Anda di halaman 1dari 30

1

Perdarahan Persalinan
Seorang wanita, usia 29 tahun (G4PA0) aterm, melahirkan bayi laki-laki, di tolong oleh
bidan. Bayi langsung menangis, BB 2900 gr, PB 48 cm. Pasca persalinan ibu mengalami
perdarahan sehingga bidan merujuk ibu dan bayi ke rumah sakit terdekat. Pemeriksaan yang
dilakukan oleh dokter laki-laki yang sedang bertugas di UGD terhadap ibu di dapatkan : TD :
90/60 mmHg ; N: 120 x/mnt; RR: 24 x/mnt; suhu : 36.5 C. Ibu didiagnosis mengalami HPP
(Haemoragic Post Partum) ec Atonia uteri. Pemeriksaan terhadap bayi didapatkan suhu 36 C.
Pada usia 40 jam bayi terlihat kuning, kadar bilirubin total 15 gr/dL, bilirubin indirek 14,2
gr/dL, sehingga dilakukan fototerapi.





















2

Sasaran Belajar
1. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Pasca Persalinan
1.1 Memahami Definisi Perdarahan Pasca Persalinan
1.2 Memahami Epidemiologi Perdarahan Pasca Persalinan
1.3 Memahami Klasifikasi Perdarahan Pasca Persalinan
1.4 Memahami Etiologi Perdarahan Pasca Persalinan
1.5 Memahami Patofisiologi Perdarahan Pasca Persalinan
1.6 Memahami Faktor resiko Perdarahan Pasca Persalinan
1.7 Mengetahui Manifestasi Klinis Diagnosis Perdarahan Pasca Persalinan
1.8 Mengetahui Tatalaksana Perdarahan Pasca Persalinan
1.9 Mengetahui Komplikasi Perdarahan Pasca Persalinan
1.10 Mengetahui Pencegahan dari Perdarahan Pasca Persalinan
2. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia
2.1 Memahami Definisi Hipotermia
2.2 Memahami klasifikasi Hipotermia
2.3 Memahami Etiologi Hipotermia
2.4 Memahami Patofisiologi Hipotermia
2.5 Memahami Faktor Resiko Hipotermia
2.6 Mengetahui Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hipotermia
2.7 Mengetahui Pencegahan dan Tatalaksana Hipotermia
2.8 Mengetahui Komplikasi Hipotermia

3. Memahami dan Menjelaskan Hiperbilirubinemia pada bayi
3.1 Memahami Definisi Hiperbilirubinemia
3.2 Memahami klasifikasi Hiperbilirubinemia
3.3 Memahami Etiologi Hiperbilirubinemia
3.4 Memahami Patofisiologi Hiperbilirubinemia
3.5 Memahami Diagnosis Hiperbilirubinemia
3.6 Mengetahui Faktor resiko Hiperbilirubinemia
3.7 Mengetahui Tatalaksana Hiperbilirubinemia
3.8 Mengetahui Pencegahan Hiperbilirubinemia
















3


1. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Pasca Persalinan
1.1 Memahami Definisi Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml
melalui jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III.
Perkiraan kehilangan darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya,
kadang-kadang hanya setengah dari yang sebenarnya. Darah tersebut
tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. Darah juga tersebar
pada spons, handuk, dan kain, di dalam ember dan di lantai. Volume
darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar
hemoglobin ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin normal akan
dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan
berakibat fatal pada yang anemia.

Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu;
kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan
pascapersalinan, placenta previa, solutio plasenta, kehamilan ektopik,
abortus, dan ruptura uteri) disebabkan oleh perdarahan
pascapersalinan. Selain itu, pada keadaan dimana perdarahan
pascapersalinan tidak mengakibatkan kematian, kejadian ini sangat
mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia dapat menurunkan daya
tahan tubuh. Perdarahan pascapersalinan lebih sering terjadi pada ibu-
ibu di Indonesia dibandingkan dengan ibu-ibu di luar negeri
1.2 Memahami Epidemiologi Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan post partum dini jarang disebabkan oleh retensi potongan
plasenta yang kecil, tetapi plasenta yang tersisa sering menyebabkan
perdarahan pada akhir masa nifas.1 Kadang-kadang plasenta tidak
segera terlepas. Bidang obstetri membuat batas-batas durasi kala tiga
secara agak ketat sebagai upaya untuk mendefenisikan retensio
plasenta shingga perdarahan akibat terlalu lambatnya pemisahan
plasenta dapat dikurangi. Combs dan Laros meneliti 12.275 persalinan
pervaginam tunggal dan melaporkan median durasi kala III adalah 6
menit dan 3,3% berlangsung lebih dari 30 menit. Beberapa tindakan
untuk mengatasi perdarahan, termasuk kuretase atau transfusi,
menigkat pada kala tiga yang mendekati 30 menit atau lebih.

Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah pada sebelum
hamil dan derajat anemia saat kelahiran. Gambaran perdarahan post
partum yang dapat mengecohkan adalah nadi dan tekanan darah yang
masih dalam batas normal sampai terjadi kehilangan darah yang sangat
banyak.
1.3 Memahami Klasifikasi Perdarahan Pasca Persalinan
Klasifikasi perdarahan postpartum :

Perdarahan post partum primer / dini (early postpartum
hemarrhage), yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama. Penyebab utamanya adalah atonia uteri, retention
plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir. Banyaknya
terjadi pada 2 jam pertama
4

Perdarahan Post Partum Sekunder / lambat (late postpartum
hemorrhage), yaitu-perdarahan yang terjadi setelah 24 jam
pertama.
1.4 Memahami Etiologi Perdarahan Pasca Persalinan
Etiologi dari perdarahan post partum berdasarkan klasifikasi di atas,
adalah :

a. Etiologi perdarahan postpartum dini :

1. Atonia uteri
Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya Perdarahan
pascapersalinan. Pada atonia uteri, uterus gagal berkontraksi
dengan baik setelah persalinan.

