Anda di halaman 1dari 8

1

BAB I
PENDAHULUAN

Demam Typhoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.
Demam Typhoid merupakan suatu kondisi infeksi sistemik yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi.
1

Demam typhoid merupakan penyebab kematian pada daerah padat penduduk dan
kurangnya sanitasi air di wilayah Amerika Serikat dan Eropa pada abad ke-19.
Namun, hal tersebut dapat teratasi dengan diperbaikinya sistem penyediaan air bersih
dan pembuangan air yang baik. Di Indonesia sendiri, salah satu data yang berhasil
dihimpun adalah data yang berasal dari Departemen Kesehatan RI. Frekuensi
kejadian demam typhoid pada tahun 1990 sebesar 9,2 per 10.000 penduduk kemudian
meningkat menjadi 15,4 per 10.000 penduduk pada tahun 1994. Di daerah Jawa
Barat, insiden bervariasi 157 kasus per 100.000 penduduk pada daerah rural dan 760-
810 per 100.000 penduduk pada daerah urban. 1,ipd
Demam typhoid dapat didiagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
melakukan pemeriksaan penunjang dan terbukti dengan pengobatan dini dapat
mencegah terjadinya komplikasi dari demam typhoid. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya komplikasi intestinal dan komplikasi ekstra-intestinal. ipd
Sampai saat ini masih dilaksanakan trilogi penatalaksanaan demam typhoid yaitu
istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, dan pemberian antimikroba.
Istirahat dan perawatan disini penting untuk mencegah terjadinya komplikasi. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan dari tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan
yang digunakan oleh pasien. Diet merupakan hal yang penting dalam kesembuhan
pasien dari demam typhoid karena kurangnya asupan gizi dapat memperlambat
kesembuhan dari pasien. ipd
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam typhoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh bakteri fakultatif
intraselular gram negatif Salmonella enterica,subspecies enterica, serotype thypi.
Organisme yang juga menyebabkan penyakit mirip dengan demam typhoid namun
dalam derajat yang lebih ringan adalah bakteri Salmonella serotype paratype A.
(greenbook,guideline,problem pathogen)

2.2 Etiologi
Demam typhoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Manusia
merupakan host dan reservoir dari bakteri Salmonella typhi. Infeksi bakteri ini
menular melalui rute fecal-oral. Makanan atau minuman yang terkontaminasi menjadi
salah satu media transmisi paling sering dari bakteri ini. Selain itu, penyakit ini dapat
menular lewat urin dan muntahan. Lalat dapat menyalurkan bakteri ini melalui
makanan yang dihinggapinya. (guideline who)

2.3 Epidemiologi
Demam typhoid menjadi masalah kesehatan global saat ini. Penyakit ini masih sering
tidak terdiagnosa karena kurangnya fasilitas laboratorium pada beberapa tempat,
terutama pada negara berkembang. Angka kejadian demam thypoid banyak terdapat
pada pasien berusia 3-19 tahun. Kejadian demam typhoid banyak terjadi pada daerah
yang memiliki kekurangan dalam hal sanitasi atau air bersih. WHO mengestimasikan
21 juta kasus demam typhoid terjadi setiap tahun dengan case fatality rate (CFR) 1-
4%. Asia merupakan wilayah dengan kasus demam typhoid terbanyak. Selain itu di
negara-negara dengan pendapatan rendah seperti negara-negara di Afrika dan
Amerika Selatan kasus demam typhoid menjadi masalah kesehatan publik. Wabah
demam typhoid jarang terjadi, sempat terjadi di Republik Kongo dengan 42564 kasus
pada tahun 2005 dan di Zimbabwe pada tahun 2011. (guideline who)
3


2.4 Patofisiologi
Patogenesis penyakit demam typhoid tergantung pada ukuran bakteri Salmonella
typhi, faktor virulensi dari bakteri, respon imun dari host dan paparan sebelumnya,
maupun faktor protektif lokal. Ukuran dari bakteri ini akan mempengaruhi lama masa
inkubasi dari bakteri tersebut serta nilai ambang bakteri tersebut dalam menyebabkan
bakteremia. Virulensi dari bakteri tersebut tergantung pada kemampuan bakteri
tersebut dalam menginvasi sel, adanya vi antigen, maupun produksi dan sekresi
protein invasin. Periode inkubasi Salmonella typhi berkisar antara 5-21 hari.
Pada awalnya, bakteri yang masuk saluran pencernaan melalui berbagai media
melewati lambung. Disana bakteri mampu tetap hidup dalam paparan asam lambung
kemudian masuk ke usus halus. Bakteri Salmonella typhi memiliki suatu mekanisme
dalam mempertahankan dirinya dalam suasana yang sangat asam dalam lambung.
Pertama, bakteri ini memiliki suatu sistem homeostasis pada suasana pH yang sangat
rendah. Selain itu bakteri ini memproduksi suatu protein yang memiliki efek toleransi
terhadap suasana asam. (prolem patogen)
Di usus halus bakteri ini melakukan penetrasi pada dinding usus halus melalui sel M
yang terdapat ileal Peyer's patch. Hal ini dapat terjadi bila respon imunitas humoral
mukosa kurang baik. Kemudian pada jaringan limfoid intestinal ini bakteri ditangkap
oleh sel mononuklear. Di dalam sel retikuloendothelial dan makrofag bakteri
mengadakan replikasi selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Proses ini terjadi pada fase asimtomatik masa
inkubasi dari bakteri ini. Berbeda dengan patogen enteroinvasif lainnya, penetrasi
dari bakteri Salmonella typhi tidak menimbulkan respon pro inflamasi melalui
stimulasi TLR5. Selain itu penetrasi bakteri ini juga tidak menimbulkan transmigrasi
neutrofil, IL-8, maupun TNF- pada sel epitel. Hal ini disebabkan bakteri Salmonella
typhi memiliki lokus viaB (prolem patogen,clinical patogen,ipd)
Setelah mencapai jumlah yang mencukupi, bakteri dilepaskan dalam aliran darah
melalui duktus torasikus yang diikuti sekresi sitokin oleh makrofag. Hal ini
menyebabkan bakteremia pertama yang bersifat asimtomatik. Bakteri ini menyebar
4

