Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN
Menurut hasil estimasi dari Global Data on Visual Impairment 2010, WHO
menunjukkan penyebab gangguan penglihatan terbanyak di seluruh dunia adalah
gangguan refraksi yang tidak terkoreksi (42%), diikuti oleh katarak (33%) dan
glaukoma (18%). Gangguan penglihatan ini tentunya akan mempengaruhi banyak
hal mulai dari status fisik pasien hingga status sosial ekonomi karena mata
merupakan salah satu indera yang penting bagi manusia, di mana mata menyerap
informasi sosial yang dapat digunakan untuk melaksanakan berbagai kegiatan
termasuk bekerja.1,2
Gangguan kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan
sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning,
tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak
pada satu titik yang fokus. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,
hipermetropia dan astigmatisma.3 Miopia adalah suatu kelainan refraksi pada mata
dimana bayangan difokuskan di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi
berakomodasi. Ini juga dapat dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya
yang sejajar dari suatu objek yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina. 4
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata di mana sinar sejajar jauh tidak cukup cukup dibiaskan sehingga
titik fokusnya terletak di belakang retina. Astigmatisma adalah keadaan di mana
berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina, akan tetapi
pada dua garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan
kelengkungan permukaan kornea.3 Refraksi sendiri dalam fisika didefinisikan
sebagai berbeloknya arah sinar apabila melalui satu media atau bahan transparan
ke media atau bahan transparan lain dengan indeks bias berbeda. Pada mata,
terdapat media refrakta yang berperan dalam proses refraksi yaitu kornea, cairan
mata (humor aqueous), lensa, dan benda kaca (corpus aqueous).3,6
Pada tulisan ini akan disajikan kasus tentang seorang perempuan berusia 16
tahun dengan oculi dextra sinistra miopia yang mendapatkan perawatan rawat
jalan di poli mata

II. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Nn.TA
Umur : 16 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sri Rejeki RT 3/RW 6 Semarang
Pekerjaan : Pelajar
No. CM : 260xxx
Masuk Poli : Sabtu, 22 Juni 2019

ANAMNESIS
(Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 22 Juni 2019 pukul 10.00 WIB di
Poli Mata)
Keluhan utama : Penglihatan kedua mata kabur
Riwayat Penyakit Sekarang :
± 6 tahun sebelum berobat jalan ke poli, pasien merasakan penglihatan
kedua mata kabur saat melihat jauh. Pasien masih bisa membaca tulisan dalam
jarak dekat. Pasien kemudian berobat dan diberikan kacamata.Pasien mengaku
rutin memakai kacamata dan terakhir mengganti kacamatanya ± 2 tahun yang lalu.
Saat ini kacamata dirasakan tidak nyaman, pandangan kabur dan
mengganggu aktivitas sekolah. Pandangan semakin kabur dirasakan perlahan-
lahan, sepanjang hari dan semakin lama semakin kabur. Mata merah (-), mata
nyeri (-), mata cekot-cekot (-) mata gatal (-), nerocos (-), seperti melihat bintik-
bintik hitam (-). Pasien memilliki kebiasaan membaca sambil tiduran dan melihat
layar telepon genggam hampir setiap saat (lebih dari 4 jam perhari). Karena
merasa tidak nyaman, pasien kemudian dibawa ke poli untuk berobat.

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat menggunakan kacamata (+)
- Riwayat trauma mata disangkal
- Riwayat operasi pada mata disangkal
- Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


- Tidak terdapat anggota keluarga pasien yang sakit seperti ini
Riwayat Sosial Ekonomi :
- Penderita berobat menggunakan BPJS non PBI
- Pasien adalah seorang pelajar.
- Kesan : Sosial ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN
Status Praesen :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : Nadi : 88x /menit
RR : 22x /menit
Suhu : 36o C
Status Ophtalmologi (22 Juni 2019)

