atau kelahiran anak. Selama periode ini sel sel tunggal membagi diri dan berkembang menjadi
induvidu yang sempurna. Periode antenatal ini adlah periode kehidupan yang paling sedikit diketahiu
tetapi mungkin paling penting. Angka kematian ovum, embrio atau fetus selama periode kebuntingan
jauh lebih besar dari pada angka kematian untuk periode mana saja yang sama lamanya sesudah
kelahiran. Karena umumnya tidak diketahui, kematian ovum yang sudah dibuahi atau kematian embrio
dini yang berakhir dengan reabsorbsi atau abortus sering dinyatakan sebagai sterilitas atau infertilitas.
Pengeluaran embrio atau fetus mati yang telah mencapai ukuran yang dapat diamati disebut abortus.
Pengeluaran anak yang hidup disebut partus atau kelahiran. Individu antenatal atau fetus terdapat
didalam uterus dan dapan dipalpasi melalui dinding perut atau melalui dinding rectum. Fetus yang mati
dapat diabortuskan atau dikeluarkan sebelum atau pada akhir periode kebuntingan. Anak sapi atau
kerbau hanya lahir hidup dan istilah lahir mati sebenarnya kurang tepat. Istilah stillbirth umumnya
dipakai pada babi dimana anaknya dikeluarkan dalam keadaan mati pada waktu partus. Anak yang lahir
hidup sebelum akhir periode kebuntingan yang normal disebut anak premature. Kelahiran tersebut
adalah kelahiran premature atau kelahiran belum pada waktunya
BAB. II PEMBAHASAN
Lama kebuntingan
Lama kebuntingan dihitung dari waktu perkawinan yang fertile sampai terjadi partus atau kelahiran.
Periode kebuntingan berbeda dari bangsa ke bangsa ternak dan beberapa persilangan tertentu. Lama
kebuntingan spesies hewab pelihara secara genetis sudah tertentu, meskipun juga sedikit dipengaruhi
oleh faktor faktor induk, fetus, dan lingkungan. Faktor induk memperngaruhi lama kebuntingan pada
berbagai spesies, semakin tua umur induk semakin lama periode kebuntingan. Factor fetus juga dapat
mempengaruhi lama kebuntingan. Semakin banyak jumlah anak yang dikandung (litter size) pada hewan
multipara lama kebuntingan semakin pendek, begitu pula sebaliknya jumlah anak semakin sedikit lama
kebuntingan semakin panjang. Pada hewan unipara kebuntingan kembar atau multiple mempunya lama
kebuntingan lebih pendek. Hal ini disebabkan karena jumlah anak yang banyak perkembangan
uterusnya menjadi lebih cepat, selain itu hormon yang diperlukan untuk proses kelahiran menjadi lebih
banyak dibandingakan kelahiran tunggal. Jenis kelamin juga berpengaruh terhadap lama kebuntingan;
biasanya fetus jantan menyebabkan kebuntingan berlangsung lebih lama 1 sampai 2 hari dari pada fetus
betina. Ukuran fetus juga memengaruhi lama kebuntingan , yaitu fetus yang lebih besar akan semakin
lama kebuntingannya dibandingkan fetus yang lebih kecil, karena ukuran fetus memengaruhi lama
kebuntingan dengan mempercepat waktu inisiasi kelahiran. Faktor genetis mempengaruhi lama
kebuntingan sebagai contoh perkawinan silang akan berbeda lama kebuntingannya dibandingkan
dengan perkawinan dalam. Penyakit penyakit yang mengganggu kesehatan endometrium, fetus dan
plasenta dapat menyebabkan abortus atau pemendekan waktu kebuntingan, selain itu pemendekan
waktu kebuntingan juga dapat disebabkan oleh kekurangan gizi, penyakit defisiensi, kelaparan dan stres.
Kebuntingan yang diperpanjang kemungkinan disebabkan karena ;
Penyuntikan progesterone dalam jumlah besar secara berkesinambungan. Fetus mati dalam waktu 1
bulan setelah periode kebuntingan normal dan bermaserasi atau bermumifikasi.
Defiseinsi vitamin A menyebabkan perpanjangan masa kebuntingan selama satu sampai empat minggu.
Abnormalitas fetus, meliputi fetus terlalu besar dan berambut panjang, fetus kerdil berhidrocephalus,
berkaki pendek dan tak berbulu, dan fetus mempunyai hernia cerebralis.
Pengaruh hormon-hormon gonadotropin dan adrenal. Aplasia, hypoplasia atau kerusakan kelenjar
hypopisa pada fetus, dan aplsia serta hypoplasia kelenjar adrenal menyebabkan pepanjangan waktu
kebuntingan.
Pertumbuhan uterus terjadi setelah implantasi, kemudian terjadi hypertrofi muskuler, suatu
pertambahan ekstensive jaringan ikat dasar dan kolagen. Perubahan struktur yang terjadi selama
kebuntingan bersifat reversible artiya strukturnya akan segera kembali seperti semula setelah kelahiran.
Selama periode peregangan uterus, pertumbuhannya berkurang tetapi isi uterus berkembang dengan
pesat. Pada semua hewan piara uterus beserta isinya tertarik kedepan dan kebawah masuk ke ruang
abdomen seiring dengan semakin tuanya umur kebuntingan. Pada kuda dan sapi, uterus terletak pada
lantai abdomen setelah bulan ke-4 kebuntingan. Uterus ruminansia yang bunting terletak disisi kanan
abdomen, karena sisi kiri ditempati rumen. Panjang fetus pada akhir kebuntingan membentang diantara
diafragma dan pelvis. Mesometrium atau ligamenta lata uteri tertarik dan menjadi tegang oleh beratnya
fetus dan uteri yang bunting. Uterus sapi dan kuda bunting berbentuk tubuler memanjang, sedangkan
cornue yang tidak bunting relatif tetap kecil.
Perubahan pada ovarium antara lain berupa terbentuknya korpus luteum dari follicle de graaf. Bila
korpus luteum tetap ada atau persisten akibat adanya konsepsi, maka akan berubah menjadi korpus
luteum ferum dan siklus estrus akan terhenti. Beberapa sapi, terutama sapi perah dapat mengalami
birahi pada awal kebuntingan karena adanya aktivitas folikuler di dalam ovarium. Pada kuda, 1-15
follikel berkembang antara hari ke-40 sampai 160 kebuntingan, akhirnya mengalami luteinisasi dan
terbentuklah corpora lutea assesoria.
Korpus luteum kebuntingan sapi dan kebanyakan hewan piara lainnya akan tetap dalam ukuran
maksimumnya sepanjang kebutingan. Pada kuda, korpus luteum primer dan corpora lutea assesoria
akan mengalami regresi menjelang bulan ke-7 kebuntingan.
Perubahan ligementa dan symphisis pubis yaitu relaksasi ligamenta pelvis tang terjadi sejak awal
kebuntingan, menjadi lebih progresif dengan mendekatnya proses kelahiran. Relaksasi nya lebih jelas
terlihat pada sapi dan domba dari pada kuda, hal ini disebabkan oleh tingginya kadar estrogen pada
kebuntingan lanjut dan kerja hormone relaksin. Bagian kaudal dari ligament sacroisciatica menjadi lebih
rileks dan kendor dengan mendekatnya kelahiran.
Menjelang akhir kebuntingan pada sapi, fetus berada pada presentai anterior dengan kepala dan kedua
kaki depannya mengarah ke serviks (95%), begitu pula pada fetus domba. Menjelang akhir kebuntingan
54% fetus babi dan 70% fetus anjing berada pada presentasi anterior.
Hewan unipara seperti kuda dan sapi, hanya satu ovum yang dibebaskan setiap kali ovulasi sehingga
hanya satu fetus yang berkembang di dalam uterus. Kadang kadang pada jenis hewan ini dikumpai
kembar atau kembar tiga. Kelompok hewan unipara memiliki ciri serviks yang berkembang baik,
plasenta mengisi kedua belah cornue uteri dan juga corpus uteri. Berat lahir fetus unipara lebih kurang
10% dari berat induknya. Domba dan kambing sebetulnya juga termasuk kelompok ini, namun karena
kelahiran kembar sering terjadi sehingga terkadang disebut bipara.
