Anda di halaman 1dari 14

1

Leptospirosis

I. Pendahuluan
Leptospirosis secara global merupakan penyakit zoonosis yang penting
yang disebabkan oleh Spiroketa yang ber-genus Leptospira. Pada tahun 1885,
Adolf Weil mendeskripsikan penemuan klinis pada proses akut penyakit ini
berdasarkan splenomegali, ikterus, dan nefritis. Sejalan waktu, sebutan Weils
disease menunjukan leptospirosis tingkat parah yang dikarakteristikan dengan
beraneka ragam gejala klinis, khususnya demam, ikterus, acute renal injury,
syok refrakter, dan pendarahan (khususnya pendarahan paru).
2


II. Epidemiologi
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis, yang artinya merupakan
penyakit pada suatu binatang lain yang bisa ditransmisikan kepada manusia
dalam kondisi normal.
1
Transmisi antar manusia tidak dimungkinkan. Lebih
dari 100 mamalia bisa terinfeksi, namun sumber yang penting untuk transmisi
ke manusia biasanya tikus, anjing, hewan ternak, dan babi. Tikus tidak
menjadi sakit pada infeksi leptospira, tetapi pada anjing sering berkembang
penyakit parah yang mirip dengan infeksi pada manusia, sedangkan pada
hewan ternak dan babi menyebabkan kegagalan reproduktif. Walau hewan-
hewan tersebut sudah divaksinasi, hewan yang asimtomatik masih bisa
menjadi leptospiruric dan mentransmisikan ke manusia.
2

Pola transmisi leptospirosis dikarakteristikan secara epidemik,
endemik, dan sporadik. Faktor yang memfasilitasi infeksi pada manusia
adalah adanya kontak indirek dengan urin hewan yang terinfeksi yang
mengkontaminasi air atau wilayah lembab dan basah; atau kontak langsung
dengan urin dan ekskreta lain (produk kelahiran, plasenta,dll) dari hewan yang
terinfeksi. Pada beberapa tahun terakhir, beberapa kasus terkait dengan
okupasional dan paparan dari lingkungan telah terdeteksi. Hujan musiman dan
banjir musiman merupakan salah satu faktor penting endemic dari
leptospirosis. Lingkungan tropis, sanitasi yang buruk yang memungkinkan
infestasi ronden, dan populasi anjing yan tidak terkontrol merupakan hal
penting untuk transmisi endemik. Leptopspirosis sporadik dikaitkan dengan
2
kontak manusia dengan lingkungan yang beranrka ragam, bisa dari pekerjaan,
kurangnya higiene lorong kota atau limbah, dalam perjalanan petualang dan
saat latihan kemiliteran di daerah yang endemis serta aktivitas luar yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan lainnya.
2

Leptospirosis mempengaruhi populasi urban dan rural pada negara-
negara industrial dan Negara berkembang. International Leptospirosis Society
menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan insidens leptospirosis tinggi
dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas. Di Indonesia leptospirosis
ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun
2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian.
2


III. Etiologi
Genus Leptospira (ordo Spirochetales, family Leptospiraceae)
merupakan spiroketa patogenik tertua terhadap manusia dan satu-satunya
spiroketa yang bisa hidup dalam hewan dan di lingkungan bebas. Genus ini
terdapat 20 spesies, dan 9 diantaranya terklasifikasi patogenik, 5 intermediet
patogenik, dan 6 yang nonpatogenik (saprophytic) berdasarkan analisis
molecular. Dimensi dan motilitas dari leptospira (~1 x 6-20 m)
memungkinkan untuk melewati saringan untuk sterilisasi menidum kultur.
Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing
anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat
bergerak cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat
menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 m dan lebar 0,1 m. Kuman ini
sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap dan
pewarnaan perak.
2


3


IV. Patogenesis
Leptospira menginfeksi manusia lewat mukosa (biasaya konjungtiva
dan memungkinkan lewat oral atau tonsil) atau lewat kulit yang termaserasi,
tertusuk dan terabrasi. Organisme ini berproliferasi di aliran darah dan
ekstraselular antar organ, lalu secara diseminata hematogen menuju semua
organ. Masa inkubasinya rata-rata 5-14 hari, leptospira dapat terisolasi dari
pembuluh darah selama 3-10 hari pertama. Sejalan berkembangnya antibodi,
leptospira menghilang dari darah tetapi menetap pada beberapa organ,
termasuk otak (meningen dan pada bagian lain), hati, paru, jantung, dan ginjal.
Siklus hidup akan lengkap ketika leptospira mempenetrasi membrane basal
pada tubulus proksimal ginjal, menyeberang ke brush border pada tubulus
proksimal renal, dan lalu disekresi melalui urin.
2