Predisposisi atonia uteri :
Grandemultipara
Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak
besar (BB > 4000 gr)
Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas
operasi)
Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan
anteparturn)
Partus lama (exhausted mother)
Partus precipitatus
Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)
Infeksi uterus
Anemi berat
Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan
(induksi partus)
Riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya atau
riwayat plasenta manual
5

Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan
mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas
IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban
(koagulopati)
Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu
dalam.
2. Robekan jalan lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari
Perdarahan pascapersalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan
dengan atonia uteri. Perdarahan pascapersalinan dengan uterus
yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks
atau vagina.

Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang
mengalami laserasi atau pada daerah jahitan perineum.


a. Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks
seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan
pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan
dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan
yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus
sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir,
khususnya robekan serviks uteri.
b. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak
sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi
lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih
apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding
lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum.
Kolpaporeksis
Kolpaporeksis adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas
vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi
sefalopelvik terjadi regangan segmen bawah uterus dengan servik uteri
tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga
tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina, jika tarikan ini
melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara
bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi
6

pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada
tindakan pervaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam
uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan
luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena
tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti
dengan seksio sesarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena
perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum,
misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena
robekan serviks menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung
kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa
fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.
c. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum
umumnya terjadi di garis tengan dan bisa menjadi luas apabila kepala
janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa,
kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih
besar daripada sirkumferensia suboksipito bregmatika.3. Retensio
plasenta
Rentensio plasenta adalah belum lahirnya plasenta jam setelah anak
lahir. Tidak semua retensio plasenta menyebabkan terjadinya
perdarahan. Apabila terjadi perdarahan, maka plasenta dilepaskan
secara manual lebih dulu.

4. Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama
1 jam setelah bayi lahir. Penyebab retensio plasenta :
1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena melekat dan
tumbuh lebih dalam. Menurut tingkat perlekatannya :

a. Plasenta adhesiva : plasenta yang melekat pada desidua
endometrium lebih dalam.
b. Plasenta inkreta : vili khorialis tumbuh lebih dalam dan
menembus desidua endometrium sampai ke miometrium.
c. Plasenta akreta : vili khorialis tumbuh menembus miometrium
sampai ke serosa.
d. Plasenta perkreta : vili khorialis tumbuh menembus serosa atau
peritoneum dinding rahim.

2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum keluar
karena atoni uteri atau adanya lingkaran konstriksi pada bagian
bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala III) yang akan
menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata).

Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan terjadi
perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas maka akan
terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera
mengeluarkannya.Plasenta mungkin pula tidak keluar karena
7

kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu keduanya
harus dikosongkan.

5. Inversio uterus
Inversio Uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian
atau seluruhnya masuk ke dalam kavum uteri. Uterus dikatakan
mengalami inverse jika bagian dalam menjadi di luar saat melahirkan
plasenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan dengan berjalannya
waktu, lingkaran konstriksi sekitar uterus yang terinversi akan
mengecil dan uterus akan terisi darah.
Pembagian inversio uteri :
a. Inversio uteri ringan : Fundus uteri terbalik menonjol ke dalam
kavum uteri namun belum keluar dari ruang rongga rahim.
b. Inversio uteri sedang : Terbalik dan sudah masuk ke dalam
vagina.
c. Inversio uteri berat : Uterus dan vagina semuanya terbalik dan
sebagian sudah keluar vagina.

Penyebab inversio uteri :
a. Spontan : grande multipara, atoni uteri, kelemahan alat
kandungan, tekanan intra abdominal yang tinggi (mengejan dan
batuk).
b. Tindakan : cara Crade yang berlebihan, tarikan tali pusat,
manual plasenta yang dipaksakan, perlekatan plasenta pada
dinding rahim. Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
inversio uteri :
1. Uterus yang lembek, lemah, tipis dindingnya.
2. Tarikan tali pusat yang berlebihan.
1.5 Memahami Patofisiologi Perdarahan Pasca persalinan

8



1.6 Memahami Faktor resiko Perdarahan Pasca Persalinan
1. Riwayat perdarahan pada persalinan yang terdahulu.
2. Grande multipara (lebih dari empat anak).
3. Jarak kehamilan yang dekat (kurang dari dua tahun).
4. Bekas operasi Caesar.
5. Pernah abortus (keguguran) sebelumnya.

1.7 Mengetahui Gejala Klinis dan Diagnosis Perdarahan Pasca
Persalinan


Gejala Klinis umum yang terjadi adalah kehilangan darah dalam
jumlah yang banyak (>500 ml), nadi lemah, pucat, lochea berwarna
merah, haus, pusing, gelisah, letih, dan dapat terjadi syok hipovolemik,
tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.

Gejala Klinis berdasarkan penyebab:
a. Atonia Uteri:
o Gejala yang selalu ada: Uterus tidak berkontraksi dan lembek
dan perdarahan segera setelah anak lahir (perarahan postpartum
primer)
o Gejala yang kadang-kadang timbul: Syok (tekanan darah
rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual
dan lain-lain)
b. Robekan jalan lahir
o Gejala yang selalu ada: perdarahan segera, darah segar
mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uteru baik, plasenta baik.
o Gejala yang kadang-kadang timbul: pucat, lemah, menggigil.

9

c. Retensio plasenta
o Gejala yang selalu ada: plasenta belum lahir setelah 30 menit,
perdarahan segera, kontraksi uterus baik
o Gejala yang kadang-kadang timbul: tali pusat putus akibat traksi
berlebihan, inversi uteri akibat tarikan, perdarahan lanjutan
d. Tertinggalnya plasenta (sisa plasenta)
o Gejala yang selalu ada : plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah ) tidak lengkap dan perdarahan segera
o Gejala yang kadang-kadang timbul: Uterus berkontraksi baik
tetapi tinggi fundus tidak berkurang.
e. Inversio uterus
o Gejala yang selalu ada: uterus tidak teraba, lumen vagina terisi
massa, tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir), perdarahan segera,
dan nyeri sedikit atau berat.
o Gejala yang kadang-kadang timbul : Syok neurogenik dan
pucat.

Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
a. Pemerikasan tanda tanda vital
1. Pemeriksaan suhu badan
Suhu biasanya meningkat sampai 380C dianggap
normal. Setelah satu hari suhu akan kembali normal ( 36
370C ), terjadi penurunan akibat hipovolemia.

2. Nadi
Denyut nadi akan meningkat cepat karena nyeri,
biasanya terjadi hipovolemia yang semakin berat.
3. Tekanan darah
Tekanan darah biasanya stabil, memperingan
hipovolemia.
4. Pernafasan
Bila suhu dan nadi tidak normal pernafasan juga
menjadi tidak normal.

Pemeriksaan Khusus
Observasi setiap 8 jam untuk mendeteksi adanya tanda tanda
komplikasi dengan mengevaluasi system dalam tubuh. Pengkajian ini
meliputi
1. Nyeri / ketidaknyamanan
Nyeri tekan uterus ( fragmen fragmen plasenta tertahan ).
2. Sistem vaskuler
a. Perdarahan diobservasi setiap 2 jam selama 8 jam 1,
kemudian tiap jam berikutnya.
b. Tensi diawasi setiap 8 jam.
c. Apakah ada tanda tanda trombosis, kaki sakit,
bengkak dan merah.
d. Haemorroid diobservasi, konjungtiva anemis / sub
anemis, defek koagulasi congenital, idiopatik
trombositopeni purpura.
10

3. Sistem reproduksi
a. Uterus diobservasi tiap 30 menit selama empat hari
postpartum, kemudian tiap 8 jam selama 3 hari meliputi
tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya.
b. Lochea diobservasi setiap 8 jam selama 3 hari terhadap
warna, banyak dan bau.
c. Perineum diobservasi tiap 8 jam untuk melihat tanda
tanda infeksi, luka jahitan dan apakah ada jahitan yang
lepas.
d. Vulva dilihat, apakah ada edema atau tidak.
e. Payudara dilihat kondisi aerola, konsistensi dan
kolostrum.
f. Tinggi fundus atau badan terus gagal kembali pada
ukuran dan fungsi sebelum kehamilan ( sub involusi ).
4. Traktus urinarus
Diobservasi tiap 2 jam hari pertama.Meliputi miksi lancer atau
tidak, spontan dan lain lain.
5. Traktur gastro intestinal.
Observasi terhadap nafsu makan dan obstipasi.
6. Integritas ego : mungkin cemas, ketakutan dan khawatir.

Pemeriksaan Penunjang
a. Golongan darah : menentukan Rh, ABO dan
percocokan silang
b. Jumlah darah lengkap : menunjukkan penurunan Hb/Ht
dan peningkatan jumlah sel darah putuih (SDP). (Hb
saat tidak hamil:12-16gr/dl, saat hamil: 10-14gr/dl. Ht
saat tidak hamil:37%-47%, saat hamil:32%-42%. Total
SDP saat tidak hamil 4.500-10.000/mm3. saat hamil
5.000-15.000)
c. Kultur uterus dan vagina : mengesampingkan infeksi
pasca partum
d. Urinalisis : memastikan kerusakan kandung kemih
e. Profil koagulasi : peningkatan degradasi, kadar produk
fibrin/produk split fibrin (FDP/FSP), penurunan kadar
fibrinogen : masa tromboplastin partial diaktivasi, masa
tromboplastin partial (APT/PTT), masa protrombin
memanjang pada KID
Sonografi : menentukan adanya jaringan plasenta yang tertahan

1.8 Mengetahui Tatalaksana Perdarahan Pasca Persalinan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2
komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri
serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan
penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum
3
.
Resusitasi cairan
11

Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena
sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan
menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen
dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1
jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan
dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar,
baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses
intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat
persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10
L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran
pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa
kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena
sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi
terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan
dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada
hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah
mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari
1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup
dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani.
Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan
transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat
menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan
koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga
serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian
koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut
dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien
menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi
cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika
terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi,
berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia
dalam keadaan gawat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk
menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk
mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang
12

dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi
dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan
menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium
yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan.

Tabel II. 3. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan Cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara
pemberian awal
IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis
dengan
tetesan cepat
IM: 10 U
IM atau IV
(lambat): 0,2 mg
Oral atau rektal
400 mg
Dosis lanjutan IV: 20 U dalam 1
L larutan garam
fisiologis
dengan
40 tetes/menit
Ulangi 0,2 mg IM
setelah 15 menit
Bila masih
diperlukan, beri
IM/IV setiap 2-4
jam
400 mg 2-4 jam
setelah dosis awal
Dosis maksimal
per hari
Tidak lebih dari 3
L larutan fisiologis
Total 1 mg (5
dosis)
Total 1200 mg atau
3 dosis
Kontraindikasi
atau hati-hati
Pemberian IV
secara cepat atau
bolus
Preeklampsia,
vitium kordis,
hipertensi
Nyeri kontraksi
Asma
I. Penyulit
- Syok ireversibel
- DIC
- Amenorea sekunder

13

1.9 Mengetahui Komplikasi Perdarahan Pasca Persalinan
Perdarahan postpartum yang tidak ditangani dapat mengakibatkan :
1. Syok hemoragie
Akibat terjadinya perdarahan, ibu akan mengalami syok dan
menurunnya kesadaran akibat banyaknya darah yang keluar. Hal ini
menyebabkan gangguan sirkulasi darah ke seluruh tubuh dan dapat
menyebabkan hipovolemia berat. Apabila hal ini tidak ditangani
dengan cepat dan tepat, maka akan menyebabkan kerusakan atau
nekrosis tubulus renal dan selanjutnya meruak bagian korteks renal
yang dipenuhi 90% darah di ginjal. Bila hal ini terus terjadi maka
akan menyebabkan ibu tidak terselamatkan.

2. Anemia
Anemia terjadi akibat banyaknya darah yang keluar dan menyebabkan
perubahan hemostasis dalam darah, juga termasuk hematokrit darah.
Anemia dapat berlanjut menjadi masalah apabila tidak ditangani,
yaitu pusing dan tidak bergairah dan juga akan berdampak juga pada
asupan ASI bayi.
3. Sindrom Sheehan
Hal ini terjadi karena, akibat jangka panjang dari perdarahan
postpartum sampai syok. Sindrom ini disebabkan karena hipovolemia
yang dapat menyebabkan nekrosis kelenjar hipofisis. Nekrosis
kelenjar hipofisi dapat mempengaruhi sistem endokrin.

