Anda di halaman 1dari 19

MIASTENIA GRAVIS

A. Pendahuluan
Miastenia Gravis adalah kelainan autoimun yang terjadi
karena

interaksi

antara

autoantibodi

IgG

dengan

acetylcholine receptor (AChR) pada neuromuscular junction


(NMJ). Antibodi AChR mengurangi jumlah reseptor fungsional
dengan

memblok

molekul

acethylcoline,

dengan

cara

meningkatkan laju degradasi reseptor dan menghancurkan


komplemen yang menginduksi pada neuromuscular junction.
Dengan demikian, pasien dengan Miastenia Gravis molekul
AChR berkurang dan rata-rata, hanya 30% dari jumlah normal
AChR. Oleh karena itu, batas nilai normal yang ditemukan di
NMJ pada orang sehat akan hilang.1
Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau
kongenital, dapat terjadi karena berbagai faktor. Salah satu
diantaranya adalah kelainan pada transmisi neuromuskular
yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton
Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan
yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif
dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi
yang patogen baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sehingga tidak dapat diragukan bahwa terapi imunomodulasi

dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik


pada penyakit ini. Walaupun terdapat banyak penelitian
tentang terapi miastenia gravis yang berbeda-beda. Akan
tetapi, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan saat
pengetahuan

dan

pengertian

tentang

imunopatogenesis

masih sangat kurang.2


Miastenia
(hyperplasia,

gravis
atrofi,

dapat
atau

disertai

patologi

tumor-thymoma).

timus

Penyakit

ini

jarang, insidensi per tahun kira-kira 0,4/100.000, tetapi


karena banyak pasien yang mengalami penyakit ini dalam
jangka waktu lama, maka prevalensi mencapai 1/10.000.
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok usia.3
Miastenia gravis dapat dijumpai pada anak, orang dewasa
dan pada orang tua, terbanyak terdapat antara umur 10-30
tahun. Miastenia gravis yang disertai thymoma terbanyak
antara 40-50 tahun. Pada umur di bawah 40 tahun miastenia
gravis lebih banyak dijumpai pada wanita; sementara itu di
atas 40 tahun lebih banyak pada pria.4
B. Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang
ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada
otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan

disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini


timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission
atau pada neuromuscular junction, dimana bila penderita
beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali.2
C. Epidemiologi
Pada orang dewasa dengan miastenia gravis, sekitar 70%
menunjukkan hyperplasia glandula thymus. Sel T yang
berperan

sebagai

perantara

imun

mengalami

proses

pematangan di dalam glandula thymus. Sintesis hormon


timus yang berlebihan merangsang perkembangan sel-sel T
yang menambah respon autoimun.5
Bentuk miastenia gravis kongenital

yang

jarang

ditemukan dapat terjadi sejak lahir dan pada bentuk ini, tidak
didapatkan antibodi yang abnormal. Penyebab penyakit
konganital ini antara lain defisiensi asetilkolinterase pada
motor

end-plate,

gangguan

pelepasan

ACh,

gangguan

kemampuan reseptor untuk berinteraksi dengan ACh atau


berkurangnya jumlah ACh.5
D. Anatomi, Fisiologis, Dan

Biokimia

Junction
1. Anatomi Neuromuscular Junction
Sebelum memahami tentang

Neuromuscular

miastenia

gravis,

pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari

neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap serat


saraf

secara

normal

bercabang

beberapa

merangsang tiga hingga beberapa ratus

kali

dan

serat otot

rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan


yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuscular.

Bagian

terminal

dari

saraf

motorik

melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb,


yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di
sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran
saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah
sinaps

merupakan

bagian-bagian

pembentuk

neuromuscular junction.6

Gambar 1. Anatomi Neuromuscular Junction [dikutip dari kepustakaan


6]

2. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan
membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi
oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat
retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara
difusi. Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal

namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir
motorik (motor end plate).6
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps.
Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi
dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini
kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin.
Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi
sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) pada
membran post sinaptik.6
Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses pada
neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: 6
a) Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi
berikut ini:
Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA
b) Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat membran
yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
c) Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan
tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang
melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan
istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmiter yang

mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara
spontan sehingga menghasilkan potensial end-plate miniatur yang kecil.
Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi
sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca 2+ yang
sensitiv terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk
Ca dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca ini memerankan peranan
2+

2+

yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang


lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.
d) Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah
sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold),
merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang
mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi
dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin
terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami
perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang
memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na +
akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk
potensial end-plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan
depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang
ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.
e) Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis
oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang


besar dalam lamina basalis rongga sinaps.
f) Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui
mekanisme transport aktif di mana protein tersebut
dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.
Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks
protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka
setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5
protein subunit, yaitu 2 protein alfa, dan masing-masing
satu

protein

beta,

delta,

dan

gamma.

