PERTANIAN
Oleh :
Risa
Tedi Septiadi
Nurlita Prahastuti
Lifa Chotimah
Erwin Tri Wicaksono
Muhammad Tholib
Gita Rahmayanti
Rima Ramadhania
Aris Purnomo Edi
Meilinda Yudistira
B1J012055
B1J012063
B1J012065
B1J012068
B1J012071
B1J012077
B1J012093
B1J012106
B1J012107
B1J012114
Kelompok : 3
Rombongan : I
Asisten : Alfik Indarto
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keragaman jenis adalah sifat komunitas yang memperlihatkan tingkat
keanekaragaman jenis organisme yang ada didalamnya. Cara untuk memperoleh
keanekaragaman
jenis
cukup
diperlukan
kemampuan
mengenal
atau
jenis ekosistem yang tidak stabil. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
kestabilan dari ekosistem sawah ini antara lain interaksi antara komponen
ekosistem di dalam sawah itu sendiri. Komponen dalam ekosistem sawah
mencakup semua komponen abiotik dan biotik yang ada di dalam lingkungan
sawah itu sendiri mulai dari tanah, bebatuan, padi, hama, predator dan masih
banyak lagi lainnya.
B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui kelimpahan
organisme dalam sistem pertanian.
Gambar 1. Keong
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
5
6
7
8
9
Capung
Belalang
Laba-laba
Lalat
Semut hitam
Total
2
1
1
1
2
14
Perhitungan:
Jarak tanaman = 30 cm = 0,3 m
Jumlah Individu Per Hektar
= Jumlah individu dalam M meter di survei x 10.000
Jarak tanam dalam meter x M meter jalur yang disurvei
= 14x 10.000
0,3 x 8
= 58333,3333 individu/hektar
B. Pembahasan
Berdasarkan praktikum yang dilakukan, kelimpahan organisme dalam
sistem pertanian dapat didefinisikan sebagai banyaknya organisme atau
melimpahnya organisme yang menghuni suatu area pertanian yang membentuk
satu komunitas, dimana organisme itu mempunyai peran masing-masing.
Kelimpahan ini kemungkinan diakibatkan karena adanya sumber makanan
(sumber nutrisi) yang tersedia secara terus menerus serta kondisi suatu area
pertanian yang mendukung jalannya sistem rantai makanan yang melibatkan
semua organisme yang berada di area pertanian tersebut (Erawati dan Sih Kahono,
2010). Kelimpahan jenis serangga sangat ditentukan oleh aktifitas reproduksinya
yang didukung oleh lingkungan yang cocok dan tercukupinya kebutuhan sumber
makanannya. Kelimpahan dan aktifitas reproduksi serangga di daerah tropik
4.
tersedot ke dalamnya, ada juga alat pengambil sampel yang bernama D-Vac yang
boleh juga dianggap semacam jala yang dapat menghisap udara. Hal ini
merupakan jala dengan bingkai logam dihubungkan kepada blower dengan
lorong lentur yang terbuat dari karet atau bahan kedap lainnya. Blower
digerakkan dengan mesin penggerak kecil dan keseluruhan alat ini dapat dibawa
di punggung. Cara pengambilan sampel mempunyai pola yang sama dengan jala
ayun. Alat ini sangat cocok untuk mengambil serangga kecil. Segi yang kurang
menguntungkan adalah harga dan perawatannya yang mahal.
5.
besar dan diberi lubang untuk fumigasi atau dibuat khusus dari kerangka metal
yang dibungkus dengan lembaran kayu, plastik, atau seng serta diberi lubang
untuk fumigasi. Tinggi kandang sedikit melebihi tinggi tumbuhan dan perlu
disediakan alas yang sedikit lebih luas dari dasar kandang. Landasan dapat terdiri
dari dua belahan yang dapat disatukan di dasar tumbuhan.
Pengambilan sampel dilakukan dengan menutupkan kandang atau kotak di
atas landasan tumbuhan. Fumigasi dilakukan dengan aerosol yang berisi pyretrin
20%. Dalam waktu 5 sampai 8 detik serangga yang berada di kandang atau kotak
berjatuhan. Kotak diangkat dan serangga dikumpulkan untuk diidentifikasi dan
dihitung.
