Anda di halaman 1dari 9

Efek Nikotin Rokok

Written by AdministratorSunday, 12 September 2010 18:39



Nikotin sangat mempengaruhi dan dapat mengubah fungsi otak dan tubuh
kita. Nikotin membuat si perokok merasa relaks dan kemuadian merasa lebih
energik dan bersemangat, atau sebaliknya. Efek ini umum dikenal sebagai
biphase effect. Sialnya, semakin sering seseorang merokok, akan semakin
merasa ketagihan dan bertambah pula dosis yang akan kita gunakan.

Saat seseorang menghisap sebatang rokok, nikotin akan diserap dalam
tubuh (darah), diringi dengan pelepasan Adrenalin dan pemblokade-an
hormone insulin. Adrenalin lebih dikenal sebagai hormon "Fight or Flight".
Jika anda mencintai film horror, atau sangat suka dengan roller-coaster, pasti
sangat familiar sekali dengan efek Adrenalin ini, yang juga akan anda alami
saat merokok:

* Detak jantung yang sangat cepat
* Meningkatnya tekanan darah
* Tarikan nafas yang berat dan cepat

Saat Adrenalin dilepas tubuh kita pun akan melepaskan cadangan glukosa ke
dalam darah. Kemudian, insulin akan memerintahkan sel tubuh untuk
menyerap kelebihan glukosa dalam darah. Efek ini sering disebut sebagai
hyperglycaemic, yaitu tingginya kadar gula dalam darah. Inilah alasan kenapa
saat merokok, seseorang tidak merasa lapar dan akan tahan untuk tidak
makan selama berjam-jam. Lebih banyak dijumpai perokok yang berbadan
kurus dibandingkan perokok yang kelebihan berat badan.

Dalam jangka panjang, Nikotin dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam
darah, mengakibatkan si perokok, walaupun sudah lama berhenti merokok,
sangat rentan terhadap serangan jantung dan stroke. Ini sebagai akibat dari
rusaknya pembuluh arteri dalam darah, yang salah satu fungsinya,
mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh.

Di dalam otak, sebagai respon terhadap Nikotin, otak akan memerintahkan
tubuh untuk membuat zat endorphin lebih banyak lagi. Endorphin adalah
senyawa protein yang lebih tepat disebut sebagai bodys natural pain killer.
Struktur kimia Endorphin tidaklah jauh berbeda dengan painkiller kelas atas
seperti morphine. Endorhpin dapat membuat seseorang merasa relaks dan
euphoria. Terkadang, merokok (endorphin) dapat menstimulus sex anda.
Contohnya, saya teringat saat nge-date. Tiba-tiba si cewek meminta rokok.
Alasannya, ia merasa lebih hot dan panas saat melakukan hubungan sex
sambil menghisap rokok.

Para peneliti sepakat bahwa Nikotin adalah salah satu zat addiktif yang
berbahaya. Zat ini memenuhi dua efek sekaligus:
1. Psikologis Seseorang perokok, karena ketagihan, tetap akan merokok dan
merokok, walaupun sangat tahu akan bahaya merokok bagi dirinya sendiri
dan orang-orang di sekitarnya.
2. Fisiologis Para ahli syaraf menyatakan, karena merokok men-stimulus
system syaraf sehingga si perokok merasa nyaman dan relax, maka si
perokok akan mengulanginya lagi dan lagi demi mendapatkan perasaan
nyaman tersebut
Sialnya, efek Nikotin berbanding lurus dengan dosis yang digunakan. Setelah
beberapa lama merokok, seseorang akan melewati batas toleran, artinya, jika
sebelumnya butuh 1 batang rokok perhari untuk merasa nyaman, maka,
setelah merokok selama satu bulan, ia akan membutuhkan 2 batang rokok
per hari untuk merasakan kembali perasaan nyaman tersebut dan bertambah
di bulan berikutnya.