Melekatnya

asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara


mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi
depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa
ini

akan

menyebabkan

setempat

pada

excitatory

postsynaptic

akhir).

Apabila

suatu

membran

serat

potential

pembukaan

perubahan
otot

yang

(potensial

gerbang

potensial
disebut
lempeng

natrium

telah

mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada


membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi
otot.

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction [dikutip dari kepustakaan


6]

3. Patofisiologi
Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan
meningkatnya kelemahan otot pada saat melakukan kegiatan
fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor
asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal,
waktu untuk kegiatan fisik adalah lebih lama dibandingkan
waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau
istirahat, sebaliknya pada miastenia gravis justru waktu yang
dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih lama dibandingkan
dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisk.7
4. Gambaran Klinis
Meskipun gejala awal miastenia gravis biasanya melibatkan otot-otot
okular di sekitar 60% dari pasien, hampir semua pasien memiliki keterlibatan
okular dalam waktu 2 tahun onset penyakit.8
Ptosis, yang sangat umum dan dapat terjadi saat pasien sedang membaca
atau selama mengemudi yang lama, mungkin unilateral atau bilateral.
Kelemahan otot ekstraokular juga dapat hadir asimetris.8
Pasien dengan diplopia ringan mungkin awalnya melakukan pengobatan
dokter ahli mata, meminta kacamata atau perubahan resep lensa untuk

memperbaiki masalah. Diplopia biasanya dimanifestasikan ketika pasien


memiliki konvergensi visual atau pandangan ke atas.8
Kelemahan miastenik dapat melibatkan kelumpuhan saraf cranial nervus
ketiga, keempat, dan keenam serta optalmoplegia internuclear. Tidak seperti
kelumpuhan saraf ketiga, miastenia gravis tidak pernah mempengaruhi fungsi
pupil.8
Kesulitan mengunyah, berbicara, atau menelan juga dapat menjadi
penyebab untuk presentasi awal, namun terjadinya gejala ini lebih jarang
daripada gambaran klinis pada ocular. Beberapa pasien mungkin memiliki
kelelahan berat dan kelemahan dalam mengunyah, karena tidak mampu
menjaga rahang untuk ditutup setelah mengunyah. Miastenik juga melibatkan
gangguan pada hidung (berupa kelemahan pada tonsil), dan cadel (akibat
kelemahan lidah, bibir, dan wajah), meskipun tidak ada kesulitan dengan
kefasihan bahasa.8
Pasien juga mengeluh kelelahan dan kelemahan berfluktuasi. Kelemahan
memburuk setelah aktivitas dan biasanya membaik dengan istirahat. Fitur
klinis yang membedakan miastenia gravis adalah kelelahan patologis. Pada
penyakit ringan, ditemukan kelemahan saat memalingkan wajah. Secara
umum, kelemahan ekstremitas atas lebih umum daripada kelemahan
ekstremitas bawah. Pasien mungkin mengeluh kesulitan ketika mencapai
sesuatu dengan tangan mereka, bangkit dari kursi, atau naik dan turun tangga.
Hal penting yang harus diingat adalah bahwa jika pasien telah mengalami

kelemahan anggota gerak tanpa keterlibatan okular, diagnosis miastenia


gravis harus dipertanyakan. Seperti gangguan terbatas pada neuro muscular
junction, tidak ada kelainan kognisi, fungsi sensorik, atau fungsi otonom.
Selanjutnya, tidak jarang untuk pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
gejala depresi.8
5. Klasifikasi
Klasifikasi Myasthenia Gravis berdasarkan The Medical Scientific
Advisory Board (MSAB) of the Myasthenia Gravis Foundation of America
(MGFA) sebagai berikut:9
a. Class I; Kelemahan otot okular dan Gangguan menutup mata, otot lain
masih normal
b. Class II; Kelemahan ringan pada otot selain okular, Otot okular
meningkat kelemahannya.
c. Class IIa; Mempengaruhi ekstremitas, sedikit mempengaruhi otot-otot
oropharyngeal.
d. Class IIb; Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga
mempengaruhi ekstremitas.
e. Class III; Kelemahan sedang pada otot selain okuler, meningkatnya
kelemahan pada otot okuler.

