Anda di halaman 1dari 29

STATUS PASIEN

“Glaukoma Primer Sudut Terbuka ODS”

Pembimbing:
dr. Aryanti Ibrahim, Sp.M.

Oleh:

Gede Agus Andika

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RSUD A. DADI TJOKRODIPO
UNIVERSITAS LAMPUNG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Glaukoma sudut terbuka adalah neuropati optik multifaktorial kronis, progresif, dan

ireversibel yang ditandai dengan sudut terbuka bilik mata depan, perubahan kepala

saraf optik, hilangnya penglihatan tepi secara progresif, diikuti dengan hilangnya

lapang pandang sentral. Peningkatan tekanan intraokular merupakan faktor risiko

penting untuk glaukoma sudut terbuka dan dapat disebabkan oleh penyebab primer

atau sekunder. Peningkatan pengetahuan tentang glaukoma sudut terbuka akan

memungkinkan pencegahan kebutaan parah yang disebabkan oleh glaukoma sudut

terbuka yang tidak diobati. Kondisi ini tidak menunjukkan gejala apa pun dan akan

mengikis penglihatan pasien secara perlahan dan permanen (Mahabadi et.al, 2022).

Glaukoma adalah penyebab utama kebutaan pada manusia, mempengaruhi 2%

populasi. Kelainan ini dapat digolongkan menjadi berbagai jenis antara lain glaukoma

primer, sekunder, sudut tertutup, dan sudut terbuka. Prevalensi berbagai jenis

glaukoma berbeda-beda di setiap wilayah di dunia. Salah satu jenis penyakit yang

paling umum adalah glaukoma sudut terbuka primer, yang merupakan kelainan

bawaan kompleks yang ditandai dengan kematian sel ganglion retina progresif, dan

hilangnya lapang pandang. Saat ini, glaukoma sudut terbuka primer dianggap sebagai

neuropati optik, sementara tekanan intraokular diduga memainkan peran mendasar


dalam patofisiologinya dan terutama pada kerusakan diskus optikus. Namun,

mekanisme pasti kerusakan kepala saraf optik masih menjadi topik perdebatan.

Tinjauan literatur ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai

patofisiologi glaukoma sudut terbuka primer, khususnya berfokus pada mekanisme

peradangan saraf yang menyebabkan kematian sel ganglion retina (Evangelho et.al,

2019).

1.2 Tujuan

Tujuan dari penyusunan referat ini ialah:

a. Mengetahui definisi, etiologi, klasifikasi, dan gejala klinis dari

Glaukoma.

b. Mengetahui cara mendiagnosis, menentukan diagnosis banding, dan

tatalaksana dari Glaukoma.

c. Memberikan informasi dan menjadi salah satu sumber bacaan mengenai

penyakit Glaukoma.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T
Umur : 66 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Perumahan Villa Citra II, Way Halim

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Mata tenang, penglihatan buram secara perlahan pada kedua mata

Keluhan Tambahan:
Tidak ada

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien atas nama Tn. T usia 66 tahun datang ke Lampung Eye Center pada
tanggal 26 September 2023 dengan keluhan penglihatan buram secara
perlahan pada kedua mata sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan
awalnya terdapat penglihatan buram namun pasien hiraukan, kemudian lama
kelamaan pandangan mata pasien terasa semakin sempit seperti melihat dari
lubang yang kecil, sehingga pasien sering menabrak benda-benda
disekitarnya. Keluhan ini merupakan keluhan pertama kali. Keluhan tidak
dipengaruhi waktu dan aktivitas. Keluhan lain seperti mata merah, gatal,
berair, penglihatan ganda, penglihatan buram berkabut, silau ketika melihat
cahaya, nyeri kepala disangkal. Riwayat trauma disangkal. Pasien memiliki
riwayat penggunaan kacamata yang belum diganti selama kurang lebih 2
tahun. Riwayat penggunaan obat-obatan tetes mata sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Keluhan merupakan keluhan pertama kali, riwayat hipertensi dan diabetes
melitus disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluhan serupa dikeluarga disangkal. Riwayat penyakit hipertensi
dan diabetes melitus pada keluarga disangkal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,8 C

