Anda di halaman 1dari 14

KONTRAKSI OTOT GASTROKNEMUS DAN OTOT JANTUNG KATAK

Oleh :
Nama
NIM
Kelompok
Rombongan
Asisten

: Korrie Slasabila
: B1J011108
: II
:4
: Arya Nugraha

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN II

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2013

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otot adalah sistem biokontraktil yang terdiri atas sel-sel memanjang dan
dikhususkan untuk menimbulkan tegangan pada sumbu yang memanjang. Otot
merupakan jaringan umum pada tubuh yang terbuat dari sel panjang atau benangbenang khusus untuk kontraksi. Hal itu menyebabkan adanya pergerakan dari tubuh
dan bagian kerja otot adalah voluntari (dibawah kontrol kesadaran) atau involuntari
(tidak dibawah kontrol keinginan) (Kimball, 1996).
Otot terbagi dalam beberapa jenis antara lain otot lurik, otot polos dan otot
jantung. Otot lurik memiliki desain yang efektif untuk pergerakan yang spontan dan
membutuhkan tenaga besar. Pergerakannya diatur sinyal dari sel saraf motorik. Otot
ini menempel pada kerangka dan digunakan untuk pergerakan. Otot polos merupakan
otot yang ditemukan dalam intestinum dan pembuluh darah, bekerja dengan
pengaturan dari sistem saraf tak sadar, yaitu saraf otonom. Otot polos dibangun oleh
sel-sel otot yang terbentuk gelondong dengan kedua ujung meruncing serta
mempunyai satu inti. Otot jantung ditemukan dalam jantung bekerja secara terusmenerus tanpa henti. Pergerakannya tidak dipengaruhi sinyal saraf pusat (Ganong,
1992).

1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui efek perangsangan elektrik
terhadap besarnya respon kontraksi otot gastroknemus dan efek perangsangan kimia
terhadap kontraksi otot jantung katak.

II. MATERI DAN CARA KERJA

2.1 Materi
Alat- alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah gunting, pinset, benang,
jarum, baki, universal kimograf dan pipet tetes.
Bahan yang digunakan adalah katak hijau, larutan ringer dan larutan
asetilkolin 3 5%.

2.2 Cara Kerja


2.2.1 Pengukuran kontraksi otot gastroknemus
1. Universal Kimograf dan asesorinya disiapkan.
2. Katak hijau dimatikan dengan cara dirusak otak dan sumsum tulang belakangnya.
Tanda katak mati adalah tidak adanya reflek yang terjadi bila kaki katak disentuh.
3. Katak ditelentangkan pada bak preparat, lalu dibuat irisan kulit melingkar pada
pergelangan kaki katak.
4. Tepi kulit yang telah dipotong dipegang erat-erat dan disingkap kulitnya hingga
terbuka sampai lutut
5. Otot gastroknemus dipisahkan dari otot lain pada tungkai bawah.
6. Tendon diikat dengan benang yang cukup kuat dan panjang, lalu tendon achiles
dipotong.
7. Otot gastroknemus selalu ditetesi dengan larutan Ringer agar sel-selnya tetap
hidup.
8. Sediaan katak dipasang pada papan fiksasi yang terdapat pada asesori Kimograf
dan bagia tepi tubuh katak ditusuk dengan jarum dan ditancapklan ke papan, agar
katak tidak bergerak.
9. Besar skala pada Kimograf dicatat untuk tiap rangsangan elektrik yang digunakan
yaitu 0, 5, 10, 15, 20, 25 volt.

2.2.2 Pengukuran kontraksi otot jantung


1. Katak dilemahkan dengan merusak otaknya.
2. Bagian dada katak dibedah dari arah perut hingga jantung terlihat.
3. Pericardium yang menyelimuti jantung katak dilepaskan.
4. Amati detak jantung katak selama 15 detik x 4.
5. Teteskan asetilkolin 3-5%.
6. Amati detak jantung katak selama 15 detik x 4.
7. Bandingkan sebelum dan sesudah ditetesi asetilkolin 3-5%.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil
Tabel 1. Pengukuran Kontraksi Otot Gastroknemus Katak
No.

