I. Definisi Hematoma septum nasi adalah terkumpulnya darah diantara tulang rawan septum nasi (kondrium) dan perikondrium septum nasi. 1-6
Hematoma septum nasi dapat terjadi unilateral ataupun bilateral yang biasanya diakibatkan oleh trauma pada daerah hidung. 1,4,5,7
Hematoma septum lebih sering terkena pada anak-anak dan dapat terjadi bahkan pada trauma yang ringan. Hidung pada anak-anak sebagian besar merupakan tulang rawan dan memiliki tulang hidung kecil yang lunak dan lebih lentur, dan daya serap terhadap suatu gaya kecil, sehingga anak-anak lebih rentan terjadinya fraktur hidung. Pada orang dewasa, hematoma septum umumnya timbul pada trauma wajah yang signifikan dan pada fraktur nasal. Hematoma septum bisa saja muncul tanpa tanda- tanda trauma eksternal. 2,4,6
Hidung memiliki suplai darah yang banyak dari internal maupun eksternal arteri karotis. Plexus Kisselbach menyuplai darah untuk daerah anteroinferior dari septum nasi, yang merupakan lokasi terjadinya epistaksis paling sering. 1,5,6,8 Ketika hidung terkena trauma, pembuluh- pembuluh darah mungkin ada yang robek, sehingga darah akan terkumpul di rongga antara kartilago dan perikondrium. Jika darah ini terus menerus tertimbun maka suplai darah ke kartilago hidung akan tersumbat. Hal ini menimbulkan nekrosis avaskular kartilago hidung akibat tekanan. 1,5,8
II. Anatomi hidung Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago 2
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga kartilago alar mayor, beberapa pasang kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum
Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar tampak anterolateral dan inferior 9
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior. 8
III. Anatomi septum nasi Septum nasi merupakan dinding medial rongga hidung. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatine. Sedangkan bagian tulang rawan adalah kartilago 3
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Gambar 2. Dinding lateral hidung 9
Septum nasi adalah bagian paling menonjol pada wajah, paling mudah dan sering terkena trauma. Septum nasi diperdarahi oleh a.etmodalis anterior dan posterior, a.sfenopalatina, a.palatina mayor dan a.labialis superior. A.sfenopalatina mendarahi bagian posterior septum nasi dan dinding lateral hidung bagian posterior. A.ethmoidalis anterior dan posterior adalah cabang dari a.oftalmika yang berasal dari a.karotis interna. A. ethmoidalis anterior adalah pembuluh darah terbesar kedua yang mendarahi hidung bagian dalam, yang mendarahi kedua bagian antero-superior dari septum dan dinding lateral hidung. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri. 8,10
4
Gambar 3. Anatomi Septum Nasi 9
Pada bagian kaudal septum nasi terdapat pleksus Kiesselbach yang terletak tepat di belakang vestibulum. Pleksus ini merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri palatine mayor. Area ini sering menjadi sumber perdarahan atau epitaksis. 8
Gambar 4. Vaskularisasi Hidung 9
5
Bagian anterosuperior hidung mbagian dalam dipersarafi oleh n.etmoidalis anterior dan posterior, sedangkan cabang dari n.maksilaris dan ganglion pterigopalatina mempersarafi bagian posterior dan sensasi pada bagian anteroinferior septum nasi dan dinding lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.maksila (n. V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus profundus. Disamping mensarafi hidung, ganglion sfenopalatina mempersarafi kelenjar lakrimasi dan palatum. 8
Gambar 5. Persarafan Hidung 9
IV. Etiologi dan patofisiologi Penyebab utama terjadinya hematoma septum nasi adalah karena trauma pada daerah hidung. Penyebab lainnya seperti karena adanya gangguan perdarahan, violent sneezing (bersin yang kuat sekali) dan dikarenakan obat seperti aspirin dan warfarin. 4,10