ke organ retikuloendotelial terutama hati dan limfa. Pada organ ini bakteri
meninggalkan sel fagosit dan kembali mengadakan replikasi pada ruang sinusoid lalu
kembali masuk ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakteremia yang kedua
yang menyebabkan tanda-tanda dan gejala sistemik. (prolem patogen,clinical
patogen,ipd)
Bakteri yang masuk ke dalam hati kemudian masuk ke cairan empedu. Cairan
empedu ini kemudian diekskresikan lagi ke dalam usus. Di dalam lumen usus, bakteri
ada yang dikeluarkan melalui feses ada pula yang kembali melakukan penetrasi pada
dinding usus. Pada proses sebelumnya makrofag sudah teraktivasi sehingga pada
proses fagositosis yang kedua ini makrofag melepaskan mediator inflamasi yang
kemudian menimbulkan gejala sistemik seperti demam, malaise, mialga, sakit kepala,
sakit perut, gangguan mental, dan koagulasi. Pada plak Peyeri makrofag hiperaktif
menimbulkan hiperplasia jaringan. Perdarahan dapat terjadi pada area sekitar plak
Peyeri yang mengalami nekrosis dan hiperplasia.
Bakteri Salmonella typhi dapat bertahan pada tubuh manusia dalam jangka waktu
yang lama.(clinical patogen).

2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari demam typhoid bervariasi dari gejala yang ringan hingga
berat. Pada minggu pertama dari demam typhoid biasanya pasien mengalami demam
yang lama bersifat step-ladder, nyeri kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk disertai bradikardi relatif.
Demam yang dirasakan bersifat meningkat perlahan-lahan terutama pada sore atau
malam hari. Pada minggu kedua mulai terasa nyeri perut, lidah yang berselaput kotor
di tengah, bagian tepi dan ujung merah disertai tremor. Pada minggu ketiga mulai
tampak hepatosplenomegali, perdarahan intestinal dan perforasi dengan bakteremia
sekunder. (guideline,management of enteric,a large outbreak,ipd)

Klasifikasi
Klasifikasi demam typhoid menurut WHO membaginya menjadi 3 (guideline) :
5

Confirmed case : Pasien dengan demam persisten 38
o
C atau lebih selama 3 hari atau
lebih dengan konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium organisme S. typhi (kultur
darah, sumsum tulang, atau feses) atau pasien dengan gejala klinis yang sesuai yang
sudah dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.

Probable case : Pasien dengan demam persisten 38
o
C atau lebih selama 3 hari atau
lebih dengan hasil positif pada pemeriksaan serologi atau tes antigen namun belum
dilakukan isolasi organisme S. typhi atau pasien dengan gejala klinis yang sesuai
yang berada di wilayah dengan epidemiologi wabah demam typhoid

Chronic carrier : Individu yang feses atau urinnya terdapat S. typhi selama lebih dari
1 tahun setelah onset dari demam typhoid atau individu yang feses atau urinnya
terdapat S. typhi namun tidak memiliki riwayat demam typhoid. (guideline)

2.6 Diagnosis
Diagnosis definitif dari demam typhoid adalah dengan isolasi organisme S.typhi dari
darah atau sumsum tulang atau feses. Kultur darah memberikan hasil positif pada 60
sampai 80 persen pasien demam typhoid. Pengambilan kultur dari sumsum tulang
memberikan hasil lebih sensitif dengan hasil positif pada 80 sampai 95 persen pasien
demam typhoid. Penggunaan tes Widal sebagai diagnosis demam typhoid masih
menjadi kontroversi. Tes ini mendeteksi aglutinasi dari antibodi terhadap antigen O
dan H S. enterica serotype typhi. Antigen ini juga ditemukan pada salmonella
serotype yang lain sehingga kurang spesifik untuk diagnosis demam typhoid.
(1,guideline)
2.7 Diagnosis Banding
a. Pneumonia
b. Demam dengue
c. Demam berdarah dengue
d. Malaria