Voltage
(volt)

Amplitudo (mm/volt)

10

15

20

4.8

25

3.8

Tabel 2. Pengukuran Kontraksi Otot Jantung Katak


Sebelum ditetesi asetilkolin

Sesudah ditetesi asetilkolin

28

32

76

36

64

56

80

32

Grafik 1. Hubungan Antara Voltase dan Amplitudo pada Kontraksi Otot


Gastroknemus Katak
6

Amplitudo (mm)

5
4
3
2
1
0
0

10

15

20

25

Voltase (V)

Perhitungan amplitude :
Voltase 15
Jumlah gelombang : 8
Jarak lembah ke puncak semua gelombang : 3+3+3+3+3+3+3+3
= 3+3+3+3+3+3+3+3
= 24/Jumlah gelombang
= 24/8
=3
Voltase 20
Jumlah gelombang : 10
Jarak lembah ke puncak semua gelombang : 4+4+5+5+5+5+5+5+5+5
= 4+4+5+5+5+5+5+5+5+5
= 48/Jumlah gelombang
= 48/10
= 4.8

Perhitungan otot jantung :


Kel. 1
Jumlah detak jantung sebelum ditetesi asetilkolin : 7 x 4 = 28
Jumlah detak jantung sesudah ditetesi asetilkolin : 8 x 4 = 32
Kel. 2
Jumlah detak jantung sebelum ditetesi asetilkolin : 19 x 4 = 76
Jumlah detak jantung sesudah ditetesi asetilkolin : 9 x 4 = 36
Kel. 3
Jumlah detak jantung sebelum ditetesi asetilkolin : 16 x 4 = 64
Jumlah detak jantung sesudah ditetesi asetilkolin : 14 x 4 = 56
Kel. 4
Jumlah detak jantung sebelum ditetesi asetilkolin : 20 x 4 = 80
Jumlah detak jantung sesudah ditetesi asetilkolin : 8 x 4 = 32

3.2 Pembahasan
Otot gastroknemus merupakan otot betis yang besar dengan origonya pada
ujung femur dan tendon lutut. Insertionya dengan perantara tendon achiles yang kuat
melalui daerah tumit ke fasia plantaris dan bekerja untuk menekan betis (Djuanda,
1982). Hasil pengukuran terhadap kontraksi otot jantung pada kelompok 4 yaitu
sebelum ditetesi asetilkolin denyut jantung katak sebanyak 80 denyut/menit dan
sesudah ditetesi asetilkolin menjadi 32 denyut/menit. Kelompok 1 sebelum dan
sesuadah ditetesi asetilkolin adalah 28 denyut/menit dan 32 denyut/menit. Kelompok
2 sebelum dan sesuadah ditetesi asetilkolin adalah 76 denyut/menit dan 36
denyut/menit. Kelompok 3 sebelum dan sesuadah ditetesi asetilkolin adalah

64

denyut/menit dan 56 denyut/menit. Hasil pada kelompok 2, 3 dan 4 tidak sesuai


dengan pernyataan Storrer dan Bandman (1961) bahwa transmisi pada hubungan
neuromuskuler dan sinaps tertentu lainnya melibatkan sekresi dan komeresepsi
asetikolin. Perangsang yang kuat ini menyebabkan depolarisasi setempat dari
membran sel otot, yang memulai penyebaran impuls dalam membran dan
menyebabkan kontraksi serabut otot. Serabut simpatik post ganglion mempercepat
denyut jantung dengan melepaskan norepinefrin. Mekanisme pelepasan asetikolin
memerlukan ion kalsium dan dihambat oleh ion magnesium (Ville et al.,1988). Hal ini
mungkin disebabkan karena proses perhitungan denyut dilakukan saat katak sudah
terlalu lama dibiarkan, sehingga denyut jantung katak melemah.
Hasil pengukuran kontraksi otot gastroknemus katak pada voltase berturutturut 0 volt, 5 volt, 10 volt, 15 volt, 20 volt, 25 volt didapatkan amplitudonya adalah 0
mm/volt, 0 mm/volt, 0 mm/volt, 3 mm/volt, 4.8 mm/volt dan 3.8 mm/volt. Grafik
menunjukan otot gastroknemus yang diberi voltase 0 volt hingga 10 volt,
amplitudonya konstan, sedanhkan otot gastroknemus yang diberi voltase 15 volt
sampai 20 volt, amplitudonya meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
rangsangan dalam hal ini voltase (V), maka akan meningkatkan

amplitudo (A),

namun ketika diukur pada 25 volt, amplitudo justru menurun. Hasil pengukuran ini
tidak sesuai dengan pernyataan Kimball (1996) bahwa apabila kekuatan rangsangan
ditingkatkan (V) kontraksi akan meningkat (A) sampai suatu maksimum.
Mekanisme kontraksi otot dapat dijelaskan dengan model pergeseran filamen
(filamen-filamen tebal dan tipis yang saling bergeser saat proses kontraksi). Menurut
Hodgkin dan Hickman (1972), model pergeseran filamen merupakan gaya