6.
yang berkerangka metal. Salah satu sisi sangkar diberi zipper untuk masuk satu
dua orang. Sangkar ditempatkan pada lokasi yang dikehendaki. Pengambil
sampel masuk ke dalam sangkar membawa alat pengumpul serangga (aspirator),
pemotong tumbuhan, dan kantung plastik. Semua serangga di dinding sangkar
diambil sampai habis, kemudian tumbuhan dipotong dan dimasukkan ke dalam
kantung plastik dan diikat erat. Serasah dan daun jatuhan juga dikumpulkan
dalam plastik lainnya. Sangkar dibiarkan untuk satu dua jam lagi sehingga sisa
serangga yang keluar dari persembunyiannya masih dapat dikumpulkan lagi.
7.
tanah, karena kepadatan dari tanah dan biasanya serangga di dalam tanah tidak
dapat dengan mudah untuk dilihat atau diambil. Teknik untuk mengumpulkan
serangga dari dalam tanah menjadi lebih kompleks, rumit, dan mahal. Walaupun
demikian mengambil sampel serangga dari dalam tanah sangat penting karena
lebih dari 90% spesies serangga menghabiskan sekurang-kurangnya satu tahapan
hidup di dalam atau pada permukaan tanah. Cara yang paling umum digunakan
untuk mengumpulkan serangga dari tanah adalah dengan menggunakan Berlese
funnel, menyaring, dan mengambangkan. Semua teknik tersebut memerlukan
sampel tanah terlebih dahulu. Sampel tanah diambil dengan menggunakan bor
tanah atau sekop.
Berlese furnel merupakan salah satu alat yang paling umum digunakan
untuk mengumpulkan serangga dari dalam tanah. Teknik ini, aslinya
dikembangkan oleh seorang ahli serangga Italia A. Berlese pada awal tahun
1990, menggunakan air panas di sekeliling furnel untuk memanaskan dan
mengeringkan sampel tanah yang terdapt di dalam furnel. A. Tullgreen, orang
Swedia, mengganti sumber panas ini dengan lampu pijar yang diletakkan di atas
sampel tanah. Modifikasi yang lain untuk efisiensi telah dikembangkan, tetapi
semuanya memiliki satu prinsip yang sama, yaitu membuat kondisi lingkungan
menjadi tidak sesuai bagi serangga sehingga memaksa mereka untuk keluar dari
tanah atau memberikan suatu bentuk perangsangan bagi serangga untuk keluar
dari dalam tanah. Bila menggunakan teknik ini, hal yang harus diperhatikan
adalah pencegahan kematian serangga sebelum ia meninggalkan tanah. Biasanya
pemanasan dilakukan secara bertahap sehingga serangga dapat terhindar dari
kekeringan. Teknik ini tidak dapat digunakan untuk mengambil serangga yang
berada dalam tahap tidak aktif seperti, telur, pupa, atau serangga-serangga yang
dorman (Van Mele, 2004).
Teknik pengayakan (penyaringan) merupakan suatu teknik yang sangat
mekanik. Kelebihan dari teknik ini bila dibandingkan dengan menggunakan
Berlese furnel adalah tidak tergantung kepada pergerakan dari serangga.
Pengayakan kering atau basah dapat digunakan untuk mengumpulkan serangga.
Ayakan yang digunakan adalah ayakan bertingkan dimulai dari ayakan kasar
sampai ayakan halus. Metoda ini sangat mengandalkan ukuran tubuh dari
serangga (Herlinda, 2010).
menangkap
serangga
ham
dari
mengecap dari serangga. Umpan yang paling umum digunakan adalah makanan.
Kairomone merupkan aroma dari makanan yang menyebabkan serangga tertarik
atau merubah perilakunya disebut kairomone. Penarik lain yang sering digunakan
adalah sex pheromone (feromon sex). Serangga yang tertarik oleh senyawa ini
selanjutnya dapat dibunuh dengan menggunakan kertas berpelekat atau sianida.
