Anda di halaman 1dari 7

138

KONSERVASI TANAH
PADA LAHAN TEGALAN

Ai Dariah
Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor dan Anggota MKTI

PENDAHULUAN

Erosi merupakan penyebab utama penurunan produktivitas lahan
kering, terutama yang ditanami tanaman semusim. Oleh karena itu,
pemberdayaan lahan tegalan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan
pangan nasional sulit diharapkan keberlanjutannya, bila aplikasi teknik
konservasi pada area ini tidak diperhatikan.
Tidak seperti lahan sawah yang dapat berfungsi sebagai filter
sedimen, lahan tegalan justru seringkali berperan sebagai penghasil
sedimen. Hasil pengukuran di berbagai tempat (dikutip dari berbagai
laporan) menunjukkan bahwa pada budidaya tanaman pangan semusim
tanpa disertai konservasi tanah, besarnya erosi yang terjadi >40 t/ha/tahun
(Sukmana, 1994; 1995). Erosi bukan hanya mengangkut lapisan tanah,
namun juga mengangkut hara dan bahan organik, baik yang terkandung
di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian.
Kerusakan sifat fisik tanah, baik yang diakibatkan oleh proses
erosi maupun pengolahan tanah yang intensif, juga seringkali menjadi
penyebab penurunan produktivitas lahan tegalan. Oleh karena itu
berbagai tindakan yang dapat menekan erosi, mempertahankan/
meningkatkan kadar bahan organik tanah, dan mengurangi dampak
negatif dari pengolahan tanah, merupakan usaha yang diperlukan dalam
pelestarian lahan tegalan sebagai salah satu sumberdaya lahan pangan.
Paper ini menguraikan berbagai pilihan tindakan konservasi tanah yang
dapat diaplikasikan pada lahan tegalan.

PENGENDALIAN EROSI PADA LAHAN TEGALAN

Tanaman semusim pada lahan kering idealnya ditanam pada
lereng <8%. Untuk lereng antara 8-15% hanya layak ditanami tanaman
semusim bila kondisi tanahnya cukup baik, misalnya solumnya sedang-
dalam dan tanahnya tidak peka erosi. Pada tanah bersolum dangkal atau
lapisan bawah permukaannya terlalu padat, sebaiknya penanaman
tanaman semusim dibatasi hanya pada lereng <8%. Lahan dengan tanah
bersolum sedang-dalam dengan lereng 15-40%, penanaman tanaman
semusim masih dapat dilakukan, namun harus dikombinasikan dengan
tanaman tahunan. Proporsi tanaman tahunan harus semakin besar dengan
139
semakin tingginya kemiringan lahan. Selain proporsi tanaman,
penerapan teknik konservasi tanah juga harus dilakukan.
Perlu disadari bahwa sangat sulit untuk menekan erosi dari suatu
lahan budidaya sampai level 0 (tanpa erosi). Target yang harus dicapai
adalah menekan erosi sampai di bawah erosi yang dapat dibiarkan
(tolerable soil loss/TSL). Kisaran ambang batas erosi yang dapat
ditoleransi adalah 1,1-13,5 ton/ha/tahun tergantung sifat tanah dan
substratanya (Thompson dalam Arsyad, 2000). Untuk menekan erosi
sampai di bawah ambang batas TSL, beberapa jenis teknik konservasi
dapat diterapkan pada lahan tegalan. Namun demikian untuk
mendapatkan hasil yang optimum, berbagai persyaratan untuk penerapan
suatu jenis teknik konservasi harus diperhatikan (Puslitbangtanak, 2004,
Agus et al., 1999).
Secara garis besar teknik konservasi dapat dibagi dalam 2
kelompok, yaitu teknik konservasi vegetatif dan mekanik (sipil teknis).
Untuk mencapai hasil yang maksimum dalam mengendalikan erosi dan
aliran permukaan, aplikasi dari kedua metode ini sebaiknya tidak
dipisahkan (Dariah et al., 2004, Santoso et al., 2004). Sebagai contoh,
teras (bangku atau gulud) yang tergolong tindakan mekanis, akan dapat
berfungsi secara maksimal bila dilengkapi tanaman penguat teras.