OD OS

Oculi Dexter Oculi Sinister


5/60 VISUS 5/50
S-3,75 VOD 5/5 KOREKSI S-2,25 VOS 5/5
Gerak bola mata bebas ke Gerak bola mata bebas ke
PARASE/PARALYSE
segala arah segala arah
Tidak ada kelainan SUPERCILIA Tidak ada kelainan
Edema (-), spasme (-) PALPEBRA SUPERIOR Edema (-), spasme (-)
Edema (-), spasme (-) PALPEBRA INFERIOR Edema (-), spasme (-)
Hiperemis (-), sekret (-), KONJUNGTIVA Hiperemis (-), sekret (-),
edema (-) PALPEBRALIS edema (-)
Hiperemis (-), sekret (-), KONJUNGTIVA Hiperemis (-), sekret (-),
edema (-) FORNICES edema (-)
Injeksi konjungtiva (-), KONJUNGTIVA Injeksi konjungtiva (-),
injeksi siliar (-), sekret (-) BULBI injeksi siliar (-), sekret (-)
Tidak ada kelainan SCLERA Tidak ada kelainan
Jernih CORNEA Jernih
CAMERA OCULI
Tyndall Effect (-) Tyndall Effect (-)
ANTERIOR
Kripte (+), sinekia (-) IRIS Kripte (+), sinekia (-)
Bulat, central, regular, Bulat, central, regular,
PUPIL
d : 3 mm, RP (+) N d : 3 mm, RP (+) N
Jernih LENSA Jernih
(+) cemerlang FUNDUS REFLEKS (+) cemerlang
Papil N II : bulat, batas Papil N II : bulat, batas
tegas, warna kuning tegas, warna kuning
kemerahan, kemerahan,
Vasa : AVR 2/3, Vasa : AVR 2/3,
perjalanan vasa dalam perjalanan vasa dalam
batas normal batas normal
Retina : perdarahan (-), FUNDUSKOPI Retina : perdarahan (-),
eksudat (-), edema (-), eksudat (-), edema (-),
ablation (-), tigroid (-) ablation (-), tigroid (-)
Makula : refleks fovea (+) Makula : refleks fovea (+)
cemerlang cemerlang
Kesan : funduskopi dalam Kesan : funduskopi dalam
batas normal batas normal
T(digital) normal TENSIO OCULI T(digital) normal

IV. RESUME

± 6 tahun sebelum berobat jalan ke poli, pasien mengeluhkan penurunan


visus saat melihat jauh yang terjadi secara perlahan. Pasien masih bisa
membaca tulisan dalam jarak dekat. Pasien kemudian berobat dan diberikan
kacamata, namun pasien jarang memakai kacamatanya. Saat ini kacamata
dirasakan tidak nyaman, penurunan visus semakin lama semakin bertambah
dan menggaggu aktivitas sekolah. Hiperemis (-), nyeri (-), lakrimasi (-), sekret
(-), edema (-),melihat bintik-bintik hitam (-). Pemeriksaan fisik : status
praesens dan pemeriksaan fisik dalam batas normal.
Status Oftalmologi :
Oculi Dexter Oculi Sinister
5/60 VISUS 5/50
S-3,75 VOD 5/5 KOREKSI S-2,25 VOS 5/5
Jernih LENSA Jernih

(+) cemerlang FUNDUS REFLEKS (+) cemerlang

Papil N II : bulat, batas Papil N II : bulat, batas


tegas, warna kuning tegas, warna kuning
kemerahan, kemerahan
Vasa : AVR 2/3, Vasa : AVR 2/3,
perjalanan vasa dalam perjalanan vasa dalam
batas normal batas normal
Retina : perdarahan (-), FUNDUSKOPI Retina : perdarahan (-),
eksudat (-), edema (-), eksudat (-), edema (-),
ablation (-), tigroid (-) ablation (-), tigroid (-)
Makula : refleks fovea (+) Makula : refleks fovea (+)
cemerlang cemerlang
Kesan : funduskopi dalam Kesan : funduskopi dalam
batas normal batas normal

V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Banding
-
b. Diagnosis Kerja
ODS Miopia

VI. PENATALAKSANAAN
VII. PROGNOSIS

Untuk Jauh
OD OS
Untuk Dekat
Quo ad visam Dubia Ad bonam Dubia Ad bonam
Quo ad sanam Kanan Dubia Ad bonam Dubia
Kiri Ad bonam
Quo ad vitam Ad bonam
Quo180˚
ad cosmeticam 0˚ Ad bonam 180˚ 0˚
Sph Cylinder Prisma Sph Cylinder Prisma

D D as gr bas D D as gr bas
-3,75 - - - - -2,25 - - - -

Jarak pupil ( Untuk jauh 62 mm)


( Untuk dekat 60 mm)
VIII. SARAN
 Monitoring dan evaluasi kenyamanan pasien saat menggunakan kacamata.
 Pasien diberitahu untuk kembali apabila keluhan tidak berkurang atau
memburuk
 Pasien diminta untuk rutin kontrol ketajaman penglihatan 6 bulan sekali untuk
melihat apakah ada perubahan ukuran visus.
 Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan mata secara berkala minimal 6
bulan sekali.

