Anda di halaman 1dari 27

BAB I

STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien

Nama : An. GP

Usia : 16 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Suku/Bangsa : Ternate/Indonesia

Pekerjaan : pelajar

Alamat : Ternate

No. Registrasi : 121793

Tgl Pemeriksaan : 19 Juni 2019

2. Anamnesis:

Keluhan utama : Penglihatan kabur pada kedua mata

Anamnesis terpimpin :

Dialami sejak +/- 13 tahun yang lalu secara tiba-tiba setelah terjatuh tertimpa
lampu botol minyak saat pasien berusia 3 tahun. Setelah kejadian tersebut keluarga
memperhatikan adanya gerakan bola mata yang tidak bermakna ke segala arah..
pasien mengaku penglihatan lebih buruk pada mata sebelah kiri. Pasien juga
mengatakan tidak ada perubahan beupa perburukan atau perbaikan pada
penglihatannya. Riwayat mata merah kadang-kadang ada, air mata dan kotoran mata
berlebihan tidak ada, gatal pada mata kadang-kadang, penglihatan silau tidak ada,
nyeri pada kedua mata tidak ada, nyeri kepala tidak ada. Riwayat floaters ada, mual
tidak ada, muntah tidak ada
Riwayat trauma ada, riwayat DM disangkal, riwayat hipertensi disangkal,
Riwayat sering mengangkat benda berat tidak ada. Riwayat penggunaan kacamata
ada, sejak usia 8 tahun namun tidak dilanjutkan karena pasien merasa tidak ada
perbaikan. tahun, dengan ukuran kacamata tidak diketahui pasien. riwayat keluhan
yang sama dalam keluarga tidak ada.

3. Pemeriksaan:
Oculus Dextra et Sinistra

Inspeksi OD OS
Palpebra Tidak edema Tidak edema
Aparatus Lacrimalis Tidak ada lakrimasi Tidak ada lakrimasi
Silia Tidak ada sekret Tidak ada sekret
Konjungtiva Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Bola Mata Nistagmus (+) Nistagmus (+)
Mekanisme Muskuler Ke segala arah Ke segala arah
0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
0 0
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Van herrick: VI, cell: -, Van herrick: VI, cell: -,
flare: -, hipopion: -, flare: -, hipopion: -,
hifema: -, vitreus: - hifema: -, vitreus: -
Iris Warna coklat, kripte ada Warna coklat, kripte ada

2
Pupil Warna hitam, bulat, Warna hitam, tepi reguler,
letak sentral, refleks letak sentral, RAPD (+),
cahaya (+), dilatasi (+) dilatasi: (+)
Lensa Subluksasi ke temporal Subluksasi ke temporal
Palpasi OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
Massa Tumor Tidak ada Tidak ada
Glandula Preaurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
kelenjar kelenjar
Tonometri :
NCT ODS : 13/9
Visus :
OD: 2/60
OS : 1/300, pinhole -
Refleks Cahaya :
OD RCL/RCTL +/+, RAPD - RAPD +
OS RAPD +
Slit Lamp OD OS
Konjungtiva Tidak Hiperemis Tidak Hiperemis
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Normal Normal
Iris Warna coklat, kripte ada Warna coklat, kripte ada
Pupil Bulat, RC (+), dilatasi (+) Bulat , RC (+), dilatasi
(+), RAPD (+)
Lensa Subluksasi ke temporal Subluksasi ke temporal

4. Foto Fundus :

FODS:

3
FOD : Refleks Fundus (+), Papil Nervus II batas tegas, CDR : 0,3, A/V 2:3, Makula
refleks Fovea (+), Retina Perifer kesan tipis.

FOS : Refleks Fundus (-), Papil Nervus II sulit dinilai, CDR sulit dinilai, A/V sulit
dinilai, retina kesan detachment seluruh kuadran, melibatkan makula

5. Ultrasonografi (USG)

OD
-kornea: intak dengan permukaan reguler dan echogenitas normal
-anterior chamber: ukuran dan bentuk echogenital normal
-lensa: posisi sedikit bergeser, echogenital normal
-posterior segment: ukuran dan bentuk echogenitas normal
-ketebalan dinding bulbus oculi normal
-optic nerve: ukuran dan echogenitas normal
OS
-kornea: intak dengan permukaan reguler dan echogenitas normal
-anterior chamber: ukuran dan bentuk echogenital normal

4
-lensa: posisi sedikit bergeser, echogenital normal
-posterior segment: ukuran mengecil, tampak lesi linier hiperechoic berbentuk
huruf V dengan puncak di optik disc dan tidak melewati ora serrata
-ketebalan dinding bulbus oculi normal
-optic nerve: ukuran dan echogenitas normal
Kesan: subluksasi lensa OD, athrophio bulbi disertai subluksasi lensa dan retinal
detachment OS

6. Resume :

Seorang laki-laki usia 16 tahun datang ke poliklinik mata Rumah Sakit


Pendidikan Universitas Hasanuddin dengan keluhan penglihatan kabur pada oculus
dextra et sinistra. Dialami sejak +/- 13 tahun yang lalu secara tiba-tiba setelah
terjatuh tertimpa lampu botol minyak saat pasien berusia 3 tahun. Setelah kejadian
tersebut keluarga memperhatikan adanya gerakan bola mata yang tidak bermakna
ke segala arah.. pasien mengaku penglihatan lebih buruk pada mata sebelah kiri.
Pasien juga mengatakan tidak ada perubahan beupa perburukan atau perbaikan pada
penglihatannya. Riwayat mata merah kadang-kadang ada, air mata dan kotoran mata
berlebihan tidak ada, gatal pada mata kadang-kadang, penglihatan silau tidak ada,
nyeri pada kedua mata tidak ada, nyeri kepala tidak ada. Riwayat floaters ada, mual
tidak ada, muntah tidak ada. Riwayat trauma ada, riwayat DM disangkal, riwayat
hipertensi disangkal, Riwayat sering mengangkat benda berat tidak ada. Riwayat
penggunaan kacamata ada, sejak usia 8 tahun namun tidak dilanjutkan karena pasien
merasa tidak ada perbaikan. tahun, dengan ukuran kacamata tidak diketahui pasien.
riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada.