Status Generalis
KEPALA
Bentuk : Normocephal
Rambut : bewarna putih, tersebar merata.
Mata : (lihat status oftalmologis)
Telinga : Kesan dalam batas normal
Hidung : Kesan dalam batas normal
Mulut : Kesan dalam batas normal
Leher : Kesan dalam batas normal

PARU
Inspeksi : Kesan dalam batas normal
Palpasi : Kesan dalam batas normal
Perkusi : Kesan dalam batas normal
Auskultasi : Kesan dalam batas normal

JANTUNG
Inspeksi : Kesan dalam batas normal
Palpasi : Kesan dalam batas normal
Perkusi : Kesan dalam batas normal
Auskultasi : Kesan dalam batas normal

ABDOMEN
Inspeksi : Kesan dalam batas normal
Auskultasi : Kesan dalam batas normal
Perkusi : Kesan dalam batas normal
Palpasi : Kesan dalam batas normal

GENITALIA EKSTERNA : Tidak dilakukan pemeriksaan

EKSTREMITAS
Superior : Kesan dalam batas normal
Inferior : Kesan dalam batas normal
STATUS OFTALMOLOGI

OD Pemeriksaan OS
1/~ NLP Visus 4/60
32 TIO 25
Dalam batas normal Supersilia Dalam batas normal
Nodul (-), edem (-), Nodul (-), edem (-), hiperemis (-),
Palpebra Superior
hiperemis (-), ptosis (-) ptosis (-)
Nodul (-), edem (-),
Palpebra Inferior Nodul (-), edem (-), hiperemis (-)
hiperemis (-)
Dalam batas normal Silia Dalam batas normal
Eksoftalmus (-), Bulbus Oculi
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-),
endoftalmus (-), deviasi
deviasi (-), strabismus (-),
(-), strabismus (-),
nistagmus (-)
nistagmus (-)
Ortoforia Kedudukan bola mata Ortoforia

O O O O

O O Gerak Bola Mata O O

O O
O O

Lapang pandang
Tidak dapat dinilai

Injeksi (-), sekret (-) Konjungtiva Bulbi Injeksi (-), sekret (-)
Injeksi (-), sekret (-) Konjungtiva Forniks Injeksi (-), sekret (-)
Injeksi (-), sekret (-) Konjungtiva Palpebra Injeksi (-), sekret (-)
Injeksi (-), ikterik (-), Sklera Injeksi (-), ikterik (-)
Jernih, arkus senilis (+) Kornea Sedikit keruh, arkus senilis (+)
Dalam, Dalam
Camera Oculi Anterior
hipopion (-), hifema (-) hipopion (-), hifema (-)
Coklat, kripta reguler,
Iris Coklat, kripta reguler, sinekia (-)
sinekia (-)
Bulat, isokor, ukuran ± 3
Bulat, isokor, ukuran ± 3 mm,
mm, refleks cahaya direct Pupil
refleks cahaya direct indirect (+)
indirect (+)
jernih, shadow test (-) Lensa jernih, shadow test (-)
Tidak dilakukan Fundus Refleks Tidak dilakukan

IV. RESUME
Pasien atas nama Tn. T usia 66 tahun datang ke Lampung Eye Center pada
tanggal 26 September 2023 dengan keluhan penglihatan buram secara
perlahan pada kedua mata sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengeluhkan
awalnya terdapat penglihatan buram namun pasien hiraukan, kemudian lama
kelamaan pandangan mata pasien terasa semakin sempit seperti melihat dari
lubang yang kecil, sehingga pasien sering menabrak benda-benda
disekitarnya. Keluhan lain seperti mata merah, gatal, berair, penglihatan
ganda, penglihatan buram berkabut, silau ketika melihat cahaya, nyeri kepala
disangkal. Riwayat trauma disangkal. Pasien memiliki riwayat penggunaan
kacamata yang belum diganti selama kurang lebih 2 tahun. Riwayat
penggunaan obat-obatan tetes mata sebelumnya disangkal.

V. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Slit lamp
- Tonometri
- Funduskopi
- Perimetri
- Gonioskopi

VI. DIAGNOSIS BANDING


• Glaukoma sekunder sudut terbuka
• Glaukoma sudut terbuka tanpa peningkatan TIO
VII. DIAGNOSIS KERJA
• Glaukoma Primer Sudut Terbuka ODS

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Non Medikamentosa
Memberikan informasi dan edukasi mengenai penyakit pada mata pasien,
hasil pemeriksaan dan rencana terapi.
b. Medikamentosa
Timolol 0,5% 2 dd 1 ED ODS

IX. PROGNOSA
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Glaukoma

Glaukoma merupakan suatu neuropati optik yang ditandai dengan pencekungan

“cupping” diskus optikus dan penyempitan lapang pandang yang disertai dengan

peningkatan tekanan intraokuler yang merupakan faktor resiko terjadinya

glaukoma. Glaukoma dipengaruhi oleh gangguan aliran aquos humor. Kelainan

sistem drainase aquos humor pada COA (pada glaukoma sudut terbuka) atau

terganggunya jalan aqueous humor ke sistem drainase (pada glaukoma sudut

tertutup). Glaukoma dibagi mejadi beberapa golongan besar, yaitu: glaukoma

primer, glaukoma sekunder, glaukoma kongenital, dan glaukoma absolut

3.2 Klasifikasi Glaukoma

3.2.1 Glaukoma Primer

Glaukoma dengan etiologi tidak pasti, dimana tidak didapatkan

kelainan yang merupakan penyebab glaukoma. Glaukoma ini

didapatkan pada orang yang telah memiliki bakat bawaan

glaukoma.
3.2.2 Glaukoma Simpleks

Glaukoma simpleks adalah glaukoma yang penyebabnya tidak

diketahui. Merupakan suatu glaukoma primer yang ditandai

dengan sudut bilik mata terbuka. Glaukoina simpleks ini

diagnosisnya dibuat bila ditemukan glaukoma pada kedua mata

pada pemeriksaan pertama, tanpa ditemukan kelainan yang

dapat merupakan penyebab. Pada umumnya glaukoma

simpleks ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun, walaupun

penyakit ini kadang-kadang ditemukan pada usia muda. Diduga

glaukoma simpleks diturunkan secara dominan atau resesif

pada kira-kira 50o/o penderita, secara genetik penderitanya

adalah homozigot. Terdapat pada 99% penderita glaukoma

primer dengan hambatan pengeluaran cairan mata (akous

humor) pada jalinan trabekulum dan kanal Schlemm. Terdapat

faktor risiko pada seseorang untuk mendapatkan glaukoma

seperti diabetes melitus, dan hipertensi, kulit benvarna dan

miopia. Bila pengaliran cairan mata (akous humor) keluar di

sudut bilik mata normal maka disebut glaukoma hipersekresi.

Ekskavasi papil, degenerasi papil dan gangguan lapang

pandang dapat disebabkan langsung atau tidak langsung oleh

tekanan bola mata pada papil saraf optik dan retina atau

pembuluh darah yang memperdarahinya. Mulai timbulnya


gejala glaukoma simpleks ini agak lambat yang kadangkadang

tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya berlanjut dengan

kebutaan. Pada keadaan ini glaukoma simpleks tersebut

berakhir dengan glaukoma absolut. Pada glaukoma simpleks

tekanan bola mata sehari-hari tinggi atau lebih dari 20 mmHg.

Mata tidak merah atau tidak terdapat keluhan, yang

mengakibatkan terdapat gangguan susunan anatomis dan fungsi

tanpa disadari oleh penderita. Akibat tekanan tinggi akan

terbentuk atrofi papil disertai dengan ekskavasio glaukomatosa.

Gangguan saraf optik akan terlihat sebagai gangguan fungsinya

berupa penciutan lapang pandang. Pada waktu pengukuran bila

didapatkan tekanan bola mata normal sedang terlihat gejala

gangguan fungsi saraf optik seperti glaukoma mungkin hal ini

akibat adanya variasi diurnal.