a. Metode Vegetatif
Konservasi tanah vegetatif merupakan semua tindakan
konservasi yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik
tanaman legum yang menjalar, semak perdu atau pohon, maupun rumput-
rumputan dan tumbuh-tumbuhan lainnya, serta sisa-sisa tanaman yang
ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Manfaat lain
dari metode konservasi vegetatif adalah dapat mendukung sistem
pengelolaan bahan organik, karena semua tindakan konservasi vegetatif
dapat berperan sebagai penghasil bahan organik. Kalaupun tanaman
konservasi digunakan sebagai pakan ternak, tidak berarti mengubah
fungsinya sebagai penghasil bahan organik bila pupuk kandang
dikembalikan ke lahan, bahkan perpanjangan rantai ini akan memperbaiki
kualitas bahan organik yang dihasilkan.
Beberapa contoh teknik konservasi yang tergolong sebagai
metode konservasi vegetatif adalah pemilihan dan pengaturan pola tanam,
penanaman tanaman penutup tanah, penggunaan tanaman/sisa tanaman
sebagai mulsa, sistem alley copping (budidaya lorong), strip rumput, dan
wanatani (agroforestry).
Penanaman penutup tanah/pupuk hijau seperti Cayanus cayan
(gude), Mucuna sp. (benguk), kacang tunggak, atau komak sesudah
tanaman pangan, merupakan pengaturan pola tanam yang bisa berdampak
140
positif terhadap perbaikan kesuburan kimia dan biologi serta sifat fisik
tanah.
Hijauan yang dihasilkan tanaman penutup atau tanaman
konservasi lainnya seperti tanaman pagar atau strip, serta sisa tanaman
dapat dimanfaatkan sebagai mulsa, yang mana penggunaan mulsa
mempunyai beberapa keuntungan (Undang Kurnia et al., 2004; Rachman;
2004), yaitu (i) melindungi tanah dari pukulan air hujan; (ii) mengurangi
penguapan sehingga dapat mempertahankan kelembaban udara dan suhu
dalam tanah; (iii) menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi
aktivitas mikroorganisme tanah; (iv) setelah bahan mulsa melapuk, akan
meningkatkan bahan organik tanah; (v) memperlambat aliran permukaan
yang berdampak pada penurunan erosi. Namun demikian Sukmana
(1995) menyatakan bahwa dalam hal penanggulangan erosi, penggunaan
mulsa harus dikombinasikan dengan teknik konservasi yang lain.
Budidaya lorong (alley cropping) dan strip rumput) merupakan
teknik konservasi vegetatif yang efektif dalam menekan erosi dan aliran
permukaan (Tabel 1). Prinsip dari kedua teknik konservasi ini adalah
sama, yaitu menanam tanaman konservasi dengan mengikuti garis kontur,
jarak antar barisan tanaman konservasi ditentukan oleh kemiringan lahan
(semakin miring jaraknya semakin rapat). Perbedaannya terletak pada
jenis tanaman konservasi yang dipilih. Pada sistem alley cropping, jenis
tanaman yang digunakan sebagai tanaman konservasi adalah tanaman
legume pohon atau perdu, sedangkan pada sistem tanaman strip adalah
tanaman rumput dan sejenisnya misalnya akar wangi (Vetiver).

Tabel 1. Peranan sistem alley cropping dan strip rumput dalam menekan
erosi pada tanah Haplorthox Citayam
Tanaman pagar/strip
Tanaman
Pangan
Erosi
(t/ha)
Sumber
Flemingia congesta jarak 4m, 1 baris
Flemingia congesta jarak 4m, 2 baris
Flemingia congesta jarak 6m 2 baris
Vetiver grass jarak 4m, 1 baris
Vetiver grass jarak 4m, 1 baris
jagung 14,3
6,2
8,1
14,3
5,1
Dariah et
al,1988
Flemingia congesta jarak 4m, 1 baris
Flemingia congesta jarak 4m, 2 baris
Flemingia congesta jarak 6m, 2 baris
Jagung//
kacang
tanah
4,85
1,31
0,45
Erfandy et
al.,
1989

b. Metode sipil teknis (Mekanik)
Semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah,
dan pembuatan bangunan yang ditujukan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi serta meningatkan kelas kemampuan tanah disebut
sebagai metode konservasi secara sipil teknis/mekanik. Beberapa contoh
141
0
10
20
30
40
50
60
1
9
8
8
/
8
9
1
9
8
9
/
9
0
1
9
9
0
/
9
1
1
9
9
2
/
9
2
1
9
9
2
/
9
3
1
9
9
3
/
9
4
Tahun
E
r
o
s
i

