Anda di halaman 1dari 15

1

TINJAUAN PUSTAKA
A. TRAUMA THORAX
1. Definisi
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland, 2002)
a. Klasifikasi Trauma
Trauma Tumpul
Trauma tumpul lebih umum terjadi daripada cedera tembus pada
dada, persentasinya lebih dari 90% pada cedera toraks. Sebuah pukulan
langsung ke dinding dada dapat menghancurkan, menyebabkan patah tulang
dan dislokasi pada tulang seperti tulang rusuk. Cedera pada dada dapat
meningkatkan tekanan intrathorakal sehingga menyebabkan pecahnya
organ dan terisi oleh gas / cairan. (Khan, 2008)
Cedera terjadi ketika gerakan ke depan dari dada tiba-tiba berhenti
sedangkan visera intrathorakal terus bergerak maju, seperti pada cedera
kemudi mobil. Struktur visceral tidak terikat pada dinding dada, sehingga
terus bergerak maju sampai mereka dihentikan oleh permukaan dalam dari
dinding thoraks pada suatu tabrakan, tekanan yang diciptakan oleh gerakan
melebihi toleransi jaringan, menyebabkan cedera. (Khan, 2008)
Rusuk dapat patah pada tempat tubrukan dan melukai paru
dibawahnya yang menyebabkan memar atau tertusuk. Rusuk biasanya
menjadi cukup stabil dalam waktu 10 hari sampai 2 minggu. Usaha
penyembuhan dengan pembentukan kalus terlihat setelah sekitar 6 minggu.
(Khan, 2008)
Trauma Tusuk
Trauma tusuk biasanya hasil dari aplikasi suatu kekuatan mekanik
yang tiba-tiba pada suatu area fokus. Sebuah pisau atau proyektil, misalnya,
menghasilkan kerusakan jaringan oleh karena peregangan dan
penghancuran; cedera biasanya terbatas pada jaringan disekitar tusukan.
Tingkat keparahan dari cedera internal tergantung pada organ yang tertusuk
dan bagaimana pentingnya organ itu. (Khan, 2008).



2

2. Fraktur
Patah Tulang Iga
Patah tulang iga dapat tunggal atau multiple. Jika multiple, bentuk dan
gerak thoraks masih bisa memadai ,bisa juga tidak. Diagnosis patah tulang iga
multiple, ditentukan berdasar gejala dan tanda nyeri lokal. Nyerinya berupa nyeri
lokal dan nyeri kompresi kiri kanan atau muka-belakang dan nyeri pada gerak
napas. Jika terjadi patah tulang iga multipel biasanya dinding thoraks tetap stabil.
Akan tetapi, jika beberapa iga mengalami patah tulang pada dua tempat , suatu
segmen dinding dada terlepas dari kesatuannya. Fraktur iga tunggal atau multipel
dengan gerak dada yang masih memadai dan teratur ditangani dengan pemberian
analgetik atau anastetik. Nyeri harus dihilangkan untuk menjamin pernapasan
yang baik atau mencegah pneumonia akibat gerak napas tidak memadai dan
terganggunya batuk karena nyeri. Jika pemberian analgesik tidak menghilangkan
nyeri, harus dilakukan anastesia blok intercostal yang meliputi segmen dikaudal
dan kranial iga yang patah. (Sjamsuhidajat,2004).
Komplikasi pada TraumaThorax
a. Pneumothorax
Pneumothorax diakibatkan oleh masuknya udara dalam cavum pleura (ruang antara
pleura parietalis dan pleura viseralis). Laserasi paru diketahui menjadi salah satu
penyebab terpenting pneumothorax akibat trauma tumpul.
Dalam kondisi normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang dapat
mengembang sampai ke dinding dada karena adanya tegangan permukaan antar
pleura, sehingga bila pleura terisi udara akan menimbulkan kolaps jaringan paru.
Gangguan ventilasi perfusi terjadi karena darah yang masuk ke dalam paru tidak
mengalami pertukaran oksigen disebabkan paru kolaps.
Adapun tanda khas pneumothorax:
1. Suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipersonor.
2. Tertinggalnya pengembangan sisi paru yang sakit
Pneumothoraks sederhana dapat menjadi lifethreatening tension pneumothorax jika
tidak ditangani dengan tepat.
Pneumotoraks berdasar penyebabnya dibagi menjadi :
1. Pneumotoraks spontan : setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba tanpa adanya suatu
penyebab (trauma ataupun iatrogenic), dibagi lagi menjadi 2 :
3