Penyakit-penyakit kolagen vaskular juga diperkirakan dapat menjadi penyebab hematoma septum. Penyakit ini menyebabkan 6
gangguan dimana dinding arteri menjadi lemah sehingga lebih mudah terjadi perdarahan. Mengorek hidung secara kasar, meniup melalui hidung secara keras, riwayat penggunaan obat-obatan dimana obat tersebut harus dihirup melalui tumor pada hidung juga dapat menjadi faktor penyebab hematoma septum. 10
Hematoma septum nasi terjadi akibat trauma pada septum nasi yang merobek pembuluh darah yang berbatasan dengan tulang rawan septum nasi. Darah akan terkumpul pada ruang di antara tulang rawan dan mukoperikondrium. Hematoma ini akan memisahkan tulang rawan dari mukoperikondrium, sehingga aliran darah sebagai nutrisi bagi jaringan tulang rawan terputus, maka terjadilah nekrosis. 4,10,11
Tulang rawan septum nasi yang tidak mendapatkan aliran darah masih dapat bertahan hidup selama 3 hari, setelah itu kondrosit akan mati dan resorpsi tulang rawan akan terjadi. 2,3,10 Bila tidak segera ditanggulangi, maka tulang septum nasi dan triangular kartilago dapat ikut terlibat dan perforasi septum nasi dapat terjadi. Pada akhirnya sedikit atau banyak akan terjadi parut dan hilangnya penyangga pada 2/3 kaudal septum, ini akan menghasilkan hidung pelana, retraksi kolumella, dan pelebaran dasar hidung. 2,4,10
Jika ada fraktur tulang rawan, maka darah akan mengalir ke sisi kontralateral dan terjadilah hematom septum bilateral. Hematom yang terjadi dapat besar sehingga dapat menyumbat kedua nares. Akibat keadaan yang relatif kurang steril di bagian anterior hidung, hematoma septum nasi dapat terinfeksi dan akan cepat berubah menjadi abses septum nasi yang mempercepat resorpsi tulang rawan yang nekrotik. Staphylococcus aureus merupakan organism yang paling sering ditemukan pada hasil kultur abses septum nasi. Begitu pula Streptococcus pneumoniae, streptococcus milleri, Streptococcus viridians, Staphylococcus epidermis, Haemophillus influenza dan kuman anaerob juga ditemukan pada abses septum nasi. 2,7,10 Komplikasi intracranial dapat terjadi dikarenakan penyebaran infeksi secara langsung melalui vena menuju ke sinus cavernous. 4,7 Tidak semua hematom septum nasi 7
berkembang menjadi abses, bila sembuh dengan terapi antibiotik akan terbentuk jaringan ikat, sehingga akan terjadi penebalan jaringan septum nasi yang dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan retraksi yang menimbulkan kontraktur septum nasi. Bila keadaan ini terjadi pada masa anak-anak, akan mempengaruhi pertumbuhan 2/3 bagian wajah. 10
V. Gejala klinis Hematoma septum memiliki gejala yang khas, seperti adanya nyeri hebat yang terlokalisasi, palpasi pada ujung hidung akan terasa lebih lunak, dan pembengkakan seperti buah ceri pada mukosa hidung di daerah septum yang menyumbat seluruh lubang hidung. 4,7,10
Gambar 6. Hematoma Septum Nasi Bilateral 10
Gejala khas pada hematoma septum ialah hidung tersumbat (95%), nyeri (50%), rhinorrhea (25%), dan demam (25%). Gejala-gejala ini dapat muncul segera atau umumnya dalam 24-72 jam setelah trauma. Pada anak- anak, gejala yang umum terjadi ialah hidung tersumbat, nyeri dan rhinorrhea. Hiposmia dan demam dengan temperatur yang bervariasi juga dapat muncul. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan, berbentuk bulat, licin, dan berwarna merah, perubahan letak dari dorsum hidung, nyeri tekan pada ujung hidung, dan akan terlihat gambaran septum nasal yang asimetris dan 8