Hasil pemeriksaan fisis mata kesan nistagmus ODS, terdapat subluksasi lensa ODS,
NCT ODS 13/9 mmHg, VOD : 2/60 koreksi spheris -20.00  20/160, VOS: 1/300.
Refleks cahaya OD (+), OS RAPD (+). Pemeriksaan funduskopi didapatkan FOD
: Refleks Fundus (+), Papil Nervus II batas tegas, CDR : 0,3, A/V 2:3, Makula
refleks Fovea (+), Retina Perifer kesan tipis. FOS : Refleks Fundus (-), Papil

5
Nervus II sulit dinilai, CDR sulit dinilai, A/V sulit dinilai, retina kesan detachment
seluruh kuadran, melibatkan makula. Telah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
(USG) dengan hasil: echo dan gain baik, subluksasi lensa OD, athrophio bulbi
disertai subluksasi lensa dan retinal detachment OS
7. Diagnosis :

Oculus dextra et sinistra subluksasi lensa + Marfan Syndrome

Oculus dextra miopia patologi

Oculus Sinistra Retinal Detachment

8. Terapi :

9. Prognosis :

Ad Vitam : bonam

Ad Visam : OS malam

Ad Sanationem : dubia

Ad Kosmetikum : bonam

10. Diskusi

Pasien perempuan usia 16 tahun datang dengan keluhan penglihatan kabur pada mata
kiri sejak 13 tahun yang lalu secara tiba-tiba. Gejala lain yang menyertai keluhan
utama pasien ialah penglihatan bayangan hitam seperti titik-titik hitam yang
beterbangan dan sering melihat kilatan cahaya. Keluhan tersebut mengarahkan pada
beberapa penyakit, seperti ablasi retina, yang mana gejala klinis khas dari ablasi retina
yaitu: floaters yaitu melihat titik gelap dan fotopsia. Pasien ini memiliki kedua gejala
tersebut, floaters yakni pasien melihat bayangan hitam yang beterbangan seperti titik-
titik hitam, dan fotopsia, yakni pasien melihat kilatan cahaya. Selain itu, pada ablasi
retina dapat timbul lapangan pandang yang menurun tiba-tiba. Pada pemeriksaan fisis
ablasi retina dapat memberikan hasil yang normal, kecuali RAPD (+). Pada pasien ini,
pemeriksaan fisis mata memberikan hasil RAPD (+). Pada foto fundus ablasi, pasien
ini memberikan gambaran foto fundus kesan retinal detachment, dimana nampak

6
gambaran fundus berupa retina berwarna keabu-abuan. Faktor yang menjadi penyebab
terjadinya ablasio retina pada pasien ini, yaitupenyakit kelainan genetik yakni marfan
syndrome. Selain terdapatnya retinal detachment, pasien juga terdapat subluksasi pada
kedua lensa mata dimana keadaan tersebut terjadi karena lemahnya zona ciliaris yang
merupakan jaringan ikat penyokong lensa mata. Kemudian terdapat miopia berat pada
pasien yang juga kemungkinan disebabkan oleh marfan syndrome dikarenakan
syndrome ini menyebabkan bola mata pasien bertumbuh terus menerus sehingga
bentuk bola mata akan memanjang yang menyebabkan letak retina semakin jauh ke
belakang. Diameter aksial yang memeanjang ini juga dapat menyebabkan retinal
detachment pada smarfan syndrome. Hal ini sesuai dengan funduskopi mata kanan
pasien, dimana tampak gambaran retina dengan kesan yang tipis. Terapi bagi kasus
ablasi retina yaitu scleral buckling, pneumatic rethinophaxy dan vitrectomy pars plana.
Karena ablasi yang luas, maka pada pasien ini dipilih untuk dilakukan vitrectomy pars
plana, dengan mengganti cairan vitreus dengan gas C3F8 atau silicon oil.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Struktur Retina

Retina berasal dari dua dinding cangkir optic: a) nervus retina berasal dari
dinding bagian dalam, dan b) epitel pigmen dari dinding bagian luar (Gambar 2.6).5
a. Nervus retina. Bagian dalam dinding cangkir optik merupakan satu lapis
epitel. Tetapi dibedakan menjadi beberapa lapis sel yang berdiferensiasi
menjadi tiga lapisan, yaitu:
1. Lapisan sel matriks. Sel-sel pada lapisan ini membentuk sel batang dan
kerucut.5
2. Lapisan mantel. Sel-sel pada lapisan ini membentuk sel bipolar, sel
ganglion, neuron lainnya pada retina dan jaringan penyokong.5
3. Lapisan marginal. Pada lapisan ini terbentuk sel ganglion, akson dari
lapisan serat saraf (nerve fibre layer).5
b. Lapisan epitel pigmen luar. Sel-sel pada dinding bagian luar cangkir optik
menjadi terpigmentasi. Pada bagian posterior membentuk epitel pigmen retina
dan berlanjut terus hingga bagian anterior sampai di korpus siliaris dan iris
sebagai epitel pigmen.5