f. Class IIIa; Mempengaruhi ektremitas, sedikit mempengaruhi otot-otot


oropharyngeal.
g. Class IIIb; Mempengaruhi otot-otot oropharyngeal dan pernapasan, juga
mempengaruhi ekstremitas.
h. Class IV; Kelemahan berat pada selain otot okuler, kelemahan berat pada
otot okuler.
i. Class Iva; Mempengaruhi ekstremitas, sedikit mempengaruhi pada otototot oropharyngeal.
j. Class

IVb;

Terutama

mempengaruhi

otot-otot

pernapasan

dan

oropharyngeal, juga mempengaruhi otot-otot ekstremitas.


k. Class V; Pasien yang membutuhkan intubasi (kecuali
pada kasus post-operatif).
Untuk memudahkan terapi dan prognosis berdasarkan
stadium klinis, Osserman memperkenalkan klasifikasi berikut,
klasifikasi ini telah diperkenalkan secara luas:1,10

a. Miastenia ocular (15-20%)

b. Miastenia

bentuk

umum

yang

ringan

dengan

perkembangan yang lambat; tidak ada krisis; respon


pengobatan (30%).
Miastenia bentuk umum yang berat dengan melibatkan
otot rangka dan otot okular tapi tidak ada krisis; respon
obat kurang memuaskan (25%).
c. Miastenia Fulminan Akut; perkembangan yang cepat dari
gejala berat dengan krisis pernapasan dan respon obat
yang buruk; tingginya insiden thymoma; persentase
kematian tinggi (15%).
d. Miastenia berat; gejala sama seperti miastenia fluminan
akut, namun terjadi perkembangan cepat selama 2 tahun
dari miastenia ocular ke miastenia bentuk umum yang
ringan maupun berat (10%).
Penulis lain (Compston et al) telah mengklasifikasikan
penyakit sesuai dengan usia onset, ada atau tidak adanya
thymoma, tingkat antibodi terhadap acetylcholine reseptor
(AChR), dan hubungan dengan HLA haplotype:10

a. Myasthenia gravis dengan thymoma, tidak ada perbedaan


jenis

kelamin

dan

tidak

berhubungan

dengan

HLA,

tingginya titer antibodi AChR.


b. Onset sebelum usia 40 tahun, tidak ada thymoma,
perempuan lebih dominan, dan berhubungan dengan
peningkatan HLA A1, B8, dan antigen DRW3.
c. Onset setelah usia 40 tahun, tidak ada thymoma-laki-laki
lebih dominan, berhubungan dengan peningkatan HLA A3,
B7, dan antigen DRW2, AChR titer antibodi yang rendah.
Kelompok ini lebih dominan terjadi pada laki-laki yang
lebih

tua

dengan

murni

mengalami

gejala

okular

(Osserman tipe I).


6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penyakit
Miastenia Gravis, yaitu:3
a. Analisis antibodi reseptor asetilkolin serum (15% pasien
negatif).
b. Tes tensilon: injeksi edrofonium (antikolinesterase kerja
singkat yang secara sementara akan mempertahankan
asetilkolin dengan melakukan blok pada metabolismenya)
secara intravena akan menyebabkan perbaikan klinis
yang cepat dan sementara. Tes ini sebaiknya dilakukan
secara

tersamar

ganda

dan

disiapkan

peralatan

resusitasi dan atropine jika terjadi efek muskarinik akibat


kelebihan asetilkolin.
c. EMG, termasuk pemeriksaan serabut tunggal.
d. Tes fungsi tiroid untuk tirotoksikosis.
e. Analisis antibodi terhadap otot lurik, pada sebagian besar
pasien timoma akan positif.
f. CT Scan mediastinum anterior untuk mencari pembesaran
timus.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada penyakit Miastenia Gravis:4
a) Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3
jam atau neostigmin bromide 15-45 mg per oral tiap 3
jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat. Terapi
kombinasi

tidak

menunjukkan

hasil

yang

mencolok.

Apabila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan


secara subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral
setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului
dengan pemberian atropin 0,5-1,0 mg. Pemberian antikolinterase akan sangat bermanfaat pada miastenia
gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh simulasi parasimpatis,
termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salvasi berlebihan.
Efek samping gastro-intestinal dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromide atau atropin.
b) Steroid
Diantara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk
miastenia gravis dan diberikan sekali sehari secara

selang-seling (alternate days) untuk menghindari efek


samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan
secara bertahap (5-10 mg/minggu) untuk menghindari
eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejalagejala terkontrol atau dosis mencapai 120 mg secara
selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari,
dengan memperhatikan efek samping yang mungkin ada.
Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila
sudah ada perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara
perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis

minimal

yang

efektif.