Hewan multipara seperti anjing, kucing dan babi setiap kali ovulasi dibebeaskan 3-15 ovum atau lebih,
dan umumnya memepunyai anak lebih dari 2 anak setiap kebuntingan. Pada umumnya hewan kelompok
ini mempunyai serviks yang kurang berkembang baik, plasentanya untuk tiap vetus hanya terbatas pada
bagian cornue yang diduduki saja. Fetus terdistribusi hampir sama pada kedua belah cornue. Berat tiap
fetus kurang lebih 1-3% dari berat induknya. Jumlah fetus pada hewam multipara babi 6-12 ekor, anjing
ras besar 6-10 ekor,dan kucing 3-5 ekor.
Hewan betina yang belum pernah bunting dan beranak disebut nullipara, bunting sekali disebut
primipara, dan pernah bunting 2 kali atau lebih disebut pluripara.
bersifat patologik serta sering berbahaya terhadap induk maupun fetus. Kejadian abortus untuk
kebuntingan kembar sesudah tiga bulan masa kebuntingan adalah lebih besar dari pada kebuntingan
tunggal. Kira kira 30-40% kebuntingan kembar berakhir dengan abortus. Presentase ini kadang
kadang menigkat mencapai 50%. Pada kebuntingan tunggal yang normalnya 3-5% berakhir dengan
abortus. Angka konsepsi sesudah ovulasi kembar hanya setengah dari ovulasi tunggal.
Banyak kebuntingan kembar berakhir dengan premature. Periode kebuntingan kembar umumnya 5 hari
lebih singkat dari pada kebuntingan tunggal. Kejadian abortus dan kelahiran premature adalah lebih
tinggi pada triplet dan kebuntingan majemuk lainnya. Sedikit sekali turunan betina fertil yang
berhubungan dengan sifat kembar.
Anak kembar biasanya lebih kecil dan lebih lemah dari pada anak tunggal. Hal ini mungkin disebabkan
Karena berkurangnya daerah plasenta atau berkurangnya zat makanan yang tersedia untuk setiap fetus,
dan Karena penyingkatan periode kebuntingan.
Distokia pada akhir kebuntingan kembar juga lebih sering terjadi dibandingkan dengan pada kelahiran
tunggal. Hal ini terjadi karena beberapa sebab termasuk kehilangan tonus uterus yang berkembang,
adanya fetus yang mati dan menggembung, letak fetus kembar yang menyilang, dan sering terjadinya
letak sungsang pada salah satu fetus. Sebab sebab kelahiran kembar perlu diketahui agar dapat
dicegah. Sebab sebab tersebut dapat dibagi atas pengaruh lingkungan dan pengaruh herediter
pengaruh lingkungan terdiri dari musim, umur induk, perkawinan yang terlampau cepat, sesudah
melahirkan dan penyuntikan hormone FSH. Musin mungkin mempunyai pengaruh terhadap
kebuntingan kembar dan berhubungan dengan perbaikan makanan pada permulaan musim hujan. Umur
induk ikut mempengaruhi kebuntingan kembar. Kejadian kembar jarang terjadi pada induk muda dan
makin sering dengan meningkatnya umur, kemudian menurun lagi pada hewan tua.
Pengaruh herediter meliputi perbedaan bangsa, perbedaan antara induk dan pejantandan sista ovaria.
Perbedaan bangsa dalam kejadian kembar dapat dilihat dari kenyatan bahwa kembar sering terjadi pada
bangsa sapi perah dan jarang pada bangsa sapi potong.
Lama kesanggupan reproduksi ternak pada dasarnya tergantung pada dua factor. Pertama, kehidupan
reproduktif ternak terhenti apabila pada umur kapan saja terjadi kelemahan fisik karena penyakit,
kekurangan makan kerena kehilangan gigi pada umur tua dan kekurusan. Kedua, kegiatan reproduksi
terhenti apabila organ organ reproduksi mengalami kerusakan atau fungsinya hilang karena faktor
faktor penyakit. Pada hewan betina penyakit penyakit yang menghambat reproduksi terutama
mempengaruhi endometrium dan lapisan epitel pada saluran reproduksi dan jarang mempengaruhi
ovarium. Pada hewan jantan perubahan perubahan patologik di dalam tubuli seminiferi pada testes
yang disebabkan oleh penyakit, trauma atau perubahan senil, adalah sebab sebab utama terhentinya
kesanggupan reproduksi.
Lama kehidupan reproduktif pada sapi perah rata rata sampai umur 8-10 tahun dengan produksi 4-6
anak. Pada sapi potong umur kehidupan reproductif lebih lama, 10-12 tahun dengan produksi anak 6-8
anak. Kerbau lumpur masi dapat bereproduksi sampai umur 12 tahun (vendragon,1973).
Monopouse, yang ditandai dengan terhentinya menstruasi karena tidak lagi terjadi pembentukan dan
pelepasan ovum, tidak dikenal peternak. Penghentian produksi oosit pada ovarium dan penghentian
siklus birahi pada ternak belum pernah diobservasi.
Daya reproduksi ternak pada dasarnya dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu lama kehidupan reproduktif dan
frekuensi kelahiran.
Lama kebuntingan dipengaruhi oleh faktor induk, faktor fetus, faktor genetis serta faktor ligkungan.
Organ organ reproduksi pada saat kebuntingan akan mengalami perubahan dengan berbagai variasi
untuk tempat berkembangnya fetus.
Berdasarkan jumlah ovum yang di ovulasikan atau jumlah fetus yang dikandung tiap kebuntingan,
hewan piara dibedakan menjadi 2 kelompok : unipara(monotocosa) atau satu anak dan
multipara(polytocosa) lebih dari 2 anak sedangkan domba dan kambing disebut hewan bipara (beranak
dua).
Pada hewan unipara kebuntingan kembar sangat berbahaya karena dapat menyebabkan abortus dan
distokia serta kelahiran prematur.
Lama dan daya reproduksi dipengaruhi oleh dua factor yaitu penyakit dan kerusakan organ reproduksi.
DAFTAR PUSTAKA
Kapasitasi Spermatozoa merupakan tahapan awal sebelum fertilisasi. Sperma yang dikeluarkan dalam
tubuh (fresh ejaculate) belum dapat dikatakan fertil atau dapat membuahi ovum apabila belum terjadi
proses kapasitasi. Proses ini ditandai pula dengan adanya perubahan protein pada seminal plasma,
reorganisasi lipid dan protein membran plasma, Influx Ca, AMP meningkat, dan pH intrasel menurun.
Perlekatan spermatozoa dengan Zona Pelucida
Zona pelucida merupakan zona terluar dalam ovum. Syarat agar sperma dapat menempel pada zona
pelucida adalah jumlah kromosom harus sama, baik sperma maupun ovum, karena hal ini menunjukkan
salah satu ciri apabila keduanya adalah individu yang sejenis. Perlekatan sperma dan ovum dipengaruhi
adanya reseptor pada sperma yaitu berupa protein. Sementara itu suatu glikoprotein pada zona
pelucida berfungsi seperti reseptor sperma yaitu menstimulasi fusi membran plasma dengan membran
akrosom (kepala anterior sperma) luar. Sehingga terjadi interaksi antara reseptor dan ligand. Hal ini
terjadi pada spesies yang spesifik.
Reaksi Akrosom
Reaksi tersebut terjadi sebelum sperma masuk ke dalam ovum. Reaksi akrosom terjadi pada pangkal
akrosom, karena pada lisosom anterior kepala sperma terdapat enzim digesti yang berfungsi penetrasi
zona pelucida. Mekanismenya adalah reseptor pada sperma akan membuat lisosom dan inti keluar
sehingga akan merusak zona pelucida. Reaksi tersebut menjadikan akrosom sperma hilang sehingga fusi
sperma dan zona pelucida sukses.
Penetrasi Zona Pelucida
Setelah reaksi akrosom, proses selanjutnya adalah penetrasi zona pelucida yaitu proses dimana sperma
menembus zona pelucida. Hal ini ditandai dengan adanya jembatan dan membentuk protein actin,
kemudian inti sperma dapat masuk. Hal yang mempengaruhi keberhasilan proses ini adalah kekuatan
ekor sperma (motilitas), dan kombinasi enzim akrosomal.
