Anda di halaman 1dari 9

Tak Selalu Bahagia

Muhammad Rifki Nisardi


XII IPA 1
Hembusan angin ini mengantarkan kesejukan padaku. Ditengah padang rumput aku
dan sahabatku berbaring menengok indahnya awan disenja sore ini. Rumput ilalang itu
seolah memberikan firasat padaku agar selalu tersenyum ditengah masalah yang mendera
dalam hidupku ini.
Aku tahu, memang sesuatu hal yang kuharapkan pasti akan selalu menjadi obsesi
tertinggiku untuk meraih mimpi setinggi-tingginya di angkasa. Tak peduli seberapa banyak
orang yang akan peduli padaku. Dan seberapa banyak orang yang akan menjadi haters atas
apa yang ku impikan. Namun ditengah semua itu, aku menyimpan harapan untuk hidup
dalam kebahagian. Bahagia dengan apa yang kumiliki. Bukan bahagia dengan apa yang
kuharap dan kuinginkan.
Tiba-tiba Edwin yang berada disampingku bangkit dan menepuk pundakku.
Jangan melamun aja bro ! Nanti kerasukan setan baru tahu rasa. kata Edwin sambil
tertawa kecil.
Yang melamun siapa..? Gue cuman berfikir aja kali !
Berfikir sih berfikir, tapi nggak ngehayal kayak gitu juga kali. Ekspresimu itu terlalu
menghayati suatu khayalan bro. Emang lagi mikirin apa sih ? Masih mikirin Dina yah..?
Gue juga nggak tahu nih win. Bisa jadi yang gue pikirin adalah dia. jawabku dengan
ragu.
Dina sendiri sebenarnya adalah seorang gadis yang bisa jadi adalah seorang wanita
pertama yang bisa meluluhkan keteguhan dan kekuatan hatiku. Yah bisa di bilang First
Love ku. Tapi sampai sekarang aku belum berani untuk menyatakan apa yang berkecamuk
dalam hati dan pikiranku. Aku hanya berani bersembunyi dibalik rangkaian kata yang
kubuat dan kujadikan sebuah alunan instrument yang merdu.

Sebenarnya aku tak tahu mengapa aku bisa suka sama Dina. Dia memang cantik,
manis dan imut. Tapi menurutku semua itu bukan alasan yang cukup untuk menjadi
jawaban mengapa sebenarnya aku mencintai Dina.Aku kenal dia sejak kelas 1 dan akrab
sampai sekarang. Namun sayang, sekarang aku hanya bisa menjadi Stalker dan pengagum
rahasia dari Dina karena sekarang Dina masih punya pacar yang merupakan kakak kelasku
sendiri.
Bar, ayo kita pulang yuk Senja udah selesai nih! ajak Edwin sambil bergegas berdiri.
Iya duluan aja bro ! kataku sambil berbalik arah menatap senja yang mulai menghilang.
Sesampainya dirumah, aku kembali kedepan laptop yang menjadi kesayanganku
satu-satunya. Maklum jomblo akut yang belum berani berkata jujur dengan perasaannya
sendiri. Namun tiba-tiba handphoneku berbunyi, ternyata teleponku berdering karena ada
panggilan masuk yang berasal dari Dina. Aku awalnya bingung mau ngapain, mau diangkat
atau direject aja. Soalnya baru kali ini setelah 5 bulan yang lalu tepatnya saat dia jadian
ama pacarnya si Sony dia nelpon aku. Dan akhirnya aku angkat telepon dari Dina itu dan
tiba-tiba suara tangis yang kudengar.
Kamu kenapa Dina ? Kok nangis ? Ada masalah apa ? tanyaku dengan kaget.
Bar, aku sedih banget nih. Sony baru mutusin aku..:( *Sambil nangis
Kok bisa..? Aku lihat kamu baik-baik aja kemarin ama Sony ! Emang gara-gara
apa sih ? tanyaku sedikit heran
Aku juga nggak tahu, dia langsung mutusin aku gitu aja! Nggk ada alasan yang
jelas Bar..! *Masih Sambil Nangis.
Sabar Din, Sony emang nggak bisa ngehormatin perempuan. Lihat, dia beraniberaninya kan sakitin kamu. Yang tegar yah Din, aku akan selalu ada kok untuk kamu..!
jawabku sambil mencoba menenangkan Dina.
Dan dalam percakapan itu, Dina seolah mencurahkan segala kesedihan dan rasa
kecewanya terhadap Sony ke aku.Aku juga heran kenapa Dina curhatnya ke aku. Tapi

