. 2011. Abses Leher Dalam Multipel Dengan Kesulitan Intubasi dan
Komplikasi Fistula Faringokutan. Padang hal. 2-8.

Anda mungkin juga menyukai