Anda di halaman 1dari 11

PENGAMATAN VIRUS PADA BAKTERI DENGAN METODE PLAQUE

Oleh :
Nama
NIM
Kelompok
Rombongan
Asisten

: Rima Ramadhania
: B1J012106
: 2
: I
: Anwar Rovik

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Virus berasal dari bahasa Yunani yaitu venom yang berarti racun. Umumnya
virus merupakan elemen genetik yang mengandung salah satu asam nukleat yaitu
asam deoksiribonukleat (DNA) atau asam ribonukleat (RNA) yang dapat berada
dalam dua kondisi yang berbeda, yaitu secara intraseluler dalam tubuh inang dan
ekstrseluler di luar tubuh inang. Partikel virus secara keseluruhan ketika berada di
luar inang yang terdiri dari asam nukleat yang dikelilingi oleh protein dikenal dengan
nama virion. Virus dapat bertindak sebagai agen penyakit dan agen pewaris sifat.
Virus sebagai agen penyakit memasuki sel dan menyebabkan perubahan-perubahan
yang membahayakan bagi sel yang akhirnya dapat merusak atau bahkan
menyebabkan kematian pada sel yang diinfeksinya, sebagai agen pewaris sifat, virus
memasuki sel dan tinggal di dalam sel tersebut secara permanen (Alexopoulus,
1964).
Partikel virus di luar sel inang tidak mempunyai kegiatan metabolik yang
mandiri. Perbanyakan virus berlangsung dengan replikasi, yaitu protein virus beserta
komponen-komponen asam nukleatnya bereproduksi di dalam sel-sel inang yang
rentan. Langkah-langkah infeksi virus secara garis besar yaitu: (1) pelekatan atau
adsorpsi, (2) penentrasi dan pelepasan selubung, (3) replikasi dan biosintesis
komponen, (4) perakitan dan pematangan, dan (5) pembebasan (Atlas, 1997).
Pendeteksian adanya virus dapat menggunakan mikroskop elektron langsung,
PCR, pelacak DNA dan metode Plaque. Plaque assay sering digunakan karena lebih
mudah dan sederhana. Virus yang memulai infeksinya pada sel inang selanjutnya
akan menyebabkan terbentuknya plaque atau zona lisis atau zona hambat (wilayah
yang terang pada lapisan sel inang yang ditumbuhakan dalam media agar) (Schlegel,
1994).
B. Tujuan
Tujuan praktikum Pengamatan Virus pada Bakteri dengan Metode Plaque
adalah untuk mengetahui ada tidaknya virus yang melisiskan sel bakteri, yang
terlihat dari zona jernih atau adanya plaque yang terbentuk di dalam media NA yang
telah diinokulasi sampel dan bakteri Escherichia coli.

II.

MATERI DAN METODE


A. Materi
Alat-alat yang digunakan antara lain labu erlenmeyer, cawan petri, tabung
reaksi, tabung microsentrifuge 1,5 ml, membran filter milipore 0,45m, botol steril,
microsentrifuge, pembakar spirtus, alkohol, korek api, wrapper, label, pipet ukur 1
ml, filler, batang druglasky, mikropipet, tip dan shaker inkubator.
Bahan-bahan yang digunakan yaitu media NA (Nutrient Agar), alkohol 70%,
inokulum Esherichia coli, media Luria Bertani, sampel air toilet, dan PBS (phosfat
buffer saline).

1.

B. Metode
Pengkayaan bakteriofage dengan dimasukan 10 ml sampel air toilet dari tiap

2.

masing-masing kelompok kedalam labu erlenmeyer perlakuan.


Inokulum E. coli dimasukan kedalam labu erlenmeyer perlakuan sebanyak 7,5

3.

ml, setelah itu dimasukan media LB (Luria Bertani) dengan volume 7,5 ml.
Kontrol dibuat dengan dimasukan 7,5 ml inokulum E. coli dan 7,5 ml media LB

4.

kedalam labu erlenmeyer kontrol.


Labu erlenmeyer di wrapping dan di inkubasi 1x24 jam dengan suhu 37C di

5.

dalam shaker inkubator.


Labu erlenmeyer yang berisi 75 ml campuran perlakuan dimasukan kedalam 10
tabung microcentrifuge masing-masing 1,5 ml dan disentrifugasi 2000 rpm
selama menit. Supernatan yang terbentuk diambil dan dikumpulkan setelah itu

6.

disaring dengan membran filter milipore hingga membentuk filtrat.


Filtrat yang terbentuk kemudian dimasukan sebanyak 0,1 ml kedalam tabung
effendorf yang sudah berisi 0,9 ml PBS (Phosfat Buffer Saline), dilakukan

7.

pengenceran bertingkat sampai 10.