(3)
Perangkap Malaise
Perangkap ini merupakan suatu perangkap yang tidak menggunakan
(4) Suatu lembaran alumunium atau kain (karton) diberi perekat khusus dan
direntangkan di tempat yang diperkirakan dilewati serangga terbang.
(5) Perangkap Pitfall merupakan qlat penangkap serangga yang merayap di
tanah, terdiri dari tabung yang ditanam di tanah, corong, dan pelindung
digunakan
untuk
menangkap
serangga-serangga
yang
bergerak
di
Menurut Irawan (2002), ada 6 faktor yang saling berkaitan menentukan derajat
naik turunnya keragaman, jenis yaitu :
a) Waktu, kelimpahan komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas
tua yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari
pada komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam
ekologi lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.
b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin
kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin
tinggi keragaman jenisnya.
c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang
sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup,
namun persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu
memanfaatkan sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau
sebaliknya.
d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis
persaingan yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu
memperbesar kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi
keragaman. Apabila intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah
dapat menurunkan keragaman jenis.
e) Kestabilan iklim, makin stabil, suhu, kelembaban, salinitas, pH dalam suatu
lingkungan tersebut. Lingkungan yang stabil, lebih memungkinkan
keberlangsungan evolusi.
f) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang
tinggi.
Keenam faktor ini saling berinteraksi untuk menetapkan kelimpahan jenis
dalam komunitas yang berbeda. Keanekaragaman spesies sangatlah penting
dalam menentukan batas kerusakan yang dilakukan terhadap sistem alam akibat
turut campur tangan manusia (Chan et al., 2006). Hambatan lingkungan
merupakan faktor biotik dan abiotik di ekosistem yang cendrung menurunkan
fertilitas dan kelangsungan hidup individu-individu dalam populsi organisme.
Faktor tersebut menghalangi suatu organisme untuk dapat berkembang sesuai
dengan potensi biotiknya. Faktor-faktor ligkungan tersebut ada dua yaitu faktor
yang berasal dari luar populasi (faktor ekstrinsik) terdiri dari faktor biotik seperti
makanan, peredasi dan kompetisi dan faktor abiotik seperti iklim, tanah, air dan
faktor yang berasal dari dalam populasi (faktor intrinsik) seperti persaingan
intrasfesifik dalam bentuk teritorialitas dalam tekanan sosial (Nasution dan
Nasoetion dan Rustiadi, 1990).
Artropoda predator (serangga dan laba-laba) dalam ekosistem persawahan
merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan populasi hama
padi (wereng coklat dan penggerek batang). Hal ini disebabkan predator memiliki
kemampuan untuk beradaptasi di ekosistem efemeral tersebut (Irsan, 2003).
Artropoda predator mengatur asupan makanan utnuk memaksimalkan nutrisi dan
menghindari efek negatif dari memakan mangsa yang tidak seimbang secara
berlebihan (Schmidt et. al., 2012). Artropoda predator yang telah terbukti efektif
mengendalikan hama padi adalah laba-laba pemburu, misalnya Pardosa
pseudoannulata dan kumbang Carabidae, dilaporkan bahwa ekosistem sawah
yang kompleks menyediakan beragam tipe habitat. Berbagai tipe habitat itu dapat
mendukung spesies laba-laba berkoeksistensi di dalamnya (Kartohardjono, 1988).
Laba-laba merupakan predator generalis yang memiliki peran penting dalam
jaring-jaring makanan terestrial. Laba-laba memilih mangsanya berdasarkan
kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan. Salah satu penelitian terkini dalam bidang
ekologi nutrisi menunjukkan bahwa wolf spider memilih mangsa yang dapat
mengoptimalkan kebutuhan asam aminonya (Schmidt et. al., 2012). Rendahnya
Indeks dominasi di tanaman padi berpengaruh terhadap tertingginya kemerataan
spesies artropoda predator di ekosisem tersebut (Kartohardjono, 1988).
IV.
KESIMPULAN
DAFTAR REFERENSI