Anda di halaman 1dari 17

BAB I

LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. S
Tanggal Lahir
: 5 September 2011
Umur
: 3 Tahun 2 Bulan
Jenis kelamin
: Laki-laki
BBL
: tidak tahu
PBL
: tidak tahu
BB masuk
: 13 kg
TB masuk
: 86 Cm
Agama
:
Suku/Bangsa
:
Alamat
: Jl.
No. RM
:
Tanggal masuk : 28 Oktober 2014
B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan Nenek penderita
Keluhan utama : Demam Tinggi
Anamnesis Terpimpin :
- Demam sejak 4 hari yang lalu SMRS, demam terus-menerus. Demam
hanya turun sesaat setelah diberi obat penurun panas, menggigil (+),
-

kejang (-), sakit kepala (+).


Pilek (+) sejak 1 minggu SMRS, lendir (+), batuk (-).
Nyeri ulu hati (-), mual muntah (-), nafsu makan menurun, sebelumnya

anak kuat makan


BAB dalam batas normal
BAK kesan lancar

Riwayat Pengobatan: Sanmol


Riwayat Imunisasi: Belum pernah mendapatkan imunisasi.
Riwayat minum ASI : tidak pernah
Riwayat keluhan demam disertai keluhan sama sebelumnya : tidak pernah
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama: tidak ada
Riwayat keluhan demam disekitar lingkungan : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sakit sedang, Gizi
Tekanan darah
: 100/60 mmHg
Nadi
: 163 x/menit

, sadar

Pernapasan
Suhu
Berat badan
Tinggi badan
Pucat
Ikterus
Busung/edema
Keadaan spesifik
Kulit

: 68 x/menit
: 38,1C
: 13 kg
: 68 cm
: (+) Sianosis
: (-) Tonus
: (-)

Gigi

: Turgor baik, rumple leede (-)

2212
2212
Kepala
Bentuk
Rambut
UUB
Telinga
Mata
palpebra (-)
Hidung
Bibir
Lidah
Mulut
Tenggorok
Tonsil
Leher
Paru-paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi

: (-)
: (-)

2122
2122

:
: Normosefal
: Hitam, tidak mudah tercabut
: Sudah menutup
: Otorhea (+)
: Konjungtiva pucat (-), sclera ikterik (-), edem
: Rinorhea (+),
: Kering (+), pucat (+), pecah-pecah (+)
: Kotor (-)
: Stomatitis (-) kandidiasis (-)
: Hiperemis (-)
: T2-T2, hiperemis (-)
: Kaku kuduk (-),
:
: Simetris Kiri = Kanan, Retraksi (+) (IC, SC,
epigastrium)
: Sela iga simetris Kiri = Kanan
: Sonor pada kedua lapangan paru
: Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan
: ronki -/wheezing -/:
: Iktus cordis tidak nampak
: Iktus cordis tidak teraba
: Pekak
: Batas kiri Linea Midclavicularis sinistra
: Batas kanan Linea parasternalis dekstra
: Bunyi jantung I/II, murni regular
:
: Datar, ikut gerak napas.
2

Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Kelenjar limfe
Alat kelamin
Anggota gerak
Tasbeh
Col. vertebralis
Reflex patologis

: Peristaltik (+) kesan normal


: Timpani (+)
: Nyeri tekan perut kanan (-), massa tumor (-)
: Tidak ada pembesaran
: Tidak ada kelainan
: Tidak ada kelainan
: (-)
: skoliosis (-), spondilitis (-)
: (-)

