Anda di halaman 1dari 31

LEMBAR PENGESAHAN

Nama

: Soraya Verina

NIM

: 030.10.259

Judul Referat

: Karsinoma Nasofaring

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing pada tanggal, ..............................

Bogor,

September 2014

Dr. Anna Maria Suciaty, Sp.THT

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena ridho-Nya maka
referat yang berjudul Karsinoma Nasofaring ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga diberikan kepada pembimbing kami
dr.Anna Maria Suciaty, Sp.THT karena telah memberikan waktunya yang berharga untuk
membimbing saya dalam membuat dan menyelesaikan referat ini.
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang dapat membangun akan saya terima dengan sebaik-baiknya. Semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor,

September 2014

Soraya Verina

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ...................................................................................................

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3


BAB I

PENDAHULUAN .............................................................................. 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 5


1. ANATOMI ...................................................................................
2. DEFINISI .....................................................................................
3. EPIDEMIOLOGI .........................................................................
4. ETIOLOGI ...................................................................................
5. PATOFISIOLOGI ........................................................................
6. HISTOPATOLOGI ......................................................................
7. MANIFESTASI KLINIS .............................................................
8. STADIUM ....................................................................................
9. DIAGNOSIS ................................................................................
10. DIAGNOSIS BANDING ............................................................
11. PENATALAKSANAAN .............................................................
12. FOLLOW UP ..............................................................................
13. PROGNOSIS ...............................................................................

5
7
7
8
9
11
11
12
16
19
20
28
29

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 30

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 31

BAB I
PENDAHULUAN
3

Karsinoma nasofaring merupakan suatu keganasan dari sel epitelial yang berada di
kavum nasal. Penyebarannya terutama di kawasan Asia bagian tenggara dengan insidens
tertinggi di kawasan Cina bagian selatan.1
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan
karsinoma nasofaring. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas
nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh
manusia.2
Karsinoma Nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab
pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya Karsinoma Nasofaring ini adalah
faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar.
Faktor lain adalah non-makanan, seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,
dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya Karsinoma
Nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Ebstein-Barr dapat menyebabkan Karsinoma
Nasofaring.3
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta
letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli
sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai
gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan
hidup 5 tahun) semakin buruk.4
Sangat mencolok perbedaan prognosis dari stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu
76,9% untuk stadium I, 56,0% untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4%
untuk stadium IV. Untuk dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu
diketahui seluruh aspeknya, antara lain epidemiologi, etiologi, diagostik, pemeriksaan
serologi, histopatologi, terapi dan pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang
pengobatannya tidak berhasil baik.4

BAB II
KARSINOMA NASOFARING

1. ANATOMI DAN HISTOLOGI


Nasofaring merupakan suatu rongga yang berbentuk mirip kubus, terletak dibelakang
rongga hidung, diatas tepi bebas palatum molle dengan diameter anterior-posterior 2-4 cm,
lebar 4 cm yang berhubungan dengan rongga hidung dan telinga tengah melalui koana dan
tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya
saraf otak dan pembuluh darah.5
Dinding depan (anterior) nasofaring , dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut
juga koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang berhubungan
dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum nasi. Diameter
vertikal rata-rata sebesar 2,5 cm sedangkan diameter transversal 1,2 cm.
Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) nasofaring sedikit menonjol, dinding
atas dibentuk oleh os sfenoid, dinding belakang dibentuk oleh fasia faringobasilaris yang
menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua. Kelenjar limfoid adenoid
terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring, tetapi kadang-kadang kelenjar
adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba eustachius. Dinding bawah (inferior)
nasofaring, merupakan permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan orofaring
melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit yang disebut dengan istmus faring.