Lantas, apa yang terjadi, saat seorang perokok tiba-tiba berhenti merokok
seketika? Saat mengkonsumsi Nikotin, fungsi otak dan tubuh akan berubah,
beradaptasi sebagai kompensasi atas adanya efek yang ditimbulkan oleh
Nikotin. Sebagai contoh, otak akan beradaptasi, memperbanyak atau
mengurangi jumlah sel syaraf reseptor akibat dari adanya Nikotin. Saat
berhenti merokok, efek fisiologis ini tetap tertinggal dalam otak. Akibatnya,
tubuh (otak) bereaksi dan tidak bisa berfungsi dengan baik selayaknya ketika
Nikotin masih berada dalam tubuh. Umumnya, seseorang yang mencoba
berhenti mengkonsumsi Nikotin, akan mengalami gejala berikut:

* Irritabilitas, biasanya menjadi lebih sensitif dan mudah marah
* Gampang cemas dan merasa depresi
* Dan tentu saja, kebutuhan yang amat-amat sangat terhadap Nikotin

Dalam beberapa bulan pertama sejak berhenti mengkonsumsi Nikotin (baca:
merokok), gejala dan efek fisiologis akan berkurang sedikit demi sedikit.
Namun, bagi seorang perokok, satu hari tanpa rokok, ibarat tertusuk jarum
neraka. Itulah mengapa, hanya kurang dari 3% yang berhasil untuk benar-
benar tidak merokok lagi.

Tidak perlu diperdebatkan lagi, dari tinjauan kesehatan, merokok memiliki
lebih banyak sisi negatifnya, seperti dapat menimbulkan kanker paru-paru
dan emphysema Emphysema adalah kerusakan kronis pada kantung udara
di paru-paru (alveolus), dimana kantung-kantung tersebut membesar dari
ukuran normal sehingga menjadi kurang fleksibel. Akibatnya, menarik nafas
menjadi lebih sulit dan paru-paru pun rentan terhadap infeksi. Satu puntung
rokok, mengandung puluhan zat berbahaya. Dan Nikotin bersama zat-zat
lainnya tersebut, sangatlah bersifat karsinogenik.

Jadi, jika memang tidak bisa berhenti merokok, maka ada baiknya berhati-
hati. Setidaknya, janganlah merokok di tempat umum atau di depan orang
banyak dan anak-anak. Jika anda tidak peduli dengan diri sendiri, setidaknya,
pedulilah terhadap orang-orang di sekitar anda yang sangat anda cintai.


Hipotesis William dan Tabas tentang response to retention
menjelaskan proses awal terjadinya aterosklerosis. Lipoprotein
plasma, terutama LDL adalah sumber akumulasi kolesterol di
dinding arteri. Secara normal, lipoprotein dapat masuk maupun
keluar dari dinding arteri melewati endotel melalui proses transitosis
non-reseptor. Derajat masuknya lipoprotein ini ke dalam intima
akan meningkat sebanding dengan konsentrasi lipoprotein dalam
plasma, tekanan darah yang meningkat dan peningkatan
permiabilitas dinding arteri. Transpor awal lipoprotein melalui
endotel merupakan retensi selektif dan juga karena oksidasi
lipoprotein di dinding arteri.

Mekanisme retensi LDL di dinding arteri dan kemudian
menyebabkan aterosklerosis kemungkinan karena interaksinya
dengan proteoglikan dari dinding arteri (APG). Lipoprotein yang
mengandung apo-B dapat berinteraksi dengan APG. Ikatan ini
memperpanjang waktu tinggal lipoprotein sehingga meningkatkan
kemungkinan terjadinya oksidasi. Lipoprotein yang teroksidasi akan
ditangkap oleh makrofag dan akumulasi lipid dalam makrofag
menyebabkan terbentuknya sel busa. Faktor kunci disini adalah
oksidasi lipoprotein. Pada tahap awal oksidasi fosfolipid dalam
lipoprotein menghasilkan LDL yang termodifikasi minimal (mm
LDL). Selanjutnya sel endotel dan sel otot polos mensekresi faktor
kemotaktik seperti monocyte chemotactic protein 1 (MCP 1) dan
macrophage colony stimulating factor (M-CSF). Makrofag selain
menangkap LDL tersoksidasi juga mensekresi faktor pertumbuhan,
faktor kemotaktik dan sitokin, sehingga proses aterogenesis akan
berlanjut.