Bertemunya Sperma dan Oosit
Apabila sperma telah berhasil menembus zona pelucida, sperma akan menenempel pada membran
oosit. Penempelan ini terjadi pada bagian posterior (post-acrosomal) di kepala sperma yang
mnegandung actin. Molekul sperma yang berperan dalam proses tersebut adalah berupa glikoprotein,
yang terdiri dari protein fertelin. Protein tersebut berfungsi untuk mengikat membran plasma oosit
(membran fitelin), sehingga akan menginduksi terjadinya fusi.
Aktivasi Ovum Sebelum Sperma Bertemu Oosit
Ovum pada kondisi metafase sebelum bertemu dengan sperma harus diaktifkan terlebih dahulu. Faktor
yang berpengaruh karena adanya aktivasi ovum adalah konsentrasi Ca, kelengkapan meiosis II, dan
Cortical Reaction, yaitu reaksi yang terjadi pada ovum, eksosotosis, dan granula pendek setelah fusi
antara sperma dan oosit.
Beverly dan Sprott (2004) menyatakan bahwa kebuntingan dapat ditentukan dalam tiga tahap. Tahap
pertama meliputi tahap kebuntingan 30-35 hari; 45 hari; 60 hari dan 90 hari. Kondisi embrio 30-35 hari
kebuntingan memiliki panjang sekitar inchi dan terdapat gelembung seperti balon yang berisi cairan
dengan diameter inchi menyelimuti embrio. Usia kebuntingan 45 hari, cornua uteri berisi fetus yang
memiliki panjang sekitar 1 inchi. Membran luar dari dinding uterus berisi cairan dan adanya pertautan
antara karunkula dengan kotiledon dari membran fetus. Usia kebuntingan 60 hari, cornua uteri yang
dihuni oleh fetus nampak membesar hingga mencapai diameter 2-3 inchi dan panjang 8-10 inchi. Hal
tersebut akan menarik uterus ke dalam rongga tubuh hingga mencapai bagian pinggir dari pelvis.
Meningkatnya panjang fetus hingga mencapai 6 inchi dan semakin beratnya beban uterus serta
pembesaran pembuluh darah arteri uterus adalah merupakan karakteristik usia kebuntingan sudah
mencapai 90 hari. Tahap kedua adalah kebuntingan 120 hari yaitu ukuran kepala sudah sebesar buah
lemon, diameter arteri uterus mencapai inchi dan kotiledon lebih nyata dengan panjang sekitar 1
inchi serta cornua uteri berdiameter 2-2 inchi. Tahap ketiga adalah usia kebuntingan sudah mencapai
lebih dari 5 bulan dan usia tersebut maka cornua uteri semakin masuk ke dalam rongga tubuh. Sejak
usia kebuntingan 6 bulan hingga melahirkan maka ukuran fetus, arteri uterus dan kotiledon teraba lebih
besar.
Untuk menyatakan keberhasilan kebuntingan dapat dilakukan beberapa langkah di antaranya (1)
nonreturn rate yaitu mengamati tidak kembali estrus pada 18-24 hari pasca inseminasi, (2) palpasi rektal
yaitu melakukan perabaan dengan tangan melalui rektum terhadap perubahan organ reproduksi pada
40-60 hari pasca inseminasi, (3) mengukur konsentrasi progesteron melalui air susu atau plasma darah
pada 21-24 hari pasca inseminasi, (4) mammogenesis yaitu mengamati perkembangan kelenjar susu
pada usia kebuntingan 4 bulan (Peters dan Ball, 1987), (5) early conception factor test yaitu mengetahui
kebuntingan melalui glikoprotein dalam serum darah pada 48 jam pasca inseminasi dan (6)
Ultrasonography yaitu alat yang digunakan dalam mengetahui kebuntingan melalui gelombang suara
pada 9 atau 12 hari pasca inseminasi (Broaddus dan de Vries, 2005). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa teknik untuk mengetahui kebuntingan dini yang memiliki tingkat akurasi tinggi adalah palpasi
rektal dan ultrasonography walaupun memerlukan waktu agak lama (Broaddus dan de Vries, 2005).
pemeriksaan kebuntingan
Suatu pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi program pemulia-biakan
ternak. Kesanggupan untuk menentukan kebuntingan secara tepat dan dini perlu dimiliki oleh setiap
dokter hewan lapangan atau petugas pemeriksa kebuntingan. Palpasi perektal terhadap uterus, ovarium
dan pembuluh darah uterus adalah cara diagnosa kebuntingan yang paling praktis dan akurat pada sapi.
Pada pemeriksaan perektal tangan dimasukkan kedalam inlet pelvis dan dengan telapak tangan yang
membuka kebawah, tangan digerakkan kesamping, keatas dan ke sisi lain. Apabila tidak ada struktur
yang teraba, uterus berada di lantai pelvis, cervik atau uterus teraba di tepi pelvis pada sapi tua. Cervik
yang keras dan ketat mudah dilokalisir pada lantai pelvis atau di kranialnya. Korpus, kornu uteri dan
ligamentum interkornualis pada bifurcatio uteri dapat dipalpasi pada sapi yang tidak bunting atau pada
kebuntingan muda. Ovarium dapat teraba dilateral dan agak cranial dari cerviknya ( Toelihere, 1985).
jaringan, yang menyebabkan otot-otot uterus dapat mengakomodir perkembangan fetus. Relaxin
menyebabkan saluran pelvis melebar, terutama pada tahap akhir kebuntingan.
Konsentrasi estrogen rendah selama awal kebuntingan dan meningkat pada pertengahan dan akhir
kebuntingan. Pada kuda, level estrogen cukup tinggi selama pertengahan kebuntingan. Sumber utama
estrogen ini adalah palsenta. Estrogen mengalami kenaikan yang progresif dalam aliran darah uterus
selagi proses kebuntingan terjadi. Estrogen bekerja sama secara sinergis dengan progesteron pada
perkembangan
dan persiapan kelenjar mammae untuk sintesa susu setelah kelahiran. Laktogen plasenta juga
sepertinya mempunyai peran dalam perkembangan kelenjar mammae sebagaimana perannya dalam
mengatur pertumbuhan fetus.
3. Mengetahui proses partus, mekanisme partus dan hormonal pada partus.
Fisiologi Kelahiran Sapi Perah Betina
Hafez (2000) menyatakan bahwa kelahiran atau partus adalah proses pengeluaran fetus dan plasenta
dari uterus induk sapi bunting. Tahapan proses kelahiran meliputi (1) terjadi dilatasi cervix dan
masuknya fetus ke dalam cervix. Adanya pelunakan dan pelebaran cervix menandakan bahwa fetus
sudah berada di dalam cervix dan sekitar 2-6 jam lagi maka induk akan partus, (2) pengeluaran fetus
yang berlangsung sekitar 0,5-2 jam, (3) pengeluaran plasenta yang umumnya berlangsung sekitar 3-5
jam pasca partus. Kejadian pelunakan dan pelebaran cervix serta pengeluaran fetus pada sapi paritas
pertama memerlukan waktu yang lebih lama dibanding sapi yang sudah beberapa kali partus (Bearden
dan Fuquay, 1992).
McDonald (1975) dan Hafez (2000) menyatakan bahwa mekanisme kelahiran merupakan peristiwa
kompleks karena berhubungan dengan proses endokrin, neural dan mekanik. Corpus luteum dari
ovarium merupakan sumber utama progesteron saat dimulainya kebuntingan karena peranannya dalam
memelihara kebuntingan. Namun saat akhir kebuntingan serta seiring dengan membesarnya plasenta
maka aktivitas corpus luteum semakin menurun dan perannya digantikan oleh plasenta sebagai sumber
progesteron (Shemesh, 2006).