a. Pneumotoraks spontan primer : terjadi tanpa ada riwayat penyakit paru yang
mendasarinya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder : terjadi karena penyakit paru yang
mendasarinya.
2. Pneumotoraks traumatic : pneumotoraks yang terjadi akibat suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada, maupun
paru. Pneumotoraks traumatic tidak harus disertai dengan fraktur iga maupun luka
penetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada dapat menimbulkan
pneumotoraks. Berdasar kejadiannya pneumotoraks traumatic dibagi menjadi 2 :
a. Penumotoraks traumatic bukan iatrogenic : terjadi karena jejas kecelakaan, baik
terbuka maupun tertutup.
b. Pneumotoraks traumatic iatrogenic : pneumotroraks terjadi karena komplikasi
tindakan medis.
Berdasarkan jenis fistulanya, dibagi menjadi 3 :
1. Penumotoraks tertutup : pneumotoraks dengan tekanan udara di rongga pleura yang
sedikit lebih tinggi disbanding tekanan pleura pada sisi hemitoraks kontralateral,
tetapi lebih rendah dari tekanan atmosfer.
2. Pneumotoraks terbuka : terjadi karena luka terbuka pada dinding dada sehingga saat
inspirasi udara dapat keluar masuk lewat luka tersebut.
3. Tension pneumotoraks : terjadi karena mekanisme check valve yaitu pada saat
inspirasi udara masuk rongga pleura, tetapi saat ekspirasi udara dalam rongga pleura
tidak bias keluar, sehingga semakin lama tekanan dalam rongga pleura meiningkat
mendesak paru dan dapat menyebabkan gagal napas.
(Barnawi dan Eko, 2006)
Pneumotoraks mengurangi kapasitas vital paru dan juga menurunkan tekanan oksigen, yang
terjadi karena kebocoran antara alveolus dan rongga pleura sehingga udara akan berpindah
dari alveolus ke rongga pleura hingga tekanan di kedua sisi sama. Akibatnya, volume paru
bekurang dan volume rongga toraks bertambah (Pappachan, 2009). Pneumotoraks lebih
sering terjadi pada anak karena letak pleura terhadap trakea lebih tinggi sehingga mudah
mengalami trauma. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan sirkulasi darah, atau udara masuk
ke rongga pleura (Lindman dan Morgan, 2010). Gejala pneumotoraks tergantung pada jenis
dan luasnya. Pasien biasanya merasa nyeri yang hebat, sesak napas, batuk-batuk.
Pneumotoraks yang kecil dapat tanpa gejala, tetapi ketika tedapat sesak serta nyeri dan dada
yang terkena terasa sempit, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya pneumotoraks desakan
4

(tension pneumothorax) yang berbahaya, karena terjadi pendorongan vena kava sehingga
akan mengakibatkan berkurangnya curah jantung, diikuti gejala hipoksia dan asidosis
metabolic (Jain et al., 2008).
Penatalaksanaannya tergantung pada berapa luas pneumotoraks yang terjadi. Jika sedikit,
cukup diobservasi namun jika luas perlu dilakukan drainase tertutup dengan pemasangan pipa
salir.
Prinsip penatalaksanaan pneumotoraks yaitu
1. menjaga jalan napas tetap aman,
2. memberi ventilasi yang adekuat,
3.pemberian oksigen, dan
4. mengatasi penyebabnya dengan mengeluarkan udara yang terperangkap
(Jain et al., 2009).

B. Hemotorak
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru
(rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.

Trauma
misalnya :
Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada
Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh
pembuluh internal.
Perdarahan ke dalam rongga pleura dapat terjadi, hampir semua gangguan dari jaringan
dinding dada dan pleura atau struktur intratoracic yang fisiologis terhadap pengembangan
hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat
respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah .
Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh ruang efek menduduki akumulasi
besar darah dalam rongga pleura . Dalam kasus trauma , kelainan ventilasi dan oksigen dapat
mengakibatkan , terutama jika dikaitkan dengan cedera pada dinding dada . Dalam beberapa
kasus nontraumatic asal usul , terutama yang berkaitan dengan pneumotorax dan jumlah
terbatas perdarahan , gejala pernapasan dapat mendominasi (Pusponegoro, 2007).
Penyebab Hematothoraks:
1. Traumatis
5