1.10 Mengetahui Pencegahan dari Perdarahan Pasca Persalinan
Prognosis
Perdarahan pascapersalinan masih merupakan ancaman yang tidak terduga
walaupun dengan pengawasan yang sebaik-baiknya, perdarahan
pascapersalinan masih merupakan salah satu sebab kematian ibu yang
penting. Sebaliknya menurut pendapat para ahli kebidanan modern:
Perdarahan pascapersalinan tidak perlu membawa kematian pada ibu
bersalin. Pendapat ini memang benar bila kesadaran masyarakat tentang hal
ini sudah tinggi dan dalam klinik tersedia banyak darah dan cairan serta
fasilitas lainnya. Dalam masyarakat kita masih besar anggapan bahwa
darahnya adalah merupakan hidupnya karena itu mereka menolak
menyumbangkan darahnya, walaupun untuk menolong jiwa istri dan
keluarganya sendiri. Pada perdarahan pascapersalinan, Mochtar R.ddk,
melaporkan angka kematian ibu 7,9% dan Wiknjosastro H. 1,8-4,5%.
Tingginya angka kematian ibu karena banyak penderita yang dikirim dari
luar dengan keadaan umum yang sangat jelek dan anemis dimana tindakan
apapun kadang-kadang tidak menolong.

Pencegahan
Obati anemia dalam masa kehamilan
Pada pasien yang mempunyai riwayat perdarahan sebelumnya, agar
dianjurkan untuk menjalani persalinan di RS.
Jangan memijat dan mendorong uterus sebelum plasenta lepas.


14

2. Memahami dan Menjelaskan Hipotermia
2.1 Memahami Definisi Hipotermia
Suhu normal pada neonatus berkisar antara 360C - 37,50C pada suhu
ketiak. Gejala awal hipotermia apabila suhu < 360C atau kedua kaki
dan tangan teraba dingin. Bila seluruh tubuh bayi teraba dingin, maka
bayi sudah mengalami hipotermia sedang (suhu 320C - <360C).
Disebut hipotermia berat bila suhu tubuh < 320C. Untuk mengukur
suhu tubuh pada hipotermia diperlukan termometer ukuran rendah (low
reading termometer) sampai 250C. Disamping sebagai suatu gejala,
hipotermia dapat merupakan awal penyakit yang berakhir dengan
kematian.
Yang menjadi prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah
meningkatnya konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya
metabolik asidosis sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan
menurunnya simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia.
Hilangnya kalori tampak dengan turunnya berat badan yang dapat
ditanggulangi dengan meningkatkan intake kalori.
2.2 Memahami klasifikasi Hipotermia
Berdasarkan kejadiannya, hipotermia dibagi atas:
1. Hipotermia sepintas, yaitu penurunan suhu tubuh 1-2C sesudah lahir.
Suhu tubuh akan menjadi normal kembali sesudah bayi berumur 4-8
jam, bila suhu lingkungan diatur sebaik-baiknya. Hipotermia sepintas
ini terdapat pada bayi dengan BBLR, hipoksia, resusitasi yang lama,
ruangan tempat bersalin yang dingin, bila bayi tidak segera dibungkus
setelah lahir, terlalu cepat dimandikan (kurang dari 4 jam sesudah
lahir), dan pemberian morfin pada ibu yang sedang bersalin.
2. Hipotermia akut terjadi bila bayi berada di lingkungan yang dingin
selama 6--12 jam. Terdapat pada bayi dengan BBLR di ruang tempat
bersalin yang dingin, inkubator yang tidak cukup panas, kelalaian dari
dokter, bidan, dan perawat terhadap bayi yang akan lahir, yaitu diduga
mati dalam kandungan tetapi ternyata hidup dan sebagainya.
Gejalanya ialah lemah, gelisah, pernapasan dan bunyi jantung lambat
serta kedua kaki dingin. Terapinya ialah dengan segera memasukkan
bayi ke dalam inkubator yang suhunya telah diatur menurut kebutuhan
bayi dan dalam keadaan telanjang supaya dapat diawasi dengan teliti.
3. Hipotermia sekunder. Penurunan suhu tubuh yang tidak disebabkan
oleh suhu lingkungan yang dingin, tetapi oleh sebab lain seperti
sepsis, sindrom gangguan pernapasan dengan hipoksia atau
hipoglikemia, perdarahan intra-kranial tranfusi tukar, penyakit jantung
bawaan yang berat, dan bayi dengan BBLR serta hipoglikemia.
Pengobatannya ialah dengan mengobati penyebabnya, misalnya
dengan pemberian antibiotik, larutan glukosa, oksigen, dan
sebagainya. Pemeriksaan suhu tubuh pada bayi yang sedang mendapat
tranfusi tukar harus dilakukan beberapa kali karena hipotermia harus
diketahui secepatnya. Bila suhu sekitar 32C, tranfusi tukar harus
dihentikan untuk sementara waktu sampai suhu tubuh menjadi normal
kembali.
15

4. Cold injury, yaitu hipotermia yang timbul karena terlalu lama dalam
ruangan dingin (lebih dari 12 jam). Gejalanya ialah lemah, tidak mau
minum, badan dingin, oliguria, suhu berkisar antara 29,5-35C, tak
banyak bergerak, edema, serta kemerahan pada tangan, kaki, dan
muka seolah-olah bayi dalam keadaan sehat; pengerasan jaringan
subkutis. Bayi seperti ini sering mengalami komplikasi infeksi,
hipoglikemia, dan perdarahan. Pengobatannya ialah dengan
memanaskan secara perlahan-lahan, antibiotik, pemberian larutan
glukosa 10%, dan kortikosteroid.
2.3 Memahami Etiologi Hipotermia
Hipotermia dapat disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain:
1. Keadaan yang menimbulkan kehilangan panas yang berlebihan,
seperti lingkungan dingin, basah, atau bayi yang telanjang, cold
linen, selama perjalanan dan beberapa keadaan seperti mandi,
pengambilan sampel darah, pemberian infus, serta
pembedahan. Juga peningkatan aliran udara dan penguapan.