IX. EDUKASI
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa pasien menderita kelainan
pembiasan pada kedua mata. Pada kedua mata mengalami rabun jauh.
Sehingga untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan kacamata.
 Menjelaskan tentang pentingnya memakai kaca mata koreksi dan
menjelaskan tentang komplikasi bila tidak memakai kacamata.
 Mengedukasi kepada pasien untuk selalu menjaga kesehatan mata, antara lain
dengan mengistirahatkan mata selama minimal 10 menit tiap 30 menit saat
membaca, melihat layar telepon genggam, atau menonton televisi.
 Menjelaskan kepada pasien tidak boleh membaca sambil tiduran, tidak boleh
membaca di tempat remang-remang/ kurang cahaya.
 Menjelaskan kepaa pasien untuk kontrol pemeriksaan mata minimal 6 bulan
sekali.

X. DISKUSI
1. Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah keadaan di mana bayangan tegas tidak
terbentuk pada retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan
yang kabur. Pada mata normal, kornea dan lensa akan membelokkan sinar
pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan
susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjang bola mata. Pada
kelainan refraksi, sinar dibiaskan di depan (myopia) atau di belakang macula
lutea (hipermetropia).3
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan
yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola
mata. Kornea memiliki daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata
lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar, terutama pada saat
melakukan akomodasi atau ketika melihat benda yang dekat. Orang dengan
penglihatan normal memiliki susunan yang seimbang sehingga bayangan
benda yang terbentuk setelah melalui keempat media penglihatan tadi
(dengan perbedaan indeks bias di setiap medianya) akan dibiaskan tepat di
daerah macula lutea, Mata yang normal ini disebut emetropia. Mata
emetropia akan menempatkan bayangan benda tepat di retina pada keadaan
mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh.3
Ketika terjadi ketidakseimbangan antara media penglihatan pada mata
atau kelainan anatomis dari struktur bola mata, didapatkan terjadi kelainan
pembiasan atau kelainan refraksi. Dalam bahasa Yunani, ametros artinya
tidak sebanding atau tidak seimbang, dan ops berarti mata. Sehingga istilah
ametropia adalah keadaan pembiasan mata dengan panjang bola mata yang
tidak seimbang. Beberapa sumber mengatakan bahwa ametropia adalah
keadaan mata yang mengalami kelainan refraksi sehingga bayangan tidak
jatuh tepat di macula lutea.6 Ametropia terjadi bisa akibat kelainan bola mata
atau adanya kelainan pembiasan sinar dari keempat media penglihatan pada
mata.3

Dikenal berbagaibentuk ametropia, yakni :


1. Ametropi Aksial
Ametropia terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih
pendek sehingga bayangan akan difokuskan di depan atau di belakang
retina.
2. Ametropi Refraktif
Ametropi jenis ini terjadi akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam
mata. Bila daya bias kuat, maka bayangan benda terletak di depan mata
(miopia), atau sebaliknya akan menyebabkan bayangan terletak di
belakang mata (hipermetropia retraktif).

Selain itu, ada pula ametropi kurvatur yakni karena kelainan kelengkungan
kornea dan lensa, serta ametropi indeks, yakni kelainan indeks bias pada
media penglihatan dengan ukuran bola mata dalam batas normal. Ametropia
dibedakan menjadi miopi, hipermetropi, dan astigmatisma.
Miopia
Miopia adalah keadaan di mana terjadi anomali refraksi pada mata,
yakni bayangan benda jatuh pada titik tertentu di depan retina ketika
dalam kondisi mata tidak berakomodasi. Miopia berasal dari kata muopia
dalam bahasa Yunani yang artinya dekat dengan mata. Di mana pada
miopia, gejala yang dialami penderita adalah tidak mampu melihat obyek
dengan jelas pada jarak yang jauh (rabun jauh). Untuk memperbaiki
kejelasan penglihatan dapat dipergunakan lensa minus (concave).7
Miopi menjadi masalah signifikan, tidak hanya karena tingginya
prevalensi namun miopi yang tidak tertangani akan menyebabkan
morbiditas visual lain seperti detachment retina maupun glaukoma yang
akan memberikan prognosis lebih buruk.
Tipe dari miopia:
a. Miopia aksial
Bertambah panjangnya diameter antero-posterior bola mata dari normal.
Pada orang dewasa penambahan panjang aksial bola mata 1 mm akan
menimbulkan perubahan refraksi sebesar 3 dioptri.8
Myopia aksial disebabkan oleh beberapa faktor seperti :
1. Menurut Plempius (1632), memanjangnya sumbu bolamata tersebut
disebabkan oleh adanya kelainan anatomis.
2. Menurut Donders (1864), memanjangnya tekanan otot pada saat
konvergensi.
b. Miopia refraktif
Bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak
intumensen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan
lebih kuat. Pada miopia refraktif, menurut Albert E. Sloane dapat terjadi
karena beberapa macam sebab, antara lain :
1. Kornea terlalu cembung (<7,7 mm)
2. Terjadinya hydrasi/penyerapan cairan pada lensa kristalina sehingga
bentuk lensa kristalina menjadi lebih cembung dan daya biasnya
meningkat. Hal ini biasanya terjadi pada pasien katarak stadium awal
(imatur)
3. Terjadi peningkatan indeks bias pada cairan bolamata (biasanya terjadi
pada pasien diabetes melitus).