Gambar 2.6 Perkembangan Retina


2.2 Anatomi Histologi dan Fisiologi Retina

8
Lapisan bola mata yang paling dalam yaitu retina, melapisi ¾ posterior bola mata
dan merupakan awal jalur penglihatan. Dengan oftalmoskop, melalui pupil dapat
terlihat bayangan retina yang diperbesar serta pembuluh darah yang berjalan pada
permukaan anteriornya. Retina merupakan satu-satunya tempat di dalam tubuh dimana
pembuluh darah dapat diamati secara langsung dan dievaluasi kelainan patologinya,
antara lain pada hipertensi dan diabetes mellitus. Selain pembuluh darah, terdapat
beberapa struktur lain yang dapat diamati; diskus optikus (blind spot, bintik buta),
tempat keluarnya nervus optikus dari bola mata, serta arteri dan vena sentralis retina
yang berjalan bersama nervus optikus.8

Retina merupakan lapisan terdalam bola mata, mengandung sel-sel fotoreseptor


yaitu sel-sel batang dan kerucut. Retina berkembang dari cangkir optik (optic cup),
suatu struktur berbentuk cangkir yang terbentuk sebagai hasil proses invaginasi
(penonjolan ke arah dalam) gelembung optik primer (primary optic vesicle).
Gelembung optik primer ini berkembang dari penonjolan keluar prosencephalon (otak
depan). Tangkai dari cangkir optik (optic stalk) akan berkembang menjadi saraf optikus
(optic nerve). Dinding luar cangkir optik (optic cup) berkembang menjadi lapisan
pigmen luar sementara bagian saraf retina (neural retina) berkembang dari lapisan
dalam cangkir optik.3

Retina terdiri atas 10 lapisan, dari luar ke dalam: epitel pigmen, lapisan sel batang
dan kerucut, membran limitans eksterna, lapisan inti luar, lapisan pleksiform luar,
lapisan inti dalam, lapisan pleksiform dalam, lapisan sel ganglion, lapisan serat saraf,
dan membran limitans interna (Gambar 2.6).6

9
Gambar 2.7 A. Fotomikrograf retina manusia; B. Gambar skematik lapisan-lapisan
retina. Sumber: Ross MH, Pawlina W, 2011.
Epitel pigmen adalah suatu lapisan sel poligonal yang teratur, ke arah ora serrata
bentuk selnya menjadi lebih gepeng. Inti sel berbentuk kuboid dengan sitoplasmanya
kaya akan butir-butir melanin. Fungsi epitel pigmen, yaitu: a.) menyerap cahaya dan
mencegah terjadinya pemantulan, b.) berperan dalam nutrisi fotoreseptor, c.)
penimbunan dan pelepasan vitamin A, dan d.) berperan dalam proses pembentukan
rhodopsin.3

Lapisan batang dan kerucut mengandung 2 jenis sel fotoreseptor, yaitu sel batang
dan sel kerucut yang merupakan modifikasi sel saraf. Lapisan ini mengandung badan
sel batang dan kerucut. Sel batang merupakan sel khusus yang ramping dengan segmen
luar berbentuk silindris dengan panjang 28 mikrometer mengandung fotopigmen
rhodopsin dan suatu segmen dalam yang sedikit lebih panjang yaitu sekitar 32
mikrometer. Keduanya mempunyai ketebalan 1,5 mikrometer. Inti selnya terletak di
dalam lapisan inti luar. Ujung segmen luar tertanam dalam epitel pigmen. Segmen luar
dan dalam dihubungkan oleh suatu leher yang sempit. Dengan mikroskop electron
segmen luar tampak mengandung banyak lamel-lamel membran dengan diameter yang

10
seragam dan tersusun seperti tumpukan kue dadar. Sel batang ini di sebelah dalam
membentuk suatu simpul akhir yang mengecil pada bagian akhirnya pada lapisan
pleksiform luar yang disebut sferul batang (rod spherule). Sel batang yang hanya
teraktivasi dalam keadaan cahaya redup (dim light) sangat sensitive terhadap cahaya.
Sel ini dapat menghasilkan suatu sinyal dari satu photon cahaya. Tetapi sel ini tidak
dapat menghasilkan sinyal dalam cahaya terang (bright light) dan juga tidak peka
terhadap warna.3

Cahaya yang masuk ke dalam retina diserap oleh rhodopsin, suatu protein
yang tersusun dari opsin (protein transmembran) yang terikat pada aldehida vitamin
A. Penyerapan cahaya ini akan menyebabkan isomerisasi rhodopsin dan memisahkan
opsin dari ikatannya dengan aldehida vitamin A menjadi opsin bentuk aktif. Opsin
bentuk aktif kemudian memfasilitasi pengikatan guanosin triphosphate (GTP) dengan
protein transducin. Kompleks GTP-transducin ini kemudian mengaktifkan enzim
cyclic guanosin monophosphate phosphodiesterase suatu enzim yang berperan dalam
pembentukan senyawa cyclic guanosin monophosphate (cGMP). Cyclic guanosin
monophosphate (cGMP) ini berperan dalam pembukaan kanal natrium di dalam
plasma sel batang dan menyebabkan masuknya natrium dari segmen luar sel batang
menuju ke segmen dalam sel batang. Keadaan ini akan menyebabkan hiperpolarisasi