Sebenarnya dinding arteri mempunyai mekanisme untuk mencegah
oksidasi ini dan keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan
sangat menentukan untuk perkembangan aterogenesis lebih lanjut.
Oksida nitrit (NO) diketahui dapat mencegah oksidasi lipoprotein,
merupakan anti-aterosklerotik endogenik.

Pada keadaan normal sel endotel akan memproduksi NO dalam
jumlah yang cukup untuk menekan oksidasi LDL. NO dapat
menghambat proses kunci pada perkembangan aterosklerosis,
seperti adhesi monosit dan leukosit pada permukaan endotel, juga
aktivasi dan agregasi trombosit. NO dapat menurunkan
permiabilitas endotel , sehingga mengurangi masuknya lipoprotein
ke dalam dinding arteri. NO juga dapat menghambat migrasi dan
proliferasi sel otot polos. Pada keadaan hiperkolesterolemia, sintesis
NO tetap normal, tetapi sebagian akan dimakan oleh radikal
superoksida dan LDL-teroksidasi, menyebabkan LDL baru yang
masuk tidak terproteksi terhadap oksidasi.

Mekanisme imun merupakan patogenesis yang penting pada
aterosklerosis. Hipotesis response to injury oleh Russel Ross
menunjukkan bahwa disfungsi endotel merupakan faktor sentral
proses aterogenesis. Proses dimulai dengan beberapa pencetus yang
mencederai dan mengaktifkan sel endotel. Faktor pencetus meliputi
LDL-teroksidasi, shear stress pada dinding pembuluh darah, radikal
bebas, infeksi dan hiperglikemia.

Sel endotel yang teraktivasi meningkatkan produksi 2 jenis molekul :
kemokin dan molekul adhesi. Kemokin (MCP 1, interleukin 8, M-
CSF dan macrophage antigen 1) menarik sel mononuklear (limfosit-
T dan monocyte derived macrophage). Molekul adhesi (vascular cell
adhesion molecule 1 : VCAM 1, intercellular adhesion molecule 1 :
ICAM 1 dan selektin) membantu sel mononuklear berpindah ke
dalam subendo-telium.

) yang semakin meningkatkan ekspresi molekul adhesi. Mereka juga
merangsang pertumbuhan plak melalui ekspresi matriks
metaloproteinase (yang merangsang proliferasi sel otot polos) dan
merangsang makrofag mengikat LDL dan mengubah diri menjadi sel
busa.Dalam subendotelium, sel mononuklear memproduksi sitokin
inflamasi (IL 1, IL 6 dan tumor necrosis factor alpha : TNF

Selanjutnya jejas endotelial mengikuti siklus yang mendorong lebih
jauh proses aterogenesis. Lesi yang terbentuk disebut fatty streak.
Pematangan fatty streak tergantung pada keseimbangan antara
faktor sintetik dan proteolitik. Plak tumbuh bila sitokin inflamasi
dan mitogen seperti faktor pertumbuhan fibroblas dan platelet-
derived growth factor merangsang proliferasi sel otot polos. Sel otot
polos tersebut selanjutnya mensekresi kolagen yang membentuk
fibrous cap yang stabil. Plak yang stabil mempunyai fibrous cap yang
lebih tebal, lebih banyak kolagen dan inti lipid yang lebih kecil dan
keras. Adanya plak menyebabkan penyempitan lumen vaskuler,
dengan manifestasi klinis berupa angina stabil, tetapi jarang
menyebabkan komplikasi sindroma koroner akut.