entahlah, mungkin menurut dia aku adalah orang yang tepat untuk menjadi sandaran dalam
tangis dan sedihnya.Dan akupun siap ada disegala masalah dan sedihnya.
Keesokan harinya, aku melihat Dina menyendiri di taman sekolah. Aku tahu dia
masih terpukul dan sedih saat dia di tinggal pergi dengan hanya menyisakan goresan rasa
pedih yang telah dilakukan oleh Sony. Aku pun berjalan mendekatinya dan duduk disebelah
Dina.
Kamu lagi ngapain Dina..? Masih sedihya gara-gara kemarin ? tanyaku mencoba
mengibur.
Nggak ngapa-ngapain kok ! jawab Dina sambil mengusap air mata yang sedikit
lagi jatuh dari wajanya.
Aduh, nggak usah sedih gini dong, Masih jaman yah galau ? Udah nggak sist.
Lebih baik kita ke kantin aja. Lapar nih, gue traktir deh..! gimana? ajak ku dengan
semangat.
hmmmm, gimana yah ? Dina pun ragu untuk menjawab.
Langsung saja kutarik tangannya dan ku ajak dia untuk ke kantin. Setelah sampai ke
kantin aku ke kasir untuk bayar makanan dulu. Tapi belum cukup tiga langkah aku
meninggalkan Dina untuk menunggu, tiba-tiba Dina jatuh pingsan begitu saja. Dengan
spontan akupun berbalik dan menangkap Dina lalu aku angkat dia dan ku bawa ke dokter.
Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Dina. Dokter berkata kepadaku bahwa Dina
baik-baik saja .Aku lega mendengar itu. Aku sebelumnya sangat khawatir kepada Dina.
Harapanku Dina tidak kenapa-napa. Keesokan hari nya aku bertemu dia disekolah pagipagi.
Dina, kondisi kamu gimana sekarang ? baik-baik aja kan..? kataku dengan
khawatir.
Alhamdulillah lebih mendingan Bar, tenang aja aku nggak apa-apa kok..!
mencoba menenangkan.

Din, kamu punya acara nggak malam ini..? aku mau ngajak kamu jalan..,
gimana ? kataku dengan penuh harap.
hmm, nggak ada sih.. emang mau jalan kemana..? tanya Dina kepadaku.
Pokoknya siap-siap aja lah. Jam 7 aku jemput dirumah kamu yah!
Ok deh, aku tunggu yah..jawabnya simple.
Ditengah percakapan itu, bel Sabtu di sekolahku berbunyi dengan kerasnya.
Pertanda aku harus masuk kelas masing-masing. Kamipun kembali kekelas masing-masing.
Dan tibalah saat itu, malam minggu pertama dimana aku keluar dari kandang
persembunyianku untuk mengais cinta ditengah indahnya kerlap-kerlip bintang malam di
zona indah tak berbatas. Aku menjemput Dina dirumahnya tepat jam 7 malam.
Aku pun mengajaknya ke taman kota, bersama menikmati indahnya panorama
malam dengan atmosfir rindu yang menyelubung diletak ruang terdalam relung hatiku.
Kucoba menikmati semua detik, nafas dan waktu yang kulalui bersamamu. Aku melangkah
ditengah setapak jalan yang memanjang membawaku keluar dari taman. Seolah waktu yang
berharga ini hanya sekejap aku nikmati bersama yang kurindu, Dina. Sebelum aku
mengantarnya pulang, aku mengajaknya untuk makan bersama di sebuah tempat makan
yang ada di dekat taman itu. Kami bercanda, tersenyum dan tertawa bersama ditengah luka
yang telah dihadapi oleh Dina karena putus dari Sony beberapa waktu yang lalu. Aku
merasa Dina berhasil move on dari tragedi putusnya dan aku harap dia akan move on ke
hatiku.
Ketika aku sudah berada di depan rumahnya, Dina pun turun dan melepas helm
yang ia pakai.
Makasih yah untuk hari ini! katanya sambil tersenyum padaku.
Iya Din, sama-sama.., by the way aku bisa ngomong nggak Din..? kataku sambil
mencoba mengalihkan pandanganku.