Gambar 1 . Anatomi Sistem Pernafasan Atas.3


Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang terpenting, dibentuk oleh lamina
faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus konstriktor faring superior. Pada dinding
lateral ini terdapat muara tuba Eustachius, tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan
5

yang dikenal sebagai torus tubarius, sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis
terdapt pada supero-posterior dari tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring
adalah fasia faringobasilar dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari
basis oksiput tepat di bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan
fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis
karotis, dan kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat
penyebaran tumor ke intrakranial.
Pendarahan nasofaring berasal dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu arteri
faringeal ascenden, arteri palatina ascenden dan descenden, dan cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Pleksus vena terletak dibawah selaput lendir nasofaring dan berhubungan
dengan pleksus pterigoid diatas dan vena jugularis interna dibawah.6
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal diatas otot konstriktor faringeus
media. Pleksus faringeus terdiri atas serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut
motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar
saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus hanya daerah superior nasofaring
dan anterior orifisium tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion
sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).7
Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah
anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Setelah melalui fasia faringeal, aliran limfe
dari sisi kanan dan kiri akan menuju ke kelenjar limfe retrofaringeal. Beberapa aliran limfe
dari masing-masing sisi akan menuju ke kelenjar yang terletak paling proksimal dari rantai
kelenjar spinal dan jugularis interna. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius
paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan
bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masingmasing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di
bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai
jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII.8
Lapisan mukosa ialah daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel
kubus berlapis semu bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan
pada daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis. Daerah
dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara atap nasofaring dan dinding

lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisan
submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa.9
2. DEFINISI
Kanker nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor
ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar ke dalam
atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum,
kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher.10
3. EPIDEMIOLOGI
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-mongoloid, namun
demikian daerah China bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi, yaitu dengan 2500
kasus baru pertahun untuk propinsi guang-dong (Kwantung) atau prevalensi 39,84/100.000
penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya Karsinoma Nasofaring,
sehinggga kekerapannya cukup tinggi pada penduduk China bagian Selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula cukup banyak kasus
di Yunani, Afrika bagian Utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alasaka
dan Tanah Hijau yang di duga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang
di awetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet Nitrosamin.1
Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUDPN Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, palembang 25 kasus, 15 kasus
setahun di Denpasar, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi. Demikian pula angka-angka
yang di dapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor
ganas ini terdapat merata di Indonesia. Dalam pengamatan dari pengunjung poloklinik tumor
THT RSCM, pasien Karsinoma Nasofaring dari ras China relatif sedikit lebih banyak dari
suku bangsa lainnya.11 Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita
(3:1). Umur kejadian rata-rata 45-55 tahun.12

4. ETIOLOGI
Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya infeksi Virus
Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan yang memungkinkan terjadinya
insidens yang tinggi pada kanker nasofaring di Cina.
7

a. Virus Epstein Barr (EBV)


Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi
sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab
beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt
dan kanker nasofaring.13
Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga
dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.Virus
tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan
proses keganasan.
b. Faktor Genetik
Telah banyak ditemukan kasus herediter dari pasien karsinoma nasofaring. Penelitian
pertama menemukan adanya perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan
karsinoma nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA).
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak terkontrol.
Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan
kehilangan sel-sel somatik. Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik
mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan
pada masyarakat keturunan Tionghoa.14
c. Faktor Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya kanker
nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada nelayan
tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah
yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu,
asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,12 asap dupa, serbuk kayu industri, dan obatobatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker
nasofaring belum dapat dijelaskan.

Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese herbal


medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara terjadinya
kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV), dan penggunaan CHB. Kebiasaan
merokok dalam jangka waktu yang lama juga mempunyai resiko yang tinggi menderita
kanker nasofaring.
5. PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral
dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring
(KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring
yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak
faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu:
1.adanya infeksi EBV,
2.Faktor lingkungan
3.Genetik
1)Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit
B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva
dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan
reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein
(gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3.
Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam
DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara
itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat
dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam
masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR ( Polimeric
Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan
beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr
dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya
9

perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel
kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada
ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada
ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF
(tumor necrosis factor ) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel
B dan menghambat respon imun lokal.
2)Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerentana
terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas
aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen
3)Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai
daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain
yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), Nnitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor
karsinogenik karsinoma nasofaring.
Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena paparan asap rokok yang
mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
6. HISTOPATOLOGI
Pada 1978 WHO menetapkan KNF sebagai kanker yang berasal dari sel skuamousa
dan dibedakan berdasarkan mikroskop cahaya menjadi 3 tipe yaitu:15
1. WHO Tipe 1 : karsinoma sel skuamosa berkeratin
10