11
di segmen dalam sel batang dan merangsang dilepaskannya neurotransmitter dari sel
batang menuju ke sel bipolar. Oleh sel bipolar rangsang kimiawi ini dirubah menjadi
impuls listrik yang akan diteruskan menuju ke sel ganglion untuk selanjutnya dikirim
ke otak.3
Sel kerucut mempunyai struktur yang mirip dengan sel batang tetapi segmen luar
yang mengecil dan membesar ke arah segmen dalam, sehingga berbentuk seperti botol.
Inti sel kerucut lebih besar dibandingkan dengan sel batang. Sel kerucut di sebelah
dalam melebar pada bagian akhirnya pada lapisan pleksiform luar membentuk kaki
kerucut (cone pedicle). Sel kerucut teraktivasi dengan cahaya terang (bright light) dan
menghasilkan aktivitas visual yang lebih besar di bandingkan sel batang. Sel kerucut
merupakan sel fotoreseptor yang peka terhadap warna. Ada 3 jenis sel kerucut yang
masing-masing mengandung pigmen iodopsin yang berbeda. Setiap jenis iodopsin
mempunyai sensitivitas tertentu terhadap warna merah, biru dan hijau.3

12
Gambar 2.8 Arsitektur fotoreseptor. Sumber: Gray’s Anatomy.

Membran limitans luar merupakan rangkaian kompleks tautan antara sel batang,
sel kerucut, dan sel Muller. Dengan mikroskop cahaya tampak sebagai garis. Lapisan
inti luar merupakan lapisan yang terdiri atas inti-inti sel batang dan kerucut bersama
badan selnya. Lapisan pleksiform luar dibentuk oleh akson sel batang dan kerucut
bersama dendrit sel bipolar dan sel horizontal yang saling bersinaps.3

Lapisan inti dalam dibentuk oleh inti-inti dan badan sel bipolar, sel horizontal, sel
amakrin, dan sel Muller. Sel bipolar dapat mempunyai dendrit yang panjang atau
pendek. Aksonnya lurus dan berjalan vertikal ke dalam lapisan pleksiform dalam disini
berhubungan dengan dendrit sel ganglion. Sel horizontal mempunyai badan sel yang

13
lebih besar daripada sel bipolar. Dendritnya berakhir dalam keranjang berbentuk
cangkir disekeliling sejumlah besar kaki kerucut. Sel amakrin terletak pada baris kedua
atau ketiga sebelah dalam lapisan inti dalam. Bentuknya seperti buah pir dengan
sebuah tonjolan yang berjalan ke arah dalam untuk berakhir pada lapisan pleksiform
dalam. Di lapisan ini tonjolan sel ini bercabang secara luas dan bersinaps dengan
beberapa sel ganglion. Sel Muller disebut juga gliosit retina, berukuran raksasa dengan
intinya terletak pada lapisan inti dalam. Dari badan sel, juluran sitoplasma yang
panjang dan tipis meluas ke membran limitans luar dan dalam.3

Lapisan pleksiform dalam dibentuk oleh sinaps antara sel bipolar, amakirn, dan sel
ganglion. Sedangkan lapisan ganglion dibentuk oleh badan dan inti sel ganglion. Sel
ganglion merupakan sel yang besar, sangat mirip dengan neuron pada otak dengan
suatu massa terdiri dari materi kromofil (badan Nissl) dalam badan sel. Akson sel
ganglion membentuk serat saraf optik. Aksonnya tak pernah bercabang. Lapisan serat
saraf optikus dibentuk oleh akson sel ganglion. Membran limitans dalam sebenarnya
adalah membrana basalis sel Muller yang memisahkan retina dari korpus vitreum.3

2.3 Definisi Ablasi Retina

Ablasi retina atau Retinal Detachment adalah terpisahnya lapisan sensori retina
terhadap lapisan epitel pigmen retina (RPE). Dalam keadaan normal, dua lapisan ini
berikatan secara longgar satu sama lainnya dan terdapat ruang potensial diantara
keduanya. Terdapat beberapa jenis variasi patogenesis yang mendasari terjadinya
ablasi retina. Termasuk faktor-faktor perkembangan (miopia dan Marfan’s syndrome)
sehingga mempengaruhi ukuran dan bentuk bola mata, kelainan vitreoretina (coloboma
dan displasia retina), penyakit metabolik (retinopati diabetes), penyakit vaskular
(penyakit sickle cell), trauma, inflamasi, kondisi degeneratif, dan keganasan. Ablasi
retina dapat diklasifikasikan menjadi rhegmatogenous dan non-rhegmatogenous.5

14
Ablasi retina merupakan suatu permasalahan yang serius, karena dapat
menyebabkan kebutaan. Bagian terluar dari fotoreseptor menerima oksigen dan nutri
dari lapisan koroid. Jika terjadi ablasi retina dari koroid, maka fotoreseptor akan
mengalami masalah. Fovea adalah bagian retina yang tidak memiliki vaskularisasi dan
hanya bergantung pada koroid untuk oksigenasi, jadi ablasi pada daerah makula dapat
menyebabkan kerusakan permanen terhadap sel kerucut dan batang yang terdapat pada
kutub posterior, serta kehilangan kemampuan untuk melihat. Jika makula tidak
mengalami ablasi, maka kemampuan penglihatan dapat kembali jika retina telah
disatukan kembali.2
2.4 Epidemiologi Ablasi Retina
Ablasi retina dapat menimbulkan kebutaan jika tidak ditangani dengan segera.
Terdapat sekitar 7% dari usia dewasa yang mengalami ablasi retina. Insidensnya akan
meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Insidens terjadinya ablasi retina khusunya
rhegmatogenous retinal detachment pada populasi di Eropa adalah 1 : 10.000, dan
terdapat 8000 kasus baru setiap tahunnya di Jerman. Prevalensi terjadi pada usia 55-
70 tahun. Kasus ablasi retina jarang terjadi pada anak, insidensnya sekitar 0,38-0,69
dari 100.000, atau sekitar 0,5-8% dari kasus ablasi retina. Sedangkan untuk kasus
eksudat dan traksi ablasi retina jarang terjadi.6,9
Angka kejadian ablasi retina rhegmatogenous adalah 12 kasus per 100.000.
Umumnya kasus yang terjadi pada usia 40 – 70 tahun, dimana juga merupakan kisaran
usia terjadi lepasnya vitreus posterior dari permukaan retina. Hal ini lebih sering terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan.1
2.5 Klasifikasi Ablasi Retina
Ablasi retina secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe berdasarkan
manifestasi klinis dan etiologi yang mendasarinya.
a. Ablasi Retina Rhegmatogenous (rhegma: robek) terjadi akibat adanya defek lapisan
sensori retina, sehingga mengakibatkan terjadinya akumulasi cairan subretina yang
berasal dari pencairan gel vitreus dan mengisi celah subretina.4
b. Ablasi Retina Non-Rhegmatogenous dibagi menjadi:

15
1. Traksional, yaitu lapisan sensori retina tertarik dari lapisan pigmen retina (RPE)
akibat adanya kontraksi dari membran vitreoretinal; dimana sumber cairan
subretinal tidak diketahui. Penyebab yang penting termasuk: retinopati diabetik
proliferatif, retinopathy of prematurity, retinopati sickle cell, dan trauma
penetrasi segmen posterior.4
2. Eksudatif (serous), yaitu cairan subretina yang berasal dari koriokapiler
kemudian masuk ke celah subretina melalui lapisan pigmen retina yang rusak.
Penyebabnya berupa tumor koroid, retinoblastoma eksofitik, penyakit Harada,
skleritis posterior, neovaskularisasi subretina, dan hipertensi berat.4
2.5.1 Ablasi Retina Rhegtomatogenous
a. Definisi
Ablasi retina rhegmatogenous adalah ablasi retina yang disebabkan oleh
robeknya lapisan retina (‘rhegma’, berarti robek atau suatu celah) (Gambar 2.9) Cairan
dari kavum vitreus, masuk melewati robekan retina ke dalam celah potensial di bawah
retina, menyebabkan terpisahnya lapisan retina dari lapisan koroid di bawahnya. Hal
ini membutuhkan penanganan bedah.2

b. Faktor Risiko
Sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Faktor-faktor pencetus sebagai berikut.
1. Usia. Kondisi yang umumnya terjadi adalah pada usia 40 – 60 tahun.
2. Jenis kelamin. Umumnya terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
(laki-laki : perempuan – 3:2).
3. Miopia. Sekitar 40% kasus ablasi retina rhegmatogenous merupakan
penderita miopia.
4. Afakia. Kondisi ablasi retina rhegmatogenous lebih sering terjadi pada
penderita yang afakia daripada fakia.
5. Degenerasi retina merupakan salah satu factor predisposisi jika diikuti oleh:
- Degenerasi lattice. Degenerasi lattice ditandai oleh dengan perlekatan
vitreus pada tepi dari area fokal perifer (biasanya sirkumferensial) lapisan
tipis retina yang disertai pengenceran vitreus. Penipisan lapisan retina

16
berhubungan dengan konfigurasi pigmentasi “lattice-like” dan sering
diamati pada pasien dengan miopia.
- Degenerasi snail-track
- White-with-pressure atau white-without-or-occult pressure.
- Retinoschisis didapat.
- Focal pigment clumps.
6. Trauma. Dapat menjadi salah satu faktor penyebab. Trauma akibat suatu gaya
akselerasi-deselerasi pada kepala atau mata dapat menyebabkan traksi
vitreoretina sehingga terjadi robekan pada lapisan retina yang berakhir
menjadi ablasi retina.
7. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Pada beberapa kasus, hal ini
berhubungan dengan kejadian ablasi retina.
8. Riwayat operasi. Ablasi retina rhegmatogenous dapat menjadi komplikasi
dari operasi katarak. Salah satu penelitian mengenai risiko ablasi retina
menunjukkan angka kejadian ablasi retina terkait pasca operasi katarak
adalah 1,79%. Hal tersebut tidak ada perebedaan angka kejadian ablasi retina
antara prosedur pembedahan ekstrakapsular atau pun fakoemulsifikasi.
Angka kejadian kasus ablasi retina rhegmatogenous (88%) terjadi pada 2
tahun atau lebih pasca operasi katarak, sehingga sangat pentingnya follow-up
pada pasien pasca operasi katarak.4,5

c. Patogenesis
Robeknya lapisan retina pada ablasi retina rhegmatogenous yang disebabkan
oleh faktor yang saling mempengaruhi, yaitu traksi dinamik vitreoretina dan faktor
predisposisi berupa degenerasi pada perifer retina. Traksi dinamik dapat diinduksi oleh
pergerakan cepat bola mata (rapid eye movement) terutama pada pasien dengan PVD
(Posterior Vitreal Detachment), vitreous synersis, afakia dan miopia. Ketika terjadi
robekan pada lapisan retina, cairan hasil dari pencairan vitreus dapat merembes melalui
celah antara lapisan sensori retina dan epitel pigmen. Akumulasi cairan subretina
cenderung mengikuti gaya gravitasi sehingga akan terkumpul pada bagian bawah.