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :


a. Miopia ringan, dimana myopia kecil daripada < 3 dioptri
b. Miopia sedang, dimana myopia lebih antara 3-6 dioptri
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri

Klasifikasi miopia berdasarkan umur :


1. Congenital (sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak)
2. Youth-onset miopia (<20 tahun)
3. Early adult-onset miopia (20-40 tahun)
4. Late adult-onset miopia (>40 tahun). (Sidarta,2007)
Miopia berdasarkan klinis :
1. Myopia simpleks, dengan syarat:
a. Tidak dijumpai kelainan patologis pada mata
b. Progresifitas mulai berkurang saat masa pubertas dan stabil usia 20 tahun
c. Derajat myopia tidak lebih dari (-6 D)
d. Visusnya dengan koreksi dapat mencapai penuh
2. Myopia patologis
a. Bila myopia masih progresif
b. Dijumpai tanda – tanda degeneratif pada vitreous, makula, dan retina
c. Gambaran klinisnya antara lain:
1. Secara keseluruhan, bola mata lebih besar dan terjadi pemanjangan
hampir seluruhnya ke arah polus posterior.
2. Curvatura lebih flat
3. COA lebih dalam
4. Pupil lebih lebar
5. Sclera lebih tipis
6. Pada fundus okuli dapat dijumpai papil N.II “myopic crescent” yakni
bintik yang melebar karena bola mata membesar dan bertambah
panjang. Dijumpai juga vasa choroid yang tampak jelas, choroid yang
atrofi, dan retina tigroid, yakni keadaan di mana retina lebih tipis
akibat kehilangan banyak pigmen sehingga retina tampak gambaran
kuning hitam.
7. Pada makula, dapat dijumpai atrofi, gambaran mirip perdarahan di
dekat macula, ataupun foster-fuchs fleck
8. Pada derajat myopia yang sangat tinggi, dapat dijumpai posterior
stafiloma, yakni seluruh polus posterior herniasi ke belakang.
Komplikasi Miopia :
- Ablatio Retina
- Glukoma sudut terbuka
Visus normal, mata Miopia, dan mata miopia yang sudah dikoreksi.6

Penanganan Miopia
Tujuan penanganan miopia adalah penglihatan binocular yang jelas,
nyaman, efisien, dan kesehatan mata yang baik bagi pasien. Pilihan cara yang
dapat mengatasi kelainan refraksi meliputi :
1. Kacamata koreksi
2. Lensa kontak
3. Obat
Obat-obatan sikloplegik kadang digunakan untuk mengurangi respon
akomodasi terutama untuk mengatasi pseudomyopia. Beberapa penelitian
menyatakan bahwa atropin topikal dan cyclopentolate mengurangi
progresi miopia pada anak dengan youth onset-myopia. Namun dilatasi
pupil yang terjadi mengakibatkan silau. Selain itu terdapat reaksi alergi,
reaksi idiosinkrasi, dan toksisitas sistemik, serta pemakaian atropin jangka
panjang dapat mengakibatkan efek buruk pada retina.
4. Orthokeratologi
Tindakan untuk mendatarkan kornea perifer sehingga sama datarnya
dengan kornea sentral.
5. Bedah refraktif
Pembedahan ini dilakukan untuk memperbaiki penglihatan akibat
gangguan pembiasan. Jenis pembedahan meliputi pembedahan di kornea
(radial keratotomi, keratektomi fotorefraktif/photorefractive
keratectomy/PRK, automated lamellar keratoplasti/ALK, LASIK) dan
lensa (implantasi lensa intra ocular, clear lens extraction).3