D. DIAGNOSA KERJA
DBD Grade 3
E. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Darah Perifer Lengkap
- C-Reactive Protein (CRP)
- Uji Serologis
- Pemeriksaan Mikrobiologi
F. PENATALAKSANAAN
R/
IVFD DS NS 10 tpm (mikrodrips)
O2 1-2 L/menit nasal
Cefotaxime 350 mg iv/12 jam
Ambroxol syrup 3 x cth
Paracetamol syrup 3 x cth
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
H. RESUME
Anak laki-laki usia 3 tahun 2 bulan datang dengan keluhan demam
tinggi yang dialami sejak 4 hari yang lalu SMRS, demam terus-menerus.
Demam hanya turun sesaat setelah diberi obat penurun panas, anak menggigil
serta merasakan nyeri kepala, namun tidak mengalami kejang.
Anak juga menderita pilek sejak 1 minggu lalu SMRS, pilek disertai lendir,
batuk tidak ada. Nyeri ulu hati tidak ada, mual muntah tidak ada, nafsu
makan menurun namun sebelumnya anak kuat makan. BAB dan BAK kesan
normal. Riwayat pengobatan diberikan sanmol untuk penurun demamnya.
Anak ini belum pernah mendapatkan imunisasi serta tidak pernah
mendapatkan ASI sejak lahir.

Pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum, sakit sedang, gizi baik


Tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 163 x/menit, pernapasan 68 x/menit dan
suhu 38,1C
I. FOLLOW UP
TANGGAL
28 2014

KELUHAN
- N :158 x/menit, S :

INSTRUKSI DOKTER
- IVFD DS NS 10 tpm

37,3 0C, P : 61
x/menit
- Sesak (+)
- Batuk (+++), Demam
(-) Mual (-),

(mikrodrips)
O2 1-2 L/menit nasal
Cefotaxime 350 mg

iv/12 jam
Ambroxol syrup 3 x
cth

muntah (-),
- Nafsu makan
berkurang
- BAK BAB Biasa
17 Mei 2014

- N : 142 x/menit, P :

IVFD DS NS 10 tpm

(mikrodrips)
Cefotaxime 350 mg

iv/12 jam
Ambroxol syrup 3 x

54x/menit, S :
37.50C
- Sesak (-)
- Batuk (++), Demam
(-) Mual (-),

cth

muntah (-),
- Nafsu makan

18 Mei 2014

membaik
- BAK BAB Biasa
- N : 142 x/menit, P :

Pasien boleh di

pulangkan terapi oral


Cefadroxil syrup 2 x

cth selama 10 hari


Ambroxol syrup 3 x

cth
Paracetamol syrup 3 x

54x/menit, S :
37.50C
- Sesak (-)
- Batuk (+), Demam
(-) Mual (-),
muntah (-),
- Nafsu makan
membaik
BAK BAB Biasa

cth (berikan bila


demam)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan intersisiel, sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan
lain-lain), secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumonia, Hemophilus influenza, Staphylococcus auerus,
streptokokus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Beberapa
faktor yang dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya dan beratnya pneumonia
antara lain defek anatomi bawaan, defisit imunologis, polusi, GER, dan lain-lain.
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu :
1) pneumonia masyarakat (Community-acquired pneumonia), bila infeksinya
terjadi di masyarakat, dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial
(hospital-acquired pneumonia), bila infeksinya didapat di RS. Selain berbeda
dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua bentuk pneumonia ini juga berbeda
dalam spektrum etiologinya, gambaran klinis, penyakit dasar atau penyakit
penyerta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS sering merupakan
infeksi sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga spektrum
etiologinya berbeda dengan infeksi yang terjadi dimasyarakat. Oleh karena itu,
gejala klinis, derajat beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih
kompleks. Pneumonia yang didapat di RS memerlukan penanganan khusus sesuai
dengan penyakit dasarnya.
Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan
bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh

penyebab non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan


gangguan pertukaran gas setempat.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang
disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
juga

sejumlah

penyebab

non

infeksi

yang

perlu

dipertimbangkan.

Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai


keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi
primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang dewasa.
B. Epidemologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
mordibitas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (Balita). Diperkirakan
hampir kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal
setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi diAfrika dan di Asia
Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,8% kematian balita
di Indonesia disebabkan penyakit system respiratori, terutama pneumonia.
C. Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab
pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi
pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan
bakteri gram negativ seperti E.coli, Pseudomonas sp, atau klebsiella sp. Pada bayi
yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi
Streptococcus pneumonia, hemophilus influenza tipe B, dan staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut,
sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumonia.