berkontraksi otot yang dihasilkan oleh suatu proses yang membuat beberapa set
filamen tebal dan tipis dapat bergeser antar sesamanya. Storrer dan Bandman, (2003)
menyatakan bahwa pada saat kontraksi, filamen aktin tidak tertarik ke dalam filamen
miosin sehingga overlap satu sama lainnya secara luas. Diskus Z ditarik oleh filamen
aktin sampai ke ujung filamen miosin. Jadi, kontraksi otot terjadi karena mekanisme
pergeseran filamen yang disebabkan oleh kekuatan mekanis, kimia atau elektrostatik
yang ditimbulkan oleh interaksi jembatan penyebrangan dari filamen myisin dan
filamen aktin. Panjang otot yang berkontraksi akan lebih pendek daripada panjang
awalnya saat otot sedang rileks. Pemendekan ini rata-rata sekitar sepertiga panjang
awal. Melalui mikrograf elektron, pemendekan ini dapat dilihat sebagai konsekuensi
dari pemendekan sarkomer, sebenarnya pada saat pemendekan berlangsung, panjang
filamen tebal dan tipis tidak berubah (dengan melihat tetapnya lebar lurik A dan jarak
di Z sampai ujung daerah H tetangga), namun lurik I dan daerah H mengalami reduksi
yang sama besarnya (Gunawan, 2001). Hubungan antara pemendekan otot dan depresi
kekuatan dapat juga ditandai dengan kerja otot mekanik, hubungan antara peregangan
otot dan peningkatan kekuatan yang lebih kompleks. Pengaruh perubahan panjang
otot pada kemampuannya untuk menghasilkan gaya isometrik didokumentasikan
dengan baik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa gaya isometrik yang
dihasilkan oleh otot mengikuti pemendekan aktif menjadi berkurang relatif terhadap
kontraksi isometrik pada panjang yang sama tanpa pemendekan sebelumnya. Gaya
depresi sangat berkorelasi dengan jumlah kerja mekanik otot selama pemendekan
(McGowan et al., 2013).

Larutan dan alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah larutan
Asetilkolin dan larutan Ringer. Fungsi dari larutan Asetilkolin adalah untuk
meningkatkan kontraksi otot jantung, sedangkan fungsi larutan Ringer adalah untuk
menjaga agar otot tetap segar. Percobaan menggunakan kimograf, alat ini berfungsi
untuk mengetahui kontraksi otot jantung katak. Percobaan respon kontraksi otot
jantung katak yang bertujuan untuk mengetahui kontraksi otot jantung dalam keadaan
normal dan adanya stimulus berupa asetilkolin (Ville et al., 1988). Terdapat media
pengikatan di permukaan otot yang dirangsang oleh nikotin dan yang menerima
rangsangan zat yang dikeluarkan ujung saraf yang ternyata asetilkolin ini disebut
sebagai nicotinic acetykcholine receptors (nAChR). Strktur nAChR merupakan
molekul pentamer yang tersusun dari 2 subunit dan 3 subunit , dan (Setiadji,
2010).
Otot jantung termasuk otot seranlintang yang sifatnya involuntari yang artinya
kerjanya tidak dipengaruhi oleh otak. Otot jantung ditemukan hanya pada bagian
jantung dan mempunyai ciri-ciri bergaris-garis seperti pada otot sadar. Perbedaannya
adalah serabutnya bercabang dan mengadakan anastomase yaitu bersambungan satu
sama lain, tersusun memanjang seperti pada otot bergaris, berciri merah khas dan
tidak dapat dikendalikan oleh kemauan. Otot jantung mempunyai kemampuan untuk
mengadakan kontraksi otomatis dan ritmis tanpa bergantung pada ada tidaknya
rangsangan saraf. Cara kerja semacam ini disebut miogenik, maksudnya kontraksinya
dipacu oleh pacemaker yang berupa otot. Kontraksi otot akan lebih kuat jika sedang
renggang dan bila suhunya cukup panas, suhu rendah

memperlemah kontraksi

(Pearce, 2004).