3.2.3 Glaukoma Absolut

Glaukoma absolut merupakan stadium glaukoma (sempiV terbuka)

dimana terjadi kebutaan total akibat tekanan mata memberikan

gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh,

bilik mata dangkal, papil atrofi .Glaukoma absolut ekskavasi

glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit. Sering

mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah

sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskularisasi pada iris,


keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma

hemoragik.

3.3 Epidemiologi

Glaukoma adalah penyebab kedua kebutaan di dunia, hampir 60 juta orang terkena

glaukoma. Di Amerika, penyakit ini merupakan penyebab utama kebutaan yang dapat

dicegah. Glaukoma sudut terbuka primer merupakan bentuk tersering pada ras kulit

hitam dan putih. Ras kulit hitam memiliki resiko yang lebih besar mengalami onset

dini, keterlambatan diagnosis dan penurunan penglihatan yang berat dibandingkan ras

kulit putih. Di Amerika Serikat, 1,29% orang berusia lebih dari 40 tahun, meningkat

hingga 4,7% pada orang berusia lebih dari 75 tahun, diperkirakan mengidap

glaukoma sudut terbuka primer. Pada penyakit ini terdapat kecenderugan familial

yang kuat dan kerabat dekat pasien dianjurkan menjalani pemeriksaan skrining yang

teratur (Asbury dan Vaughan, 2010).

Glaukoma sudut tertutup didapatkan pada 10-15% kasus ras kulit putih. Glaukoma

sudut tertutup primer berperan pada lebih dari 90% kebutaan bilateral akibat

glaukoma di China. Glaukoma tekanan normal merupakan tipe yang paling sering di

Jepang (Asbury dan Vaughan, 2010).


3.4 Patofisiologi

Pada Glaukoma, gangguan penglihatan oleh karena kerusakan sel

ganglion retina terkait dengan tekanan intraokular. Tekanan intraokular

ditentukan melalui keseimbangan antara sekresi aqueous humor oleh

badan siliaris dan drainasenya melalui jalur independen jalur keluar

uveoscleral dan trabecular meshwork.

Tekanan intraokular menghasilkan tekanan mekanis pada struktur

posterior mata, lamina cribrosa dan jaringan sekitarnya. Glaukoma

menyebabkan perforasi sklera pada lamina; titik di mana serabut saraf

optik mata keluar. Lamina adalah titik sensitif yang sensitive terhada

tekanan pada mata. Stres yang diberikan oleh tekanan intraokular dapat

menyebabkan deformasi, kompresi, kerusakan aksonal mekanis,

pembentukan kembali lamina cribrosa, gangguan transportasi aksonal.

Eksitotoksisitas stres oksidatif mengubah kekebalan dan gangguan

mikrosirkulasi dapat menyebabkan glaucoma.


Gambar 2. Glaukoma

3.5 Etiologi

Glaukoma adalah neuropati optik kronis dengan adanya kerusakan pada diskus

optikus dan penurunan lapang pandang yang progresif. Berdasarkan etiologinya,

glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma primer dan sekunder. Glaukoma

primer bukan disebabkan oleh glaukoma atau kelainan sistemik okular,

sedangkan glaukoma sekunder diakibatkan oleh manifestasi kelainan okular atau

kelainan sistemik.

3.6 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan klinis dengan menggunakan slit lamp, tonometri, pemeriksaan

visus, lapang pandang, dan pemeriksaan laboratorium. Anamnesis pasien

penting pada penyakit mata, sering dapat diungkapkan adanya riwayat

penyakit terdahulu, riwayat trauma, benda asing, abrasi, adanya riwayat

penyakit kornea, riwayat pemakaian obat topikal oleh pasien seperti

kortikosteroid yang merupakan predisposisi.


Pemeriksaan fisik khusus yang dapat dilakukan untuk menegakkan

diagnosis antara lain:

1. Tonometri

Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler yang

menggunakan alat berupa tonometer Goldman. Faktor yang dapat

mempengaruhi biasnya penilaian tergantung pada ketebalan kornea

masing-masing individu. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan

intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya,

semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah.