Trauma tumpul .
Penetrasi trauma .
2. Non traumatic atau spontan
Neoplasia ( primer atau metastasis ) .
Diskrasia darah , termasuk komplikasi antikoagulasi .
Emboli paru dengan infark .
Emfisema .
Tuberkulosis .
Paru arteriovenosa fistula (Hudak, 2009).
C. Hipotermia
Hipotermia adalah suatu kondisi di mana inti suhu turun di bawah yang diperlukan untuk
metabolisme dan fungsi tubuh. Suhu tubuh biasanya dikelola secara konstan melalui
homeostasis biologis atau thermoregulasi.
Tubuh menggigil keras. Koordinasi otot berkurang. Gerakan lambat disertai dengan pucat
dan agak kebingungan, walaupun korban mungkin tampak waspada. Pembuluh darah
superficial vasokonstriksi ,sedang pembulluh darah dalam tubuh berusaha menjaga agar
organ vital tetap hangat. Korban menjadi pucat. Bibir, telinga, jari tangan dan kaki dapat
menjadi biru.
Apabila sudah parah gejala menggigil berhenti. Kesulitan untuk berbicara, berpikir lamban
dan amnesia mulai muncul; ketidakmampuan untuk menggunakan tangan ini juga biasanya
terjadi. Proses metabolisme selular berhenti. Kulit menjadi biru dan bengkak, koordinasi otot
menjadi sangat lemah, berjalan menjadi hampir mustahil, dan kesadaran korban menurun.
Denyut nadi menurun dan respirasi rate menurun secara signifikan. Organ utama gagal.
Klinis kematian terjadi . karena terjadi penurunan metabolisme selular dalam tahap lanjut
hipotermia, tubuh akan memerlukan waktu yang cukup lama sampai terjadi kematian otak.
Apabila pasien trauma mengalami hipotermia dapat menyebabkan gangguan pembekuan
darah. Hemostasis sukar berlangsung baik pada suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien
trauma sering terjadi jika evakuasi pra rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan juga di
cuaca tropis). Pasien mudah menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena
itu pencegahan hipotermia sangat penting.

D. Syok
6

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi darah
ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel. Kematian karena
syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi dan metabolism sel. Terapi
syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan faktor penyebab.
Syok sirkulasi dianggap sebagai rangsang paling hebat dari hipofisis adrenalin sehingga
menimbulkan akibat fisiologi dan metabolisme yang besar. Syok didefinisikan juga
sebagai volume darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi perfusi, pertama pada
jaringan nonvital (kulit, jaringan ikat, tulang, otot) dan kemudian ke organ vital (otak,
jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan merupakan suatu keadaan
patofisiologis dinamik yang mengakibatkan hipoksia jaringan dan sel (Anderson dan
Wilson, 2000).

1. Etiologi dan klasifikasi
Syok secara umum dapat diklasifikasikan menjadi :

a. Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh :
- Kehilangan darah/syok hemoragik
Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks
- Kehilangan plasma : luka bakar
- Kehilangan cairan dan elektrolit
Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih
Internal : asites, obstruksi usus
b. Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang
disebabkan karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark
Miokard Akut).
c. Syok septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya
didalam tubuh yang berakibat vasodilatasi.

d. Syok anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi
antigen antibodi yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan
permeabilitas membran kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga venous
return menurun. Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular
berbisa.
7

e. Syok neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn
karena disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi.
Misalnya : trauma pada tulang belakang, spinal syok.
(Anderson dan Wilson, 2000).
Menurut beratnya gejala, dapat dibedakan empat stadium syok:
No Stadium Plasma yang
hilang
Gejala
1 Presyok
(compensated)

10-15%
750 ml
Pusing, takikardi ringan, sistolik 90-100
mmHg
2 Ringan
(compensated)

20-25%
1000-1200 ml
Gelisah, keringat dingin, haus, diuresis
berkurang, takikardi >100/menit, sistolik 80-
90 mmHg
3 Sedang
(reversible)

30-35%
1500-1750 ml
Gelisah, pucat, dingin, oliguri, takikardi
>100/menit, sistolik 70-80 mmHg
4 Berat
(ireversibel)
35-50%
1750-2250 ml
Pucat, sianotik, dingin, takipnea, anuri, kolaps
pembuluh darah, takikardi/tak teraba lagi,
sistolik 0-40 mmHg

Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen yang
bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium
intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini dapat mengubah atau
mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah
yang mendasari terjadinya kejang pada pasien tersebut.Untuk mengkompensasi keadaan
neurotoksik lebih lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi
peningkatan penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria
yang menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan asidosis
dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma.
8

Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang pusat
muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar ventrikel keempat, dan
secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan pernapasan, menerima rangsang yang
berasal dari korteks serebral, organ vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut
aferen (n. X dan simpatis) dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan
melalui serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus
gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.
Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glotis, pengangkatan palatum
molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi yang kuat ke bawah diafragma
bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot abdomen akan memeras perut diantara
difragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang
tinggi. Hal kemudian diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi
pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus.Hal ini menyebabkan pada pasien
terdapat gejala muntah.Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Pada skenario
tidak ditemukan gejala kejang dan muntah sehingga bisa disimpulkan tidak terdapat trauma
kepala.

2. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Hipovolemik
Penyebab syok hipovolemik yang paling umum adalah perdarahan mukosa
saluran cerna dan trauma berat. Penyebab perdarahan terselubung adalah antara
lain trauma abdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa atau ileus
obstruksi, dan peritonitis. Secara klinis syok hipovolemik ditandai oleh volume
cairan intravaskuler yang berkurang bersama-sama penurunan tekanan vena
sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan tahanan vaskular sistemik. Respon
jantung yang umum adalah berupa takikardia, Respon ini dapat minimal pada
orang tua atau karena pengaruh obat-obatan. Gejala yang ditimbulkan bergantung
pada tingkat kegawatan syok.
Prinsip pengelolaan dasar adalah menghentikan perdarahan dan mengganti
kehilangan volume.

Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan
awal. Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama sedangkan NaCl
fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan yang diberikan adalah berdasarkan
hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300 ml larutan elektrolit untuk 100
9

ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa dengan berat badan 70 kg
dengan derajat perdarahan III membutuhkan jumlah cairan sebanyak 4.410 cairan
kristaloid (Rifki, 2001).


3. Patogenesis dan Patofisiologi Syok Kardiogenik
Patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas
miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penurunan curah jantung, tekanan
darah rendah,insufisiensi koroner, dan selanjutnya terjadi penurunan
kontraktilitas dan curah jantung. Syok kardiogenik ditandai dengan gangguan
fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan gangguan berat pada pefusi jaringan
dan penghantaran oksigen ke jaringan. Yang khas pada syok kardiogenik oleh
infark miokardium akut adalah hilangnya 40% atau lebih jaringan otot pada
ventrikel kiri. Selain dari kehilangan masif jaringan otot ventrikel kiri juga
ditemukan daerah-daerah nekrosis fokal diseluruh ventrikel. Nekrosis fokal
diduga merupakan kibat dari ketidak seimbangan yang terus-menerus antara
kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Pembuluh koroner yang terserang
juga tidak mampu meningkatkan alira darah secara memadai sebagai respon
terhadap peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung oleh aktivitas
respon kompensatorik seperti perangsangan simpatik. Sebagai akibat dari proses
infark, kontraktilitas ventrikel kiri dan kinerjanya menjadi sangat terganggu
(Brandler, 2010)
Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat
sesak dapat dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian
vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan memaksimalkan
perfusi ke miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan, pemberian
vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung yang pada
akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi (Brandler, 2010)

4. Patogenesis Syok Septik
Pada umumnya penyebab syok septik adalah infeksi kuman gram negatif
yang berada dalam darah/endotoksin. Jamur dan jenis bakteri juga dapat menjadi
penyebab septicemia. Syok septik sering diikuti dengan hipovolemia dan
hipotensi. Hal ini dapat disebabkan karena penimbunan cairan disirkulasi mikro,
10

pembentukan pintasan arteriovenus dan penurunan tahanan vaskuler sistemik,
kebocoran kapiler menyeluruh, depresi fungsi miokardium. Beberapa faktor
predisposisi syok septic adalah trauma, diabetes, leukemia, granulositopenia
berat, penyakit saluran kemih, terapi kortikosteroid jangka panjang,
imunosupresan atau radiasi. Syok septik sering terjadi pada bayi baru lahir, usia
di atas 50 tahun, dan penderita gangguan sistem kekebalan. Pemilihan antibiotik
untuk sepsis biasanya secara empiris dapat digunakan: vankomisin, ceftazidim,
cefepime, ticarcilin, pipercilin, imipenem, meropenem, cefotaxim, klindamisin,
metronidazol (Anderson dan Wilson, 2000).

5. Patogenesis Syok Neurogenik
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi menyeluruh di daerah splangnikus
sehingga aliran darah ke otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan
oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut, atau nyeri hebat. Pasien merasa
pusing dan biasanya jatuh pingsan. Setelah pasien dibaringkan, umumnya
keadaan berubah menjadi baik kembali secara spontan. Trauma kepaa yang
terisolasi tidak akan menyebabkan syok. Adanya syok pada trauma kepala harus
dicari penyebab yang lain. Trauma pada medulla spinalis akan menyebabkan
hipotensi akibat hilangnya tonus simpatis. Gambaran klasik dari syok neurogenik
adalah hipotensi tanpa takikardi atau vasokonstriksi perifer (Bartholomeusz,
2003; Japardi, 2002).
6. Patogenesis Syok Anafilaksis
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau Immediate type
reaction. Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen
yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang.
c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas
farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
11

permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang
cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk
menilai respon terhadap terapi. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak
segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi
kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) (Krausz, 2006).
E. Tension Pneumothorax
Tension Pneumothorax berkembang ketika terjadi oneway valve (fenomena ventil)
pada paru, yakni kebocoran paru yang menyebabkan udara masuk ke dalam pleura tetapi
rtidak dapat keluar dari paru. Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura tidak dapat
keluar lagi maka tekanan intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum
terdorong ke sisi yang sehat dan pengembalian darah ven jantung terhambat serta penekanan
paru sisi sehat.
Penyebab tersering tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilator
dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura visceral.
Kadang kala perlukaan pada diding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax,
jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut oklusif yang
menimumbulkan fenomena ventil. Diagnosis ditegakan dari gejala klinis dan terapi tidak
boleh terlambat ileh karena menunggu pemeriksaan radiologis.
Gejala dan tanda tension pneumothorax:
1. Nyeri dada diikuti sesak nafas, dan distress pernafasan
2. Takikardia dan hipotensi
3. Deviasi trakea serta hilangnya suara nafas satu sisi.
Terapi definitive pada kasus tension pneumothorax adalah dengan pemasangan selang dada
(chest tube) pada SIC 5 antara garis anterior dan midaxillaris.





12

Penanganan Pada Trauma Thorax
1.Needle Thoracocentesis

Definisi
Needle thoracocentesis atau needle decompression adalah jarum atau kateter yang
dimasukkan ke dalam rongga pleura untuk mengeluarkan udara yang terperangkap dalam
rongga pleura, needle thoracocentesis dapat mengubah tension pneumothorax menjadi
pneumothoraks simpel. Dekompresi dilakukan dengan kateter vena besar (nomer 14) disela
iga ke-2 pada garis mid-clavicula, menyusuri tepi atas iga ke-3. Setelah tekanan rongga
pleura kurang lebih sama dengan udara luar (Pusponegoro, 2007).

Indikasi
Tension Pneumothorak
Tension Hemopneumothorak (Carpenito,2007).

2. WSD

Definisi
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan
(darah,pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa
penghubung (Pusponegoro, 2007).

Indikasi
1. Pneumothoraks :
a. Spontan > 20% oleh karena rupture bleb
13

b.Luka tusuk tembus
c.Klem dada yang terlalu lama
d.Kerusakan selang dada pada sistem drainase
2. Hemothoraks :
a.Robekan pleura
b.Kelebihan antikoagulan
c.Pasca bedah thoraks
3. Thorakotomy
4. Efusi pleura : Post operasi jantung
5. Emfiema :

Tujuan
Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
Mengembangkan kembali paru yang kolaps
Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada

Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
- anterolateral interkosta ke 1-2
- fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
- postero lateral interkosta ke 8-9
- fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura

Komplikasi Pemasangan WSD
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema (Pusponegoro, 2007).



14


DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, W.A.N. 2002. Kamus Kedokteran, EGC, Jakarta
2. Khan, A.N.,(Consultant Radiologist and Honorary Professor, North Manchester General
Hospital Pennine Acute NHS Trust, UK). 2008. Thorax and Trauma
http://emedicine.medscape.com/article/357007-overview , dikutip tanggal 16 Juli 2011.
3. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi 2, EGC Jakarta.
4. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency Surgery.
2006. 1-14
5. Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1,
edisi 4. 2000. Jakarta: EGC.
6. Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi20.pdf
7. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 2003; 408-413
8. Rifki. Syok dan penanggulangannya. FKUA. Padang.2001. pp 21-31
9. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of Emergency
Surgery. 2006. 1-14
10. Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph on the
Internet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/759992-treatment
11. Lindman JP, Morgan CE (2010). Tracheostomy. Cited Jun 7 2010. Available
from:http://emedicine.medscape.com/article/865068-overview
12. Bradley PJ. (1997).Management of the obstructed airway and tracheostomy. In: Kerr
AG, editor. Scott-Browns Otolaryngology,6
th
ed. London: Butterworth; p.5/7/7-14
13. Jain DG, Gosavi SN, Jain DD (2008). Understanding and Managing Tension
Pneumothorax. JIACM,; 9(1): 42-50
14. Pappachan B. (2009).Acute airway distress secondary to iatrogenic injury during
Tracheostomy. J Maxillofac Oral Surg,; 8(1):9193
15. Barnawi H dan Eko B (2006). Pneumotoraks spontan. Dalam Sudoyo AW, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
16.
15

17.

Anda mungkin juga menyukai