(
t
o
n
/
h
a
)
Teras bangku
Teras gulud
Teras kridit
metode konservasi mekanik adalah berbagai macam teras (bangku, gulud,
kebun, individu), rorak, pembuatan berbagai macam saluran pembuangan
air, dan saluran drainase lainnya.
Teras bangku merupakan metode konservasi mekanik yang telah
banyak diaplikasikan petani di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Metode ini sangat efektif untuk mencegah erosi dan aliran permukaan.
Kelemahannya tidak dapat diterapkan pada semua kondisi lahan,
misalnya pada tanah bersolum dangkal. Teknik konservasi ini juga
tergolong mahal, sehingga sulit diterapkan petani tanpa disertai subsidi
dalam pembuatannya. Jenis teras yang pembuatannya relatif murah
adalah teras gulud, namun efektivitasnya dalam menahan erosi tidak
sebaik teras bangku, kecuali bila diperkuat dengan tanaman konservasi.
Penanaman tanaman konservasi, baik tanaman legum pohon/semak atau
rumput dengan mengikuti kontur, juga dapat membentuk teras secara
bertahap, dan dikenal sebagai teras kredit. Gambar 2 menunjukkan
efektivitas dari ketiga jenis teras dalam mencegah erosi.















Gambar 2. Erosi pada berbagai jenis teras pada tanah Eutropept di
Ungaran, Jawa Tengah selama 6 tahun (Haryati et al., 1995)

c. Olah tanah Konservasi
Setiap upaya pengolahan tanah akan menyebabkan terjadinya
perubahan sifat-sifat tanah. Tingkat perubahan yang terjadi sangat
ditentukan oleh cara atau metode pengolahan tanah. Perubahan sifat
tanah akibat pengolahan tanah juga berhubungan dengan seringnya tanah
dalam keadaan terbuka, terutama antara 2 musim tanam, sehingga
menjadi lebih riskan terhadap dispersi agregat, erosi, dan proses iluviasi
yang selanjutnya dapat memadatkan tanah (Pankhurst and Lynch, 1993).
142
Olah tanah konservasi (OTK) menjadi alternatif penyiapan lahan
yang dilaporkan dapat mempertahankan produktivitas tanah tetap tinggi
(Brown et al., 1991; Wagger dan Deton, 1991, Suwardjo et al., 1989).
Namun demikian terdapat beberapa hasil penelitian yang melaporkan
terjadinya penurunan hasil tanaman akibat olah tanah konservasi (Swan et
al., 1991; Ketcheson dalam Rachman et al., 2004) atau tidak
mempengaruhi hasil tanaman (Rao dan Dao dalam Rachman et al.,
2004). Hal yang menentukan keberhasilan olah tanah konservasi adalah
pemberian bahan organik dalam bentuk mulsa yang cukup (Rachman et
al., 2004). Mulsa dapat menekan pertumbuhan gulma dan mengurangi
laju pemadatan tanah.
Beberapa cara pengolahan tanah yang memenuhi kriteria sebagai
OTK di antaranya adalah tanpa olah tanah (Zero tillage), olah tanah
seperlunya (reduced tillage), dan olah tanah strip (strip tillage). Aplikasi
dari ketiga jenis OTK tersebut harus selalu disertai dengan penggunaan
mulsa organik. Selain berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah seperti
kandungan bahan organik, struktur tanah (kegemburan dan porositas),
aplikasi OTK juga dapat menghemat tenaga kerja.
Pengaruh positif dari sistem olah tanah konservasi terhadap sifat-
sifat tanah, berdampak juga terhadap erosi yang terjadi. Hasil penelitian
Suwardjo pada tanah Ultisol Lampung dan Oxisol Citayam menunjukkan
pengaruh beberapa cara pengolahan tanah terhadap erosi yang terjadi
(Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh pemberian mulsa terhadap erosi
Jenis tanah dan perlakuan Erosi pada tahun (ton/ha)
Tropudult. Lampung, lereng 3,5% 1979 1980 1982
Bera (tanpa tanaman)
Tanpa mulsa, diolah, ditanami
Dengan mulsa, olah tanah minimum,
ditanami
97,8
2,4
0,3
144,5
7,1
0,3
102,8
39,7
0
Haplorthox Citayam (Bogor), lereng 14% 1980 1981 1982
Bera (tanpa tanaman)
Tanpa mulsa, diolah, ditanami
Dengan mulsa, olah tanah minimum,
ditanami
482,8
218,8
24,5
440,7
227,2
3,8
Td
108,6
2,9
Sumber: Suwardjo et al., 1989
Keterangan Td=tidak ada data