berwarna kebiruan atau kemerahan pada mukosa hidung. Pembengkakan dapat meluas sampai ke dinding lateral hidung sehingga menyebabkan obstruksi total. Selanjutnya, fluktuasi yang sangat besar pada bagian yang membengkak harus dicurigai telah terjadi nekrosis dari kartilago septal. Ukuran bengkak tidak berubah dengan pemberian vasokonstriksi topical. 4,5,10,12
VI. Diagnosis Diagnosis umumnya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan temuan-temuan klinis. Otoskop dapat digunakan sebagai alat bantu dalam melakukan pemeriksaan rinoskopi anterior. Ketika melakukan evaluasi terhadap pasien yang mengalami trauma pada hidung, harus selalu diperhatikan apakah adanya tanda. tanda hematoma septum walaupun tidak didapati adanya pembengkakan saat dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior. Terkadang dilakukan pemeriksaan radiografi untuk melihat tulang- tulang hidung dan struktur wajah memastikan tidak adanya fraktur. CT scan kranial dan MRI kranial dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya trauma yang lebih serius. 10
VII. Penatalaksanaan Drainase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan. Dilakukan pungsi dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian hematoma yang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh dilakukan insisi bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium kearah tulang rawan dibawahnya. 2,4,5
Pada anak-anak drainase dilakukan dibawah anestesi umum dengan menggunakan intubasi orotrakheal. Pasien dalam posisi supine dengan kepala sedikti elevasi untuk memudahkan pengeluaran darah dari hidung. Aspirasi dilakukan dengan menggunakan suntik dengan jarum ukuran 18- 20. 4
9
VIII. Komplikasi Komplikasi hematoma septum nasi yang mungkin terjadi adalah abses septum dan deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose). Penatalaksanaan yang terlambat dan tidak tepat terhadap hematoma septum dapat mengakibatkan masalah serius, seperti komplikasi intracranial. 4,7
\
10
DAFTAR PUSTAKA 1. Soepardi EA. Buku ajar ilmu kesehatan: telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Balai penerbit FKUI. Jakarta. 2007; Hal 127.
2. Perkins SW, Dayan SH. Management of nasal trauma. Aesthetic plastic surgery.2002.www.drdayan.com/pdf/.../Management-of-Nasal-Trauma.pdf . (diakses pada tanggal 10 Maret 2013).
3. Ibrahim SH. Haematoma and abscess of nasal septum, clinical features and surgical treatment outcomes. Department of surgery. www.iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=30916. (diakses pada tanggal 10 Maret 2013).
4. Umana AN, Offiong ME, Francis P, Akpan U, Edethekhe T. Nasal septal hematoma: Using tubular nasal packs to achieve immediate nasal breathing after drainage. International journal of medicine and medical sciences. 2011; Vol. 3(7), pp. 233-235.
5. Savage RR, Valvich C. Haematoma of the nasal septum. American Academy of Pediatrics. 2006; 27; 478.
6. Kucik CJ, Clenney T, Phelan J. Management of acute nasal fractures. American Family Physician. 2004; Volume 70; Number 7.
7. Ginsburg CM. Nasal septal hematoma. American Academy of Pediatrics. 1998;19;142
8. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran edisi 6. EGC. 2006: 2: Hal 803-805.
9. Netter, Frank H. Athlas of human anatomy. 4 th Ed. USA : Elsevier,s health sciene department. 2006: 37-49.
10. Bidam BJ, Prijadi J. Diagnosis dan penatalaksanaan abses septum nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas KedokteranUniversitasAndalas.http://repository.unand.ac.id/18170/2/DIA GNOSIS%20DAN%20PENATALAKSANAAN%20ABSES%20SEPTU M%20NASI.pdf. (diakses pada tanggal 10 Maret 2013).
11. Menger DJ, Tabink IC, Trenite GJN. Nasal septal abscess in children. American Medical Association. Arch otolaryngol head neck surg. 2008; vol 134.
12. Lopez MA, Liu JH, Hartley BEJ, Myer CM. Septal hematoma and abscess after nasal trauma. 2000;39:609-61. 11