Pada 20 hari hingga 2 hari menjelang partus, konsentrasi progesteron secara berangsur mengalamai
penurunan. Hal ini disebabkan karena kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen
untuk menggertak peningkatan prostaglandin F2 dari endometrium uterus dan merangsang
peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F2 mampu menghambat
sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Kontraksi dari myometrium
tersebut menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap
cervix dan vagina. Refleks Ferguson tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa
posterior untuk menyekresikan oxytocin. Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F2 bekerja secara
simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga terjadi proses
pelepasan perlekatan chorion fetus dari karunkula induk serta pengurangan volume uterus. Pelepasan
tersebut disebabkan adanya pengenduran perlekatan antara chorion fetus dan karunkula karena adanya
perobekan pembuluh darah sehingga darah lebih banyak keluar (Peters dan Ball, 1987; Schmidt, 2005).
Melalui mekanisme inilah memungkinkan proses kelahiran berlangsung dari sejak terjadi dilatasi cervix
dan masuknya fetus ke dalam cervix, pengeluaran fetus hingga pengeluaran plasenta.
4. Mengetahui proses post partus, laktasi dan hormonnya.
Fisiologi Reproduksi Pasca Partus
Pengeluaran Plasenta
Plasenta merupakan penggabungan antara plasenta foetalis (allantochorion) dan plasenta maternalis
(endometrium) yang memiliki fungsi fisiologis selama kebuntingan berlangsung. Pembentukan plasenta
pada awal kebuntingan merupakan membran fetus atau ekstra embrionik yang berdiferensiasi ke dalam
yolk sac, amnion, allantois dan chorion. Ternak sapi memiliki tipe plasenta multiplek atau kotiledoner
yaitu sebagian plasenta maternal (karunkula) dan sebagian allantochorion (kotiledon) yang terletak
berhimpitan satu sama lain untuk membentuk plasentoma (Partodihardjo, 1980; dan Hafez, 2000).
Hubungan antara kotiledon plasenta dengan karunkula endometrium memiliki beberapa peran penting
di antaranya (1) melakukan pertukaran gas, (2) menyalurkan zat-zat makanan dari induk ke fetus, (3)
menyalurkan sisa-sisa metabolisme dari fetus ke sistem peredaran darah induk dan (4) biosintesis sterol
dengan Ca2+ sebagai second messenger dan protein kinase C sehingga dihasilkan progesteron saat akhir
kebuntingan melalui fetal kotiledon (Bearden dan Fuquay, 1992; Stevenson, 2001; Shemesh, 2006).
Pengeluaran plasenta merupakan proses pemisahan membran fetus dari karunkula induk dalam waktu
beberapa jam pasca partus. Dalam kondisi normal, membran fetus (plasenta) tersebut akan keluar dari
tubuh induk sekitar 6 12 jam pasca partus (Peters dan Ball, 1987; Hafez, 2000). Proses pengeluaran
plasenta dimulai dari terputusnya tali pusar yang menghubungkan fetus dengan induk selama dalam
kandungan sehingga mengakibatkan volume darah dalam vili-vili turun dengan cepat. Semakin
menurunnya volume darah dalam pembuluh darah maka vili akan mengkerut dan volume uterus
berangsur-angsur menjadi kecil. Sekresi estrogen dan oxytocin yang merangsang kontraksi myometrium
akan menyebabkan terjadinya pengurangan volume uterus dan pelepasan kripta-kripta endometrium
tempat vili-vili plasenta bertaut dan secara bertahap sisa plasenta dan tali pusar yang menggantung di
mulut vulva akan menarik plasenta secara keseluruhan keluar dari uterus (Partodihardjo, 1980).
Pengeluaran plasenta melebihi dari 12 jam maka induk tersebut mengalami retensio secundinarum yaitu
gangguan pengeluaran plasenta (Hajurka, dkk., 2005). Hal tersebut dapat terjadi karena melemahnya
kontraksi myometrium sebagai akibat rendahnya kalsium dalam darah atau adanya ketidakseimbangan
hormon estrogen dan oxytocin serta partus sebelum waktunya (Peters dan Ball, 1987; Goff dan Horst,
1997).
Paritas induk tidak memengaruhi performan pengeluaran plasenta tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh
manajemen pemeliharaan yang memengaruhi kondisi fisologis induk sapi. Kimura, dkk., (2002) dan
Epperson (2005) menyatakan bahwa sistem imunitas tubuh induk sangat berpengaruh terhadap proses
pengeluaran plasenta. Kandang tempat melahirkan yang tidak memenuhi persyaratan kebersihan akan
Secara umum diketahui bahwa berakhirnya estrus yang diakhiri dengan proses ovulasi akan memberikan
perubahan dalam konsentrasi progesteron dalam darah. Konsentrasi progesteron sangat rendah (kurang
dari 5ng/ml) terjadi pada 1-3 hari sebelum estrus kemudian akan mengalami peningkatan secara drastis
pada 4-12 hari pasca estrus dan pada 16-18 hari konsentrasi progesteron akan konstan. Apabila ternak
sapi tersebut bunting maka keberadaan progesteron akan meningkat (sama atau lebih dari 5 ng/ml)
guna mempertahankan proses kebuntingan, tetapi progesteron akan segera menurun pada 18 hari
siklus estrus hingga 2-4 hari sebelum estrus berikutnya berlangsung (Grafik 1) (Rioux dan Rajotte, 2004).
Berlangsungnya proses kebuntingan akan menyebabkan dipertahankannya corpus luteum untuk
menghasilkan progesteron hingga dua hari sebelum partus (Hendricks, 2004). Sejak 20 hari sebelum
partus, progesteron mulai berangsur menurun sebagai konsekuensi adanya rangsangan kortisol
(glukokortikoid) fetus untuk merangsang plasenta menyekresikan estrogen guna menggertak
prostaglandin F2 dari endometrium uterus serta merangsang reseptor oxytocin dari endometrium.
Kehadiran prostaglandin F2 mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium
untuk berkontraksi (Peters dan Ball, 1987). Seiring penurunan progesteron, fetal estrogen juga berperan
dalam perejanan yang meliputi rangsangan myometrium untuk berkontraksi serta relaksasi cervix dan
vagina pada saat melahirkan, pengeluaran fetus dan plasenta (McDonald, 1975; Goff dan Horst, 1997;
Hafez, 2000; Shemesh, 2006). Di samping itu, estrogen akan merangsang peningkatan hormon prolaktin
yang berperan dalam laktogenesis. Keluarnya plasenta pasca partus tidak menghilangkan keberadaan
prostaglandin karena hormon tersebut akan disekresikan oleh karunkula uterus induk hingga
konsentrasinya menurun seiring dengan menyusutnya ukuran uterus sekitar 14 hari pasca partus
(Thatcher, dkk., 2006).
Aktivitas ovarium selama kebuntingan kecenderungan menurun terutama karena LH dalam darah yang
rendah. Proses folikulogenesis selama kebuntingan tidak dapat menghasilkan folikel dominan karena
tidak tersedianya LH untuk ruptura dinding folikel sehingga folikel tersebut akan mengalami atresia.
Kelenjar korteks adrenal yang menghasilkan ACTH dan corticostreroid berperan dalam menekan sekresi
LH. Peningkatan pelepasan FSH dari hipofisa anterior pada 5-14 hari pasca partus menyebabkan
perkembangan folikel dalam ovarium (Tysseling, dkk., 1998 dan Rensis, 2001). Setelah mengalami 2-3
kali atresia yang umumnya terjadi pada 7-8 hari pencapaian folikel dominan selama siklus estrus
berlangsung, maka folikel tersebut baru dapat diovulasikan pada 18-24 hari (Grafik 2 dan 3) (Arthur,
dkk., 1989) dan Noseir, 2003) atau 21-24 hari pasca partus (Pate, 1999 dan Rensis, 2001) tetapi
umumnya ovulasi tersebut tidak disertai estrus karena kurang memadainya ketersediaan estrogen dari
induk (Sumber: Noseir, 2003).