Penilaian tekanan intraokuler normal berkisar 10-22 mmHg. Pada usia

lanjut rentang tekanan normal lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg.

Pada glaukoma sudut terbuka primer, 32-50% pasien ditemukan

dengan tekanan intraokuler yang normal pada saat pertama kali

diperiksa.

Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena

cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat

mudah dan tanpa komponen elektrik.


2. Funduskopi

Funduskopi dilakukan untuk menilai diskus optikus. Pada diskus

optikus yang normal memiliki cekungan di bagian tengahnya. Pada

pasien glaukoma terdapat pembesaran cawan optik atau pencekungan

sehingga tidak dapat terlihat saraf pada bagian tepinya.

Gambar 6. Kiri: papil optic normal. CDR vertical= 0,2. Tengah:


glaucoma moderate (mata kiri) vertical 0,7, dengan notching di jam 1.
Kanan: glaucoma lanjut (mata kanan) CDR =0,99. Seluruh papil
terlihat pucat. (sumber: Buku Ajar Oftalmika FK UI)

3. Pemeriksaan Lapang Pandang

Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai 30

derajat lapangan pandang bagian central. Cara pemeriksaan lapangan

pandang dapat menggunakan automated perimeter.


4. Gonioskopi

Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang menggunakan

lensa khusus untuk melihat aliran keluarnya humor aquos. Fungsi dari

gonioskopi secara diagnostik dapat membantu mengidentifikasi sudut

yang abnormal dan menilai lebar sudut kamera okuli anterior.

3.7 Diagnosa Banding Glaukoma Primer Sudut Terbuka

1. Glaukoma sudut terbuka tanpa peningkatan TIO

Kelainan yang ditemukan sama dengan POAG tetapi tanpa

peningkatan TIO, dan disebut sebagai glaukoma tensi normal

(normotension glaukoma).

2. Glaukoma sudut terbuka juvenilis

Istilah ini digunakan apabila GPSTa yang didiagnosa terjadi pada usia

muda yakni 10-30 tahun.

3. Glaukoma Suspek

Pada kondisi di mana didapatkan peningkatan TIO di atas 21 mmHg,

tetapi diskus optik normal, tanpa defek luas lapang pandang, umumnya

pasien dikatakan mengalami hipertensi okuli. Bila ada salah satu

kelainan seperti defek lapang pandang, atau atrofi papil saraf

glaukomatosa, maka pasien dinyatakan sebagai glaukoma suspek.


4. Glaukoma sudut terbuka sekunder

Adanya hambatan pada anyaman trabekulum yang berhubungan

dengan kondisi atau penyakit lain seperti ada pemberian jangka

panjang obat tetes/oral steroid atau pada sindroma Sturge Weber.

3.8 Penatalaksanaan

Tujuan terapi glaukoma adalah untuk menghentikan atau memeperlambat

progresivitas glaukoma. Pengobatan pada glaukoma berfokus pada

penurunan TIO. Secara garis besar terdapat 2 modalitas terapi glaukoma

ada yaitu terapi farmakologis dan terapi pembedahan, baik dengan cara

biasa (operatif) atau dengan bantuan laser. Pemilihan awal oba tetes yang

digunakan adalah obat dapat menurunkan produksi akus humor dan

meningkatkan alirak keluar akuos humor.

1. Farmakoterapi

a) Supresi Pembentukan Humor Aqueus

a. Golongan β-adrenergik Bloker

Obat golongan ini dapat digunakan sebagai monoterapi atau

dengan kombinasi dengan obat yang lain. Contoh obat

golongan β- adrenergic bloker adalah timolol maleat 0,25% dan

0.5%, betaxolol 0,25% dan 0,5%, levobunolol dan lain-lain.5

Timolol maleat merupakan β-adrenergik non selektif baik β1

atau β2. Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik,


sehingga apabila diteteskan pada mata dapat mengurangi

tekanan intraokuler. Timolol dapat menurunkan tekanan

intraokuler sekitar 20-30%. Reseptor β-adrenergik terletak pada

epitel siliaris, jika reseptornya terangsang aktifitas sekresinya

akan meningkatkan inflow humor aquos melalui proses

komplek enzim adenyl cyclase-reseptor sehingga menurunkan

produksi humor aquos. Farmakodinamik golongan β-

adrenergic bloker dengan cara menekan pembentukan humor

aquos sehingga tekanan intraokuler dapat turun. Sedangkan

farmakokinetiknya sebagian besar diserap dengan baik oleh

usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah, dan

memiliki kadar puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam.