(dengan merangsang degradasi kolagen melalui matriks
metaloproteinase). Proses penipisan membuat fibrous cap rentan
terhadap retak atau ruptur, yang membuat atheromatous-core
prokoagulan terpapar pada komponen darah sirkulasi. Plak yang
tidak stabil ditandai dengan inti yang lebih kaya lipid dan lebih
besar, dengan fibrous cap yang lebih tipis dan mengandung lebih
sedikit kolagen, lebih sedikit sel otot polos dan lebih banyak
makrofag dan limfosit-T.Sebaliknya, sitokin inflamasi lainnya
memperlemah fibrous cap : interferon gamma (dengan mengurangi
produksi kolagen) dan IL 1 dan TNF

Evaluasi patologi pada plak ruptur memperlihatkan predominan sel
inflamasi (makrofag, limfosit-T) dan kurangnya sel otot polos.
Paparan bahan prokoagulan seperti kolagen dan tromboksan-A2
menyebabkan aktivasi platelet dan aktivasi kaskade koagulasi
dengan hasil trombosis koroner.

Sementara faktor koagulasi berperanan dalam evolusi pembentukan
trombus, sitokin inflamasi selanjutnya menginduksi ekspresi P-
selektin dan CD40 ligand pada permukaan platelet. Molekul-molekul
ini mendorong adhesi antar platelet, endo-telium dan leukosit.

Inflamasi merupakan gambaran penting dari ateroma, dan berkaitan
dengan aktivasi dan proliferasi makrofag, sel endotel dan sel otot
polos, sitokin dan faktor pertumbuhan, aktivasi dan deposisi
komplemen dan LDL-teroksidasi.

Inflamasi, infeksi dan kerusakan jaringan ditandai dengan
peningkatan kadar reaktan fase akut. Reaktan ini terutama
diproduksi oleh hepatosit dan dirangsang oleh sitokin yang
dihasilkan dari makrofag yang teraktivasi. Beberapa petanda
inflamasi telah diidentifikasi dan ternyata berhubungan dengan
sindroma koroner akut Selama inflamasi kadar 2 protein fase akut
yang paling sensitif, CRP dan SAA dapat meningkat sampai 10.000
kali. Kadar CRP berkorelasi langsung dengan adanya dan keparahan
aterosklerosis koroner, serebral dan arteri perifer.

2.C-Reactive Protein.
CRP merupakan protein fase akut yang disintesa di hati sebagai
reaksi terhadap inflamasi. CRP merupakan reaktan fase akut yang
paling sensitif dan konsentrasinya meningkat dengan cepat selama
proses inflamasi. CRP kompleks mengaktifkan sistem komplemen,
selanjutnya memulai opsonisasi dan fagositosis sel yang menginvasi,
namun fungsi utamanya yakni untuk mengikat dan detoksikasi
bahan toksik endogen yang diproduksi oleh jaringan yang rusak.

Pemeriksaan CRP digunakan untuk mendeteksi proses inflamasi
sistemik, menilai keberhasilan terapi antibiotik atas infeksi bakterial,
diferensiasi bentuk aktif dan inaktif infeksi misalnya pada lupus
eritematosus sistemik (SLE) atau kolitis ulserosa, evaluasi terapi
demam rematik dan untuk menentukan adanya komplikasi tahap
awal pasca operasi seperti infeksi, trombosis dan pneumonia.

Saat ini CRP digunakan untuk hal yang baru yakni sebagai petanda
penyakit arteri koroner. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
protein fase akut ini merupakan faktor resiko kejadian
kardiovaskular dan kematian pada berbagai populasi, baik pada
orang sehat, pasien sindroma koroner akut dan pasien yang
menjalani revaskularisasi perkutan atau bedah.

Penelitian-penelitian terakhir menyokong konsep bahwa CRP
berperanan langsung dalam proses inflamasi dan tidak hanya
sekedar suatu respon terhadap inflamasi. SAA dan fibrinogen
memiliki peranan tambahan bila dikombinasi dengan CRP untuk
stratifikasi risiko pasien sindroma koroner akut.