17
Bentuk akhir dan posisi ablasi retina ditentukan oleh lokasi robeknya retina, dan batas
anatomi seperti diskus optik dan ora serrata.1
Ablasi retina rhegmatogenous terjadi jika cairan bola mata membelah lapisan di
bawah lapisan retina yang robek. Robekan lapisan retina biasa terjadi regio dasar
vitreus pada retina perifer. Situasi ini berbeda dari kondisi yang relatif umum
mempengaruhi retina perifer, yang dikenal sebagai retinoschisis (prevalensi 3,9%), di
mana “pemisahan” dari lapisan retina dikaitkan dengan kista intraretinal.1
Kejadian normal yang terjadi pada hampir semua individu dari waktu ke waktu
adalah pencairan gel vitreous (synchysis vitreous). Pencairan ini merupakan
reorganisasi asam hyaluronat yang progresif dan jaringan kolagen molekuler,
menyebabkan agregat "floater" vitreus. Proses ini menyebabkan kontraktur dari vitreus
(vitreous syneresis) dan terpisahnya korteks vitreus posterior dari permukaan retina.
Pelepasan vitreus posterior ini terjadi ketika lemahnya perlekatan vitreoretinal
posterior, hanya terdiri dari matriks kolagen ekstraseluler yang tersusun paralel,
terganggu oleh proses sineresis vitreus. Ablasi vitreus posterior biasanya terjadi antara
usia 40 - 70 tahun, (lebih dini terjadi pada mata dengan miopia); ablasi vitreus posterior
umumnya terjadi pada usia 90 tahun. Biasanya, ablasi vitreus posterior tidak
berhubungan dengan ablasi retina perifer. Pada kasus tertentu, ablasi retina dapat
terjadi karena transmisi kekuatan ke basis vitreus anterior setelah terjadinya ablasi
vitreus posterior.1

18
Gambar 2.9 Ablasi retina subtotal. Sumber: Subhadra

Lain halnya dengan lemahnya perlekatan vitreus pada bagian posterior,


perlekatan vitreoretinal bagian anterior (vitreous base) sangat erat. Serat kolagen
vitreus bagian anterior merupakan serat tegak lurus terhadap permukaan retina dan juga
berikatan dengan jaringan retina perifer. Oleh sebab itu, vitreus anterior tidak mudah
terlepas dari lapisan retina anterior. Akibat transmisi vektor gaya pada dasar vitreus
bagian anterior setelah terjadinya ablasi vitreus bagian posterior dapat mengakibatkan
robekan penuh pada lapisan retina. Robekan ini dapat terjadi selama mekanisme gaya
trauma akselerasi-deselerasi yang terjadi secara mendadak.1
Vitreus yang mencair dapat mengalir ke celah subretina melalui bagian perifer,
robekan retina bagian anterior karena adanya traksi pada dasar vitreus bagian anterior.
Traksi yang berkelanjutan pada bagian anterior pada robekan yang berbentuk sepatu
tapal kuda dapat mengakibatkan patensi robekan, sehingga terjadi aliran terus menerus
vitreus yang mencair dan cairan di bawah retina ke lokasi tersebut. Cairan yang
mengalir akan memberikan gaya berlebih pada lapisan pigmen retina yang dalam

19
keadaan normal seharusnya menhidrasi lapisan subretina, dan akhirnya terjadinya
ablasi retina rhegmatogenous.1
Avulsi dasar vitreus (dengan atau tanpa posterior vitreus detachment) dapat
terjadi akibat mekanisme trauma akselerasi-deselerasi. Avulsi dasar vitreus biasanya
terjadi pada bagian regio inferior-temporal (coup) atau regio superior-nasal (contra-
coup) karena regio inferior-temporal kurang terproteksi oleh orbital rim. Suatu avulsi
dasar vitreus dapat berhubungan dengan retinal dialysis, yang merupakan robekan
retina perifer pada ora serrata (bagian terdepan dari retina).1
d. Manifestasi Klinis
1. Gejala Prodromal
- Fotopsia
Fotopsia pada mata dengan PVD akut mungkin disebabkan oleh traksi
pada retina, yaitu pada tempat perlekatan vitreoretina. Berhentinya
fotopsia dapat disebabkan oleh lepasnya perlekatan atau robekan
sempurna pada retina (operculum) di tempat perlekatannya. Pada mata
dengan PVD, fotopsia dapat diinduksi dengan pergerakan bola mata dan
lebih diamati dalam suasana dengan pencahayaan yang redup. Hal
tersebut lebih diproyeksikan pada lapangan pandang perifer bagian
temporal, dan tidak seperti floaters yang tidak memiliki nilai lateralisasi.
(Kanski) Sensasi melihat kilatan cahaya (fotopsia) terjadi akibat iritasi
pada retina oleh pergerakan vitreus.5
- Floaters
Suatu sensasi melihat ketika opasitas vitreus yang bergerak dan
membentuk bayangan pada retina. Opasitas vitreus pada mata dengan
PVD akut terdiri dari 3 tipe:
a. Opasitas bentuk cincin soliter yang merupakan suatu ablasi berbentuk
melingkar terhadap tepi diskus optik (Weiss ring) (Gambar 2.10 B).4
b. Sarang laba-laba (Cobwebs) dapat disebabkan oleh serat-serat
kolagen yang mengental di dalam korteks vitreus yang hancur
(Gambar 2.10 A).4

20
c. Gerimis yang tiba-tiba (a sudden shower) berwarna merah atau
bintik-bintik hitam yang mengindikasikan terjadinya perdarahan
vitreus atau robekan pada pembuluh darah retina perifer.4