6

2.8 Penatalaksanaan
Pasien demam typhoid dapat diberikan obat oral antibiotik dan pengawasan medis
terhadap kemungkinan komplikasi akibat gagal terapi. Untuk terapi lebih adekuat
diperlukan kultur dan tes sensitivitas agar lebih baik dalam pemilihan obat antibiotik.
Dari berbagai studi didapatkan obat fluoroquinolone merupakan pilihan utama dalam
pengobatan demam typhoid. Namun, pada beberapa daerah didapatkan bahwa bakteri
masih sensitif terhadap obat tradisional lini pertama seperti chlorampenikol,
ampisilin, amoxicillin atau trimethoprim-sulfamethoxazole sehingga obat ini masih
menjadi pilihan dalam pengobatan demam typhoid. Selain itu pada beberapa daerah
tidak tersedianya obat fluoroquinolon menyebabkan obat-obat di atas menjadi pilihan.
Chlorampenicol merupakan antibiotik spektrum luas terhadap bakteri gram positif
dan negatif. Namun resistensi terhadap chlorampenicol terus meningkat akhir-akhir
ini sehingga ciprofloxacin lebih banyak digunakan sebagai lini pertama pengobatan
demam typhoid.
(guideline, reemergence)
Tabel 1. Obat antibiotik untuk penanganan demam typhoid

Penatalaksanaan individu dengan karier typhoid, terdiri dari karier typhoid dengan
atau tanpa kolelithiasis. Karier typhoid , yaitu 1 tahun pasca demam tifoid yang
7

masih positif kultur feses atau urinnya untuk S.typhi, diberikan antibiotika.
Antibiotika yang diberikan selama 3 bulan adalah Amoksisilin/ Ampisilin dengan
dosis 100mg/KgBB/hari + probenacid 30mg/KgBB/hari. Untuk kasus tanpa
kolelithiasis dilanjutkan dengan dosis yang disebutkan di atas. Penderita dengan
komplikasi kolelithiasis, antibiotika diberikan unutuk 28 hari dengan dilakukan
kolesistektomi. (guideline, reemergence)
2.9 Prognosis
Prognosis penderita dengan demam tifoid tergantung terutama pada kecepatan
diagnosis dan memulai pengobatan yang benar. Umumnya, demam tifoid yang tidak
diobati membawa tingkat kematian 10% -20%. Pada penyakit yang ditangani dengan
baik, angka kematian kurang dari 1%. Pada beberapa pasien ditemukan mengalami
komplikasi permanen, termasuk gejala neuropsikiatri dan tingginya tingkat kanker
pencernaan. (guideline,8)

2.10 Komplikasi
Pasien dengan demam typhoid dapat menimbulkan beberapa komplikasi. Pada
saluran gastrointestinal dapat ditemukan komplikasi berupa perforasi atau peritonitis
yang ditandai dengan rasa tidak nyaman di perut. Selain itu komplikasi demam
typhoid yang pernah ditemukan diantaranya typhoid meningitis, encephalomielitis,
transient Parkinsonism, motor neuron disorders, ataxia, cerebral abscesses, cerebral
oedema, Guillain-Barre syndrome, neuritis kranial oatau perifer, dan gejala psikotik.
Selain itu dapat pula terjadi perdarahan, hepatitis, miokarditis, endocarditis,
pneumonia, koagulasi intravaskular disseminata, thrombositopenia dan sindrom
uremik hemolitik. Komplikasi dari demam typhoid dapat mengenai berbagai organ.
(guideline,problem patogen)
Perubahan status mental pada pasien berkaitan dengan case fatality rate (CFR) yang
tinggi. Pasien pada kondisi ini biasanya mengalami delirium atau koma. (guideline)

1. Parry C M, Hien T T, Dougan G, White N J, Farrar J J. Typhoid Fever. The New
England Journal of Medicine. 2002 November; 347 (22): 1770-82
8


2. Widodo D. Demam Tifoid, in: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed 5, Interna
Publishing, 2009, pp. 2797-2806..


3. Huang D B, Du Pont H L Problem pathogens: extra intestinal complications of
Salmonella enterica serotype Typhi infection. Lancet Infection Disease. 2005 June;
5:341-348

4. Typhoid, in: Green Book, Chapter 33, Public Health England, March 2011, pp.
409-420
5. World Health Organization. Guideline For The Management of Thypoid Fever.
July 2011.
6. Raffatellu M, Wilson R P, Winter S E, Baumler A J. Clinical
pathogenesis of typhoid fever. J Infect Developing Countries. 2008;
2(4):260-66

7. Parikh F S. Management of Enteric Fever In 2012. Medicine Update. 2012;
22: 12-4

8. Neil K P, Sodha S V, Lukwago L, O-tipo S et al.

8. Khandeparkar P. Reemergence of Chlorampenicolin Typhoid Fever In The
Era of Antibiotic Resistance. Supplement To Japi. 2010 December; 58: 45-6

Anda mungkin juga menyukai