XI. ANALISIS KASUS


Pasien pada kasus adalah perempuan 16 tahun yang didiagnosis dengan
ODS miopia
± 6 tahun sebelum berobat jalan ke poli, pasien merasakan penglihatan
kedua mata kabur saat melihat jauh. Pasien masih bisa membaca tulisan dalam
jarak dekat. Pasien kemudian berobat dan diberikan kacamata.Pasien mengaku
rutin memakai kacamata dan terakhir mengganti kacamatanya ± 2 tahun yang lalu.
Saat ini kacamata dirasakan tidak nyaman, pandangan kabur dan
mengganggu aktivitas sekolah. Pandangan semakin kabur dirasakan perlahan-
lahan, sepanjang hari dan semakin lama semakin kabur. Mata merah (-), mata
nyeri (-), mata cekot-cekot (-) mata gatal (-), nerocos (-). Pasien memilliki
kebiasaan membacaambil tiduran dan melihat layar telepon genggam hampir
setiap saat (lebih dari 4 jam perhari). Karena merasa tidak nyaman, pasien
kemudian dibawa ke poli untuk berobat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dan status generalis
dalam batas normal. VOD : 5/60, VOS : 5/50. Pada pasien dilakukan visus koreksi
didapatkan pada mata kanan S-3,75 D dan mata kiri S-2,25 . Setelah dilakukan
koreksi, pada pasien dilakukan pemeriksaan visus binokuler akhir untuk
konfirmasi visus dan kenyamanan pasien dengan ukuran kacamaata tersebut.
Penatalaksanaan pasien adalah dengan terapi kacamata dengan mata
kanan S-3,75 D dan mata kiri S-2,25 D disesuaikan dari pemeriksaan visus
koreksi. Pada pasien, penggunaan kacamata masih membantu penglihatan
hingga didapatkan visus seperti orang normal tanpa kelainan lainnya sehingga
prognosis pasien terkait visus, fungsional, mengancam nyawa, maupun
kosmetik semuanya masih baik.
Edukasi terutama yang penting untuk pasien adalah terjadi penurunan
ketajaman penglihatan pada kedua mata sehingga diperlukan kacamata untuk
membantu penglihatan. Dengan adanya penurunan tersebut, pasien diminta
untuk rutin memeriksakan keadaan matanya dan pengecekan ketajaman visus
minimal 6 bulan sekali. Edukasi lainnya adalah pentingnya mengubah
kebiasaan yang dapat memperburuk ketajaman penglihatan. Pasien diminta
untuk menggunakan kacamata saat melihat jauh. Pasien juga diedukasi untuk
tidak membaca sambil tiduran, membaca terlalu dekat, penggunaan cahaya
yang cukup untuk membaca atau menonton televisi, dan tidak lupa
mengistirahatkan mata setiap 20-30 menit agar mata tidak berakomodasi terus-
menerus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. Infodatin : Situasi Gangguan Penglihatan


dan Kebutaan. 2014. Jakarta : Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI.
2. World Health Organization, Blindness: Vision 2020- the Global
initiaive for the elemination of avoidable blindness.
3. Ilyas H, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Kelima. 2015. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.
4. American Optometric Association. Optometric Clinical Practice
Guideline Care of The Patient with Myopia : Reference Guide for
Clinicians 2006. Missouri : American Optometric Association.
website : https://www.aoa.org/documents/optometrists/CPG-15.pdf
5. American Optometric Association. Optometric Clinical Practice
Guideline Care of The Patient with Hyperopia : Reference Guide for
Clinicians 2008. Missouri : American Optometric Association.
Website : https://www.aoa.org/documents/optometrists/CPG-16.pdf
6. Astuti, Fatimah Dyah Nur. Materi Kuliah : Kelainan Refraksi. 2015.
Semarang : Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Kariadi - FK
Undip.
7. American Optometric Association. Optometric Clinical Practice
Guideline Care of The Patient with Presbyopia : Reference Guide for
Clinicians 2008. Missouri : American Optometric Association
Website : https://www.aoa.org/documents/optometrists/CPG-17.pdf
8. Medical University Vienna. Eye Exam : Refraction. 2015. Vienna :
Medical University Vienna Publication.

Anda mungkin juga menyukai