Penentu molecular spesifik dan mekanisme virulensi dalam manifestasi
penyakit ini masih belum teridentifikasi. Struktur lipid A yang tidak biasa
menghasilkan lipopolisakarida dengan endotoksik potensial yang rendah
dalam sistem eksperimen. Studi invitro multipel menunjukan leptospira dan
4
ekstrak nya menyebabkan toksisitas selular, tetapi proses biokimia alami pada
kerusakan sel pajanan dan mekanisme lainnya masih belum jelas. Penemuan
patologis berupa organ spesifik, inflamasi akut dan kronis pada ginjal terkait
dengan akut tubular nekrosis dan nefritis interstitial. Studi otopsi menunjukan
regulasi abnormal dari transporter cairan dan elektrolit termasuk endogenous
sodium/hydrogen exchanger isoform 3 (NHE3), aquaporins 1 dan 2, -Na
+
-
K
+
-ATPase dan sodium-potassium-chloride cotransporter (NKCC2 isoform)
pada keadaan dengan atau tanpa akut tubular nekrosis.2 Ikterik disebabkan
oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan
yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai
berkurangya sekresi bilirubin.
3


Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel
kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi
organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologi
yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional
yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan
bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan
infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat
terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi
hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal, leptospira juga dapat
bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan
cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan meningitis yang
merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi
leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati,
otot dan pembuluh darah.
3






5
Kelainan spesifik pada organ:
Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear
merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi
tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi
immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi
langsung mikro organism juga berperan menimbulkan
kerusakan ginjal.

Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan
infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan
kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan
leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat
diantara sel-sel parenkim.

Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat
terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa
interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma.
Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi
perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.

Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan
berupa fokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari
otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung
leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.

Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah
akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan
perdarahan. Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan
bawah kulit.

6
Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan
cerebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis.
Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak
p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan
meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear
arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic,
biasanya paling sering disebabkan oleh L. canicola.

Weil Disease. Weil disease adalah leptospirosis berat yang
ditandai dengan ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia,
azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe kontinua.
Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan
leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotype
icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotype
copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa
gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.
3


V. Gambaran Klinis
Gambaran klinis infeksi Leptospira terkait dengan disfungsi organ
fokal yang berbeda, salah satunya termasuk infeksi subklinis demam febris
yang tidak terdiferensiasi, dan dalam bentuk parahnya Weils disease. Secara
klasik Leptospirosis dideskripsikan sebagai bifasik, demam akut pada
leptospiremik awal bertahan selam 3-10 hari, saat waktu inilah organisme bisa
dikultur dari darah. Pada fase imun lanjut, demam tidak responsif terhadap
pengobatan antibiotic, tetapi leptospira terisolasi di urin. Pada Weils disease,
sifatnya bisa menjadi monofasik bahkan fulminan.
2

Pada pemeriksaan fisik mata dapat ditemukan sufusi konjungtiva
(pembuluh darah konjungtiva yang berdilatasi tanpa adanya discharge)
ditandai dengan kemerahan pada conjunctiva tetapi tidak melibatkan eksudat
inflamasi, chemosis pada fisura palpebral.
7



Ditemukan juga eritema pada faring tanpa eksudat, nyeri otot, rales
pada auskultasi paru atau pekak pada perkusi paru jika ada pendarahan
pleural, rash (makular, makopapular, eritematosus, petekial, atau ekimotik),
icterus, meningismus, hipo- atau arefleksia biasanya pada kaki.
2


8
Fase bifasik pada Leptospirosis :
Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)
Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira
dalam darah dan css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala
awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang
hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri
tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di ikuti dengan
hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga
didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret,
bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan
ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya
conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat dijumpai rash
yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria.
Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat di
tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal,
penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali
normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang
lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas
demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.
Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.
3


Fase Imun (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab
antibodi dapat terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme
dapat diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam
darah atau cairan serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai
konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi dan
berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih.
3


Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan
dengan gejala pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut
9
biasanya berlangsung selama beberapa hari, namun ditemukan
juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan sampai
beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini
tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77%
pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris
tidak dapat dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala
ini seringkali merupakan tanda awal dari meningitis.
3


Anicteric disesase (meningitis aseptik) merupakan
gejala klinik paling utama yang menandai fase imun anicteric
Gejala dan keluhan meningeal ditemukan pada sekitar 50 %
pasien. Namun, cairan cerebrospinalis yang pleiositosis
ditemukan pada sebagian besar pasien. Gejala meningeal
umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula
menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih
banyak dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan
kasus dewasa.
3


Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira
dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna
kekuningan timbul. Gejala yang ditemukan adalah nyeri perut
disertai diare atau konstipasi (ditemukan pada 30 % kasus),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis
ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal
atau fase lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan
khorioretinitis (komplikasi lambat yang dapat menetap selama
beberapa tahun) dapat muncul pada minggu ketiga namun
dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.
3


Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah
hemoragia subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan
dalam cairan aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal
seperti azotemia, piuria, hematuria, proteinuria dan oliguria
ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru ditemukan pada
10
20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan
dan nyeri otot juga dapat ditemukan.
3


VI. Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien
biasanya dating dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza,
sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya, dan doatetesis
hemoragik, bahkan beberapa kasus dating dengan pankreatitis. Pada
anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah
termasuk kelompok beresiko tinggi, yang biasanya meliputi kegiatan yang
berkontak dengan air, tanah, ataupun lumpur yang mungkin telah
terkontaminasi oleh urin binatang yang terinfeksi leptospira. Gejala/keluhan
didapati demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian
frontal, nyeri otot, mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-
lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis,
normal atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap
darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan torak
(cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan
transaminase. BUN, Ureum, dan kreatinin dapat meningkat jika ada
komplikasi pada ginjal. Trombositopenia juga terjadi pada 50% kasus.
Diagnosis pasti didapat pada isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.
3


Kultur : Dengan mengambil spesimen darah atau CSS segera pada
awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
specimen pada fase leptospiremia serta belum diminum antibiotic. Kultur urin
diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang
terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan.
3




Serologi : Jenis uji serologi yang dapat digunakan berupa
MAT (Microscopic Agglutination Test)
o Uji tarik Celup
11
Lepto Dipstik
LeptoTek Lateral Flow
o Aglutinasi Lateks Kering
o IFAT (Indirecr Fluorescent Antibody Test)
o IHA (Indirect Haemagglutination Test)
o Uji Aglutinasi lateks
o CFT (Complement Fixation Test)

MSAT (Macroscopic Slide Agglutination Test)
o ELISA
o Microcapsule Agglutination Test
o Patoc-slide Agglutionation Test (PSAT)
o SEL (Sensitized Erythrocyte Lysis Test)
o CIE (Counter Immune Electrophoresis)
3


Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira denga cepat adalah
dengan pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction), Silver Stain, atau
fluorescent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.
3


12


VII. Penatalaksanaan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan
mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, pendarahan, dan gagal ginjal sangat
penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan
akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun beberapa pasien
memerlukan hemodialisa temporer.
3


Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya
pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Pilihan antibiotiknya
berupa
2
:
Pada Leptospirosis Ringan
o Doksisiklin 2 x 100 mg
o Ampisilin 4 x 500-750 mg
o Amoksisilin 4 x 500 mg



13
Pada Leptospirosis Sedang/Berat
o Penisilin G 1,5 juta unit / 6 jam (i.v atau i.m)
o Ampisilin 1 gram / 6 jam (i.v)
o Amoksisilin 1 gram / 6 jam (i.v)
Kemoprokfilaksis
o Doksisiklin 200 mg / minggu
o Azitromisin 250 mg / minggu
2


Untuk kasus leptospirosis berat. Pemberian intra vena penisilin G,
ampisilin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus ringan
dapat diberikan antibiotik oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin, atau
amoksisilin maupun sefalosporin.
3


Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama
namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira asih berada
di darah. Pada pemberian penisilin terjadi reaksi Jarisch-Herxherimer yang
merupakan reaksi terhadap endotoksin yang biasa disebut juga healing crisis,
biasanya terjadi 4-6 jam pemberian intra vena, berupa demam sampai
menggigil, hipotensi, sakit kepala, takikardi, hiperventilasi, flushing, myalgia,
kecemasan, dan terkadang muncul lesi kulit
4
, dan ini menunjukan adanya
aktivitas anti-leptospira. Tindakan supportif diberikan sesuai dengan
keparahan penyakit dam komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal
ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan
dialisis.
3


VIII. Prognosis
Jika tidak ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus,
angka kematian 5% pada umur dibawah 30 tahun, dan pada usia lanjut
mencapai 30-40%.
3




14
IX. Pencegahan
Pencegahan leptospirosis sulit khususnya pada daerah tropis.
Banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan, Bagi
mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular harus diberikan
perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindungi dari kontak
dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang
reservoar. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dikatakan bermanfaat
untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu
singkat. Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Panama selama 3
minggum ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4,2% menjadi
0,2%, dan efikasi pencegahan 95%.
3


Vaksinasi terhadap hewan-hewan tersangka reservoar sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil
dilakukan dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
3

Anda mungkin juga menyukai