Di Negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus,


disamping bakteri, atau campuran bakteri dengan virus. Virus yang terbanyak
ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus dan virus
Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumonia. Kelompok anak
berusia 2 tahun keatas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak
daripada anak yang berusia dibawah 2 tahun.
D. Patologi dan patogenesis
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui
saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian
paru yang tekena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,
eritrosit, cairan edema, dan ditemukannnya kuman di alveoli. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi merah.

Selanjutnya, deposis fibrin semakin bertambah,

terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang
cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah
makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,
kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopolmuner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.
E. Manifestasi Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang
berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatan di RS. Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda
berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu,
retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih tua jarang
ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis,
batuk, panas, dan iritabel.

Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(nonproduktif / produktif ), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi
dinding dada. Pada kelompok anak sekolahan dan remaja, dapat dijumpai panas,
batuk (nonproduktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pada semua kelompok umur, akan dijumpai adanya napas cuping hidung.
Pada auksultasi, dapat didengar suara pernapasan menurun. Fine crackles
(ronki basah halus) yang khas pada anak besar, bisa tidak ditemukan pada bayi.
Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, vokal fremitus
menurun, suara napas menurun, dan terdengar fine creckles (ronki basah halus)
didaerah yang terkena. Iritasi pleura akan mengakibatkan nyeri dada. Bila berat
gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring kearah yang sakit.
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan juga pneumonia mikoplasma
umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat.
Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang
berkisar

antara

Leukopenia

15.000-40.000/mm3

(<5.000mm3)

dengan

menunjukkan

predominan

prognosis

yang

PMN.
buruk.

Leukositosis hebat (>30.000mm3) hampir selalu menujukkan adanya


infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan bakteriremia, dan resiko
terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Chalmydia pneumonia
kadang-kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan
eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300-100.000/mm3, protein
>2,5g/dl, dan glukosa relative lebih rendah daripada glukosa darah.
Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang
meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan
LED tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri
secara pasti.
b. C-reactive Protein ( CRP )

C-reactive protein adalah suatu fase akut yang sintesis oleh


hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
dengan cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1,
dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya belum
diketahui,

CRP

sangat

mungkin

berperan

dalam

opsoniasi

mikroorganisme atau sel yang rusak.


Secara klinis CRP digunkan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan anatra faktor infeksi dengan non infeksi, infeksi virus dan
infeksi bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. C-reactive protein
kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik. Suatu
penelitian melaporkan bahwa CRP cukup sensitif tidak hanya untuk
diagnosis empiema torasis, tetapi juga untuk memantau respons
pengobatan. Dari 38 kasus empiema yang diselidiki, ternyata sebelum
pengobatan semua kasus mempunyai CRP yang tinggi. Dengan
pengobatan antibiotik, kadar CRP turun secara meyakinkan pada hari
pertama pengobatan. Hanya empat pasien yang CRPnya tidak kembali
normal pada saat pulang dari RS. Meskipun demikian, secara umum CRP
belum terbukti secara konklusif dapat membedakan anatara infeksi virus
dan bakteri.
c. Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan atibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan
tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti antisreptolisin O, streptozim, atau anti
Dnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terlebih
dahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase
konvalesen (paired sera).

Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam


mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi
bakteri atipik seperti mikoplasma dan klamidia, serta beberapa virus
seperi RSV, sitomegali, campak, Parainfluenza 1,2,3, influenza A dan B,
dan adeno, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi
diagnosis.
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak
rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi
paru. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan dari darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada masa neonatus, kejadian
bakterimia sangat rendah sehingga kultur darah jarang yang positif. Pada
pneumonia anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada kultur
darah. Pada anak besar dan remaja, spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan gram
maupun untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum
yang mengandung lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40 sel
epitel/lapangan pada pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran kecil.
Spesimen dari nasofaring untuk kultur maupun untuk deteksi antigen
bakteri kurang bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri
dinasofaring.
Kultur darah jarang positif pada infeksi Mikoplasma dan Klamidia,
oleh karena itu tidak rutin dianjurkan. Pemeriksaan PCR memerlukan
laboratorium yang canggih disamping tidak selalu tersedia, hasil PCR
positif pun tidak selalu menjukkan diagnosis pasti.
e. Pemeriksaan Rontgen toraks

10

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,


hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan
foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Kadang-kadang bercak sudah ditemukan pada
gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi
infiltrate sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis
menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit
memburuk, atau untuk tindak lanjut.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang
diagnosis pneumonia di Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan
rontgen toraks posisi AP. Lynch dkk.mendapatkan bahwa tambahan
posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas
dan spesifitas penegakkan diagnosis pneumonia pada anak. Foto rontgen
toraks AP dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan
gejala klinis distress pernapasan seperti takipneu, batuk, dan ronki
dengan atau tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:

Infiltrat

bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi.


Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan

intersisial,

ditandai

dengan

peningkatan

corakan
air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan


pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan

menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia


Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga
daerah

perifer

paru,

disertai

dengan

peningkatan

corakan

peribronkial.

11

Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi


infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru.
Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak
terbanyak berada diparu kanan, terutama dilobus atas. Bila ditemukan
diparu kiri, dan terbanyak dilobus bawah, maka hal itu merupakan
prediktor perjalanan penyakit yabg lebih berat dengan resiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat.
Beberapa faktor teknis radiologis dan faktor non infeksi dapat
menyebabkan gambaran yang menyerupai pneumonia pada foto rontgen
toraks.
Faktor teknis radiologis :

Intensitas sinar rendah (underpenetration)


Grid pada film tidak merata
Kurang inspirasi

Faktor non infeksi :

Bayangan timus
Bayangan payudara
Gambaran atelektasis

Gambaran atelektasis sulit dibedakan dengan gambaran pneumonia


pada foto rontgen toraks. Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab
seperti kompresi ekstrinsik pada bronkus, (malformasi congenital,
limfadenopati, tumor, penyakit cardiovaskular, web, atau ring) dan
obstruksi

bronkial

intrinsik

(benda

asing,

edema,

inflamasi,

bronkomalasia, atau stenosis, tumor, dan sumbatan mukus). Disamping


itu, penyakit paru noninfeksi juga dapat menyebabkan atelektasis,
misalnya penyakit membrane hialin atau edema paru.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat
12

intersisial merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia


virus. Infiltrate alveolar merupakan konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia, dan air bronkogram sangat mungkin disebabkan oleh
bakteri. Pada pneumonia staphylococcus sering ditemukan abses-abses
kecil dan pneumatokel dengan berbagai ukuran.
Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia mikoplasma sangat
bervariasi. Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran
foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain itu dapat juga ditemukan
gambaran bronkopneumonia terutama dilobus bawah, infiltrate intersisial
retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya lesi foto rontgen toraks lebih berat daripada
gambaran klinisnya. Meskipun tidak terdapat gambaran foto rontgen
toraks yang khas, tetapi bila terdapat gambaran retikulonoduler fokal
pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi mikoplasma.
Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground glass
consolidation

serat

transiet

pseudoconsolidation

karena

infiltrat

intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan adanya infeksi


mikoplasma. Gambaran radiologis pneumonia klamidia sulit dibedakan
dengan pneumonia mikoplasma.
Meskipun

terdapat

beberapa

pola

yang

memberikan

kecenderungan, secara umum gambaran foto rontgen toraks tidak dapat


membedakan secara pasti antara pneumonia virus, bakteri, mikoplasma,
atau campuran mikroorganisme tersebut.