A B
Gambar 2.10 A. Cobwebs opacities dan tobacco dust pada pasien ablasi retina;
B. Weiss ring. Sumber: V Tanner.
2. Gejala Ablasi Retina
a. Defek lapangan pandang relatif terlokalisir (pada ablasi retina)
diperhatikan oleh pasien pada tahap awal dimana semakin progresif
menjadi defek lapangan pandang total ketika ablasi perifer berjalan
menuju area macula.5
b. Defek lapangan pandang tanpa diserta rasa nyeri terjadi ketika ablasi
sangat luas dan terletak di sentral. Pasien biasanya mengeluhkan
mendadak melihat bayangan seperti awan gelap atau selubung di depan
matanya.5
3. Tanda-tanda Ablasi Retina
a. Pemeriksaan luar mata biasanya normal.4
b. Pemeriksaan tekanan instraokular biasanya menurun atau dapat normal,
atau lebih rendah dari mata normal sekitar 5 mmHg.4
c. Pupil Marcus Gunn (relative afferent papillary defect) dapat terjadi pada
mata dengan ablasi retina.4

21
d. Pemeriksaan cermin plana memberikan hasil peningkatan refleks merah
pada area pupil (refleks keabu-abuan pada retina yang mengalami
ablasi).5
e. Oftalmoskopi dapat dilakukan dengan teknik direk maupun indirek.
Ablasi retina dapat diamati dengan baik melalui pemeriksaan
oftalmoskopi indirek menggunakan indentasi sclera (untuk meningkatkan
penglihatan terhadap retina perifer anterior sampai equator). Pada
pemeriksaan, ablasi retina yang segar memberikan refleks keabu-abuan
dibandingkan dengan kondisi normal yang berwarna merah muda dan
semakin meningkat ke arah anterior (convex configuration). Dapat
memberikan gambaran lipatan yang melambai seiring dengan pergerakan
bola mata. Hal tersebut dapat saja kecil atau diperkirakan berbentuk
seperti balon dalam bula ablasi retina. Pada ablasi retina total yang
berbentuk corong, hanya melekat pada diskus dan ora serrata. Pembuluh
darah retina muncul sebagai sesuatu berwarna gelap yang berkelok dan
melambai seiring dengan pergerakan ablasi retina. Robekan retina yang
berhubungan dengan ablasi rhegmatogenous sangat susah untuk
diketahui lokasinya. Hal ini dapat terlihat berwarna kemerahan dan
bentuk yang bervariasi. Dapat berbentuk bundar, sepatu tapal kuda,
berbentuk celah atau bentuk dialisis anterior. Robekan retina umumnya
ditemukan di bagian perifer (lebih umum di kuadran temporal atas).
Karena berhubungan dengan degenerasi retina, dapat ditemukan
pigmentasi dan perdarahan. Ablasi retina yang lama dikarakteristikkan
lapisan retina yang menipis (karena atrofi), pembentukan batas air
subretina (batas tinggi air) karena terjadi proliferasi sel RPE pada
hubungan ablasi yang datar dan pembentukan kista interstisiel sekunder
(pada ablasi retina yang sangat lama).4,5
f. Pada pemeriksaan diagram lapangan pandang menunjukkan skotoma
yang berhubungan dengan area retina yang mengalami ablasi.5
g. Elektroretinografi (ERG) biasanya subnormal atau tidak dapat melihat.5

22
h. Ultrasonografi dibutuhkan untuk sebagai konfirmasi diagnosis. Hal ini
sangat berarti pada pasien yang memiliki media refrakta yang kabur,
khususnya pada pasien dengan katarak yang tebal.5
4. Komplikasi
Komplikasi biasanya terjadi pada kasus yang lama dan melibatkan
vitreoretinopati proliferatif (PVR), katarak komplikata, uveitis, dan phthisis
bulbi.5
5. Tatalaksana
Prinsip umum tatalaksana dalam operasi ablasi retina, sebagai berikut.
a. Penyegelan Robekan Retina (Sealing of Retinal Breaks)
Semua kasus robekan pada retina seharusnya dapat terdeteksi, secara
akurat terlokalisir dan disegel dengan memproduksi korioretinitis aseptik,
dengan kriokoagulasi, atau fotokoagulasi atau diatermi. Yang menjadi
pilihan pada umumnya adalah kriokoagulasi (Gambar 2.11).5

Gambar 2.11 Krioterapi lubang retina dengan penglihatan langsung dan oftalmoskop.

b. Drainase Cairan Subretina


Hal ini diperlukan untuk aposisi langsung antara lapisan sensori retina
dan RPE. Drainase cairan subretina dilakukan dengan hati-hati melalui

23
pemasangan jarum halus yang menembus sklera dan koroid hingga ruang
subretina sehingga memudahkan untuk mengalirkan cairan subretina.
Drainase cairan subretina pada beberapa kasus tidak dibutuhkan.5
c. Untuk pemeliharaan aposisi korioretina untuk beberapa minggu. Hal ini
dapat dilakukan melalui beberapa prosedur berikut tergantung dari
keadaan klinis mata pasien:
1. Scleral Buckling
Dilakukan dengan memberikan indentasi pada sclera untuk
menghasilkan cekungan dari luar. Indentasi dilakukan dengan
menggunakan silicon sponge atau pita silikon padat dengan jahitan
matras pada sklera (Gambar 2.12).5
2. Pneumatic Rethinopexy
Merupakan prosedur sederhana pada pasien rawat jalan yang dapat
digunakan untuk ablasi retina yang baru terjadi pada bagian superior
yang memiliki satu atau dua celah robekan yang teridentifikasi kurang
dari 2 jam. Pada teknik ini, setelah melakukan perlengketan dengan
cryopexy, yaitu diinjeksikan gelembung udara pada lapisan vitreus.5
3. Pars Plana Vitrectomy
Prosedur ini dilakukan dengan 5 tahapan yaitu pars plana 3-port
vitrectomy dengan mengangkat vitreus dan membersihkan tepi dari
robekan retina. Lalu dilakukan drainase pada cairan subretina.
Kemudian membuat retina menjadi datar dengan menginjeksikan
silikon. Setelah itu dilakukan endolaser pada sekitar area robekan
untuk membuat perlengketan korioretina. Sebagai penahan retina
dari dalam, silikon dapat dipertahankan atau digantikan dengan gas.5

