Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam menjalankan tugas
konstitusionalnya, MK berupaya mewujudkan visi kelembagaannya, yaitu
tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi
demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Kewenangan MK Republik Indonesia menurut Sekretarian Jendral dan
Kepaniteraan (2005:3) mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain: (1) Menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; (2) Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (3)
Memutus pembubaran partai politik, dan; (4) Memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Contoh kasus yang dihadapi sekarang adalah penyalahgunaan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, dalam kasus ini Ketua MK menyalahgunakan
kewenangan-kewenangannya dalam hal memutus perselisihan sengketa pemilihan
kepala daerah Lebak. Dalam hal ini jika dikorelasikan dengan pasal 24 ayat (1)
yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jelas apa

yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan


Undang-Undang Negara Republik Indonesia pasal 24 ayat (1) karena yang
dilakukan tidak mengandung unsur-unsur keadilan sebagaimana tertuang dalam
pasal tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Penyalahgunaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
2. Mengembalikan Fungsi Hukum peradilan Di Mahkamah Konstitusi
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1.4 Manfaat

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1.

Sejarah Mahkamah Konstitusi


Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan

diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang


dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.

Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka


menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)
menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III
Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah
kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi.
Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara
bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13
Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor

98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada


tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M
Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan
pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal
16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan
perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman
menurut ketentuan UUD 1945.
2.2 Visi dan Misi MK
Visi:
Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan
demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Misi:
1) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang modern dan terpercaya.
2) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi.

2.3 Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban MK dalam Sistem


Ketatanegaraan RI

Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan


pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kewenangan
Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)

kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah


Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:


1. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa
a) penghianatan terhadap negara;
b) korupsi;
c) penyuapan;
d) tindak pidana lainnya;
2. atau perbuatan tercela, dan/atau
3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.4.

Peran Mahkamah Konstitusi

Terdapat empat peran yang biasa dilekatkan kepada MK sesuai dengan


latar belakang pembentukan wewenang yang dimiliki MK, yaitu:
1) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution);
2) penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution);
3) pengawal demokrasi (the guardian of the democracy);
4) pelindung

hak

konstitusional

warga

negara

(the protector of the

citizens constitutional rights) dan hak asasi manusia (the protector of human
rights).
Produk

hukum

aturan dasar konstitusional


lembaga

di bawah
adalah

UUD

1945

undang-undang

yang

menjabarkan

yang

dibuat oleh

legislatif. Pembuatan undang-undang juga merupakan proses

penafsiran terhadap UUD 1945, sehingga

pembuat

undang-undang,

yaitu

DPR bersama Presiden juga merupakan penafsir undang-undang. Namun


demikian, karena UUD 1945 sendiri menentukan bahwa
tersebut dapat

dimohonkan

pengujian

kepada

MK

undang-undang
yang berdasarkan

Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa putusannya bersifat final dan
mengikat, maka penafsiran MK lah yang merupakan penafsiran akhir dan harus
dilaksanakan. Oleh karena itu MK merupaka penafsir final konstitusi (the final
intepreter of the constitution).
Dalam menjalankan wewenang memutus pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945 MK juga menjalankan peran sebagai penjaga konstitusi (the
guardian of the constitution). Selain itu, karena pelaksanaan kewenangan
MK yang lain juga dilakukan berdasarkan pada ketentuan UUD 1945

untuk menyelesaikan perkara yang harus di putus, baik dalam perkara


sengketa

kewenangan

perselisihan

lembaga

hasil pemilu,

negara, pembubaran

maupun

partai politik,

pemberhentian Presiden

dan/atau

Wakil Presiden dalam masa jabatannya maka dalam konteks tersebut juga
melekat peran MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution)
dan penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution).
2.5.

Struktur Organisasi MK

Ketua MK

: Dr.H.M Akil Mochtar, S.H., M.H.

Wakil Ketua MK

: Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.

Sekretaris Jenderal

: Janedjri M. Gaffar

Panitera

: Kasianur Sidauruk, S.H., M.H.

2.6.

Cara pemilihan Hakim Konstitusi


Pemilihan ketua dan wakil ketua mahkamah konstitusi tertuang pada

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tata Cara


Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi pada Bab II Pasal 2.
Berbunyi:

1) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamad dipilih dari dan oleh haik untuk masa
jabaran selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal
pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah.
2) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah yang terpilih sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
3) Setiap hakim yang hadir dalam Rapat Pleno Hakim berhak untuk memilih
dan dipilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah.
4) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah dilaksanakan paling lambat 7
(tujuh) hari kerja setelah masa jabatan Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah
berkahir.
5) Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah dilaksanakan secara terpisah
6) Pada saat berakhirnya masa jabatan Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah
sebagai Hakim, berakhir pula masa jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Mahkamah.
2.7.

Cara Kerja MK

Cara Kerja Mahkamah Konstitusi secara garis besar dapat dilihat pada UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, Pasal 10.
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a.

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

b.

memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya


diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

c.

memutus pembubaran partai politik; dan

d.

memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a.

pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan


negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.

b.

korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan


sebagaimana diatur dalam undangundang.

c.

tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

d.

perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat


Presiden dan/atau Wakil Presiden.

e.

tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden


adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB III
PEMECAHAN MASALAH
Adapun pemecahan masalah yang terjadi pada kasus Mahkamah
Konstitusi yang menyeret ketua Mahkamah Konstitusi dalam peradilan ialah
dengan berbagai pendekatan, seperti Ilmu Hukum, Ilmu Politik, Ilmu Sosial,
sosiologi hukum. Karena kedudukan suatu Ketua Mahkamah Konstitusi sangat
mempengaruhi pengambilan suara. Yang terjadi dekat-dekat ini, ialah kasus Akil
Muchtar, yang menjadi fokus utama dalam berbagai pemberitaan di berbagai
media. Akil Muchtar menyalahgunakan jabatannya sebagai ketua MK yang
semestinya menjalankan amanat sebagai ketua yang patut ditiru dan dihormati.
Karena tidak lain, Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang cukup tinggi dalam
pengesahan atau pengambulan suatu partai (kasus Partai Dinasti Ratu Atut). Akil
Muchtar tertangkap bahwa ia telah menerima gratifikasi dalam suatu persidangan.
Yang mana ia, mampu meloloskan beberapa partai. Karena jabatannya yang tinggi
yaitu sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi.
Maka dari itu, penulis memiliki pandangan tersendiri bagaimana
mengembalikan proses hukum Mahkamah Konstitusi kembali pada jalurnya,
karena cukup butuh waktu yang lama untuk menyakinkan masyarakat akan
peradilan Mahkamah Konstitusi ini. Berikut beberapa penjelasan yang penulis
rangkum.
3.1.

Ilmu Hukum
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang

Dasar

Negara

Republik

Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 menyatakan
bahwa :
1. kekuasaan

kehakiman

merupakan

kekuasaan

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.


2. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badanbadan peradilan dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
3. badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
Penegasan dan penjabaran pengertian kekuasaan kehakiman dalam Pasal
24 UUD 1945 tersebut dituangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menyatakan :
Kekuasaan

Kehakiman

adalah

kekuasaan

yang

merdeka

untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan


Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Dari penjelasan pasal diatas dapat dinyatakan bahwa perilaku yang
ditunjukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Muchtar) sebagai penegak

hukum dan keadilan bertentangan dengan undang undang dasar Negara


Republik Indonesia.
Kewenangan-kewenangan

Mahkamah

Konstitusi

dapat

dilihat

dari Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


merumuskan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana tercantum
dalam Pasal 24C ayat (1) .
(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk :
1) menguji undang-undang ter-hadap Undang-Undang Dasar
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3) memutus pembubaran partai politik;
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Dalam kasus ini Ketua Mahkamah Konstitusi menyalahgunakan
kewenangan-kewenangannya dalam hal memutus perselisihan sengketa pemilihan
kepala daerah di Lebak. Dalam hal ini jika dikorelasikan dengan pasal 24 ayat (1)
yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jelas apa
yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut bertentangan dengan
Undang-Undang Negara Republik Indonesia pasal 24 ayat (1) dan pasal 24C ayat
(1) karena yang dilakukan tidak mengandung unsur-unsur keadilan sebagaimana
tertuang dalam pasal tersebut.
3.2.

Ilmu Politik

Ilmu Politik adalah ilmu yang mengkaji tentang politik. Ilmu Politik
terdapat 5 pandangan tentang politik :
1. Klasik: Politik dalam pandangan klasik dikemukakan oleh Arsitoteles, adalah
usaha warga negara dalam mencapai kebaikan bersama atau kepentingan umum.
2. Kelembagaan: Pandangan politik kelembagaan menurut Weber berarti politik
berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
3. Kekuasaan: Pandangan ini dikemukakan oleh Robson, menurutnya politik
adalah usaha untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi orang lain untuk berperilaku sesuai
dengan kehendak yang mempengaruhi. Kelemahan pandangan ini tidak
membedakan aspek politik dengan aspek lain, seperti tokoh agama yang punya
pengaruh tidak berarti dia sedang berpolitik.
4. Fungsionalisme: Politik dalam pandangan ini berarti merumuskan dan
melaksanakan kebijakan umum. Kelemahan pandangan ini menganggap
pemerintah sebagai wasit kepentingan masyarakat, padahal pemerintah sendiri
memiliki kepentingan tersendiri.
5. Konflik: Dalam mendapatkan kekuasaan selalu terjadi perbedaan pendapat,
perdebatan, persaingan bahkan pertentangan maka lahirlah konflik.
Dari 5 pandangan politik diatas dapat dinyatakan bahwa Ketua MK (Akil
Mochtar) sebagai penegak hukum dan keadilan bertentangan dengan pandangan
politik tersebut.
3.3.

Ilmu Sosial

Ditinjau dari sosial budaya masyarakat dari setiap daerah yang ada di
negara ini bahwa tindakan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada bisa
memberi toleransi, semua lapisan masyarakat memandang bahwa tindakan
tersebut tidak punya etika karena telah merugikan negara dan menurunkan
kepercayaan masyarakat akan penegakan hukum.
3.4.

Sosiologi Hukum
Pada lahirnya sosiologi hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) disiplin ilmu,

yaitu filsafat hukum, ilmu hukum dan sosiologi yang berorientasi dibidang
hukum.
Filsafat hukum
Konsep yang dilahirkan oleh aliran positivisme (Hans Kelsen) yaitu stufenbau
des recht atau hukum bersifat hirarkis artinya hukum itu tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Dimana urutannya yaitu :
-

Grundnorm (dasar social daripada hukum)

Konstitusi

Undang-undang dan kebiasaan

Putusan badan pengadilan

Dalam filsafat hukum terdapat beberapa aliran yang mendorong tumbuh dan
berkembangnya sosilogi hukum, diantaranya yaitu
1. Mazhab sejarah, tokohnya Carl Von Savigny (hukum itu tidak dibuat, akan
tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat). Hal tersebut
merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat, perkembangan

hukum dari statu ke control sejalan dengan perkembangan masyarakat


sederhana ke masyarakat modern.
2. Mazhab utility, tokohnya Jeremy Bentham (hukum itu harus bermanfaat
bagi masyarakat guna mencapai hidup bahagia). Dimana manusia
bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan
dan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap
warga-warga masyarakat secara individual). Rudolph von Ihering (social
utilitarianism yaitu hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk
mencapai tujuan)
3. Aliran sociological jurisprudence, tokohnya Eugen Ehrlich (hukum yang
dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat atau
living law)
4. Aliran pragmatical legal realism, tokohnya Roscoe Pound (law as a tool of
social engineering), Karl Llewellyn, Jerome Frank, Justice Oliver (hakimhakim tidak hanya menemukan huhum akan tetapi bahkan membentuk
hukum)
3.5.

Konsep-konsep Hukum Sosiologi Hukum

1. Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Control (Pengendalian Sosial)


Hukum sebagai sosiol control : kepastian hukum, dalam artian UU yang
dilakukan benar-benar terlaksana oleh penguasa, penegak hukum. Fungsinya
masalah penginterasian tampak menonjol, dengan terjadinya perubahan perubahan
pada faktor tersebut diatas, hukum harus menjalankan usahanya sedemikian rupa

sehingga konflik konflik serta kepincangan kepincangan yang mungkin timbul


tidak mengganggu ketertiban serta produktivitas masyarakat
Pengendalian sosial adalah upaya untuk mewujudkan kondisi seimbang
di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya suatu keadaan yang serasi antara
stabilitas dan perubahan di dalam masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai alat memelihara ketertiban dan
pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan
yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan sarana
pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari perbuatan dan ancaman yang
membahayakan dirinya dan harta bendanya.
2.

Hukum Berfungsi Sebagai Sarana Social Engineering


Hukum dapat bersifat sosial engineering : merupakan fungsi hukum

dalam pengertian konservatif, fungsi tersebut diperlukan dalam setiap masyarakat,


termasuk

dalam

masyarakat

yang

sedang

mengalami

pergolakan

dan

pembangunan. Mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara


ikatan sosial yang menganut teori imperative tentang fungsi hukum.
Hal ini dimaksudkan dalam rangka memperkenalkan lembaga-lembaga
hukum modern untuk mengubah alam pikiran masyarakat yang selama ini tidak
mengenalnya, sebagai konsekuensi Negara sedang membangun, yang kaitannya
menuju modernisasi dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Maksudnya adalah hukum sebagai sarana pembaharuan dalam masyarakat.
Hukum dapat berperan dalam mengubah pola pemikiran masyarakat dari pola
pemikiran yang tradisional ke dalam pola pemikiran yang rasional/modern.

3.

Wibawa Hukum
Melemahnya wibawa hukum menurut O. Notohamidjoyo, diantaranya

karena hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma-norma


sosial bukan hukum, norma-norma hukum belum sesuai dengan norma-norma
sosial yang bukan hukum, tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang
semestinya, pejabat-pejabat hukum yang tidak sadar akan kewajibannya untuk
memelihara hukum Negara, adanya kekuasaan dan wewenang, ada paradigma
hubungan timbal balik antara gejala sosial lainnya dengan hukum.
Dalam artian sebagai berikut :

Hukum tidak memperoleh dukungan yang semestinya dari norma norma


sosial bukan hukum, melemahnya value sistem dalam masyarakat pada
umumnya sebagai akibat dari modernisasi

Norma norma hukum tidak batau belum sesuai dengan norma norma sosial
yang bukan hukum, hukum yang dibentuk terlalu progresif sehingga
dirasakan sebagai norma norma asing bagi rakyat

Tidak ada kesadaran hukum dan kesadaran norma yang semestinya

Pejabat pejabat hukum tidak sadar akan kewajibannya yang mulia untuk
memelihara hukum negara, lalu mengkorupsikan, merusak hukum negara
itu

Pemerintah pusat dan daerah berusaha membongkar hukum yang berlaku


untuk madsud maksud tertentu. Dapat terjadi bahwa pemerintah yang
seharusnya mendukung hukum sebagai kewajibannya, malah menghianati
hkum yang berlaku

4.

Ciri-ciri Sistem Hukum Modern


Sistem hukum yang modern haruslah merupakan hukum yang baik,

dalam arti hukum tersebut harus mencerminkan rasa keadilan bagi para pihak
yang terlibat/diatur oleh hukum tersebut. Hukum tersebut harus sesuai dengan
kondisi masyarakat yang diaturnya. Hukum tersebut harus dibuat sesuai dengan
prosedur yang ditentukan. Hukum yang baik harus dapat dimengerti atau
dipahami oleh para pihak yang diaturnya.
Ciri ciri hukum modern :
-

Terdiri dari peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam

Sistem hukum yang transaksional dimana hak dan kewajiban dalam


perjanjian tidak memandang usia, kelas, agama dan jenis kelamin

Bersifat universal dan dilaksanakan secara umum

Adanya hirarkis yang tegas

Melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur

Rasional

Dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman

Spesialisasi dan diadakan penghubung diantara bagian bagian

Hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat

Penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga


kenegaraan, artinya negara memonopoli kekuasaan

Perbedaan yang tegas diantara 3 lembaga negara (eksekutif legislative


yudicatif)

Ciri manusia modern :

Rasional

Jujur

Tepat waktu

Efisien

Orientasi ke masa depan

Tidak status symbol (gengsi)

5. Suatu kenyataan bahwa hukum hanya diperlukan untuk mereka yang


stratanya rendah sedangkan strata tinggi seolah kebal hukum.
Hingga saat ini banyak pelaku kejahatan kelas atas atau yang disebut
kejahatan Kerah Putih (White Colour Crime) yang dihukum sangat ringan bahkan
tidak sedikit yang divonis bebas, karena mereka memegang kekuasaan dan
wewenang yang dapat mengintervensi para penegak hukum, hal ini berakibat
bahwa mereka yang berstrata tinggi seolah kebal hukum dan sebaliknya hukum
hanya dipergunakan untuk mereka yang berstrata rendah.
6. Efektifitas Hukum dan Peranan Sanksi
Merupakan naskah yang berisikan sorotan sosial hukum terhadap
peranan sanksi dalam proses efektivikasi hukum. Efektivikasi hukum merupakan
proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat
ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas. Menurut Suryono efektifitas
dari hukum diantaranya :
A. Hukum itu harus baik

Secara sosiologis (dapat diterima oleh masyarakat)

Secara yuridis (keseluruhan hukum tertulis yang mengatur bidang bidang


hukum tertentu harus sinkron)

Secara filosofis

B. Penegak hukumnya harus baik, dalam artian betul betul telah


melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana digariskan oleh
hukum yang berlaku.
C. Fasilitas tersedia yang mendukung dalam proses penegakan hukumnya
D. Kesadaran hukum masyarakat
Syarat kesadaran hukum masyarakat :

Tahu hukum (law awareness)

Rasa hormat terhadap hukum (legal attitude)

Paham akan isinya (law acqium tance)

Taat tanpa dipaksa (legal behaviore)

E. Budaya hukum masyarakat


Perlu ada syarat yang tersirat yaitu pandangan Ruth Benedict tentang
adanya budaya malu, dan budaya rasa bersalah bilamana seseorang melakukan
pelanggaran terhadap hukum hukum yang berlaku
Cara mengatasinya :
1. Eksekutif harus banyak membentuk hukum dan selalu mengupdate,
2. Para penegak hukumnya harus betul betul menjalankan tugas kewajiban
sesuai dengan hukum hukum yang berlaku dan tidak boleh pandang bulu
3. Lembaga mpr sesuai dengan ketentuan uud 1945 melakukan pengawan
terhadap kerja lembaga lembaga negara.

7. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum


Sadar : dari hati nurani
Patuh : Takut sanksi yang negatif
Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak didalam diri manusia,
tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang dikehendaki atau
sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan hukum,
pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran/nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau
tentang hukum yang diharapkan.
Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum, hal yang
membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi.

kesadaran : tidak ada sanksi, merupakan perumusan dari kalangan hukum


mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai
yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum
yang diharapkan ada.

Indicator kesadaran hukum :


1. pengetahuan hukum
2. pemahaman hukum
3. sikap hukum
4. pola perilaku hukum

kepatuhan : ada sanksi positif dan negative, ketaatan merupakan variable


tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan
diperoleh dengannn dukungan sosial

Faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum :

Compliance, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu


imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin
dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya
pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan


karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar ke anggotaan kelompok tetap
terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang
untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut

Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan


secara intrinsic kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan
nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan.

Kepentingan-kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum


yang ada

Faktor penghambat perkembangan sosiologi hukum

Tidak samanya bahasa kerangka pemikiran yang digunakan antara ahli


sosiologi dengan ahli hukum

Sulitnya bagi para sosiologi hukum untuk menempatkan dirinya dialam


yang normatif

Pada umumnya para sosiolog dengan begitu saja menerima pendapat


bahwa hukum merupakan himpunan peraturan-peraturan yang statis.

Kadangkala seorang sosiolog merasakan adanya kesulitan-kesulitan untuk

menguasai keseluruhan data tentang hukum yang demikian banyaknya


yang pernah dihasilkan oleh beberapa generasi ahli-ahli hukum
Para ahli hukum lebih memusatkan perhatian pada kejadian-kejadian

konkret sedangkan para sosiolog menganggap kejadian konkret tersebut


sebagai refleksi dari gejala-gajala atau kecenderungan-kecenderungan
umum

3.6.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA
www.mahkamahkonstitusi.go.id
www.sarjanaku.com
www.metrotvnews.com

Anda mungkin juga menyukai