Kebanyakan golongan β-adrenergic bloker memiliki waktu

paruh antara 3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan

ginjal untuk mengeluarkan obat golongan ini dapat

diperpanjang apabila terdapat hambatan aliran darah yang

menuju ke hati atau hambatan enzim hati. Penggunaan obat

golongan ini dalam jangka lama dapat mengakibatkan

kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik. Indikasi

pemakaian diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka

sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi

dengan miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma

inflamasi, hipertensi okuler dan glaukoma kongenital.


b. Golongan α2-adrenergik agonis

Obat golongan ini dibagi menjadi 2 yaitu selektif dan tidak

selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang selektif

misalnya apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi

humor aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos

melalui trabekula meshwork dengan menurunkan tekanan

vena episklera dan dapat juga meningkatkan aliran keluar

uveosklera.

Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu

1 jam dapat menghasilkan penurunan tekanan intraokuler

yang cepat paling sedikit 20% dari tekanan intraokuler awal.

Efek maksimal dari apraklonidin dalam menurunkan tekanan

intraokuler dapat terjadi sekitar 3-5 jam setelah pemberian

terapi.

Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol

peningkatan akut tekanan intraokuler pasca tindakan laser.

Sedangkan kontraindikasi pemakaian obat ini apabila pasien

dengan mono amin oksidase (MAO) dan trisiklik depresan

karena mempengaruhi metabolisme dan uptake katekolamin.


c. Penghambat karbonat anhidrase

1. Asetasolamid oral

Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan

karena dapat menekan pembentukan humor aquos

sebanyak 40-60%. Efektif dalam menurunkan tekanan

intraokuler apabila konsentrasi obat bebas dalam plasma

±2,5 µM. Apabila diberikan secara oral, konsentrasi

puncak pada plasma dapat diperoleh dalam 2 jam setelah

pemberian dapat bertahan selama 4-6 jam dan menurun

dengan cepat karena ekskresi pada urin.

Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan tekanan

intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan

menurunkan tekanan introkuler pada pseudo tumor

serebri. Kontraindikasi relatif untuk sirosis hati, penyakit

paru obstruktif menahun, gagal ginjal, diabetes

ketoasidosis dan urolithiasis.

Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan

inisial diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul

apabila digunakan dalam jangka lama antara lain metalic


taste, malaise, nausea, anoreksia, depresi, pembentukan

batu ginjal, depresi sumsum tulang, dan anemia aplastik.

2. Penghambat karbonat anhidrase topical

Obat ini bersifat larut lemak sehingga bila digunakan

secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif rendah.

Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi

melalui kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen

prosesus siliaris sehingga dapat menurunkan produksi

humor aqueus dan HCO3- dengan cara menekan enzim

karbonik anhidrase II. Penghambat karbonik anhidrase

topikal seperti dorsolamid bekerja efektif menurunkan

tekanan intraokuler karena konsentrasi di prosesus siliaris

mencapai 2-10µM.

Penghambat karbonat anhidrase topikal (dorsolamid)

dapat menurunkan tekanan intraokuler sebesar 15-20%.

Indikasi pemberian untuk mengontrol glaukoma baik

jangka pendek maupun jangka panjang, sebagai obat

tunggal atau kombinasi. Indikasi lain untuk mencegah

kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah intraokuler.