Ukuran folikel dominan akan menentukan jumlah sel granulosa dan produksi estrogen yang berperan
dalam penampilan perilaku estrus pertama pasca partus tetapi tidak dilakukan inseminasi karena proses
involusi uteri masih berlangsung (Fogwell, 1997). Gelombang folikel akan menentukan lamanya siklus
estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa folikulogenesis dengan dua
gelombang memiliki potensi konsentrasi estrogen yang lebih tinggi dan konsentrasi progesteron yang
lebih rendah dibandingkan folikulogenesis dengan tiga gelombang yang umum dialami oleh induk sapi
(Noseir, 2003). Kemampuan induk sapi primipara dan pluripara dalam menampilkan folikel dominan
yang akan diovulasikan dengan ukuran folikel lebih dari 10 mm dan konsentrasi estrogen lebih dari 5,0
pg/ml sangat bergantung pada tingkat keseimbangan energi pasca partus walaupun harus kehilangan
sebagian kondisi dan bobot tubuhnya.
Paritas induk tidak memengaruhi performan estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai kemampuan double ovulating (2,50,1)
dibandingkan sapi dara yang hanya single ovulating (1,00,0) sehingga estrogen yang dihasilkan dapat
melebihi dari 5,0 pg/ml (Wiltbank, dkk., 1995 dan Noseir, 2003). Kemampuan menghasilkan folikel
dominan yang mampu diovulasikan lebih dari satu (double ovulating) pada induk laktasi (primipara dan
pluripara) menyebabkan volume folikuler saat estrus meningkat sehingga terpenuhinya ketersediaan
estrogen bagi estrus dan kondisi tersebut teraktualisasi dalam intensitas estrus. Sartori, dkk., (2002)
mengungkapkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai volume folikuler
(2674,4126,8 mm) lebih besar dibanding sapi dara (2202,8168,5 mm).
OConnor dan Wu (2000) menggolongkan induk sapi berdasarkan waktu ovulasi hingga terbentuknya
corpus luteum pertama pasca partus di antaranya: (1) kurang dari 40 hari, (2) 40-60 hari dan (3) lebih
dari 60 hari. Semakin cepat terjadinya ovulasi pasca partus maka hipotalamus dan hipofisa anterior akan
menyekresikan gonadotropin guna kelangsungan folikulogenesis. Secara hormonal, lamanya aktivitas
luteal dapat diketahui dari kadar progesteron yaitu bila kadar progesteron lebih dari 3 ng/ml (de Vries
dan Veerkamp, 2000).
4. Involusi Uteri
Involusi uteri adalah kembalinya ukuran dan fungsi uterus dalam kondisi normal seperti sebelum
mengalami kebuntingan (Bearden dan Fuquay, 1992; Hafez, 2000). Kondisi tersebut dimulai sejak
berakhirnya minggu pertama pasca partus hingga involusi uteri terjadi secara utuh yang ditandai oleh (1)
menyusutnya ukuran corpus dan cornua uteri, (2) uterus kembali berada di rongga pelvik, (3) konsistensi
dan tekanan uterus normal, (4) degenerasi karunkula yang diikuti oleh regenerasi jaringan epitel uterus
serta (5) terbebasnya cervix dari bakteri patogen (Morton, 2004 dan Hajurka, dkk., 2005). Schirar dan
Martinet (1982) menyatakan bahwa involusi uteri umumnya terjadi melalui tiga proses yaitu (1)
kontraksi, (2) pelepasan jaringan dan (3) regenerasi jaringan.
Peningkatan prostaglandin F2 pada 7-23 hari pasca partus akan memberikan rangsangan pada
myometrium untuk melakukan kontraksi (Kindahl, dkk., 1982). Proses pelepasan jaringan yang
berlangsung sekitar 15 hari pasca partus akan diikuti oleh penyusutan beberapa pembuluh darah,
regresi kelenjar uterus, penyusutan jumlah dan volume sel uterus. Regenerasi sel epitel uterus dimulai
segera setelah partus. Ruang di antara karunkula akan diisi oleh sel-sel epitel yang baru pada 8 hari
pasca partus dan proses regenerasi secara keseluruhan akan berlangsung selama 4-5 minggu pasca
partus (Schirar dan Martinet, 1982).
Hendricks (2004) menyatakan bahwa selama involusi uteri terjadi dua proses perubahan yaitu
makroskopis dan mikroskopis. Perubahan makroskopis meliputi proses penyusutan ukuran uterus yang
diikuti oleh pelepasan jaringan dan regenerasi endometrium. Penyusutan ukuran ini disebabkan karena
menguatnya kontraksi uterus yang terjadi setiap 3-4 menit selama 24 jam pasca partus. Pada 5-10 hari
pasca partus ukuran uterus sudah mengalami penyusutan hingga 50 persen dan relaksasi cervix serta
hingga 3 minggu pasca partus. Kondisi leptin, insulin dan IGF-I sudah berangsur mengalami peningkatan
kearah normal. Leptin dalam kondisi keseimbangan energi positif akan meningkatkan feed intake yang
diikuti peningkatan insulin dan IGF-I. Jorritsma, dkk., (2003) menyatakan bahwa insulin dan IGF-I sangat
memengaruhi tingkat proliferasi folikel, produksi progesteron, estrogen sel granulosa dan androgen sel
theca. Insulin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) mampu mengikat protein bagi kepentingan
pertumbuhan folikel dan maturasi folikel dominan sehingga terjadi peningkatan estrogen yang akan
menimbulkan estrus kedua pasca partus dan LH bagi kepentingan ovulasi.
Kontribusi leptin, insulin dan IGF-I dalam metabolisme energi induk paritas I lebih diutamakan pada
pemenuhan kebutuhan pertumbuhan untuk mencapai kematangan fisiknya. Sedangkan induk paritas II
dan III lebih mengutamakan hasil metabolisme energi digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan dan maturasi folikel ataupun produksi susu. Hasil penelitian Wathes, dkk., (2005)
mengungkapkan bahwa primipara memberikan performan estrus kedua pasca partus (78,52,42 hari)
lebih lama dibandingkan pada pluripara (72,91,12 hari).
Performan estrus kedua pasca partus juga menggambarkan uterus sudah mengalami involusi artinya
secara fisiologis induk mampu menerima kebuntingan berikutnya. Oleh sebab itulah, estrus kedua pasca
partus umumnya digunakan sebagai langkah awal dalam melakukan inseminasi buatan pertama pasca
partus. Inseminasi buatan adalah suatu proses mendeposisikan semen ke dalam uterus (intrauterin)
atau cervix (intracervical) dengan menggunakan alat artificial copulation. Inseminasi buatan
memberikan kontribusi penting dalam days open dan calving interval karena keberhasilan inseminasi
pertama pasca partus yang menghasilkan kebuntingan akan memengaruhi lamanya performan
reproduksi tersebut.
Waktu yang tepat untuk inseminasi merupakan dasar bagi deposisi semen ke dalam organ reproduksi
induk. Pelaksanaan inseminasi yang baik dilakukan pada 12-18 jam yang dihitung dari sejak awal
berlangsungnya estrus. .Penentuan waktu tersebut didasarkan pada kemampuan spermatozoa dapat
hidup dengan baik pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam, waktu ovulasi sel telur dan daya
hidup sel telur untuk dapat dibuahi 10-20 jam. Sedangkan deposisi semen saat inseminasi dapat
dilakukan pada corpus uteri, cornua uteri bagian kanan dan cornua uteri bagian kiri (OConnor dan
Peters, 2003). Indikator tingkat keberhasilan pelaksanaan inseminasi pada estrus kedua pasca partus
dapat diamati melalui service per conception dan conception rate (Wells dan Burton, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. http://www6.ufrgs.br/favet/imunovet/molecular_immunology/blastocyst.jpg diakses
Yogyakarta, 28 Desember 2009.
Anonim. 2009. http://biowidhi.wordpress.com/2008/04/14/4/ diakses Yogyakarta, 28 Desember 2009.
Bearden H.J. and W.J. Fuguay.R 2004. Applied Animal Reroduction 6 th Ed. Philadelphia : Lea & Febiger.
Arthur, dkk. 1989. Veterinary Reproduction and Obstetrics. 6th Ed. Baliere Tindall.
Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez, E.S.E and
Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed.. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins.
McDonald, L.E. 1971. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Philadelphia : Lea & Febiger.
Partodiharjo, S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : Mutiara Sumber Daya.
Salisbury, G.W, and VanDemark, N.L., 1985, Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi.
Diterjemahkan oleh Djanuar, R., Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Pengertian
Kebuntingan adalah proses setelah terjadinya fertilisasi sampai terbentuknya zigot kemudian embrio
dan foetus.
Tahap-tahap pertumbuhan embrio
Embrio memiliki tahapan pertumbuhan yang sangat kompleks dan terdiri 5 periode, yaitu :
1. Periode persiapan
2. Periode pembuahan
3. Periode pertumbuhan awal
4. Periode antara
5. Periode pertumbuahan akhir
Periode persiapan.
Pada periode ini kedua parent atau indukan dipersiapkan guna melakukan perkawinan atau pembiakan.
Disini gamet mengalami proses pematangan sehingga telah mampu melakukan pembuahan.
Periode pembuahan
Pada periode ini kedua parent atau indulan melakukan proses kawin gamet melakukan perjalanan ke
tempat pembuahan. Setelah itu kedua gamet melakukan pembuahan.
Periode pertumbuhan awal
Setelah mengalami pembuahan dan menghasilkan zigot. Zigot mengalami pembelahan berulang kali
sampai saat embrio memiliki bentuk sederhana atau primitive. Bentuk primitive ialah bentuk dan
susunan tubuh embrio yang masih sederhana dan kasar. Bentuk primitf dari embrio ini terdapat di
semua hewan vertebrata.
Pada periode ini terdapat 4 tingkatan pertumbuhan antara lain :
1. Tingkat pembelahan
2. Tingkat blastula
3. Tingkat gastrula
4. Tingkat tubulasi
Perode antara
Periode ini disebut tingkat berudu. Hewan yang mengalami ini adalah golongan evertebrata , pisces, dan
amphibian. Pada hewan marsupilia(Metatheria). Hewan ini mempunyai sifat unik yaitu ketika bayi lahir
secara naluriah akan langsung merayap ke marsupium induk dan kemudian menyusu di putil susu.
Periode pertumbuhan akhir
Periode ini dimulai dari pertumbuhan penyempurnaan bentuk defenitif sampai kelahiran. Pada hewan
golongan anura berlangsung singkat. Aves berlangsung selama beberapa hari sedangkan mamalia
memiliki periode lebih lama dari anura dan aves. Sedang pada manusia berlangsung beberapa bulan
sebelum proses kelahiran.
Progesteron dihasilkan di corpus luteum dan plasenta. Apabila sekresi hormon ini berhenti pada setia
kebuntingan akan berakhir selama beberapa hari.
A. Kegagalan Pembuahan.
Faktor ini merupakan faktor utama sebagai penyebab induk menderita kebuntingan.
Zona pelusida sobek atau rusak menyebabkan pembuahan lebih dari satu sel mani terhadap sel telur
sehingga terbentuk zigot abnormal.
Sel telur yang muda
Sel telur yang berbentuk pipih
Sel telur yang berbentuk oval
Sel telur yang ukurannya terlalu kecil ( lebih kecil dari 120 mikron ).
Sel telur raksasa ( lebih dari 220 mikron )
Sel telur yang di dalam sitoplasma mengandung vakuola yang terlalu besar.
Sel telur dengan benda kutub ( polar body ) yang terlalu besar.
4. Sel mani yang abnormal.
Sel mani yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel
telur di dalam tuba falopii.
1. Kelainan genetik.
Adanya gen lethal yang melekat pada sel telur menyebabkan embrio yang terbentuk akan segera mati.
2. Penyakit.
Peradangan pada uterus, penyakit kelamin menular dan penyakit kelamin yang disebabkan oleh bakteri
nonspecific seperti Staphylococcus, Streptococcus, E.coli, P.aeroginosa, dan C. piogenes dapat
menyebabkan kematian embrio dini dan kebuntingan.
Eksplarasi Rektal
Eksplorasi rektal adalah metoda diagnosa kebuntingan yang dapat dilakukan pada ternak besar seperti
kuda, kerbau dan sapi. Prosedurnya adalah palpasi uterus melalui dinding rektum untuk meraba
pembesaran yang terjadi selama kebuntingan, fetus atau membran fetus . Teknik yang dapat digunakan
pada tahap awal kebuntingan ini adalah akurat, dan hasilnya dapat langsung diketahui. Sempitnya
rongga pelvic pada kambing, domba dan babi maka eksplorasi rektal untuk mengetahui isi uterus tidak
dapat dilakukan (Arthur, et al., 1996).
Palpasi transrectal pada uterus telah sejak lama dilakukan. Teknik yang dikenal cukup akurat dan cepat
ini juga relative murah. Namun demikian dibutuhkan pengalaman dan training bagi petugas yang
melakukannya, sehingga dapat tepat dalam mendiagnosa. Teknik ini baru dapat dilakukan pada usia
kebuntingan di atas 30 hari (Broaddus dan deVries, 2005).
Setelah itu sperma akan menembus membrane vitelinum, Sperma yang berhasil menembus zona
vitelinum disebut supernumeraria. Sperma masuk kedalam membrane ini mempunyai dua cara, yaitu
secara fusi dan fagositosit. Pada saat masuk, ekor ditanggalkan. Setelah kepala spermatozoa menyentuh
membrane vitelin , terjadilah aktifitas ovum. Membran vitellin memperlihatkan reaksi terhadap
sentuhan kepala spermatozoa. Ditempat sentuhan terjadi tonjolan kecil dari membrane vitellin dan
kemudian terbuka.Dalam keadaan tersebut kepala spermatozoa menyusup masuk kedalam sitoplasma
sel ovum . Seluruh tubuh spermatozoa termasuk kepala, ekor, masuk kedalam sitoplasma sel telur,
sedang membrane plasma yang menjadi pembungkus sperma, lebur menjadi satu dengan membrane
vitelin. Setelah tubuh spermatozoa masuk masuk kedalam sitoplasma, terjadilah pengkerutan protein
dan pembelahan inti sel ovum yang terakhir. Hasil pengkerutan adalah dilkeluarkannya cairan ke dalam
ruang antara membrane vittelin dengan zona pellucida, dan pembelahan inti sel ovum menghasilkan
polar bodi yang juga dikeluarkan ke dalam ruangan tersebut. Selanjutnya kepala spermatozoa terputus
dengan bagian lainnya, dan perlahan-lahan menggembung. Setelah menyingkarkan badan polar
pertama, terjadi pembentukan pronukleus jantan dan betina. Setelah itu mitokondria ovum mendekati
kedua pronukleus. Pertumbuhan pronuklei jantan lebih besar dari pronuklei betina. Setelah itu terjadi
penggabungan antara pronukleus jantan dan betina.
- Fertilisasi External, fertilisasi ini terjadi secara alami di air atau in vitro (contoh pada ikan dan amphibi).
Pada fertilisasi ekternal ini penetrasi sperma juga mengalami reaksi akrosom untuk menembus jelly
coat, membrane viteline, dan membrane plasma
Tahapan dari fertilisasi ekternal yang dicontohkan pada bulu babi adalah sebagai berikut
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. Membran sperma dan membrane sel telur berfusi, selain menuju langkah berikutnya, setelah
tahapan ini juga membuat inti sel sperma masuk ke sitoplasma dan selanjutnya langsung ke tahapan
terakhir yaitu inti sel telur dan inti sel sperma berfusi
8.
9.
10. Granula korteks berfusi dengan membrane plasma dan mengosongkan isinya kedalam rongga
perivitelin, dan membrane viteline menjadi membrane fertilisasi, selain itu juga terjadi aktivasi sel telur.
11. Inti sel telur dan Inti sel sperma berfusi.
Langkag ke 4-8 merupakan reaksi akrosom sedangkan ke 9-11 merupakan rekasi korteks
Setelah bersatu antara sperma dan ovum maka telah terbentuknya zigot. Zigot merupakan sel diploid
(2n) dengan jumlah kromosom 23 pasang. Sambil zigot bergerak kearah uterus, zigot membelah secara
mitosis berkali-kali. Zigot akan membelah diri menjadi dua, empat, delapan, enambelas, dan seterusnya,
Pada saat embrio mencpai 32 sel disebut morula.