24
Gambar 2.12 Diagram Scleral Buckling dan Drainase Cairan Subretina

6. Profilaksis
Terjadinya ablasi retina primer dapat dicegah dengan rutin melakukan laser
fotokoagulasi atau krioterapi pada lokasi yang terjadi robekan dan/atau area
dengan degenerasi lattice. Profilaksis diindikasikan pada pasien yang
mempunyai risiko tinggi seperti miopia, afakia, ablasi retina pada mata yang
berpasangan atau adanya riwayat ablasi retina dalam keluarga.5
2.5.2 Ablasi Retina Traksional
a. Definisi
Ablasi retina traksional terjadi jika secara mekanis retina tertarik dari posisinya
akibat kontaksi jaringan fibrosa pada viterus.5
b. Etiologi
Dapat terjadi pada tarikan dari jaringan parut post trauma, khususnya pada luka
penetrasi; diabetik retinopati proliperatif; retinitis proliferans pasca perdarahan;
retinopathy of prematurity; retinopati sickle cell.5
c. Gambaran Klinis
Ablasi retina traksional ditandai dengan adanya pita vitreoretinal dengan lesi dari
penyakit dasar. Robekan pada retina jarang terjadi. Elevasi yang tinggi dari retina
nampak pada lokasi tarikan, dan tidak dijumpai cairan.
d. Terapi

25
Sulit untuk melakukan vitrektomi dan tamponade internal. Prognosis pada
penyakit ini biasanya buruk.
2.5.3 Ablasi Retina Eksudatif
a. Definisi
Eksudatif atau ablasi retina yang solid terjadi akibat retina mengalami penekanan
dari neoplasma atau akumulasi cairan sebagai hasil dari inflamasi atau lesi vaskular. 1
b. Etiologi
Ablasi retina eksudatif dapat disebabkan oleh:
i. Penyakit sistemik, seperti infeksi toksoplasma pada kehamilan, hipertensi
renal, poliatritis nodosa.5
ii. Penyakit pada mata, seperti inflamasi pada mata misalnya penyakit Harada,
shympatetic opthalmia, skleritis posterior, dan selulitis orbital. Selain itu,
penyakit vaskular seperti retinopati serosa sentral, dan eksudatif retinopati
akibat penyakit Coats. Keganasan seperti melanoma maligna pada koroid dan
retinoblastoma juga dapat menyebabkan ablasi retinopati eksudatif.5
c. Gambaran Klinis
Hal yang dapat membedakan ablasi retina eksudatif dengan ablasi retina
rhegmatogenous terdapat pada gambaran klinisnya yang meliputi:
 Tidak ada gejala fotopsia, dan tampakan robekan.
 Ablasi retina eksudatif halus, berbentuk konveks. Pada kasus tumor biasanya
berbentuk bulat dan terfiksasi serta dapat memberi gangguan pigmentasi.5
 Pembuluh darah retina dapat terganggu akibat proses neovaskularisasi pada
kasus tumor.5
 Perpindahan cairan yang akan menyebabkan perubahan posisi ablasi sesuai
dengan gravitasi.5
 Pada uji transiluminasi ablasi sederhana akan tampak transparan sedangkan
yang padat akan tampak opak.5
d. Terapi
Pada ablasi retina eksudatif baik yang disebabkan oleh cairan transudat, eksudat
dan perdarahan akan diabsorbsi. Penanganan utamanya ialah atasi penyakit dasar.5

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Colucciello MD, Michael. 2007. Rhegmatogenous Retinal Detachment.


Philadelphia: The Physichian and Sportmedicine. Vol 37 No 2 hal: 1 – 7.
2. Jalali M.S, Subadhra. 2003. Retinal Detachment. Review Article. India:
Community Eye Health. Vol 16 No 46 hal: 25 – 26.
3. Jusuf, Ahmad Aulia. 2003. Histologi Sistem Penglihatan. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 9 – 13.
4. Kanski J. Retinal Detachment dalam Clinical Opthalmology: A Systematic
Approach: Fifth Ed. 2007. p 349 – 71.
5. Khurana AK. 2007. Disease of Retina dalam Comprehensive Opthalmology,
fourth ed. New Age International Publisher : New Dehli. P.249-52, 275-79.
6. Lang KG. 2000. Retinal Detachment dalam Opthalmology: Short Text Book.
Thieme Stutgard: New York. P328-32.
7. Vaughan. Asbury. 2007. Retinal Detachment dalam General Opthalmology 17
ed. Jakarta: Penerbit Buku EGC. Hal 196 – 197.
8. Wengko, Sunny. 2013. Histologi Fisiologi Retina. Manado: Jurnal Biomedik
(JBM). Vol 5 No 3 hal: 1 – 6.
9. Wenick A. et al. Pediatric Opthalmology Update : Evaluation and
Management of Pediatric Rhegmatogenous Retinal Detachment. Saudi J of
Opthl Society .

27

Anda mungkin juga menyukai