3.CRP Sebagai Petanda Inflamasi dan Penyakit Arteri Koroner
Petanda inflamasi fase akut tampaknya mempengaruhi prognosis
pasca infark miokard akut (IMA). Pada IMA dengan elevasi segmen
ST, kadar CRP mencapai puncak dalam 2 4 hari, selanjutnya
menurun kembali. Kadar CRP tidak dipengaruhi oleh hormon atau
obat anti inflamasi, namun hanya ditentukan oleh sitokin
proinflamasi seperti interleukin 6. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa kadar CRP memprediksi resiko kejadian ulangan pada pasien
IMA dengan elevasi segmen ST.

Pietila dkk dalam penelitian pada pasien yang memperoleh
fibrinolitik melaporkan bahwa kadar puncak CRP berhubungan
dengan risiko kematian dalam 6 bulan. Anzai dkk menemukan
bahwa kadar puncak CRP lebih tinggi pada pasien yang mengalami
komplikasi berat pasca IMA. Tommasi dkk melaporkan bahwa kadar
CRP yang meningkat berhubungan dengan kejadian iskemia yang
lebih tinggi.

Pada angina pektoris tidak stabil, kadar CRP saat datang yang
meningkat berhubungan dengan hasil yang lebih buruk. Studi The
European Concerted Action on Thrombosis and Disabilities Angina
Pectoris (ECAT) menyatakan bahwa pasien angina pectoris stabil
dengan kadar CRP > 0,36 mg/dl memiliki risiko kejadian koroner
dalam 2 tahun meningkat dua kali lipat. Studi The Thrombolysis in
Myocardial Infarction (TIMI) II A melaporkan bahwa peningkatan
kadar CRP berhubungan dengan peningkatan mortalitas dua kali
lipat, bahkan pada yang troponin T negatif.

Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa sedikit peningkatan
kadar CRP dalam batas normal pada orang sehat tanpa penyakit
arteri koroner memprediksi risiko kejadian koroner di masa akan
datang. The Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT)
melaporkan kenaikan mortalitas kardiak hampir tiga kali lipat pada
laki-laki sehat (umumnya perokok) dengan kadar CRP tertinggi.

The Physicians Health Study menyatakan bahwa insiden IMA lebih
tinggi pada laki-laki dengan kadar CRP tertinggi tanpa memandang
status merokok. Studi The Monitoring Trends and Determinants in
Cardivascular Disease (MONICA) juga melaporkan hal yang sama,
risiko IMA meningkat hampir 50% dengan peningkatan kadar CRP.

Nilai klinis CRP tidak spesifik gender, namun perempuan memiliki
kadar CRP lebih tinggi dibanding laki-laki. Dalam Womens Health
Study, perempuan yang mengalami kejadian kardiak memiliki kadar
CRP 0,42 mg/dl dibanding 0.28 mg/dl pada yang tidak mengalami.
Physicians Health Study melaporkan bahwa kadar CRP laki-laki
dengan kejadian kardiak 0.15 mg/dl dibanding 0,11 mg/dl pada yang
bebas kejadian.

CRP merupakan kandidat yang baik karena : 1) kadarnya stabil
dalam jangka waktu lama, 2) kadarnya tidak dipengaruhi hal-hal lain
selain inflamasi. 3) prediksinya bebas dari faktor risiko lain
termasuk kadar lipid, 4) prediksinya menambah kekuatan faktor
risiko lain pada aterosklerosis subklinis, 5) prediksi CRP untuk risiko
PJK di kemudian hari juga berlaku pada individu usia pertengahan
dan lanjut yang sehat, 6) metode pemeriksaan yang sensitif dan
relatif murah tersedia, dengan material referensi dari WHO untuk
standarisasi pemeriksaan.

Anda mungkin juga menyukai