Dua buah tabung pengenceran terakhir dimasukan

8.

terbentuk suspensi faga dan diinkubasi selama 10 menit suhu 37C.


Suspensi faga sebanyak 0,6 ml masing-masing dimasukan kedalam media LB 7

0,5 ml E. coli hingga

ml lalu diplatting cawan dan diinkubasi 2x24 jam dengan suhu 37C. Plaque
yang terbentuk kemudian diamati dan dihitung jumlahnya.
III.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil

Tabel 1. Hasil Pengamatan Plaque


Kelompok
1
2

Plaque 10
PFUs/ ml
3,2 x 10
3,33 x 10

Plaque 10
PFUs/ ml
1,917 x 10
2 x 10

Kontrol
-

1,67 x 10
6 x 10
1,5 x 10

3
4
5
6

2,67 x 10
10
6 x 10
8,3 x 10

Gambar Hasil Pengamatan

Gambar 1.
Kontrol
E. coli

Gambar 2.
Limbah Kotoran Sapi

Gambar 3.
Limbah Kotoran Sapi +
E. coli

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan keberadaan virus yang melisiskan bakteri,
kelompok pertama yang menggunakan limbah kotoran sapi, pada cawan kontrol yang
berisi bakteri Escherichia coli tidak terbentuk plaque, pada cawan kedua yang berisi
limbah kotoran sapi terdapat plaque yang ditandai dengan adanya zona jernih,
sedangkan pada cawan ketiga yang berisi limbah kotoran sapi dan bakteri E. coli
juga terdapat plaque. Terdapat kemungkinan bahwa di dalam limbah kotoran sapi
yang diinokulasi ke dalam cawan kontrol memang sudah terdapat virus yang
kemudian dapat melisiskan bakteri dalam limbah tersebut. Pada cawan kelompok
kedua, ketiga, keempat, dan keenam berturut turut menggunakan limbah kotoran
kambing, ayam, kelinci, bebek dan manusia perlakuannya tidak ditemukan plaque
sama sekali. Hal tersebut kemungkinan dikarenakan virus tidak masuk ke dalam fase
litik untuk melisiskan sel bakteri atau tidak terdapat virus pada limbah tersebut
sehingga tidak terbentuk plaque. Sesuai dengan pernyataan Alexopoulus (1964),
bahwa plaque merupakan struktur visibel yang dibentuk oleh adanya kultur sel
seperti kultur bakteri dalam medium nutrien. Plaque (zona jernih) terbentuk karena
adanya aktifitas virus bakteri yang mereplikasi dan merusak struktur sel pada bakteri.
Metode plaque merupakan metode standar yang digunakan untuk
menentukan konsentrasi virus dalam hal dosis infeksi. Metode plaque digunakan
untuk menentukan jumlah unit pembentuk plaque dalam sampel virus yang
merupakan salah satu ukuran kuantitas virus. Uji ini didasarkan pada metode
mikrobiologi dilakukan dalam cawan petri (Kaufmann, 2002). Metode plaque
diperkenalkan pada tahun 1952 oleh Rennato Dulbecco sebagai uji virologis yang
digunakan untuk menghitung dan mengukur infektifitas bakteriofag. Apabila satu sel
terinfeksi oleh satu virus maka akan menyebar dan menginfeksi ke sel di sekitarnya.
Uji plaque sering digunakan karena tidak memakan waktu dan biaya, serta tekniknya
tidak terlalu sulit (Atlas, 1997). Salah satu kekurangan metode plaque adalah tidak
dapat mengetahui jenis bakteriofag yang memiliki siklus hidup lisogenik.
Menghitung jumlah plaque dapat digunakan sebagai metode kuantifikasi
virus. Plaque ini kadang-kadang dapat dideteksi secara visual menggunakan colony
counter, dalam banyak cara yang sama seperti koloni bakteri yang dihitung. Namun,
mereka tidak selalu terlihat dengan mata telanjang, dan kadang-kadang hanya dapat
dilihat melalui mikroskop, atau menggunakan teknik seperti pewarnaan atau