Morula ini nanti akan berkembang menjadi blastula. Pada blastula, sel-sel bagian dalam akan
membentuk bakal janin atau embrioblas, sedangkan bagian luarnya membentuk trofoblas. Trofoblas ini
merupakan dinding yang berfungsi untuk menyerap makanan dan yang pada nantinya akan membentuk
plasenta. Selanjutnya blastula bergerak menuju ke uterus, pada dan selama proses ini korpus luteum
menghasilakn hormone progesterone. Hormon ini berfungsi untuk implantasi atau perlekatan embrio
dengan merangsang pertumbuhan endometrium. Blastula setelah melakukan implantasi juga akan
melepaskan hormone korionik gonadotropin, hormone ini akan melindungi kebuntingan dengan cara
menstimulasi hormone estrogen dan progesterone sehingga menstruasi pada primate tidak dapat
terjadi.
Proses selanjutnya adalah membentuk gastrula atau disebut gastrulasi, yaitu proses proses dimana
bagian embrioblas membentuk dua lapisan, yaitu lapisan luar atau ektodermis dan lapisan dalam atau
endodermis. Dan pada bagian permukaan dari lapisan ektodermis melakukan invaginasai kedalam
membentuk lapisan mesodermis.
Pada tingkat tubulasi Daerah-daerah bakal pembentuk alat atau ketiga lapis benih : ectoderm,
mesoderm dan endoderm, menyususun diri sehingga berupa bumbung , berongga. Tubulasi terjadi
mulai daerah kepala sampai ekor. Kecuali mesoderm hanya berlangsung di daerah truncus embryo.
Tahapan Organogenesis
Organogenesis merupakan proses dari pembentukan organ-organ tubuh. Organogenesis meliputi
Proses ini terjadi setelah fase tubulasi pada embryogenesis
1.
Lapisan Ektoderm
1. Ektoderm Umum : Epidermis kulit, derivat kulit ( kelenjar-kelenjar : Ambing, keringat, lemak, gig,
tanduk, dan kuku), lensa mata (alat telinga dalam, indera bau dan rasa), stomadeum (ruang mulut),
proktodaeum (bagian anus)
2. Ektoderm saraf : akan berdiferensiasi menjadi otak (sistem saraf), otak, sumsum punggung dan
saraf tepi, perbesaran indera (mata, hidung, raba).
3.
4.
Lapisan Mesoderm
1. Epimer (mesoderm dorsal), akan megalami segmentasi menurut arah memanjang tubuh embrio,
potongan epimer tersusun menurut letak dari anterior ke posterior dan terbentuk somit. Somit akan
membentuk dermatom, myotom dan skeretom
2.
3.
Hypomer
1.
2.
5.
Lapisan Endoderm
1.
2.
3.
Selain itu juga akan mengeluarkan kelenjar pencernaan saluran pencernaan, sistem pernapasan (epitel
paru-paru).
Faktor-faktor
- Temperatur
Temperatur yag terlampau tinggi , terutama perubahan udara yang sangat mendadak dapat
mengakibatkan tidak subur/mandul. Dimana produksi sel telur induk betina tidak normal pada masa
tidak subur dan dapat mengakibatkan hewan menjadi keriput dan nafsu makan turun. Demikian juga
pejantan , produksi sel jantannya juga tidak normal. Hal ini dapat disiasati bagi peternak yang daerah
suhunya di atas kenormalan dapat membaut kandang untuk peternakan dibawah pohon yang rindang,
sehingga suhu sekitar kandang akan turun dan hewan menjadi nyaman.
- Umur
Kegagalan bunting dapat disebabkan perkawinan pada usia muda. Umumnya perkawinan tersebut
tidak sesuai dengan umur dan berat badan yang sesuai jika hewan akan dikawinkan.
- Kondisi Penyakit
Mengawinkan hewan dalam kondisi sakit , akan mengakibatkan kegagalan bunting. Karena hewan
yang sakit, nafsu makan turun dan pertumbuhan biologisnya tidak normal dan hewan menjadi kurus. Hal
ini mengakibatkan alat reproduksi tidak maksimal dan saat kawin akan menimbulkan kegagalan bunting.
Mekanisme Partus
Mekanisme terjadinya kelahiran secara singkat dapat dimulai dari saat hipotalamus fetus menghasilkan
CRH, CRH akan mempengaruhi hipofisis anterior untuk mensekrsikan ACTRH (pelepas hormone ACTH).
Sekersi ACTH fetus melonjak. ACTH memepengaruhi cortex adrenal fetus untuk meningkatnya sekresi
kortisol, kortisol melewati plasenta dan meningkatkan peningkatkan estrogen, estrogen akan
mempengaruhi uterus untuk mensekresikan PGF2, PGF2 akan meregresi korpus luteum sehingga
produksi progesterone akan menjadi turun.
PGF2, estrogen menyebabkan kontraksi miometrium, ketika fetus sampai ke cervik, maka fetus akan
merangsang servik melalui kontraksinya dengan mensekresikan oksitosin. Oksitosin ini akan menambah
kuat kontraksi dari miometrium untuk mengeluarkan fetus.
Pada proses dilatasi servik, faktor yang berpengaruh pertama adalah hormone relaxin dan estrogen.
Hormon ini mempengaruhi proses dilatasi servik yang pertama, selanjutnya adalah proses pengeluaran
amnion dan chorion. Proses ketiga adalah dikelurkannya fetus, pada tahap ini biasanya amnion akan
pecah.
Kontraksi untuk dikeluarkannya fetus akan bertambah kuat dengan terjadinya anoxia pada fetus. Akibat
terjadi kontraksi, maka aliran darah akan berkurang, sehingga suplai oksigenpun akan berkurang juga.
Kontraksi abdomen juga akan menambah kekuatan dari kontraksi untuk dikeluarkannya fetus. Setelah
fetus keluar, kontraksi menjadi berkurang dan melemah, tetapi kontraksi tetap berjalan 1-2 hari, dan
kontraksi ini akan menjadi proses dikeluarkannya plasenta dan lain sebagainya yang msih tertinggal di
uterus.
Pada usia kehamilan kambing memasuki bulan ke-1 (30 hari), janin masih berukuran sebesar jari tangan
kelingking. Pada usia kehamilan kambing memasuki bulan ke-2 (60 hari), janin berukuran sebesar ibu jari
kaki seperti tampak pada gambar di bawah ini.
Pada usia kehamilan kambing memasuki bulan ke-3 (90 hari), ukuran janin sudah sebesar kaki bayi atau
kepalan tangan orang dewasa, posisi janin sudah semakin maju ke arah perut bagian tengah dan detak
jantung janin sudah dapat didengar dengan menggunakan stetoskop. Pada usia kehamilan kambing
memasuki bulan ke-4 (120 hari), janin terus membesar dan bisa dirasakan dengan perabaan pada bagian
depan bawah perut, tepat pada akhir tulang rusuk. Pada usia kehamilan kambing memasuki bulan ke-5
(120 150 hari), janin terus bergerak ke belakang perut dan mendekati saluran kelahiran.
Ketika 1 minggu menjelang kelahiran, ambing induk akan cepat membesar dan kelihatan merah pada
putingnya. Ini menandakan pembentukan air susu sudah sempurna untuk mempersiapkan kelahiran
anak. Disamping itu terdapat pula tanda-tanda lainnya untuk mengetahui induk kambing yang akan
melahirkan: Pinggul mengendur, ambing sangat besar dan puting susu merah. Alat kelamin
membengkak, berwarna kemerah-merahan dan lembap. Gelisah, menggaruk-garuk lantai kandang dan
mengembik. Nafsu makan turun. Segera siapkan rumput atau jerami kering sebagai alas untuk
melahirkan kambing.
Terdapat bukti-bukti bahwa embrio didekat tuba uterin perkembangannya sedikit lebih maju dibanding
yang berada didekat serviks blas tersebar secara teratur didalam uterus sampai tujuh hari setelah
perkawinan. Kontraksi uterin barangkali terlibat dalam pergerakan blastoris, karena tidak adanya bukti
bahwa pergerakan itu bersipat aktif.
