Anda di halaman 1dari 2

Agama Kok Departemen

cak nun.KALAU kita memegang tongkat kekuasaan, di level mana pun, biasanya ada e
mpat hal yang mengejar-ngejar hati kita, mengendalikan perasaan, mempengaruhi pe
rilaku --dan akal pikiran diperbudak oleh desakan emosi itu, untuk berkonsentras
i pada keempat hal tadi.
Yakni, pertama, bagaimana supaya tidak kehilangan kekuasaan. Kedua, bagaimana bi
sa memperpanjang kekuasaan. Kedua hal ini melahirkan yang ketiga: bagaimana meng
himpun modal sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, agar kekuasaan bisa dipert
ahankan --siapa tahu tiba-tiba muncul angin badai yang mengguncang kita dari kur
si. Juga muncul yang keempat: di samping menumpuk modal, juga harus peka pada se
tiap momentum untuk bisa cari muka kepada rakyat dan semua pihak dalam kehidupan
bernegara.
Hal-hal mengenai kehidupan rakyat, itu soal gampang dan bisa disepelekan. Sudah
terbukti, selama sekian periode kekuasaan, dan tampaknya kita yakin belum ada pe
rkembangan mendasar pada rakyat --sehingga sampai beberapa tahun lagi, insya All
ah, rakyat masih bisa dikibulin. Tidak ada infrastruktur apa pun pada sosiologi
politik kerakyatan kita, yang mampu menghalangi proses mempertahankan kebodohan
rakyat. Kalau ada satu-dua kelompok aktivis berpikir dan berteriak tentang revol
usi, anggap itu refrein sebuah lagu --toh, akhirnya nyanyian harus kembali ke ba
gian awal.
Rakyat tidak punya modal apa pun untuk melakukan revolusi, kecuali direkayasa un
tuk menciptakan adegan yang seolah-olah revolusi, kemudian dilegitimasi oleh bag
aimana media memotretnya. Prestasi puncak kita sebagai rakyat adalah amuk dan ke
rusuhan. Cobalah Anda melingkar dalam satu kumpulan yang plural, terdiri dari su
ku apa pun, agama dan kelompok apa pun, juga tingkat pendidikan dari yang paling
rendah sampai paling tinggi. Lalu, masing-masing orang Anda kasih benda-benda y
ang bisa menghasilkan bunyi kalau dipukul, entah ember, kentongan, kayu, atau ap
a pun. Kalau Anda meminta mereka membunyikan benda-benda itu, hasilnya adalah ko
thekan, ritme-ritme pukulan seperti kuda lumping atau jaran kepang yang dikuasai
suasana in-trance. Mabuk. ndadi, alias mengamuk.
Kalau seni tradisi Aceh, suasana ndadi-nya sangat solid, tapi rata-rata musik da
n tari mereka berakhir dengan black-out. Progresivisme masyarakat Aceh hanya bis
a berhenti dalam keadaan mendadak atau semacam dipaksa berhenti. Kesenian Jawa y
ang "bebudaya" tidak memiliki situasi ndadi yang progresif, terlalu tertata dan
tidak revolusioner. Jawa yang progresif hanya yang "primitif", kuda lumping: sea
kan-akan itu entakan-entakan revolusioner, padahal sesungguhnya mengamuk.
cak nun.
Kebaikan pun seringkali diaplikasikan secara ndadi. Menteri Agama kita yang haru
s menyesuaikan diri dengan "habitat Jawa" ndadi begitu melihat peluang yang baik
dan penuh kemuliaan untuk menolong rakyat. Hanya orang ndadi yang tertutup inga
tannya tentang tata hukum, pilah-pilah birokrasi, dan prosedur. Tradisi ndadi da
lam berbuat baik sudah jamak dalam masyarakat kita. Naik haji dianggap pasti bai
k meskipun memakai uang tidak halal. Makin banyak naik haji, disimpulkan makin s
aleh pelakunya meskipun tetangga-tetangganya mlongo dan belum tentu bisa makan.
Sehingga diperlukan eksplorasi dan ijtihad fikih Islam yang mempertimbangkan int
er-relasi antara ibadah dan kondisi-kondisi sosial --sehingga akal sehat akan me
nemukan posisi hukum naik haji bisa wajib, sunah, halal, makruh, dan haram. Kecu
ali, Islam mengizinkan individualisme dan tidak meniscayakan substansi kejamaaha
n global.
Alhasil, seandainya hukum negara mengharuskan Menteri Agama diadili, yang diperl
ukan adalah saksi ahli bidang psikologi sosial yang mampu menjelaskan tentang fe
nomena ndadi, yang berarti suatu jenis ketidaksadaran tertentu. Ada kemungkinan,
beliau lolos dari hukuman. Bahkan, siapa tahu, hampir semua pemimpin kita seben
arnya ndadi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak salah. Ini alasan yang jitu u
ntuk saling memaklumi. Apalagi, Pak Hakimnya ternyata juga ndadi
.
Negara kita sendiri memang sudah ndadi sejak dari sono-nya. Makanya, yang perlu
diamandemen bukan hanya UUD 45, melainkan juga struktur otak dan metodologi pema
haman kita sendiri. Lha bagaimana, wong agama kok departemen. Kalau memang agama
mau dilegalisasikan dan diformalkan, letaknya merangkum, bukan menjadi bagian.
Jadi, mending agama disemayamkan di akal dan hati sajalah. Atau Anda semua mongg
o-monggo saja kalau mau meninggalkan agama. Tuhannya kan Allah, bukan Anda atau
saya, jadi biar Beliau yang mengurusi akibat dari pilihan kita.
Departemen Agama tak usah dibubarkan, cukup direndah-hatikan menjadi "Departemen
Sarana Peribadatan", misalnya. Yang mencemaskan adalah kalau kasus harta karun
ini bukan ndadi, melainkan politik yang sadar. Kita tak akan pernah tahu, sebena
rnya Bu Mega menyuruh atau tidak. Pernyataan sih tidak. Tapi, politik itu kan ba
u kentut: kita hanya mendengar bunyinya dan menghirup baunya, tidak tahu kenapa
kok kentut, kenapa yang kentut si A kok bukan B, makan apa kok baunya begitu, ke
napa kentutnya kemarin kok tidak besok?
Sudah lama rakyat bingung mendengar Dana Revolusi, Dana Nusantara, sertifikat di
Bank Swiss, uang Brasil, lempengan emas dan platinum di Nusabarong, Bengkulu, U
ngaran, Jember, Labuhan, Cipanas, Bekasi, Mbah Kartosuwiryo masih hidup di panta
i Cilacap.

Anda mungkin juga menyukai