Khas tampak gambaran sekat intraselular dan gambaran pembentukan keratin yang
menonjol. Gambaran tersebut menyerupai karsinoma sel skuamosa di daerah lainnya,
seperti pada traktus aerodigestivus. WHO tipe 1 ini terdapat pada 75% populasi kulit
putih di Amerika Serikat, non-Hispanic kulit putih tetapi jumlah tersebut hanya
sebesar 1-2% pada populasi endemik
2. WHO Tipe 2 : karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin
WHO tipe 2 memperlihatkan kematangan dari epitel skuamosa, tetapi tidak ada
gambaran pembentukan keratin
3. WHO Tipe 3 : karsinoma tidak berdiferensiasi
Pada WHO tipe 3, terdapat sel-sel dengan morfologi yang bervariasi terdiri dari
nukleus vesikuler, gambaran nukleus yang menonjol dan sinsitia (sel raksasa berinti
banyak). Ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah endemik, namun di
populasi resiko rendah seperti populasi pada populasi kulit putih Amerika Utara hanya
ditemukan sebanyak 60%.
Kebanyakan kasus KNF yang terjadi pada anak-anak dan remaja adalah tipe 3, sedikit
kasus pada tipe 2. Secara histologik, KNF WHO tipe 2 dan 3 berhubungan dengan infeksi
laten VEB sekitar 65-100% kasus dan pada WHO tipe 1 pada daerah endemis, tetapi tidak
terdapat pada WHO tipe 1 terutama pada daerah nonendemis.
7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala karsinoma nasofaring dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala
telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat
berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa
dengan cermat, dapat menggunakan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di bawah
mukosa (creeping tumor).16
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fisa Rossenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan
gangguan pendengaran ini baru kemudian disadarii bahwa penyebabnya adalah karsinoma
nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma
11

ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat
pula ke V,sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa psien lebih dahulu ke
dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf
jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan
bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk.
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain. Suatu kelainan nasofaring
yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di Cina (RRC), yaitu 3
bentuk yang mencurigakan pada nasofaring, seperti pembesaran adenoid pada orang
dewasa, pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila
diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.
8. STADIUM
Terdapat beberapa cara untuk menentukan stadium KNF. Amerika dan Eropa lebih disukai
penentuan stadium sesuai dengan kriteria yang ditetapkan AJCC/UICC (American Joint
Committee on Cancer / International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium
KNF yang terbaru adalah menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu :17
Tumor di nasofaring (T)
Tx : Tumor primer tidak dapat ditemukan
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a : Tumor meluas sampai daerah orofaring dan/atau fossa nasalis tanpa perluasan
ke depan parafaring

12

T2b : Dengan perluasan ke parafaring


T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan/atau mengenai saraf kranial, fossa infratemporal,
hipofaring, orbita atau ruang mastikator
Kelenjar limfe regional (N)
Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 : Metastasis ke KGB unilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikula
N2 : Metastasis ke KGB bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikula
N3 : Metastasis ke KGB:
N3a : Ukuran KGB > 6 cm, di atas fossa supraklavikula
N3b : Terletak pada fossa supraklavikula
Metastasis jauh (M)
Mx : Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Ada metastasis jauh
Stadium KNF
0 : Tis N0 M0
I : T1 N0 M0
IIa : T2a N0 M0
IIb : T1-2a N1 M0, T2b N0-1 M0
III : T1-2b N2 M0, T3 N0-2 M0
IVa : T4 N0-2 M0
13

IVb : Semua T N3 M0
IVc : Semua T N0-3 M1

14

Gambar 2. Stadium Kanker Nasofaring.17


15

9. DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau
16

sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari
mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan
xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.18
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang
dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian
dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih
belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan
kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO
pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
a. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma).
b. Karsinoma non-keratinisasi ( Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat
dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
a. Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring
b. Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
c. Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
1. Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari
kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
17

Tomogram Lateral daerha nasofaring


Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
2. C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos
adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil
mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah
submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi
polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu
luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut.
Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya
untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan
criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain
itu dengan lebih akurat dapatdinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke
jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya
penyebaran intracranial. Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu
dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring
yaitu:
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak ( soft tissue
technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

10.DIAGNOSIS BANDING
18

Ada beberapa diagnosis banding yang perlu diketahui seperti:


1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarnag pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu
massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seprti
tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.
Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos
akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat
meluas seperti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi
tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah
depan dari dinding belakang sinus maksilarisyang dikenals ebgai antral sign. Karena
tumor ini kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya

sangat

karakteristik.

Kadang-kadang

sulit

pula

membedakan

angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.


3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor
sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan didnding lateral nasofaring. secara C.T. Scan, pendesakan ruang para
faring kearah medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam
mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian
besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kea rah medial yang tampak pada
pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun
sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk
membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di
daerah clivus. CT dapat membantu ,elihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical
19

bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar
tersebuts edangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Menigioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai KNF
dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma
cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikanzat kontras dan
akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan
arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.
11. PENATALAKSANAAN
Stadium I

: Radioterapi

Stadium II&III

: Kemoradiasi

Stadium IV dengan N< 6 cm: Kemoradiasi


Stadium IV dengan N> 6 cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.19
a. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal
(Co60 ) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi
pada jaringan dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik
intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat reaktif.
Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam kromosom, sehingga dapat
terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

20

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih
rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak
yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNAnya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih
cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada
kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang
parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta
klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan
preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi,
yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini
banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi
tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.
Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi
eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus
kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah
memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring
dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut
sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan
dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA
Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA
terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme
DNA dan menghentikan aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi
khromatolisis dan plasma sel menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang
kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan ditandai
oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan stadium
yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya yang
meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian
atas. Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran
dari lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan
sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada
penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2), maka luas lapangan
21

radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad , terutama dari
atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan
lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis
seluruh antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas
lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil
bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran
kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar
leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah
tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran
terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok
timah didaerah leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran
sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin
berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka
kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka
ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor,
diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.21
Tujuan Radioterapi
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan
metastasis jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra
klavikular. Dosis total radiasi yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi
200 rad, 5 x pemberian per minggu. Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di
blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran supraklavikular dikeluarkan.21
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis
radiasi untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu.
Untuk kekambuhan lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.21

22

Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang
diberikan 5 x dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis
mencapai 4000 cGy penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir
istirahat dilakukan penilaian respon terhadap tumor untuk kemungkinan
mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada tidaknya metastasis jauh yang
manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi untuk tumor primer
sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan pembesaran
kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular
cukup sampai 4000 cGy.21
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan
secara bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor
primer dan KGB leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan
menggunakan pesawat megavoltage dan menggunakan radioisotop Cobalt60.21
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap
radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan
tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.
Komplikasi radioterapi
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
-

Xerostomia - Mual-muntah
Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang

diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum


Anoreksia
Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis

yang terkena radiasi)


Eritema

b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
23

Kontraktur
Penurunan pendengaran
Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan


selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh
dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi,
memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut
dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan
obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma
diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis diberikan
antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi
local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan
umum nausea, anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik
terhadap keluhan tersebut.21

b. Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.22,23,24
Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu
bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
-

kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh). 22,23

Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya

24

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala


leher dibagi menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan
bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi )22
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus
gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang
yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual,
muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut
mengakibatkan kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi
misalnya sum-sum tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah
terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari
sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal
lebih cepat pulih dari pada sel kanker23
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik
fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan

ginjal lebih sering terjadi dan

sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga
merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi.25
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat
mikrosirkulasi.25
Manfaat Kemoradioterapi
25

Manfaat pemberian keoterapi adjuvan antara lain :


1

Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan


hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel
hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen.
Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel
hipoksia.

Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif


terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). 25
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,

memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radiasi.25,26
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular
bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik.
Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas
mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan
kepala leher stadium II IV dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan
CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan
sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada
tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). 25,26
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi. 25,26
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif
terhadap radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik
yaitu mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan
menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. 25,26
26

Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan
penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar
sehingga berakibat fatal. 25,26
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian
tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana
sesuai jadwal pemberian.25,26
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi
tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk
meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika
yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response
rate 15%-47%.25,26
c. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah
dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus
yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan
cara lain.
12.FOLLOW UP
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai resiko
terjadinya rekurensi, dan follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering
terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun.
Sehingga pasien KNF perlu di follow up seridaknya 10 tahun setelah terapi.
Jadwal follow up dianjurkan sebagai berikut :
1. Dalam 3 tahun pertama : Setiap 3 bulan
2. Dalam 3-5 tahun
: Setiap 6 bulan
3. Setelah 5 tahun
: Setiap setahun sekali untuk seumur hidup
27

Pada follow up tahunan penderita diperiksa secara lengkap, fisik, X foto, thorax,
USG Hepar, dan bone scan untuk menentukan apakah penderita betul bebas kanker atau
tidak.
Pada follow up ditentukan :
1.
2.
3.
4.
5.

Lama hidup dalam tahunan dan bulan


Lama interval bebas kanker dalam tahunan dan bulan
Keluhan penderita
Stasus umum dan penampilan
Status penyakit : -Bebas kanker
-residif
-metastasis
-timbul kanker atau penyakit paru

6.

Komplikasi terapi

7.

Tindakan atau terapi yang diberikan

12. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari banyak hal antara lain usia (lebih muda angka harapan
lebih baik), jenis kelamin (pada KNF dewasa, prognosis wanita lebih baik daripada pria),
ada/tidaknya erosi tulang basis kranial, jenis histopatologi (tipe tidak bediferensiasi
mempunyai prognosis yang lebih baik), dan perluasan dari tumor primer (T), merupakan
faktor prognosis terpenting, makin kecil T, prognosis makin baik.
Beberapa penelitian menyatakan 5 tahun harapan hidup pasien dengan terapi radiasi
primer sekitar 40-60%. 5 thun harapan hidup stadium I sekitar 85-95%, dan stadium II
dengan terapi radiasi saja sekitar 70-80%. 5 tahun harapan hidup stadium III dan IV
dengan penatalaksanaan radioterapi saja berkisar 24-80%. Hasil maksimal didapatkan
pada penduduk Asia Tenggara dan dengan tambahan kemoterapi yang dikerjakan
bersamaan dengan radioterapi, didapatkan peningkatan 5 tahun harapan hidup pasien ini.
Tipe karsinoma undifferentiated KNF memiliki prognosis yang lebih baik karena tingkat
radiosensitifitasnya, sedangkan tipe I KNF memiliki prognosis yang lebih buruk
disebabkan rendahnya radiosensitifitasnya.

28

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan dan
menempati urutan ke 10 dari seuruh tumor ganas di tubuh. Banyak faktor yang diduga
berhubungan dengan KNF yaitu, adanya infeksi virus Eipstenn Barr , faktor lingkungan, dan
faktor genetik. Diagnosis dari KNF diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa
pemeriksaan penunjang yang lain. Semakin cepat pemberian terapi semakin tinggi harapan
hidup pasien. Oleh karena itu diagnosis dini sangat diperlukan.
SARAN
-

Diagnosis dini perlu diperhatikan pada pasien dewasa yang sering mimisan, hidung
tersumbat, keluhan kurang dengar, sakit kepala, dan penglihatan dobel. Sebagai

gejala lanjut ialah pembesaran kelenjar limfe leher dan kelumpuhan saraf otak
Bila dijumpai gejala diatas sebaik dilakukan pemeriksaan lengkap hingga

karsinoma nasofaring dapat disingkirkan.