Perubahan

pemberian

prednisolon secara mendadak harus dihindari.


c) Azatioprin
Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8
minggu

pertama.

Setiap

minggu

harus

dilakukan

pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu


pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin
sangat dianjurkan.
d) Timektomi
Pada penderita tertentu

perlu

dilakukan

timektomi.

Perawatan pasca operasi dan control jalan napas harus

benar-benar

diperhatikan.

Melemahnya

penderita

beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya


pemberian antikolinterase sering kali merupakan tanda
adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.
e) Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali
dengan dosis 50 ml/KgBB. Cara ini akan memberikan
perbaikan yang jelas dalam waktu singkat. Plasmaferesis
bila

dikombinasikan

dengan

pemberian

obat

imunosupresan akan sangat bermanfaat bagi kasus yang


berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas bahwa
terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik
sehingga penderita mampu hidup atau tinggal di rumah.

8. Penyulit
Ada 2 penyulit yang penting:7
a) Krisis Kolinergik
Dapat terjadi bila kolinterase dihambat secara berlebihan
oleh obat-obat antikolinterase. Gejala kolinergik seperti
bingung,

pucat,

berkeringat

dan

pupil

miosis

akan

menyertai kelemahan otot yang progresif.


b) Krisis Miastenia
Terjadi akibat terapi yang tidak adekuat dan adanya
deteriorasi. Terutama terjadi pada keadaan pascabedah,
partus, infeksi atau dengan menggunakan obat-obat yang

memperberat keadaan mistenia. Bila ragu-ragu dapat


dipergunakan edrofonium.
Pada krisis kolinergik, terdapat deteriorasi yang bersifat
temporer. Pada krisis miastenia perbaikan bersifat sementara.
9. Terapi Penyulit
Pada krisis kolinergik, obat-obat antikolinesterase
dihentikan sementara dan dimulai dengan dosis yang lebih
kecil bila keadaan menjadi stabil. Segera diberikan atropine
1,25 mg intravena dan diberikan 1,25 mg intramuskularis,
setiap jam sampai keringat berhenti dan pupil melebar lebih
dari 3 mm. Pada krisis miastenia diberikan neostigmin 1-2,5
mg intramuskularis.7
10. Kesimpulan
a) Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang
ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif
pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction.
b) Kelemahan pada otot-otot pada miastenia gravis dan
meningkatnya kelemahan otot pada saat melakukan
kegiatan fisik adalah disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction.
c) Myasthenia Gravis adalah penyakit kelemahan pada otot, maka gejalagejala yang timbul juga dapat dilihat dari terjadinya kelemahan pada

beberapa otot. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot yang
mengontrol gerak mata, kelopak mata, bicara, menelan mengunyah, dan
bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot
pernafasan.
d) Penatalaksaan utama pada miastenia gravis dapat diobati dengan
antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

Daftar Pustaka
1. Thavasoti, M. Myasthenia Gravis. British Journal of Anesthesia Volume 2
Number 3. The Board of Management and Trustees of the British Journal of
Anesthesia. 2002.
2. Widhyadarma,

I.P.E.,

Miastenia

dkk.

Gravis.

Diagnosis

dan

Tata

Diunduh

http://download.portalgaruda.org/article.php?article.

Laksana
dari
18

Februari 2015.
3. Ginsberg, L. Lecture Notes Neurologi. Edisi Kedelapan. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2008.
4. Harsono. Kapita Selekta Neurologi. Edisi ke-7. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2009.

5. Snell, R.S. Neuroanatomi Klinik. Edisi 7. Jakarta: EGC. 2013.


6. Nataprawira,

R.

Neuromuscular

Junction.

Diunduh

https://www.scribd.com/doc/210477095/Neuromuscular-Junction.

dari
21

Februari 2015.
7. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi keempat. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press. 2008.
8. Khotari, M.J. Myasthenia Gravis. The Journal of The American
Osteopathic Association. Volume 104. 2004.
9. Anonim. Penyakit Autoimun Miastenia Gravis, Manivestasi Klinis
dan Pengobatan.. Media Indonesia Sehat Information Education
Network. 2012.
10.

Adams & Victor's. Principles of Neurology 7th edition.

Diunduh

dari

http://www.federaljack.com/ebooks/Consciousness%20Books
%20Collection/Adams%20and%20Victor%20%20Principles
%20Of%20Neurology%207th%20ed.pdf

Adams

&

Principles of Neurology 7th edition. 20 Februari 2015.

Victor's

Anda mungkin juga menyukai