Ketahanan kebuntingan pada hewan dan diakhirnya dengan kelahiran sebagian besar dipengaruhi oleh
keseimbangan laju kerja hormon. Kejadian ini dibuktikan oleh kenyataan perubahan perbandingan kadar
hormon sering mengakibatkan keguguran.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan kebuntingan pada sapi
betina dan hormon-hrmon yang berperan saat kebuntingan.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini dapat menjadi salah satu sumber bacaan mengenai
perkembangan kebuntingan pada sapi dan hormon-hormon apa saja yang berperan.
II. PEMBAHASAN
2.1. Kebuntingan
Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran
normal (Soebandi, 1981) sedangkan menurut Frandson (1992) menyatakan kebuntingan berarti keadaan
anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan. Dalam penghidupan peternak,periode
kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran
anak secara normal.
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak yang hidup.
Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari
sebuah sel tunggal yang mengalami peristwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama
hidup individu tersebut. Tetapi berbeda dalam keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu menjadi
dewasa dan menjadi tua. Setelah pembuahan , yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna,
pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai
kromosom yang sama dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan menghasilkan sel
kelamin (Salisbury, 1985)
Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat dibagi
menjadi 3 periode, yaitu: periode ovum,periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari
terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi,sedang periode embrio dimulai dari implantasi sampai
saat dimulainya pembentukan alat alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus.
Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor
genetik
Menurut Frandsion (1992) menyatakan bahwa Periode kebuntingan pada pada kuda 336 hari atau
sekitar sebelas bulan; sapi 282 hari atau sembilan bulan lebih sedikit; domba 150 hari atau 5 bulan; babi
114 hari atau 3 bulan 3 minggu dan 3 hari dan anjing 63 hari atau sekitar 2 bulan.
Menurut Salisbury (1985) periode kebuntingan pada semua bangsa sapi perah berlangsung 278-284 hari
kecuali brown swiss rata-rata 190 hari.
Perubahan alat kelamin betina selama kebuntingan berlangsung
Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan akan menunjukan perubahan
bagian-bagian tertentu sebagai berikut:
1. Vulva dan vagina
Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan terlihat adanya edema pada
vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak, edema
vulva baru akan terlihat setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan.
2. Serviks
Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar serviks. Kripta-kripta
menghasilkan lendir yang kental semalin tua umur kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut.
3. Uterus
Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada endomertium, terbentuk lebih
banyak kelenjar endometrium, sedangkan kelenjar yang telah ada tumbuh lebih panjang dan berkelokkelok seperti spiral.
4. Cairan Amnion dan Allantois
Volume cairan amnion dan allantois selama kebuntingan juga mengalami perubahan. Perubahan yang
pertama adalah volumenya, dari sedikit menjadi banyak; kedua dari perbandingannya. Hampir semua
spesies, cairan amnion menjadi lebih banyak dari pada volume cairan allantois, tetapi pada akhir
kebuntinan cairan allantois menjadi lebih banyak.
5. Perubahan pada ovarium
Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera dipenuhi oleh darah yang dengan cepat
membeku yang disebut corpus hemorrhagicum. Pada hari ke 5 sampai ke-6 korpus luteum telah
terbentuk.
2.2. Pemeriksaan kebuntingan pada ternak
Setelah kita mengawinkan ternak harapan kita adalah terjadinya kebuntingan. Pada umumnya peternak
kurang mengindahkan harapan ini. Mereka mengetahui ternaknya tidak bunting setelah ternak mereka
minta kawin lagi dalam istilah inseminasi buatan disebut non-return. Karena hasrat manusia untuk
mengetahui kebuntingan hewannya secepat mungkin setelah perkawinan Partodihardjo (1982) telah
mengadakan uji kebuntingan pada berbagai ternak antara lain:
1. Pemeriksaan kebuntingan pada sapi dan kerbau
Kebuntingan pada sapi dan kerbau dapat diketahui dengan melatih diri meraba alat reproduksi hewan
betina melalui rektumnya. Pada saat ini pemeriksaan kebuntingan yang terbaik adalah palpasi per
rektum.
2. Pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pemeriksaan kebuntingan pada kuda hingga kini telah diketahui metode palpasi per rektum, metode
biologik dan metode immunologik. Metode biologik diciptakan oleh ascheim dan zondek yang
menggunakan mencit betina sedang metode biologik yang lainnya diciptakan friedman yang
menggunakan kelinci betina. Metode immunologik ada 2 macam, yaitu metode yang mengandung
radio-aktif dan metode tanpa radio-aktif.
Metode Biologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pada dasarnya, dengan metode biologik ini yang diperiksa adalah adanya hormon PMS. Hormon ini
mencapai puncak kadar dalam darah pada hari yang ke 50 setelah fertilisasi dan mulai menurun setelah
kebuntingan pada hari ke 120. pemeriksaan dilakukan sebelum hari ke 50 atau sesudah 120 hasilnya
diragukan.menurut Frandson (1992) menyatakan metode ini dapat dilakukan pada kebuntingan 50
sampai 84 hari.
Metode Imunologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pada dasarnya digunakan serum (anti bodi) untuk mendeteksi adanya PMS yang ada dalam darah kuda
tersangka. Anti bodi ini berasal dari kelinci yang telah berkali-kali disuntik dengan hormon PMS yang
telah dicampur dengan zat pelambat absorpsi, dengan interval 1 minggu. Pada umumnya sistem yang
dipakai adalah Complement Fixation Test (CP test) atau Hemoagulation Inhibition Test (HI).
Kadar hormone ini menurut para peneliti lebih tinggi pada saat sapi bunting daripada saat tidak bunting.
Lebih tepatnya saat awal kebuntingan kadar hormone ini meningkat. Hormone ini mengalami
penurunan dari kelenjar hipofisa disebabkan naiknya kadar esterogen yang menghambat pembentukan
hormone tersebut.
GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini
menstimulasi sekresi follicle stimulating hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis
anterior (Salisbury dan vandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi
darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk., 1990).
Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil kontrol
umpan balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah
mekanisme kerja GnRH. Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulasi
hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan
dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrum.
FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi
konsentrasi hormon estrohen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH
dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding
folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak
bunting maka PGF2 dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka
korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga
kebuntingan (Adnan dan Ramdja, 1986).
2.3.2. Esterogen.
Pada awal kebuntingan hormone ini sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada saat umur
kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan mengekskresikan 10 X lipat
hormone esterogon didalam air seninya dibanding sesudah melahirkan.
2.3.3. Progesterone.
Hormone ini mempunyai peranan palaing penting dan dominant dalam berperan mempertahankan
kebuntingan. Kadar hormone yang meningkat menyebabkan berhentinya kerja hormone lain serta
menyebabkan berhentinya siklus estrus dengan mencegahnya hormone gonadotrophin-gonadotrophin.
Progesteron dihasilkan di corpus luteum dan plasenta. Apabila sekresi hormon ini berhenti pada setia
kebuntingan akan berakhir selama beberapa hari.
Progesteron penting selama kebuntingan terutama pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak
terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 17 pada domba, maka
PGF2 akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium yang dapat
menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000). Apabila PGF2 diinjeksikan pada
awal kebuntingan , maka kebuntingan tersebut akan berakhir.
Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan pada
semua spesies ternak. Level progesteron dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu ,
kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak bunting dan
tinggi pada hewan yang bunting
Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar
progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sample susu mudah didapat
saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sample susu ditest menggunakan radio
immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample
bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan preservasi seperti potasium
dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama
transportasi ke laboratorium.
Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus
menunggu beberapa hari. Kit progesteron susu sudah banyak digunakan secara komersial di
peternakan-peternakan dan dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh penggunaan RIA yaitu
antara lain karena keamanan penanganan dan disposal radioaktivnya.. Test dapat dilakukan baik dengan
enzyme-linked immuno assay (ELISA) maupun latex aggluination assay.
DAFTAR PUSTAKA
Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.
Hunter, R.H.F, 1981, Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik, Penerbit ITB Bandung
dan Universitas Udayana, Hal: 20, 332.