G. Diagnosis
Diagnosis etiologis berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan atau
serologis merupakan dasar terapi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium penunjang yang

13

memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada anak umumnya didiagnosis


berdasarkan gambaran klinis yang menujukkan keterlibatan sistem respiratori,
serta gambaran radiologis. Prediktor yang paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipneu,
batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki dan suara napas melemah.
Akibat tingginya angka mordibitas dan mortalitas pneumonia pada balita,
maka dalam upaya penanggulangannya, WHO mengembangkan pedoman
diagnosis dan tatalaksana yang sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk
pelayanan kesehatan primer, dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyrakat
dinegara berkembang. Tujuannya ialah menyederhanakan kriteria diagnosis
berdasarkan gejala klinis yang dapat langsung dideteksi menetapkan klasifikasi
penyakit, dan menentukan dasar pemakaian antibiotik. Gejala klinis sederhana
tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak
segera dirujuk kepelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung
frekuensi napas selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak
napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam
ketika menarik napas (retraksi epigastrium). Tanda dan bahaya pada anak berusia
2 bulan 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia dibawah 2 bulan adalah malas
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa
dingin.

Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.


Bayi dan anak berusia 2 bulan 5 tahun
Pneumonia berat

14

Bila ada sesak napas


Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
Bila tidak ada sesak napas
Ada napas cepat dengan laju napas :
>50x/menit untuk anak berusia 2 bulan 1 tahun
>40x/menit untuk anak >1-5 tahun
Bukan pneumonia
Bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan
simptomatis seperti penurunan napas.

Bayi berusia dibawah 2 bulan


Pada bayi berusia dibawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih
bervariasi, mudah terjadi kompliaksi dan sering menyebabkan kematian.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut :

Pneumonia
Bila ada napas cepat ( >60x/menit) atau sesak napas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
Tidak ada napas cepat atau sesak napas
Tidak perlu dirawat , cukup diberikan pengobatan simptomatis.

H. Tatalaksana
a. Medikamentosa
Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan sehingga
pemberian antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan pola kuman yang
tersering yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae.
Pemberian antibiotik sesuai dengan kelompok umur. Untuk bayi dibawah
3 bulan diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida. Untuk usia > 3
bulan, ampisilin dipadu dengan kloramfenikol merupakan obat pilihan pertama.
Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema, antibiotic pilihan adalah
golongan sefalosporin.

15

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,


dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab
pneumonia adalah S.aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi
terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klimdamisin, atau vancomycin.
Lama pengobatan untuk stafilokok adalah 3-4minggu.
b. Bedah
Pada umumnya tidak ada tindakan bedah kecuali bila terjadi komplikasi
pneumotoraks / pneumomediastinum.
c. Terapi Suportif
Pemberian oksigen sesuai dengan drajat sesaknya. Nutrisi parenteral diberikan
selama pasien masih sesak.
d. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialis lainnya, dll)
Pada umumnya tidak memerlukan rujukan subspesialis. Jika terjadi atelektasis
perlu rujukan ke rehabilitasi medik.
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus.
1. Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a.

Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak


diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal.

b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
c.

Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan


manifestasi

klinis.

Pneumonia

ringan

amoksisilin

10-25

mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi


dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi:
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis

16

2. Berat ringan penyakit


3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari.
I. Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis
purulenta, pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis
purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada
pneumonia bakteri.
Ilten F dkk. Melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik
ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung yang
cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena
miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan
deteksi dengan teknik non invasive seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan
enzim.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bradley J.S., at al. 2011. The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical
Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630
2. Rahajoe, N. 2011. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Kelima. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta
3. Standar Pelayanan Medik. 2009. Pneumonia. Makassar : Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah Sakit
DR. Wahidin Sudirohusodo
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : Penerbit IDAI

17

Anda mungkin juga menyukai