2. Ketidaksanggupan menahan panas, seperti pada permukaan
tubuh yang relatif luas, kurang lemak, ketidaksanggupan
mengurangi permukaan tubuh, yaitu dengan memfleksikan
tubuh dan tonus otot yang lemah yang mengakibatkan
hilangnya panas yang lebih besar pada BBLR.

3. Kurangnya metabolisme untuk menghasilkan panas, seperti
defisiensi brown fat, misalnya bayi preterm, kecil masa
kelahiran, kerusakan sistem syaraf pusat sehubungan dengan
anoksia, intra kranial hemorrhage, hipoksia, dan hipoglikemia.

2.4 Memahami Patofisiologi Hipotermia
1. Penurunanproduksipanas
Hal inidapatdisebabkankegagalandalam system
endokrindanterjadipenurunan basal metabolism tubuh
,sehinggatimbul proses penurunanproduksipanas,
misalnyapadakeadaandisfungsikelenjartiroid , adrenal
ataupunpituitaria.
2. Peningkatanpanas yang hilang
Terjadibilapanastubuhberpindahkelingkungansekitar
,dantubuhkehilanganpanas.
Adapunmekanismetubuhkehilanganpanasdapatterjadisecara
:
Konduksi :
Yaituperpindahanpanas yang
terjadisebagaiakibatperbedaansuhuantarakeduaobyek.Kehil
anganpanasterjadisaaatterjadikontaklansungantarakulit BBL
16

denganpermukaan yang
lebuhdingin.Sumberkehilanganpanasterjadipada BBL yang
beradapadapermukaan / alas yang dingin, sepertipadawaktu
proses penimbangan.
Konveksi :
Transfer
panasterjadisecarasederhanadariselisihsuhuantarapermukaa
nkulitbayidanaliranudara yang dingin di
permukaantubuhbayi.
Sumberkehilanganpanasdisinidapatberupa : incubator
denganjendela yang terbuka , ataupadawaktu proses
transportasi BBL kerumahsakit.
Radiasi :
Yaituperpindahansuhudarisuatuobjekpanaskeobjek yang
dingin ,misalnyadaribayidengansuhu yang hangat di
kelilingisuhulingkungan yang lebihdingin.
Sumberkehilanganpanasdapatberupasuhulingkungan yang
dinginatassuhu incubator yang dingin.

Evaporasi :
Panasterbuangakibatpenguapan
,melalauipermukaaankulitdantraktrusrespiratorius.
Sumberkehilanganpanasdapatberupa BBL yang
basahsetelahlahirataupada di mandikan.
3. Kegagalantermogulasi
Kegagalantermogulasisecaraumumdisebabkankegagalanhip
otalamusdalammenjalankanfungsinyadikarenakanberbagaip
enyebab.Keadaanhipoksia intrauterine / saatpersalinan /
post partum, defek neurologic danpaparanobat prenatal (
analgesic / anastesi ) dapatmenekanrespon neurologic
bayidalammempertahankansuhutubuhnya.
Bayisepsiakanmengalamimasalahdalampengaturansuhudap
atmenjadihipotermiaatauhipertermia.
Gangguansalahsatuataulebihunsur-
unsurtermogulasiakanmengakibatkansuhutubuhberubah,
menjaditidak normal. Apabilaterjadipaparandingin
,secrafisiologitubuhakanmemeberikanresponuntukmenghasi
lkanpanasberupa.
o Shivering thermoregulation / ST
Merupkanmekanismetubuhberupamenggigilataugemetar
secarainvokunterakibatdarikontraksiototuntukmenghasil
kanpanas
o Non-shivering thermoregulation / NST
17

Merupakanmekanisme yang di pengaruhiolehstimulasi
system sarafsimpatisuntukmenstimulasi proses
metabolic
denganmelakukanoksidasiterhadapjaringanlemakcoklat.
Peningkatanmetabolismejaringanlemakcoklatakanmenin
gkatkanProduksipanasdaridalamtubuh
o Vasokonstriksiperifer
Mekanismeinijugadistimulasioleh system sarahsimpatis,
kemudian system
sarafperiferakanmemicuototsekitararteriolkulituntukber
kontraksisehinggaterjadivasokontriksi.
Keadaaniniefektifuntukmengurangialirandarahkejaringa
nkulitdanmencegahhilnganyapanas yang tidakberguna
2.5 Memahami Faktor Resiko Hipotermia
Prematuritas
Asfiksia
Sepsis
Kondisi neurologik seperti meningitis dan perdarahan cerebral
Pengeringan yang tidak adekuat setelah kelahiran
Eksposure suhu lingkungan yang dingin
Umur: bayi baru lahir, orang tua.
Paparan dingin di luar ruangan: olahraga, memakai baju tipis.
Obat dan intoksikan: etanol, phenothiazin, barbiturate,
anestesi, bloker neuromuscular.
Hormon: hipoglikemia, hipotiroidisme, kekurangan adrenalin,
hipopituitarisme.
Neurologis: stroke, gangguan hipotalamus, Parkinson, Cedera
sumsum tulang belakang.
Multisistem: malnutrisi, sepsis, shock, gangguan hati dan ginjal.
Luka bakar dan kelainan kulit eksfoliatif(mengelupas).
Prinsip kesulitan sebagai akibat hipotermia adalah meningkatnya
konsumsi oksigen (terjadi hipoksia), terjadinya metabolik asidosis
sebagai konsekuensi glikolisis anaerobik, dan menurunnya
simpanan glikogen dengan akibat hipoglikemia. Hilangnya kalori
tampak dengan turunnya berat badan.
2.6 Mengetahui Manifestasi Klinis dan Diagnosis Hipotermia
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada keparahan dan pengaruh
suhu terhadap tubuh. Transient respirasi distress bisa terlihat pada
waktu di kamar bersalin. Stern (1980) memperlihatkan adanya
peningkatan risiko Kern icterus pada bayi kecil yang preterm.
Jika hipotermia terus berlanjut, apnea, bradikardia, dan sianotik
sentralis bisa terjadi. Bayi hipotermia mula-mula dapat terlihat
gelisah, kemudian letargi. Perubahan lainnya yang bisa terjadi
18