Efek samping lokal yang dijumpai seperti mata pedih,

keratopati pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek


samping sistemik jarang dijumpai seperti metalic taste,

gangguan gastrointestinal

b). Meningkatkan Aliran Keluar Akuous Humour

a. Analog prostaglandin (contoh latanaprost, dan

travaprost)

Cara kerja yang spesifik tidak diketahui namun diduga

meningkatkan jarak fasia otot-otot di badan siliar

shingga meningkatkan aliran keluar akuous humor.

b. Obat parasimptomimetk/miotikum (contoh: pilokapin)

Menyebabkan kontraksi pada otot longitudinal badan

silie sehingga mengencangkan anyaman trabeklar dan

meningkatkan pengeluaran akuous humor.

Pada pemberian obat, dicobakan pemberian 1 macam

obat tetes terlebih dahulu; pilihan obat lini pertama

adalah penghambat beta adrenergik. Bila TIO tidak

turun sebanyak 20%, obat tetes tersebut diganti dengan

obat tetes analog prostaglandin. Lini kedua adalah tetes

maa pemghambat anhidrase karbonat. Bila dengan 1

macam obat tetes TIO sudah turun sebanyak >20% akan

tetapi belum mencapai target tekanan yang diharapkan,


maka dapat diberi tambahan obat mata lain yang

mempunyai efek yang berberda, seperti korbenasi

penghambat adrenergik beta dan analog prostaglandin

(Sitorus et al., 2017).

2. Non-Farmakoterapi

a.) Laser Trabekuloplasti

Awalnya laser trabekuloplasti diindikasikan pada pasien dengan

glaukoma memiliki toleransi maksimal terhadap terapi

Medikamentosa, dan memiliki sudut terbuka pada pemeriksaan

gonioskopi. Akhir-akhir ini, banyak klinisi yang memberikan

beberapa terapi Medikamentosa sebelum melakukan laser

trabekuloplasti, tetapi terapi laser dapat dianggap sebagai langkah

awal dalam tatalaksana glaukoma. Pasien dengan toleransi yang

buruk terhadap Medikamentosa dan kurang patuh dalam

pemakaian obat dapat menjadi kandidat laser trabekuloplasti

(Chiofi et al., 2014).

Glaucoma Laser Trial (GLT) menyatakan bahwa dalam 2 tahun

pertama, laser trabekuloplasti yang digunakan sebagai terapi awal

memiliki efektivitas yang sama dengan Medikamentosa. Akan

tetapi, setelah 2 tahun lebih dari setengah mata yang diterapi laser

memerlukan tambahan 1 atau lebih medikamentosa


untukmengontrol TIO. Laser trabekuloplasti diharapkan dapat

menurunkan TIO sebesar 20-25% (Chiofi et al., 2014).

b.) Trabekulektomi

Trabekulektomi merupakan prosedur yang dilakukan dengan

membuat saluran bypass untuk aqueous humor agar mengalir

langsung dari COA ke jaringan subkonjungtiva dan orbita. Operasi

ini biasanya efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler secara

bermakna. Trabekulektomi telah banyak dilakukan secara dini

sebagai terapi glaukoma. Trabekulektomi dianggap sebagai baku

emas dari terapi operatif non-penetrating pada glaukoma.

Trabekulektomi juga merupakan terapi operatif yang sering

dikembangkan dengan cara yang baru dan lebih efektif dan aman.

Trabekulektomi mempunyai beberapa komplikasi, dan yang paling

sering adalah fibrosis pada jaringan episklera.

Hal tersebut dapat memicu menutupnya kembali jalur drainase

baru yang telah dibuat. Terapi tambahan perioperatif dan pasca

operasi dengan anti metabolit seperti 5-fluorourasil dan mitomisin

C dosis rendah dapat menurunkan risiko komplikasi tersebut dan

dapat mengontrol tekanan intraokuler lebih baik. Komplikasi yang

dapat timbul pada mata pasca operasi berupa rasa tidak nyaman
pada mata yang menetap, infeksi, atau makulopati karena keadaan

hipotonik pada mata yang menetap.