Katak dan amfibia lainnya mempunyai jantung berbilik tiga, dengan dua atria
dan satu ventrikel. Fungsi ventrikel adalah memompakan darah ke dalam sebuah arteri

bercabang yang mengarahkan darah melalui dua sirkuit, yaitu pulmocutaneus circuit
yang mengarah ke jaringan pertukaran gas (dalam paru-paru dan kulit pada katak),
disini darah akan mengambil oksigen dan mengalir melalui kapiler. Darah yang kaya
oksigen kembali ke atrium kiri jantung, dan kemudian sebagian besar di antaranya
dipompakan ke dalam sirkuit sistematik. Sirkuit sistemik (systemic circuit) membawa
darah yang kaya oksigen ke seluruh organ tubuh dan kemudian mengembalikan darah
yang miskin oksigen ke atrium kanan melalui vena. Skema ini yang disebut sirkulasi
ganda (double circulation), menjamin aliran darah yang keluar ke otak, otot, dan
organ-organ lain, karena darah itu dipompa untuk kedua kalinya setelah kehilangan
tekanan dalam hamparan kapiler pada paru-paru atau kulit. (Campbell et al., 2004)
Jantung katak pada umumnya memiliki tiga lapisan, ketiga lapisan jantung
tersebut terdiri dari epikardium, miokardium, dan endokardium. Epikardium
merupakan lapisan jantung sebelah luar yang merupakan selaput pembungkus terdiri
dari dua lapisan yaitu lapisan parietal dan visceral yang bertemu dipangkal jantung
membentuk kantung jantung. Miokardium merupakan lapisan inti dari jantung yang
terdiri dari otot-otot jantung, otot jantung ini membentuk bundalan-bundalan.
Endokardium merupakan lapisan jantung yang terdapat di sebelah dalam yang terdiri
dari jaringan endotel atau selaput lendir yang melapisi permukaan rongga jantung
(Supripto, 1998).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kontraksi otot adalah jumlah serabut otot


yang aktif dan adanya energi yang diperoleh dari ATP dan keratin fosfat. Masingmasing zat tersebut akan mengalami perubahan pada waktu otot berkontraksi, ATP
akan terurai menjadi ADP dan energi, kemudian ADP terurai menjadi AMP dan

energy, sedangkan keratin fosfat akan terurai menjadi keratin, fosfat dan energi
(Hodgkin dan Hickman, 1989). Menurut Soetrisno (1987), faktor-faktor yang
mempengaruhi fisiologis jantung antara lain temperatur lingkungan, zat kimia
(alkohol), ukuran tubuh dan umur. Hewan-hewan kecil mempunyai frekuensi
(frekuensi pulsus) denyut jantung yang lebih cepat dari pada hewan yang besar. Hal
ini disebabkan hewan kecil memiliki kecepatan metabolisme yang lebih tinggi pada
setiap unit berat badannya. Hewan yang muda memiliki frekuensi pulsus yang lebih
cepat dari pada hewan dewasa. Hal ini disebabkan karena pengaruh hambatan nerves
vagus pada hewan-hewan muda belum berkembang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan
bahwa:
1.

Semakin besar voltase listrik yang diberikan maka akan semakin besar pula
amplitudo yang dihasilkan. Nilai amplitudo menunjukan kontraksi otot
gastroknemus yang dihasilkan.

2.

Kontraksi otot jantung pada katak dapat meningkat dengan pemberian stimulus
kimia seperti asetilkolin karena asetilkolin berfungsi untuk meningkatkan kerja
jantung.

DAFTAR REFERENSI

Campbell., N.A, Jane., B.R, dan Lawrence., G.M. 2004. Biologi edisi ke 5 jilid 3.
Erlangga, Jakarta. 2004.
Ganong, W. F. 1992. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.
Gunawan, A. M. S. 2001. Mekanisme dan mekanika pergerakan otot. Jurnal
biomekanika 6 (2): 58-62.
Hodgkin, C. D. and C. P. Jr. Hickman. 1989. Biology of animal. The CV. Mosby
Company, Saint Louis.
Kimball, J. W. 1996. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
McGowan., C.P, Neptune., R.R, dan Herzog., W. 2013. A phenomenological muscle
model to assess history dependent effects in human movement. Journal of
Biomechanics, 46:151157.
Pearce, E. C. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Setiadji, S.V. 2010. Reseptor asetilkolin nikotinik (nAChR). Jurnal medicinus 3(3):2327.
Soetrisno. 1987. Diktat fisiologi hewan. Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto.
Storrer., B.W.C dan Bandman, E. 2003. Heterogeneity of protein expression within
muscle fibers. Journal of Animal Science, 81: 94-101.
Supripto. 1998. Fisiologi Hewan. Penerbit ITB, Bandung.
Ville, C. A., F. W. Warren, and R. D. Barnes. 1988. General biology. W. B. Saunders
Co., New York.

Anda mungkin juga menyukai