antara lain hipotonia, nangis yang lemah, malas mengisap,
distensia atau muntah. Umumnya, bayi tidak menggigil akibat
kedinginan, namun dapat jatuh pada hipotermia yang lebih berat.
Hipotermia kronik dapat menyebabkan berat badan yang
menurun3. Pada kasus yang berat (< 28C), terlihat pasien pucat
atau sianosis, pupil mata dapat dilatasi, otot-otot kaku, dan denyut
nadi bisa rendah, 4-6 kali/menit.
Tanda-tanda klinis hipotermia:
a. Hipotermia sedang:
Kaki teraba dingin
Kemampuan menghisap lemah
Tangisan lemah
Kulit berwarna tidak rata atau disebut kutis marmorata
b. Hipotermia berat
Sama dengan hipotermia sedang
Pernafasan lambat tidak teratur
Bunyi jantung lambat
Mungkin timbul hipoglikemi dan asidosisi metabolik
c. Stadium lanjut hipotermia
Muka, ujung kaki dan tangan berwarna merah terang
Bagian tubuh lainnya pucat
Kulit mengeras, merah dan timbul edema terutama pada
punggung, kaki dan tangan (sklerema)

Menurut tingkat keparahannya, Gejala Klinis hipotermia
dibagi menjadi 3:
1) Mild atau ringan
Sistem saraf pusat: amnesia, apati, terganggunya persepsi
halusinasi
Cardiovaskular: denyut nadi cepat lalu berangsur melambat,
meningkatnya tekanan darah,
Penafasan: nafas cepat lalu berangsur melambat
Saraf dan otot: gemetar, menurunnya kemampuan koordinasi
otot
2) Moderate, sedang
Sistem saraf pusat: penurunan kesadaran secara berangsur,
pelebaran pupil
Cardiovaskular: penurunan denyut nadi secara berangsur
Pernafasan: hilangnya reflex jalan nafas(seperti batuk, bersin)
Saraf dan otot: menurunnya reflex, berkurangnya respon
menggigil, mulai munculnya kaku tubuh akibat udara dingin
3) Severe, parah
Sistem saraf pusat: koma,menurunnya reflex mata(seperti
mengdip)
19

Cardiovascular: penurunan tekanan darah secara berangsur,
menghilangnya tekanan darah sistolik
Pernafasan: menurunnya konsumsi oksigen
Saraf dan otot: tidak adanya gerakan, menghilangnya reflex
perifer

Diagnosa Hipotermia
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan
fisik dan hasil pengukuran suhu tubuh.

2.7 Mengetahui Pencegahan dan Pengobatan Hipotermia
Terapi yang bisa diberikan untuk orang dengan kondisi hipotermia,
yaitu jalan nafas harus tetap terjaga juga ketersediaan oksigen yang
cukup.
Prinsip penanganan hipotermia adalah penstabilan suhu tubuh dengan
menggunakan selimut hangat (tapi hanya pada bagian dada, untuk
mencegah turunnya tekanan darah secara mendadak) atau
menempatkan pasien di ruangan yang hangat. Berikan juga minuman
hangat(kalau pasien dalam kondisi sadar).
Tindakan2 Pencegahan Penyakit Hipotermia :
Gejala kedinginan yang lebih parah akan membuat gerakan tubuh
menjadi tidak terkoordinasi, berjalan sempoyongan dan tersandung-
sandung. Pikiran menjadi kacau, bingung, dan pembicaraannya mulai
ngacau. Kulit tubuh terasa sangat dingin bila disentuh, nafas menjadi
pendek dan lamban. Denyut nadi pun menjadi lamban, seringkali
menjadi kram bahkan akhirnya pingsan. Untuk membantu penderita
sebaiknya jangan cepat-cepat menghangatkan korban dengan botol
berisikan air panas atau membaringkan di dekat api atau pemanas.
Jangang menggosok-gosok tubuh penderita. Jika korban pingsan,
baringkan dia dalam posisi miring. Periksa saluran pernafasan,
pernafasan dan denyut nadi. Mulailah pernafasan buatan dari mulut dan
menekan dada.
Pindahkan ke tempat kering yang teduh. Ganti pakaian basah dengan
pakaian kering yang hangat, selimuti untuk mencegah kedinginan. Jika
tersedia, gunakan bahan tahan angin, seperti alumunium foil atau
plastik untuk perlindungan lebih lanjut. Panas tubuh dari orang lain
juga bagus untuk diberikan, suruh seseorang melepas pakaian, dan
berbagi pakai selimut dengan si korban. Jika penderita sadar, berikan
minuman hangat jangan memberikan minuman alkohol. Segeralah cari
bantuan medis.
Bila kita melakukan kegiatan luar ruangan (pendakian gunung
khususnya) pada musim hujan atau di daerah dengan curah hujan
tinggi, harus membawa jas hujan, pakaian hangat (jaket tahan air dan
20