immunofluorescence. Sistem komputer khusus telah dirancang dengan kemampuan


untuk memindai sampel dalam batch (Finter, 1969).
Teknik pendeteksian virus juga dapat digunakan pada kasus ancaman
bioteroris yaitu pengkontaminasian minuman dengan virus secara sengaja. Bakteri
dan fungi dapat dengan mudah didapatkan dengan sentrifugasi, sedangkan virus sulit
untuk didapatkan dari minuman yang terkontaminasi virus. Pendeteksian virus
tersebut menggunakan Viro-Adembeads, sebuah sistem penangkap virus dengan
cepat menggunakan manik-manik magnetik anion berlapis polimer, didapatkan virusvirus dari minuman yang terkontaminasi secara sengaja, yaitu Vaccinia virus dan
Herpesvirus 8 pada manusia. PCR menunjukkan bahwa laju pemulihan dari virus
kontaminan pada teh hijau dan jus jeruk lebih rendah dari pada virus dalam susu dan
air (Hatano et al, 2010).
Virus dalam siklus hidupnya memerlukan lingkungan sel yang hidup seperti
sel bakteri, sel hewan, maupun sel tumbuhan untuk bereproduksi. Menurut Campbell
(2004), ada dua macam cara virus menginfeksi sel hospes (inang), yaitu daur litik
dan lisogenik.
a. Infeksi secara litik
1. Fase adsorpsi dan infeksi
Virus akan melekat atau menginfeksi daerah tertentu dari dinding sel hospes
yang disebut reseptor. Daerah ini spesifik bagi virus tertentu, dan virus jenis
lain tidak dapat melekat di tempat tersebut. Virus tidak memiliki enzim untuk
metabolisme, tetapi memliki enzim lisozim yang berfungsi merusak atau
melubangi dinding sel hospes. Dinding sel hospes yang terhidrolisis oleh
lisozim mengakibatkan seluruh isi virus berupa DNA atau RNA masuk ke
dalam hospes. Virus kemudian merusak dan mengendalikan DNA inangnya.
2. Fase replikasi (fase sintesis)
DNA virus mereplikasi diri dengan tetap mengendalikan DNA hospes sebagai
bahan, serta membentuk selubung protein. Beratus-ratus molekul DNA baru
virus yang lengkap dengan selubungnya berhasil disintesis.
3. Fase pembebasan virus (fase lisis)
Virus mengalami pendewasaan, sel hospes akan pecah (lisis) dan mengalami
kehancuran sehingga virus-virus baru yang infeksius dapat keluar.
b. Infeksi secara lisogenik
1. Fase adsorpsi dan infeksi

Virus menempel pada reseptor yang spesifik kemudian melakukan penetrasi


pada hospes dengan mengeluarkan DNA atau RNAnya ke dalam tubuh
hospes.
2. Fase penggabungan atau integrasi
DNA atau RNA virus bersatu dengan asam nukleat hospes membentuk
profaga.
3. Fase pembelahan
Pembelahan diri sel hospes akan diikuti juga dengan pembelahan profag,
sehingga dua sel anakan hospes mengandung profag didalam selnya. Hal ini
akan berlangsung terus-menerus selama sel bakteri yang mengandung profag
membelah. Profaga mungkin saja dapat memasuki fase litik akibat sinar UV
atau kondisi sel inang yang tidak menguntungkan profaga tersebut.

Gambar 4. Siklus Hidup Virus (Campbell, 2004)


Resistensi bakteri terhadap antibiotik merupakan kendala yang sangat serius
dalam proses terapi infeksi bakteri. Bakteriofag, suatu jenis virus yang mampu secara
spesifik menyerang bakteri, telah dikembangkan sebagai alternatif terapi.
Bakteriofag sebagai musuh alami bakteri berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai
terapi pada kasus infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Berdasarkan
sifatnya dalam menginfeksi bakteri, terdapat 2 jenis bakteriofag yaitu lytic dan
lysogenic bacteriophage. Ciri virus bakteriofag yang dapat digunakan sebagai terapi
adalah memiliki kapabilitas dasar sebagai lytic phages, yaitu menginfeksi dan