PENUTUP
Erosi merupakan penyebab utama terjadinya degradasi lahan
tegalan, oleh karena itu aplikasi teknik konservasi tanah merupakan
prasyarat utama tercapainya keberlajutan usahatani pada ekosistem ini.
143
Penerapan teknik konservasi tanah dengan mengurangi derajat
kemiringan lahan dan panjang lereng merupakan salah satu cara terbaik
mengendalikan erosi. Hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan
metode konservasi tanah baik secara mekanik maupun vegetatif. Pada
prakteknya, metode konservasi tanah mekanik dan vegetatif sulit untuk
dipisahkan, karena penerapan metode konservasi tanah mekanik akan
lebih efektif dan efisien bila disertai dengan penerapaan metode vegetatif.
Sebaliknya, meskipun penerapan metode vegetatif merupakan pilihan
utama, namun perlakuan fisik mekanis seperti pembuatan saluran
pembuang air masih tetap diperlukan.
Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam kegiatan
usaha tani, khususnya usaha tani tanaman semusim. Pengolahan tanah
utamanya ditujukan untuk menyiapkan atau menciptakan media tanam
yang baik untuk pertumbuhan tanaman, sehingga tanaman dapat
berproduksi secara optimum. Namun demikian, pengolahan tanah secara
berlebih dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya
terjadinya penghancuran struktur tanah. Olah tanah konservasi
merupakan suatu metode pengolahan tanah dengan tetap memperhatikan
kaidah-kaidah konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari
pengolahan tanah dapat ditekan sekecil mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. A. Abdurachman, A. Rachman, S.H. Talaoohu, A. Dariah, B.R.
Prawiradiputra, B. Hafif, dan S. Wiganda. 1999. Teknik Konservasi
Tanah dan Air. Sekretariat Tim Penendali Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi Pusat. Departemen Kehutanan.
Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Brown, R.E, J.L. Havlin, D.J. Lyons, C.R. Fenster, and G.A. Peterson. 1991. Long-
term tillage and nitrogen effects on wheat production in a wheat fallow
rotation. p. 326 In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA, CSSA, and
SSSA, Denver Colorado, Oct 27 Nov 1, 1991.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budhyastoro. 2004. Teknologi Konservasi
Mekanik. Hlm. 109-132 dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran
permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik
konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran, Jawa Tengah.
Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 13: 40-50.
Pankhurst, C.E., and J.M. Lynch. 1993. The role of soil biota in sustainable
agriculture. p 3-9. In C.E. Pankhurst, B.M. Doube, V.V.S.R. Gupta, and
144
P.R. Grace (Eds.) Soil Biota: Management in Sustainable Farming
Systems. CSIRO Press, Melbourne, Australia.
Puslitbangtanak. 2004. Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering
Berlereng. Pusat Penelitian dan pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badan Litbang Pertanian. Departemen pertanian.
Rachman, A., A. Dariah, dan E. Husen. 2004. Olah Tanah Konservasi. Hlm.
189-210 dalam Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian.
Santoso, D., J. Purnomo, I G. P. Wigena, dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi
konservasi vegetatif. Olah Tanah Konservasi. Hlm. 77-108 dalam
Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian.
Sukmana, S. 1995. Teknik konservasi tanah dalam penanggulangan degradasi
tanah pertanian lahan kering. Hlm. 23-42 dalam Prosiding Pertemuan
Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Pulittanak. Badan Litbang Pertanian.
Sukmana, S. 1994. Budidaya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah. Hlm.
25-39 dalam Prosiding Penanganan lahan Kering Marginal Melalui Pola
Usahatani Terpadu. Jambi 2 Juli 1994. Puslittanak. Badan Litbang
Pertanian.
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The use of crop residue
mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 8:
31-37.
Swan, J.B., W.H. Paulson, A.E. Peterson, and R.L. Higgs. 1991. Tillage-redisue
management effetcs on seedbed physical conditions corn growth and
yield. p. 343. In. AgronomyAbstract. Annual Meetings, ASA, CSSA, and
SSSA, Denver Colorado, Oct. 27 Nov. 1, 1991.
Undang Kurnia, Sudirman, dan H. Kusnadi. 2004. Teknologi rehabilitasi dan
reklamasi lahan. Hlm. 147-182 dalam Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Wagger, M.G., and H.P. Denton. 1991. Consequences of continuous and
alternating tillage regimes on residue cover and grain yield in a corn-
soybean rotation. p. 344 In Agronomy Abstracts. Annual Meetings ASA,
CSSA, and SSSA, Denver Colorado, Oct 27 Nov 1, 1991.

Anda mungkin juga menyukai