tahan angin) dan pakaian ganti yang berlebih dua tiga stel, serta kaus
tangan dan topi ninja juga sangat penting. Perlengkapan yang tidak
kalah pentingnya adalah sepatu pendakian yang baik dan dapat
menutupi sampai mata kaki, jangan pakai sendal gunung atau bahkan
jangan pakai sendal jepit.
Bawa makanan yang cepat dibakar menjadi kalori, seperti gula
jawa, coklat dll. Dalam perjalanan banyak ngemil untuk mengganti
energi yang hilang.
Bila angin bertiup kencang, maka segeralah memakai perlengkapan
pakaian hangat, seperti jaket dan kaus tangan. Kehilangan panas tubuh
tidak terasa oleh kita, dan tahu-tahu saja kita jatuh sakit.
Bila hujan mulai turun bersegeralah memakai jas hujan, jangan
menunggu hujan menjadi deras. Cuaca di gunung tidak dapat diduga.
Hindari pakaian basah kena hujan.
Bila merasa dirinya lemah atau kurang kuat dalam tim, sebaiknya
terus terang pada team leader atau anggota seperjalanan yang lebih
pengalaman untuk mengawasi dan membantu bila dirasa perlu.
Berbagi pakai selimut dengan si korban. Jika penderita sadar, berikan
minuman hangat jangan memberikan minuman alkohol. Segeralah cari
bantuan medis.
Bila kita melakukan kegiatan luar ruangan (pendakian gunung
khususnya) pada musim hujan atau di daerah dengan curah hujan
tinggi, harus membawa jas hujan, pakaian hangat (jaket tahan air dan
tahan angin) dan pakaian ganti yang berlebih dua tiga stel, serta kaus
tangan dan topi ninja juga sangat penting. Perlengkapan yang tidak
kalah pentingnya adalah sepatu pendakian yang baik dan dapat
menutupi sampai mata kaki, jangan pakai sendal gunung atau bahkan
jangan pakai sendal jepit.
Bawa makanan yang cepat dibakar menjadi kalori, seperti gula
jawa, coklat dll. Dalam perjalanan banyak ngemil untuk mengganti
energi yang hilang.
Bila angin bertiup kencang, maka segeralah memakai perlengkapan
pakaian hangat, seperti jaket dan kaus tangan. Kehilangan panas tubuh
tidak terasa oleh kita, dan tahu-tahu saja kita jatuh sakit.
Bila hujan mulai turun bersegeralah memakai jas hujan, jangan
menunggu hujan menjadi deras. Cuaca di gunung tidak dapat diduga.
Hindari pakaian basah kena hujan.
Bila merasa dirinya lemah atau kurang kuat dalam tim, sebaiknya
terus terang pada team leader atau anggota seperjalanan yang lebih
pengalaman untuk mengawasi dan membantu bila dirasa perlu.
Semangat dan jangan gampang menyerah bila kondisi mulai
memburuk. Pencegahan Hipotermia Pada Bayi
21

Bayi dibungkus dengan selimut dan kepalanya ditutup dengan topi.
Jika bayi harus dibiarkan telanjang untuk keperluan observasi maupun
pengobatan, maka bayi ditempatkan dibawah cahaya penghangat.
Untuk mencegah hipotermia, semua bayi yang baru lahir harus tetap
berada dalam keadaan hangat.
Di kamar bersalin, bayi segera dibersihkan untuk menghindari
hilangnya panas tubuh akibat penguapan lalu dibungkus dengan
selimut dan diberi penutup kepala.

2.8 Mengetahui Komplikasi Hipotermia
Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat hipotermia:
hipoglikemia karena kekurangan cadangan glikogen. Asidosis
metabolik disebabkan vasokonstriksi perifer dengan metabolisme
anaerobik dan asidosis. Hipoksia dengan kebutuhan oksigen yang
meningkat, gangguan pembekuan, dan perdarahan pulmonal dapat
menyertai hipotermia berat. Schok dengan akibat penurunan tekanan
arteri sistemik, penurunan volume plasma, dan penurunan cardiac
output. Apnea dan perdarahan intra ventrikuler.

3. Memahami dan Menjelaskan Hiperbilirubinemia pada bayi
3.1 Memahami Definisi Hiperbilirubinemia
o Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar
bilirubin serum total yang lebih dari 10 mg% pada minggu
pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera dan
organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern
ikterus yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan
kadar bilirubin pada otak. (Ni Luh Gede, 1995).
o Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25
50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonatus
kurang bulan) (IKA II, 2002).
o Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin pada
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa
dan alat tubuh lainnya berwarna kuning. (Ngastiyah, 1997)
o Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam
darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001).
o Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 1,1 mg/dl, bilirubin direk
0,1 0,4 mg/dl
o Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada
kulit dan mukosa karena adanya deposisi produk akhir
katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada
neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5
mg/dL.
22

o Hiperbilirubinemia adalah keadaan kadar bilirubin dalam darah
>13 mg/dL.
o Pada bayi baru lahir, ikterus yang terjadi pada umumnya adalah
fisiologis, kecuali:
Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.
Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13
mg/dL atau bayi kurang bulan >10 mg/dL.
Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
Ikterus menetap pada usia >2 minggu.
Terdapat faktor risiko.
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus
dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari
degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem bebas atau
proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi
dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan
menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX (Gbr. 2). Zat ini sulit larut
dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik
seperti plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan
dibawa ke hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga
bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam
hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan
ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang
membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya
konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase
yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini
dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui
ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui
duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urubilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus,
sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorpsi entero hepatik.
23



3.2 Memahami Etiologi Hiperbilirubinemia
Penyebab ikterus pada neonatus dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain :
o Produksi bilirubin berlebihan dapat terjadi karena kelainan
struktur dan enzim sel darah merah, keracunan obat (hemolisis
kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampinekol),
chepalhematoma.
o Gangguan dalam proses ambilan dan konjugasi hepar: obstruksi
empedu, infeksi, masalah metabolik, Joundice ASI,
hypohyroidisme.
o Gangguan transportasi dalam metabolisme bilirubin.
o Gangguan dalam ekskresi bilirubin.
o Komplikasi : asfiksia, hipotermi, hipoglikemi, menurunnya
ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
(Ni Luh Gede Y, 1995)( Suriadi, 2001)

Menurut IKA, 2002 penyebab ikterus terbagi atas :
o Ikterus pra hepatik : Terjadi akibat produksi bilirubin yang
mengikat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
o Ikterus pasca hepatik (obstruktif) : Adanya bendungan dalam
saluran empedu (kolistasis) yang mengakibatkan peninggian
konjugasi bilirubin yang larut dalam air yang terbagi menjadi :
24

a. Intrahepatik : bila penyumbatan terjadi antara hati dengan
ductus koleductus.
b. Ekstrahepatik : bila penyumbatan terjadi pada ductus
koleductus.
o Ikterus hepatoseluler (hepatik) : Kerusakan sel hati yang
menyebabkan konjugasi blirubin terganggu.
o Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab :
Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan
kadang bakteri)
Kadang oleh defisiensi G-6-PO
o Ikterus yang timbul 24 72 jam setelah lahir dengan penyebab:
Biasanya ikteruk fisiologis
Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO
atau Rh atau golongan lain. Hal ini diduga kalau
peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5
mg%/24 jam
Polisitemia
Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub
oiponeurosis, perdarahan hepar sub kapsuler dan lain-
lain)
Dehidrasis asidosis
Defisiensi enzim eritrosis lainnya
o Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu
pertama dengan penyebab
Biasanya karena infeksi (sepsis)
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim G-6-PD
Pengaruh obat
Sindrom Gilber
o Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
dengan penyebab :
Biasanya karena obstruks
Hipotiroidime
Hipo breast milk jaundice
Iinfeksi
Neonatal hepatitis
Galaktosemia

3.3 Memahami Klasifikasi Hiperbilirubinemia
o Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
25

b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada
neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus
lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5
mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan
patologik
o Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup
bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang
bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
(Ni Luh Gede Y, 1995)
3.4 Memahami Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Diagram Metabolisme Bilirubin



26

Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan
. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit,
Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi
apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia,
Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau
neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan
saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin
Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam
lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila
kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia (
AH, Markum,1991).
3.5 Memahami Diagnosis Hiperbilirubinemia
a. anamnesis : riwayat ikterus pada anak sebelumnya,
riwayatkeluarga anemi dan pembesaran hati dan limpa, riwayat
penggunaan obat selama ibu hamil, riwayat infeksi maternal,
riwayat trauma persalinan, asfiksia.
b. Pemeriksaan fisik :
Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas
suhu, dll)
Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai
jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
Berdasarkan Kramer dibagi :

27

Derajat
ikterus Daerah ikterus
Perkiraan
kadar
bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II
Sampai badan atas (di atas
umbilikus)
9,0 mg%
III
Sampai badan bawah (di bawah
umbilikus) hingga tungkai atas (di
atas lutut)
11,4 mg/dl
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl
c. Pemeriksaan laboratorium: kadar bilirubin, golongan darah (ABO
dan Rhesus) ibu dan anak, darah rutin, hapusan darah, Coomb tes,
kadar enzim G
6
PD (pada riwayat keluarga dengan defisiensi enzim
G
6
PD).
d. Pemeriksaan radiologis : USG abdomen (pada ikterus
berkepanjangan)
3.6 Memahami Faktor Resiko Hiperbilirubinemia
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
a. Faktor Maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native
American,Yunani)
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
ASI
b. Faktor Perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol,
sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
3.7 Memahami Tatalaksana Hiperbilirubinemia
1. Ikterus yang timbul sebelum 24 jam pasca kelahiran adalah
patologis. Tindakan fototerapi dan mempersiapkan tindakan
tranfusi tukar.
28


2. Pada usia 25-48 jam pasca kelahiran, fototerapi dianjurkan bila
kadar bilirubin serum total > 12 mg/dl (170 mmol/L). Fototerapi
harus dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total 15 mg/dl
(260 mmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal menurunkan
kadar bilirubin serum total < 20 mg/dl (340 mmol/L),
dianjurkan untuk dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin
serum total 20 mg/dl (> 340 mmol/L) dilakukan fototerapi dan
mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin
serum total > 15 mg/dl (> 260 mmol/L) pada 25-48 jam
pasca kelahiran, mengindikasikan perlunya pemeriksaan
laboratorium ke arah penyakit hemolisis.
3. Pada usia 49-72 jam pasca kelahiran, fototerapi dianjurkan bila
kadar bilirubin serum total > 15 mg/dl (260 mmol/L). Fototerapi
harus dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total 18 mg/dl
(310 mmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal menurunkan
kadar bilirubin serum total < 25 mg/dl (430 mmol/L),
dianjurkan untuk dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin
serum total > 18 mg/dl (> 310 mmol/L) fototerapi dilakukan
sambil mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila kadar
bilirubin serum total > 25 mg/dl (> 430 mmol/L) pada 49-
72 jam pasca kelahiran, mengindikasikan perlunya pemeriksaan
laboratorium ke arah penyakit hemolisis.
4. Pada usia > 72 jam pasca kelahiran, fototerapi harus
dilaksanakan bila kadar bilirubin serum total > 17 mg/dl (290
mmol/L). Bila fototerapi 2 x 24 jam gagal menurunkan kadar
bilirubin serum total < 20 mg/dl (340 mmol/L), dianjurkan
untuk dilakukan tranfusi tukar. Bila kadar bilirubin serum total
sudah mencapai > 20 mg/dl (> 340 mmol/L) dilakukan
fototerapi sambil mempersiapkan tindakan tranfusi tukar. Bila
kadar bilirubin serum total > 25 mg/dl (> 430 mmol/L) pada
usia > 72 jam pasca kelahiran, masih dianjurkan untuk
pemeriksaan laboratorium ke arah penyakit hemolisis.

3.8 Memahami Pencegahan Hiperbilirubinemia
1. Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan
dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus
memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari
selama beberapa hari pertama. Rendahnya asupan kalori dan atau
keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat
menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui
29

dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang
berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan
menjamin terjadinya proses menyusui yang baik. AAP juga melarang
pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat
mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar
bilirubin serum
2. Sekunder
Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang
memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah : Semua wanita hamil harus menjalani
pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining
antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan
golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan
darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan
darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis : Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus
dimonitor secara berkala untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang
perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar tatalaksana ikterus.
Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan
dengan pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi
sehingga memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus
dilakukan dalam ruangan yang cukup terang, paling baik menggunakan
sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya hanya berlaku
pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus
pada awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke
kaudal dan ekstrimitas.









30

Daftar Pustaka
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan 10. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal
349-678
Sherwood, laura. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC
Buku Acuan Asuhan Persalinan Normal. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan
Reproduksi. Jakarta. Oktober 2002

Anda mungkin juga menyukai