membunuh sel bakteri dengan melisiskan bakteri. Lysogenic phages merupakan jenis
virus yang berintegrasi dengan asam nukleat bakteri terinfeksi, yang pada saat ini
jenis faga tersebut belum dapat digunakan sebagai terapi, karena akan mengalami
fase dorman di dalam sel pejamu; dapat menghambat bakteriofag jenis yang sama
masuk; serta seringkali memiliki gen toksik didalam genomnya (Putra et al, 2012).
Bakteriofag jenis lytic phages mampu melisiskan sel bakteri melalui tahapan
adsorpsi dan injeksi, replikasi, packaging, completion, dan disrupsi sel membran.
Tahapan adsorpsi dan injeksi, bakteriofag berikatan dengan reseptor pada permukaan
sel bakteri yang biasanya berupa rangkaian protein atau gula. Sebagian besar
bakteriofag bersifat spesifik terhadap reseptor tersebut, namun ada sejumlah kecil
bakteriofag disebut dengan polyvalent phages yang memiliki potensi untuk
menginfeksi berbagai macam spesies bakteri. Spesifisitas sel target yang tinggi
merupakan sebuah keuntungan, karena bila digunakan sebagai terapi infeksi bakteri,
faga tidak akan menyerang flora normal ataupun sel tubuh manusia. Pasca terjadi
adesi, DNA bakteriofag diinjeksikan ke dalam sitoplasma bakteri. DNA tersebut
menjadi mRNA yang tugasnya membentuk bagian-bagian dari virus untuk proses
replikasi. Komponen-komponen bakteriofag telah lengkap, asam nukleat hasil
replikasi akan masuk ke dalam kapsid (tahap packaging), dan akan digabungkan
dengan komponen lainnya seperti bagian leher dan ekor (tahap completion).
Bakteriofag yang telah terbentuk secara sempurna akan keluar dari bakteri dengan
menggunakan enzim holin dan endolisin, yang diproduksi melalui pengkodean DNA
bakteriofag. Lisin berfungsi sebagai hidrolase peptidoglikan, sedangkan holing
membentuk lubang pada membran sel, sehingga mempermudah lisin untuk
menembus lapisan luar bakteri yang merupakan lapisan peptidoglikan (Putra et al,
2012).
Escherichia coli (E. coli) adalah bakteri dalam kelompok Enterobacteriaceae
yang bersifat Gram negatif, anaerobik fakultatif, berbentuk batang, tidak membentuk
spora, fermentatif dan biasanya bergerak dengan flagela peritrika. E. coli merupakan
organisme yang biasanya hidup dalam saluran usus manusia dan pada hewan tingkat
tinggi lainnya merupakan prokariotis yang paling banyak dipelajari. E. coli tidak
mempunyai membran yang mengelilingi materi genetik didalamnya. Dinding luar
selnya dilapisi oleh selongsong atau kapsul yang terbentuk dari senyawa berlendir.
Membran sel terdiri dari molekul lipid yang membentuk dua lapisan tipis dengan
berbagai protein yang membentuk lapisan tersebut. Membran ini bersifat selektif

permeabel dan mengandung protein yang dapat melangsungkan pengangkutan


nutrien tertentu ke dalam sel dan hasil buangan ke luar sel (Cahyonugroho, 2010).
Pengamatan virus pada bakteri dengan metode plaque ini menggunakan bakteri
Escherichia coli karena biasanya terkandung dalam kotoran hewan dan manusia,
mudah ditemukan, didapat, serta dikultivasi dalam media buatan.
Limbah ternak adalah sisa buangan hewan-hewan ternak dari suatu kegiatan
usaha peternakan seperti pemeliharaan ternak, rumah potong, pengolahan produk
ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair
seperti feses, urin, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, tulang,
tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Alasan penggunaan limbah
kotoran karena diduga mengandung berbagai macam mikroba, di antaranya adalah
protozoa, fungi, bakteri, dan virus. Sampel yang digunakan berasal dari limbah cair
kotoran sapi, kambing, bebek, ayam, kelinci, bebek dan manusia. Virus yang di
ketahui dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan seperti rotavirus, norovirus,
astrovirus.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan :
1. Terdapat virus yang melisiskan bakteri (bakteriofag), yaitu pada cawan media
NA hasil inokulasi limbah cair kotoran sapi serta cawan media NA hasil
inokulasi limbah cair kotoran sapi dan bakteri E. coli.
2. Adanya virus yang melisiskan sel bakteri ditandai dengan munculnya plaque
atau zona jernih di dalam media NA yang telah diinokulasi sampel dan bakteri
E. coli.
B. Saran
Sebaiknya digunakan juga metode pendeteksian virus yang lain selain metode
plaque.

DAFTAR REFERENSI
Alexopoulus. 1964. Introductary of Microbiology. John Willey and son. New York.
Atlas, R. M. 1997. Principles of Microbiology. WMC Brown, London.
Cahyonugroho, Okik Hendriyanto. 2010. Pengaruh intensitas sinar ultraviolet dan
pengadukan terhadap reduksi jumlah bakteri E. coli. Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan. 2 (1):18-23.
Campbell, N. A. 2004. Biologi. Erlangga, Jakarta.
Finter, N. B. 1969. Dye Uptake Methods for Assessing Viral Cytopathogenicity and
Their Application to Interferon Assays. Journal of General Virology. 5 (3):
419427.
Kaufmann, S.H.; Kabelitz, D. 2002. Methods in Microbiology: Immunology of
Infection. Academic Press. 32.
Hatano, Ben, A. Kojima, T. Sata, and H. Katano. 2010. Virus detection using viroadembeads, a rapid capture system for viruses, and plaque assay in
intentionally virus-contaminated beverages. J. Infect. Dis. 63: 52-54.
Putra, Bayushi Eka dan A. Karuniawati. 2012. Bakteriofag sebagai potensi baru tata
laksana infeksi bakteri resisten. J Indon Med Assoc. 62: 113-117
Schlegel, H. G. and Schmidt, K. 1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Sihombing, D. T. H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha Peternakan.
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai