Anda di halaman 1dari 6

12.4.

Trauma Iradiasi
Radiasi ionisasi telah menjadi sarana terapeutik yang semakin penting dalam bidang
kedokteran. Standar radiasi yang disetujui secara luas telah dikembangkan untuk
perlindungan pasien dan tenaga kesehatan, dan implementasinya sudah menyebabkan
penurunan dramatis jumlah trauma yang terjadi karena sumber radiasi buatan (xray, agen
farmaseutikal nuklir, alat terapi radiasi). Dosis tahunan yang relevan secara genetic untuk
penggunaan di bidang kedokteran dan kedokteran gigi adalah 1mGy (dosis radiasi 1 Gy =
1 J energi radiasi per kg massa tubuh)
12.4.1. Patogenesis
Efek iradiasi X-ray pada system saraf pusat (SSP) orang dewasa tergantung pada
dosisnya (Zeman 1963,1964):
- 100 Gy: Iradiasi seluruh tubuh menyebabkan kematian langsung
- 70 Gy : iradiasi local menyebabkan nekrosis akut substansia alba dan grisea
- 50-70 Gy: Iradiasi local menyebabkan nekrosis jaringan parsial
- 20-25 GY : Iradiasi local menyebabkan nekrosis substansia alba secara lambat
karena Xray memicu kerusakan fungsional dari oligodendrosit (Blakemore, 1978)
dan sel endotel (Palmer, 1982)
Menurut Schmidt (1983) aplikasi local radiasi ionisasi pada SSP dapat menyebabkan efek
sebagai berikut:
- Inaktivasi enzim, pembentukan radikal bebas, dan/atau hilangnya tempat
perikatan pada atom dan molekul
- Kerusakan DNA karena radikal bebas oksigen (Ravanat et al. 2001) dengan
hilangnya kemampuan DNA untuk berreplikasi, hal ini dapat merusak kromosom
dan menyebabkan mutasi dan pertumbuhan sel yang abnormal
- Penurunan metabolisme otak, khususnya konsumsi glukosa otak ( dAvella et al,
1994)
- Kematian sel dan organel yang disebabkan karena destruksi struktur molekul
organic
- Perubahan pada dinding arteri seerebral karena sensitivitas sel edotel dan otot
polos terhadap iradiasi
- Otak yang berkembang sangat sensitive terhadap Xray dan malformasi SSP daoat
menjadi konsekuensi dari paparan Xray saan kehamilan.
Divisi sel akan terhambat oleh Xray melalui tiga jalur berbeda:
1. Mitosis akan terhambat secara irreversible dan sel akan mati melalui proses
apoptosis ketika terpapar saat fase G1 dan S
2. Irradiasi sinar X akan memicu reproduksi radikal bebas dan menghambat enzim
repair DNA, yang menyebabkan kematian sel dengan mekanisme nekrotik.
3. Terdapat indikasi adanya peningkatan apoptosis dan ekspresi caspase-3 setelah
terpapar radiasi. Investigasi ini hanya berdasarkan iradiasi pada usus, namun
dapat mencerminkan prinsip dasar dari trauma radiasi.

Gambar 12.3a-d. Trauma radiasi. A-c Vaskulopati yang ditandai dengan hialinisasi
dinding vaskular tanpa nekrosis fibrinoid, d gliosis ekstrim (a, b pewarna trikromat, c
pewarna Van Gieson, d pewarnaan Holzer, a,c,d,perbesaran 300x, b1000x
Energi radiasi menimbulkan kadikal OH dan H dengan cara radiolisis molekul air,
dimana OH dan H akan berreaksi dengan asam amino dan grup SH dalam membran
sel dan organel. Karena molekul yang kompleks, radiasi dapat emngubah aktivitas
enzim danmeningkatkan akumulasisubstansi yang bergantung pada aktivitas enzim.
Faktor patogenesis yang paling berperan adalah kerusakan pada kemampuan
reproduksi sel, yang menyebabkan nekrosis akut akibat radiasi dan mutasi. Sel yang
paling rentan adalah sel yang dpaat melakukan mitosis di SSP, misalnya sel glial dan
endotel dan sel otot inding pembuluh darah.
Temuan histopatologis pada pembuluh darah setelah terjadi iradiasi meluiputi
penebalan dinding pembbuluh darah, trombosis, oklusi lumen dan telangiektasis.
Pada tahap awal, kombinasi efek radiasi pada dinding vaskular dan parenkim
menyebabkan kerusakan pada oligodendroglia dan parenkim yang ada, dan pada
tahap lanjut, kerusakan pembuluh darah lebih mendominasi. Kerusakan ini diduga
dimediasi oleh sitokin dan growth factor yang dilepaskan dari sel-sel lokal dan sel
hematopoietik.
Reaksi yang terjadi pada SSP dapat dibedakan sebagai berikut:
- Reaksi akut: kerusakan sawar darah otak yang menyebabkan edema
- Reaksi lanjutan awal: dalam beberapa minggu, mielin dan akson serta pembuluh
darah terlibat; terjadi hialinisasi tanpa nekrosis fibrinoid
- Reaksi lanjutan lambat : nekrosis koagulatif jaringan, dengan perubahan hialin
dan fibrinoid dari pembuluh darah, aktivasi astrosit dan mikroglia.
12.4.3. Trauma Radiasi Akut
12.4.3.1 Nekrosis karena Radiasi

Pada fase awal setelah irradiasi, perubahan morfologi yang terjadi pertama kali ialah
vaskulopati, yang mungkin merupakan faktor inisiasi dan penyebab perubahan yang
terjadi selanjutnya. Astrosit reaktif muncul belakangan, baik di daerah target radiasi,
maupun di daerah sekitarnya. Selain nekrosis jaringan, terjadi juga gliosis. Dapat
terlihat juga adanya deposit kalsium, reaksi radang, proliferasi pembuluh darah dan
hialinisasi. Terdapat juga infiltrasi sel T (CD4, CD8), proliferasi makrofag, dan
pelepasan TNF dan interleukin 6. Iradiasi menyebabkan meningkatnya kerentanan
dari selubung mielin, yang dapat dibandingkan dengan sel saraf, yang menunjukkan
adanya kromatolisis sentral.
Kerusakan sawar darah otak yang dipicu oleh iradiasi menyebabkan edema otak, yang
berperan besar menyebabkan sequelae morfologis.
12.4.3.2. Transitory Radiation Myelopathy
Medulla spinalis lebih sensitif terhadap radiasi ionisasi dibandingkan dengan
serebrum, kemungkinan karena absorpsi di tulang yang lebih sedikit. Area servikal
khususnya, lebih rentan terhadap radiasi tumor di rongga mulut, faring dan laring.
Dosis yang dapat ditoleransi pada area ini berkisar antara 10-60 Gy. Regimen
terapeutik yang diberikan saat ini (55-60 Gy) memiliki resiko 1-5 untuk menimbulkan
mielopati yang dipicu oleh radiasi. Kerentanan dari oligodendroglia pada kebanyakan
kasus menyebabkan demielinisasi, terutama di kolumna posterior substansia alba,
yang dapat menimbulkan gejala klinis seperti parestesia yang terasa seperti kejutan
listrik yang tidak nyaman yang timbul saat kepala dimiringkan.
12.4.3.3. Neuropati Radiasi
Kerusakan saraf perifer lambat yang terjadi karena Xray jarang ditemukan. Neuropati
seperti ini biasanya ditemkan pada area plexus brachialis, pada pasien yang menjalani
prosedur seperti iradiasi karsinoma payudara; dalam kebanyakan kasus neuropati
terjadi 3-4 tahun setelah iradiasi. Fibrosis merupakan gambaran mikroskopik yang
mendominasi pada kelainan ini.
12.4.4. Reaksi Lambat Awal
Berkembangnya gejala klinis setelah beberapa minggu pasca iradiasi X disebut
reaksi lambat. Secara neuropatologis, trauma seperti ini ditandai engan adanya
hialinisasi dinding vaskular tanpa nekrosis fibrinoid, juga adanya demielinisasi dan
kerusakan aksonal.
12.4.5. Trauma Radiasi Kronik
Periode laten antara iradiasi dan gejala klinis pada keadaan ini bervariasi mulai dari
berbulan-bulan hingga 13 tahun. Bentuk kelainan akut dapat dibedakan dengan
kelainan kronik progresif.
12.4.5.1.
Onset akut
Gejala trauma kronik pada otak dan medulla spinalis dapat terjadi dalam bentuk akut
setelah periode laten. Adanya paraplegia parsial atau komplit dan adanya gejala SSP
dapat timbul dalam beberapa hari. Secara morfologis, kelainan vaskular tidak
mendominasi, namun kerusakan glia dengan demielinisasi dan nekrosis substansia
alba adalah kelainan yang paling terlihat. Saat periode laten, sel glia yang mengalami
kerusakan fungsi mitosis mengalami gangguan fungsional setelah beberapa siklis
mitosis, seperti yang dialami oleh sel endotelial, yang menyebabkan edema.
12.4.5.2. Kerusakan Kronik Progresif

Secara klinis, gambaran kerusakan medulla spinalis ditandai dengan adanya gangguan
sensorik (54%), dan gejala yang kurang sering adalah kombinasi gangguan motorik
dan sensorik (21%) dan paresis (22%). Pada kelainan yang memiliki prognosis yang
buruk ini, kelainian vaskuler merupakan kelainan yang mendominasi, dengan adanya
demielinisasi parsial atau komplit dan adanya disintegrasi struktural spongiform.
12. 5. Trauma Mekanik Khusus
12.5.1. Trauma Ultrasonik
Kejadian. Paparan tidak disengaja terhadap ultrasonik dosis tinggi jarang ditemukan.
Sonografi diagnostik menggunakan ultrasound berfrekuensi hingga 10MHz. Semua
bukti yang ada menunjukkan bahwa modalitas ini aman jika digunakan dengan baik.
Ultrasound memiliki efek mekanik pada jaringan tergantung panjang gelombang atau
frekuensinya, intensitas, dan durasi paparan. Aplikasi ultrasound berenergi tinggi
yang tidak disengaja diketahui dapat menyebabkan trauma suhu. Jaringan otak
binatang yang dibius, yang terpapar ultrasound 2,7 MHz dalam 2 detik dengan
intensitas 600 W/cm2 mengalami kenaikan suhu hingga 55C.
Ultrasound berenergi tinggi yang terfokus yang dipaparkan pada SSP dapat
menyebabkan nekrosis koagulasi. Ultrasound terfokus dosis tinggi digunakan untuk
menghancurkan jaringan otak pada pasien dengan penyakit Parkinson, karena
peningkatan suhu pada perbatasan dua tipe sel yang berbeda dapat menyebabkan
penghancuran sel.
12.5.2. Trauma Tekanan
Perubahan alami dalam kondisi tekanan, seperti penurunan tekanan atmosferik di
tempat tinggi, paling sering dihubungkan dengan perubahan tekanan oksigen yang
disebabkan karena penurunan tekanan parsial oksigen atau keadaan di bawah air,
dengan peningkatan tekanan lingkungan dan peningkatan tekanan parsial gas
pernafasan pada penyelam dapat melukai manusia. Peralatan tekanan yang mengatur
pelepasan gas dan cairan secara terkontril sering digunakan saat ini dalam berbagai
situasi terapeutik dan non terapeutik. Penggunaan perlengkapan tersebut dapat
membahayakan dan menyebabkan trauma dengan patofisiologu dan morfologi yang
yang unik.
15.5.2.1 Barotrauma
Patofisiologi. Ketika tekanan lingkungan dimana seseorang berada berubah, maka
tekanan ruangan intratoraksnya juga akan berubah. Paru orang dewasa memiliki
kapasitas kurang lebih 6 L. Pada kedalaman yang meningkat, misalnya pada orang
yang menyelam secara apneik, tekanan eksternal meningkat pada dada penyelam
tersebut dan volume udara di paru menurun seiring meningkatnya tekanan. Udara
yang dihirup pada 50 meter di bawah air memiliki tekanan sekitar 600 kPa (6 atm)
dan 6 kali lebih rapat dibandingkan pada permukaan. Gas ini larut dalam cairan tubuh
dan jaringan, dengan proporsi yang sama terhadap tekanan lingkungan. Peningkatan
tekanan terhadap atmosfer di permukaan air bersama dengan resistensi ditambah
dengan alat bantu pernapasan dapat meningkatkan upaya pernafasan.
Hal yang paling berbahaya adalah ketika kembali ke permukaan dimana terjadi
perubahan tekanan, volume tekanan relatif besar dan volume tekanan gas hilang
dalam cairan. Ketika seorang penyelam naik ke permukaan, penurunan tekanan
lingkungan dan gas akan dilepaskan oleh jaringan. Selanjutnya gas dalam rongga

tubuh berisi udara mengembang sesuai dengan hukum Boyle. Kerusakan paru lebih
disebabkan oleh distens yang berlebihan dan peregangan bukan efek langsung dari
peningkatan tekanan. Manifestasi yang dapat terjadi akibat barotrauma diantaranya
pneumotoraks, emfisema interstisial, dan emboli udara, dimana dapat terjadi
robeknya jaringan.
Neuropatologi. Dalam kasus barotrauma, perubahan jaringan otak pada seseorang
ditandai dengan hipoksia sistemik dan edema ekstrim. Dalam kasus pengaruh
tambahan dekompresi dengan hipoksia, edema, dan gelembung ekstravaskuler dalam
parenkim otak dan sumsum tulang belakang dapat diamati pada bagian histologis
(lihat di bawah). Sebenarnya, gelembung udara tidak menyebabkan kerusakan pada
sawar darah otak (Hjelde et al. 2002). Edema otak merupakan hasil dari proses
hipoksia-iskemik.
12.5.3 Toksisitas Dari Gas Hiperbarik
Patofisiologi. Peningkatan tekanan eksternal dari nitrogen menyebabkan retensi
karbondioksida. Peningkatan tekanan parsial nitrogen dalam arteri lebih dari 8 kPa
menyebabkan narkosis nitrogen. Hiperkapnia juga menyebabkan peningkatan
sirkulasi katekolamin, yang dapat mengubah aliran darah jaringan sehingga, dalam
keadaan khusus, penyakit dekompresi (kemungkinan hipotermia) dapat terjadi (lihat
di bawah). Peningkatan pO2 dalam menyelam (hyperoxemia eubaric) serta proses
reperfusi (Aronowski et al. 1997) dapat berhubungan dengan kerusakan jaringan
karena produksi radikal bebas oksigen meningkat (intoksikasi oksigen, lihat Bacon et
al. 1996). Berbeda dengan konsep ini adalah temuan eksperimental terbaru oleh Flynn
dan Auer (2002) menunjukkan bahwa hyperoxia terisolasi dengan periode reperfusi
mengurangi nekrosis kortikal.
Dalam menyelam, efek dari O2 di paru-paru dan SSP adalah hal yang terpenting,
meskipun sindrom kelelahan sistemik juga telah dijelaskan (Sterk dan Schrier 1985).
Pada kedalaman melebihi 100 m penyelam mengalami keadaan euforia, dan
gangguan proses pikir dan koordinasi yang disebabkan oleh keracunan N2 (Strauss
dan Prockop 1973). Namun, gangguan yang signifikan dalam menyelam yang
disebabkan oleh keracunan N2 dapat muncul dari kedalaman 40 m. Resiko dari
keracunan oksigen dapat terjadi kejang dan kehilangan kesadaran. Hal ini disebabkan
toksisitas pada SSP dimana normalnya pO2 adalah 300 kPa dan sementara itu efek
pada paru yaitu dimana tekanannya adalah 200 kPa atau kurang. The SSP manifestasi
keracunan oksigen kejang grand mal yang terjadi tanpa tanda-tanda peringatan
diprediksi atau gejala. Manifestasi awal keracunan oksigen pada SSP yaitu dapat
terjadi kejang grand mal. Keracunan oksigen pada otak telah diteliti oleh Donald, dan
ditemukan kerentanan yang bervariasi dari hari ke hari setiap individu (Donald 1947;
lihat juga Flynn dan Auer 2002). Donald menemukan bahwa menghirup oksigen
murni pada tekanan yang rendah yaitu 190 kPa (1,9 atm, kedalaman 9 m) saat bekerja
diair dapat menimbulkan kejang tapi pada tekanan 176 kPa (1,7 atm) tidak
menimbulkan kejang. Berendam dan akitivitas berlebihan di bawah air dapat
menyebabkan kerentanan terhadap keracunan oksigen meningkat. Hiperkapnia juga
meningkatkan kerentanan terhadap keracunan oksigen yaitu berupa kejang dimana
terjadi akibat gas yang di hirup oleh penyelam saat bekerja dibawah tekanan. Subyek
dari keracunan oksigen pada SSP dapat ditinjau (1984).

Insiden kejang akibat keracunan oksigen yang berhubungan dengan terapi oksigen
hiperbarik secara rutin di evalusi oleh Hampson dan Atik (2003). Total perawatan
pada 20.328 pasien yang dilakukan pada tahun 1992-2001, 6 pasien diantaranya
mengalami kejang akibat keracunan oksigen,keseluruhannya 1 di antara 3.388
perlakuan (0,03%).
Neuropatologi. Ciri-ciri morfologi paparan gas hiperbarik ditandai dengan
dekompresi dan hipoksia.
12.5.4 Decompression Sickness (DCS)

Anda mungkin juga menyukai

  • Format Laporan Jaga Interna
    Format Laporan Jaga Interna
    Dokumen3 halaman
    Format Laporan Jaga Interna
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen6 halaman
    Jurnal
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen6 halaman
    Jurnal
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Tatalaksana Terkini Diare
    Tatalaksana Terkini Diare
    Dokumen45 halaman
    Tatalaksana Terkini Diare
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Kejang
    Kejang
    Dokumen21 halaman
    Kejang
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Cover Referat
    Cover Referat
    Dokumen2 halaman
    Cover Referat
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Kejang
    Kejang
    Dokumen21 halaman
    Kejang
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Inkontinensia Urin
    Inkontinensia Urin
    Dokumen1 halaman
    Inkontinensia Urin
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Ejection
    Ejection
    Dokumen2 halaman
    Ejection
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Penurunan Kesadaran-FIX
    Penurunan Kesadaran-FIX
    Dokumen21 halaman
    Penurunan Kesadaran-FIX
    Angela Elsynot Icu
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Rawat Inap
    Laporan Kasus Rawat Inap
    Dokumen22 halaman
    Laporan Kasus Rawat Inap
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Referat Kondiloma Akuminata Terbaru
    Referat Kondiloma Akuminata Terbaru
    Dokumen31 halaman
    Referat Kondiloma Akuminata Terbaru
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Refrat Anak Asthma
    Refrat Anak Asthma
    Dokumen19 halaman
    Refrat Anak Asthma
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Penilaian Umur Gestasi
    Penilaian Umur Gestasi
    Dokumen20 halaman
    Penilaian Umur Gestasi
    Pee Quun
    Belum ada peringkat
  • Batu Saluran Kemih
    Batu Saluran Kemih
    Dokumen2 halaman
    Batu Saluran Kemih
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Inkontinensia Urin
    Inkontinensia Urin
    Dokumen1 halaman
    Inkontinensia Urin
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • IMOBILISASI
    IMOBILISASI
    Dokumen1 halaman
    IMOBILISASI
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Slide TB
    Slide TB
    Dokumen19 halaman
    Slide TB
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Slide TB
    Slide TB
    Dokumen19 halaman
    Slide TB
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Efusi Pleura
    Efusi Pleura
    Dokumen25 halaman
    Efusi Pleura
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • TERAPIGJ
    TERAPIGJ
    Dokumen1 halaman
    TERAPIGJ
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Infus
    Infus
    Dokumen34 halaman
    Infus
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Ileus
    Ileus
    Dokumen19 halaman
    Ileus
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Tokolisis
    Tokolisis
    Dokumen33 halaman
    Tokolisis
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Ileus
    Ileus
    Dokumen19 halaman
    Ileus
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • MR - Dr. Alex (Asma Bronkial)
    MR - Dr. Alex (Asma Bronkial)
    Dokumen22 halaman
    MR - Dr. Alex (Asma Bronkial)
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Ka Diana Terjemahan
    Ka Diana Terjemahan
    Dokumen6 halaman
    Ka Diana Terjemahan
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Intususepsi
    Laporan Kasus Intususepsi
    Dokumen2 halaman
    Laporan Kasus Intususepsi
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat
  • Fetal Well Being
    Fetal Well Being
    Dokumen33 halaman
    Fetal Well Being
    Diana Da Silva
    Belum ada peringkat