Ngomong aja kali, nggak perlu minta izin segala.Kyk polisi aja, pake wajib lapor
segala.katanya dengan tersenyum.
Din, aku mau jujur, selama ini aku telah lama memendam rasa ini kepadamu,
aku tak mengerti mengapa.Tapi inilah yang kurasakan saat ini.Aku cinta ama kamu,
kamu mau nggak jadi pacarku? tanyaku sedikit ragu.
*hening..hmmmm iya aku mau kok Bar..eh, aku masuk dulu yah, udah
malam soalnya. Selamat malam Bar, Have a nice dream yah! katanya sambil
tersenyum.
Makasih yah Din, Have a nice dream juga.. I love You. kataku yang tak bisa
menahan rasa senang ini.
Aku tak tahu, kata apa yang mampu menghadirkan dan menerjemahkan rasa yang
kurasa saat ini, seolah tak ada sesuatu yang indah pernah singgah dihatiku setelah jawaban
Iya yang kuterima dari mulut Dina sendiri. Tak pernah kubayangkan aku akan jadian
dengan seseorang yang telah lama aku berharap untuk menjadi spesial disampingnya. Dan
malam ini adalah malam yang kuimpi-impikan seolah kejadian ini adalah bunga mimpi
yang kurasa dimalam-malam satnite sebelumnya.
Setelah malam itu, seolah tak ada yang paling berbahagia didunia ini kecuali
dririku. Cinta yang lama terpendam dan membuat aku terus terbayang karena itu seolah
sirna karena penantianku selama ini terbayar lunas untuk mengungkapkan semuanya
kepada Dina.
Hari-hariku bersama Dina serasa dalam mimpi.Begitu indah, menakjubkan
bersamanya. Cinta pertamaku akhirnya kurengkuh dengan susah payah dan penuh
perjuangan. Otakku serasa tak pernah kehabisan inspirasi dan ide semenjak dia berada
disisiku.Dina bagaikan cahaya di gelap gulita yang datang membawa kebahagian dan
ketenangan.

Perlahan namun pasti, aku dan Dina melewati hari-hari bersama penuh senyuman
dan tawa. Hampir tak pernah ada waktu tanpa kebersamaan. Membuat jalinan cintaku dan
Dina semakin kukuh tak tertiup badai keegoisan cinta yang merajai setiap hubungan.
Ketika aku berjalan bersama Edwin di koridor kelas, aku berhenti disebuah mading
di dinding sekolah. Di mading itu terdapat pamflet lomba novel remaja, yang hadiahnya
beasiswa ke luar negeri.
Win, gimana menurut lo tentang lomba novel remaja ini..? tanyaku ke Edwin.
Wah, cocok banget tuh buat lo Bar, lo kan suka nulis. Saatnya novel lo ikut
bersaing dengan karya yang lain nih Bar! kata Edwin sambil menunjuk pamflet
Semangatku pun tiba-tiba bertambah setelah kata-kata Edwin itu merasuk kedalam
telinga ini, selain itu aku juga ingin memberikan Dina sebuah karya untuknya. Yaitu
novelku yang akan terbit bila aku menjadi pemenang nantinya.
Akupun giat untuk menulis novel yang ingin kuikutkan dalam lomba itu, disamping
aku tetap berhubungan denga Dina tanpa rahasiaku ini diketahui oleh Dina. 2 bulan aku
menulis akhirnya cerpen yang terinspirasi dari Dina itu selesai aku tulis. Seolah hati ini tak
sabar untuk menanti pengumuman hasil lomba itu.
Seminggu kemudian, aku bersama Dina sedang berjalan bersama di taman kota.
Menikmati kesejukan ditengah tugas dan ulangan-ulangan yang membebani fikiran
ini.Menikmati panorama senja disebelah barat yang begitu memukau. Namun, tiba-tiba
handphoneku berdering ditengah perjalananku bersama Dina. Ternyata telepon itu berasal
dari panitia lomba novel yang seminggu lalu aku kirimkan novelku. Mereka berkata bahwa
novelku berhasil menjadi juara dan layak terbit. Aku juga berhak untuk mendapat beasiswa
ke Austria untuk menimba ilmu disana selama 1 tahun.
Karena hal itu, aku kegirangan dan begitu senang sehingga aku tak sengaja
langsung memeluk Dina dengan perasaan yang bercampur aduk antara senang dan haru.
Dina seketika heran melihatku bagaikan orang yang kesambet tiba-tiba.