Meningkatkan penemuan kasus dini sehingga angka kematian dapat ditekan.

29

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.cancerresearchuk.org/cancer-info/. Infectious Agent and Cancer: EpsteinBarr Virus. Maret 2006.
2. Pusat Penelitian Penyakit tidak Menular Dep.Kes RI. Jenis kanker yang dikumpulkan
dari 17 bagian Patologi Anatomik di Indonesia (1997-1979), Jakarta, 1980.
3. Hasibuan R, A. H.Pharingology. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h.70-81.
4. Harry a.Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2002.h. 1-11
5. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring. Dalam : Nurbaiti Iskandar(ed).Tumor telingahidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta : FKUI,1989;71-84.
6. Petrovich Z.et al.Advanced Carcinoma Nasopharynx. Dalam : Therapeutic Radiology.
Los Angeles: Department of radiation therapy. California Hospital Medical Center;
1982.905-908.
7. Sumitsawan Y, Srisukho S. Nasopharnyx. Dalam : Cancer in Thailand. Vol IV.
Diakses dari http://www.highwirepress-standford.com (tanggal akses : 1 September
2014
8. Nancy

R.T.Epsteinn

Barr

Virus

in

the

phatogenesis

of

NPC.In:Erles

S.R.editor.Epsteinn Barr Virus, 1st ed.Phyladelphia Pennslyvania 2005:p.71-87.


9. Kurniawan A.N.1994.Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.Jakarta:
FKUI. Hal 151-152.
10. Adam GL, Boies LR and Paparella MM. Disease of the Nasopharynx. In : Boiess
Fundamentals of Otolaryngology. WB Saunders Co, Philadelphia, 1989: p.335-7.
11. Pusat Penelitian Penyakit tidak Menular Dep.Kes RI. Jenis kanker yang dikumpulkan
dari 17 bagian Patologi Anatomik di Indonesia (1997-1979), Jakarta, 1980.
12. Lo,Simon,et
al.
Nasopharynx,
Squamosu
Cell
Carcinoma.
Http://www.emedicine.com. 8 Maret 2006.
13. Matthew P.Thompson and Razelle Kurzrock. Epsteinn Barr Virus and Cancer. Clinical
Cancer Research. February 1, 2004 Vol.10,803-21
14. Hildheseim A, Anderson LM, CHEN cj.

Pubmed.

Available

on:

http://www.ncbi.nlm.gov/pubmed/9274915. [Accessed on 1 September 2014]


30

15. Ho-Sheng

et

al.

Malignant

Nasopharyngeal

tumors,

Diakses

dari

http//:www.emedicine.com, Tanggal akses 1 September 2014


16. Roezin,Averdi, Syafril, Anida.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Teenggorok
Kepala Leher: Karsinoma Nasofaring. Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2002. 132: 146-150.
17. Ballenger JJ.Leher,orofaring dan nasofaring. Dalam: Penyakit Telinga hidung
Tenggorok Kepala Leher, Alih Bahasa Samsurizal, ed 13, jilid 1, Jakarta: Bina Rupa
Aksara; 1994,295-416.
18. Wei WI, Sham JS. Cancer of the Nasopharynx, In : Cancer of the Head and Neck, ed
3th,

WB.Saunders

Company,

Philladelphia;

1996,16;277-91.

Diakses

dari

http//:highwirepress.
19. Forastiere A.A. Chemotherapy For Head And Neck Cancer. In : Paul W.Flint. editors.
Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th ed. Philladelphia 1998:
p.114-139
20. Munir M. Sambutan Seminar tumor telinga hidung dan tenggorokan. Dalam tumor
telinga,hidung, dan tenggoroan, diagnosis dan penatalaksanaan, Jakarta: Balai
Penerbit FKUI ; 1989.13-19
21. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h. 179-87.
22. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.
23. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111, Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001, Jakarta
24. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan radioterapi.
Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.XXVI No.1. Medan: FK
USU, 1996. h. 15-20.
25. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In : Cancer in Asia
Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93
26. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK USU/RSUP.
H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.

31

Anda mungkin juga menyukai