c.) Fakotrabekulektomi

Glaukoma primer sudut tertutup sering dilakukan juga terapi

kombinasi trabekulektomi dan fakoemulsifikasi, atau sering

disebut sebagai fako-trabekulektomi. Suatu penelitian yang

meneliti glaukoma primer sudut tertutup kronis disertai dengan

katarak melaporkan bahwa operasi fako-trabekulektomi

menimbulkan komplikasi operasi yang lebih signifikan

dibandingkan operasi dengan fakoemulsifikasi saja. Tajam

penglihatan dan progresivitas glaukoma tidak berbeda antara

kedua kelompok perlakuan tersebut (Sitorus et al., 2017)

1.10 Prognosis

Glaukoma primer sudut terbuka lanjut dapat menyebabkan atrofi optik

dan no light preception, meskipun sebagian besar pasien glaukoma

primer sudut terbuka tidak akan kehilangan penglihatan dalam hidup

mereka. Faktor risiko untuk perkembangan glaukoma primer sudut

terbuka, yaitu: (Prum et. al., 2016)

 Usia tua

 Peningkatan TIO
 Peningkatan rasio cup disk

 Atrofi peripapiler beta

 Perdarahan diskus

 Ketebalan kornea sentral tipis

 Tekanan perfusi okular rendah

 Kepatuhan yang buruk terhadap terapi

Dalam 10 tahun, kemungkinan kumulatif glaukoma stadium akhir pada

setidaknya satu mata dalam kasus yang tidak diobati adalah 35% dalam

sebuah penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Asbury, Vaughan. Glaukoma. Dalam : Oftalmologi Umum. Jakarta : Penerbit


Buku Kedokteran ECG; 2010.
Bhowmik D, Kumar KS, Deb L, Paswan S, Dutta A .2012.Glaucoma-A Eye
Disorder Its Causes, Risk Factor, Prevention and Medication. The
Pharma Innovation.
Cioffi GA, Durcan FJ, Girkin CA, Gupta N, Piltz-Seymour JR, Samuelson
TW, et al. Basic and clinical science course: Glaucoma section 10.
San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2014. p 73-
78, 166, 180.
Evangelho K, Mogilevskaya M, Losada-Barragan M, Vargas-Sanchez JK.
Pathophysiology of primary open-angle glaucoma from a
neuroinflammatory and neurotoxicity perspective: a review of the
literature. Int Ophthalmol. 2019 Jan;39(1):259-271.
Ilyas S. Yulianti SR. 2015. Ilmu Penyakit Mata, Edisi V. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI
Khurana AK, Khurana ArJ, Khurana B. 2015. Comprehensive Opthamology,
Edition 6th. New Delhi, The Health Science Publisher: Jaypee
Brothers Medical Publisher (P) Ltd
Khanski, J. 2016. Clinical Ophtamology, Edition 8th. Australia: Elsevier Ltd
Mahabadi N, Foris LA, Tripathy K. Open Angle Glaucoma. [Updated 2022
Aug 22]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Prum BE, Rosenberg LF, Gedde SJ, Mansberger SL, Stein JD, Moroi SE,
Herndon LW, Lim MC, Williams RD. Primary Open-Angle
Glaucoma Preferred Practice Pattern(®) Guidelines. Ophthalmology.
2016 Jan;123(1):P41-P111.
Shaarawy TM,Sherwood MB,Crowston J. Glaucoma Medical Diagnosis and
Therapy, Volume One. UK: Saunders Elsivier, 2009. P. 1-14
Shahida, Muhammad Imran Qadir. Glaucoma: Etiology, Pathophysiology and
Management. Biomed J Sci & Tech Res 30(5)-2020. BJSTR.
MS.ID.005005
Sitorus SR, Sitompul R, Widyawato S, Bani, PA. Buku Ajar Oftalmologi,
Edisi I. 2017. Jakarta: Badan Penerbit FK UI
Vitresia H, Profil Glaukoma di Propinsi Sumatera Barat, Indonesia. Padang:
Bagian Mata, Universitas Andalas, RS Dr.M.Djamil. 2008. P.37-43
Weinreb RN, Aung T, Medeiros FA (2014) The pathophysiology and
treatment of glaucoma: a review. Jama 311(18): 1901-1911.

Anda mungkin juga menyukai