Bar..bar.. Kamu kenapa..? ada apa denganmu..? kata Dina heran


Din, kamu tahu nggak..novelku berhasil menjadi juara di ajang lomba menulis
novel remaja, dan novelku layak terbit. Selain itu aku juga mendapatkan beasiswa
untuk belajar ke Austria Din..? kataku senang.
Wah, kamu yah Bar. Ngerahasiain ini dari aku..tpi nggak apa-apalah. Aku juga
senang kok dengarnya. Selamat yah Bar! katanya sambil tersenyum padaku.
Tiba-tiba Dina mimisan dan darahnya keluar begitu cepat. Aku seketika kaget
melihat mimisan Dina, dan setelah itu Dina seketika pingsan. Aku tak tahu apa yang terjadi,
aku langsung membawa Dina ke dokter.
Orang tua Dinapun datang ke rumah sakit tempat Dina berada. Ternyata kata dokter
Dina di diagnosa terkena kanker otak stadium lanjut. Dan hidupnya sudah tak lama lagi. Itu
menjadi pukulan keras bagi keluarga Dina daan juga kepadaku. Aku seolah terdiam kaku
dalam sedih karena Dina.
Aku keluar dari ruangan kamar tempat Dina dirawat. Aku seolah mengadu pada
langit penuh gemerlap bintang sambil bertanya pada sang Penguasa langit dan bumi
mengapa aku ditempatkan dalam pilihan sulit kali ini, aku akan memilih antara aku
berangkat ke Autria untuk beasiswaku atau tinggal menemani Dina disini. Aku begitu
bingung, rasa gelisah bercampur sedih yang membuat emosiku memuncak. Klimaks dari
konflik batin dalam cinta antara aku dan Dina seakan membuatku tak dapat berfikr rasional
menghadapi masalah ini. Aku tak dapat mengendalikan diriku dalam ke gelisahan yang
begitu menguras dan memeras emosi ini. Dan Edwin tiba-tiba mengeluarkan kata-kata yang
membuat keraguanku pudar.
Bar, asal kau tahu, Cinta itu Aksi Nyata, bukan Janji Semata.Buktikan bahwa kau
ada disetiap hembusan nafasnya. Sampai raganya pergi dengan tenang. Pergi
bersama cinta yang kau titipkan dalam jiwanya.!

Akupun membatalkan keberangkatanku ke Autria demi Dina. Walaupun Dina


memaksaku untuk tetap pergi mengejar cita-citaku untuk belajar di luar negeri.
Pergilah Bar, nggak usah pikirin aku. Aku baik-baik aja kok. Aku nggak mau jadi
beban untukmu, penghalangmu untuk terbang tinggi meraih impianmu..! kata Dina
dengan mata yang berkaca-kaca.
Nggak Din, aku nggak akan pernah rela kamu sendiri ditengah perjuanganmu.
Dina, ingat aku akan selalu ada untukmu, sampai seandainya mentari itu tak akan
terbit lagi akan kupastikan cinta ini tak akan terbenam untukmu.kataku
meyemangati Dina.
Tapi Bar.. Aku juga nggak rela kalau kamu harus ngorbanin impian kamu
untukku !kata Dina dengan yang tak dapat bersembunyi lagi dari kesedihan.
Pokoknya nggak Din. Aku tak akan pernah meninggalkanmu sendiri. Percayalah
padaku Dina.!kataku dengan mata yang berkaca-kaca.
Tiba-tiba Dina tersentak, seolah jantungnya berhenti berdetak. Aku tersentak dan
dokterpun datang untuk memberikan pertolongan. Namun apa daya, Tuhan berkehendak
lain, nyawa Dina tak tahan lagi untuk tetap dalam raganya hingga ia kembali ke Sang
Pencipta.
Aku seketika tak berdaya melihat Dina pergi. Orang-orang disekeliling Dinapun tak
kuasa membendung Tangis dan rasa sedih mereka. Cinta yang dulu ada, kini pergi
meninggalkanku. Hanya senyum dan tawa yang tersisa dari drama percintaanku bersama
Dina. Aku sempat membaca surat terakhir Dina untukku yang Dina titip untuk orang
tuanya. Dina menulis seperti ini.
Bara, aku sungguh senang bisa menjadi bagian dari hidupmu. Aku sungguh
bodoh karena sempat menutup mata dari cinta yang sejati yang sebenarnya tidak jauh dari
selembar kertas yang tiap hari kau berikan padaku. Cintaku ini tak akan pernah hilang
walau raga ini lenyap ditelan waktu. Namun aku tak ingin membuatmu terbebani dengan

penyakitku. Sekali lagi terima kasih karena engkau sudah ingin berbagi senyum dan tawa
bersamaku, aku akan selalu mengenang itu, tak akan kulupakan hingga saat aku menutup
hariku untuk selamanya. I Love You.
Aku tak sanggup membendung air mataku. Rasa haru dan sedih bercampur menjadi
satu dalam rasa cinta yang tak terkira pada Dina. Aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan,
Jagalah Dina dalam setiap langkahnya untuk merengkuh surga-Mu, lindungilah dia dalam
perjalanannya menuju cahaya-Mu. Pertemukanlah aku kelak dengannya dalam hakikat
cinta yang hakiki.
Namun inilah hidup, dan aku harus tetap maju. Karena aku yakin Dina akan bahagia
disana saat aku tegar untuk megikhlaskannya pergi dari kefanaan dunia ini. Aku berjanji,
walaupun raganya pergi, tapi kupastikan cintanya tetap dihati.
---TAMAT---

Anda mungkin juga menyukai