Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 56 tahun
Agama : Islam
Suku / Bangsa : Jawa / Indonesia
Pekerjaan : Petani
Alamat : Krajan, Padas, Bangkal
No. Register : 670205
Tanggal pemeriksaan : 12 Agustus 2017
Rumah sakit : RSUD Dr. Harjono S Ponorogo

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Penglihatan kabur pada mata kanan
Riwayat Penyakit Sekarang : Penglihatan kabur pada mata kanan sejak
1 minggu yang lalu secara mendadak. Pasien mengeluh melihat adanya
bayangan seperti awan dan garis seperti benang yang berkilauan pada mata
kanannya. Awalnya sering melihat bayangan berbentuk seperti benang
yang lewat depan bola mata, sekitar 3 hari terakhir bayangan yang terlihat
menyerupai awan dan terdapat kilatan cahaya kemudian menyebabkan
penglihatan kabur. Mata merah (-), Nyeri (-), kotoran mata berlebih (-), air
mata berlebih (-), rasa berpasir dan mengganjal pada mata (-), gatal pada
mata (-). Riwayat trauma disangkal, Riwayat mata merah (-), Riwayat
memakai kaca mata (-) Riwayat diabetes melitus disangkal. Riwayat
hipertensi (-). Riwayat penyakit sama pada keluarga (-), Riwayat penyakit
mata sebelumnya (-).

1
III. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
A. Inspeksi
PEMERIKSAAN OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Silia Normal Normal
Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-),
Bola mata Normal Normal
Mekanisme muscular
- ODS Normal ke segala arah : Normal ke segala arah :
-

Kornea Jernih Jernih


Bilik Mata Depan Dalam Dalam
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, sentral, Reflek (+) Bulat, sentral, Reflek (+)
Jernih, terdapat luksasi
Lensa Jernih
lensa posterior

B. Palpasi
Pemeriksaan OD OS
Tensi okuler Normal Normal
Nyeri tekan (-) (-)
Massa tumor (-) (-)
Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

C. Tonometri
NCT OD : 19 mmHg
OS : 18 mmHg

D. Funduskopi
FOD : Refleks fundus (+), papil N.II batas tegas, CDR = 0,3, A:V =
2:3, tampak ablasi retina (+) pada kuadran inferior temporal

E. Slit Lamp

2
SLOD : konjungtiva hiperemis (-),Terdapat leukoma pada bagian
sentral ke parasentral arah jam 4-6, ukuran + 2 mm, bilik
mata depan kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat
sentral, RC (+), lensa keruh
SLOS : konjungtiva hiperemis (-) neovaskularisasi (+), Detail lain
sulit dinilai
F. Visus
+
VOD 1/tak hingga
LP = + +
VOS 5/5
-

G. Campus Visual
Tidak dilakukan pemeriksaan

H. Light Sense
Tidak dilakukan Pemeriksaan

I. Penyinaran Oblik
Pemeriksaan OD OS
Konjungtiva Hiperemis (-),
Hiperemis (-)
Neovaskularisasi (+)
Kornea Terdapat leukoma pada
bagian sentral ke
Sulit dinilai
parasentral arah jam
4-6, ukuran + 2 mm
BMD Normal Sulit dinilai
Iris Coklat, kripte (+) Sulit dinilai
Pupil Bulat, sentral, RC(+) Sulit dinilai
Lensa Jernih Sulit dinilai

J. CT-Scan kepala
Tidak dilakukan pemeriksaan

K. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilakukan pemeriksaan

3
L. Diagnosis
OD Ablasi Retina + Luksasi Lensa Posterior

M. Anjuran Terapi
OD Vitrektomi Pars Plana

N. Resume
Seorang laki-laki umur 65 tahun datang ke Poliklinik Mata Rumah Sakit
Dr. Harjono S Ponorogo dengan keluhan penglihatan kabur pada OD. Dialami
sejak + 1 minggu lalu secara perlahan-lahan. Pasien mengeluh melihat adanya
bayangan seperti awan yang bergerak di depan bola mata. Awalnya hanya berupa
garis seperti benang yang berkilauan, namun 3 hari terakhir terdapat kilatan
cahaya dan makin memberat hingga menyebabkan penglihatan kabur. Dari
pemeriksaan oftalmologi didapatkan pada inspeksi OD terdapat leukoma pada
bagian sentral dengan ukuran 2 mm sedangkan OS sulit dinilai akibat ptosis bulbi.
Pada pemeriksaan, tekanan bola mata normal, pemeriksaan Tonometri
menunjukkan hasil TOD 17 mmHg. Visual (VOD) : 1/300 dan VOS : 0 tidak
dikoreksi. Pada pemeriksaan Slitlamp didapatkan SLOD terdapat leukoma pada
bagian sentral ke parasentral arah jam 4-6, ukuran + 2 mm dan SLOS sulit dinilai
Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan FOD tampak refleks fundus (+) dan
terdapat ablasi retina di inferior temporal. Pada pemeriksaan USG B-scan terlihat
adanya ablasi retina di inferior temporal.

O. DISKUSI
Berdasarkan hasil anamnesa didapatkan adanya keluhan pasien dengan
penglihatan kabur pada OD yang dialami secara perlahan-lahan sejak kurang lebih
4 bulan yang lalu. Pasien mengeluh melihat adanya bayangan seperti awan dan
benang yang berkilauan bergerak di depan mata. Gejala yang dirasakan pasien
merupakan gejala yang khas yang dapat dijumpai pada ablasi retina. Adapun

4
gejala tersebut yaitu adanya penglihatan kabur dan adanya fotopsia (melihat
kilasan cahaya).
Dari pemeriksaan ophthalmology berupa pemeriksaan funduskopi
didapatkan kesan OD Ablasi retina (retinal detachment), yaitu suatu keadaan
terpisahnya sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina. Pada
keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch.
Ablasi retina terdiri dari 3 yaitu regmatogenosa (primer), dan non
regmatogenosa (sekunder) yang terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ablasi retina traksi
dan eksudatif. Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasi ini adalah ablasi retina
regmatogenosa. Karakteristik dari ablasi retina ini adalah adanya pemutusan total
suatu rhegma di retina sensorik, traksi korpus vitreum dengan derajat yang
bervariasi dan mengalirnya korpus vitreum cair melalui defek retina sensorik
kedalam ruang subretina. Gejala yang sering dikeluhkan penderita adalah adanya
floaters (terlihatnya benda-benda yang melayang-layang), yang terjadi karena
adanya kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas, atau
degenerasi vitreus itu sendiri. Fotopsia atau kilatan cahaya tanpa adanya sumber
cahaya disekitarnya yang umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam
keremangan cahaya atau dalam keadaan gelap. Penurunan tajam penglihatan,
penderita mengeluh separuh lapangan pandangnya terganggu.
Pasien ini dapat dianjurkan untuk vitrektomi pars plana dengan tujuan
untuk melekatkan kembali bagian retina yang lepas. Dengan melekatnya retina
pada koroid diharapkan dapat memperbaiki prognosis pasien, yaitu terjadi
peningkatan visus.
Prinsip bedah pada ablasi retina yaitu :
1. Menemukan semua bagian yang terlepas
2. Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah retina
yang terlepas.
3. Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup untuk
menghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen pada daerah
subretinal.

5
Prognosis tergantung luasnya robekan retina, jarak waktu terjadinya ablasi,
diagnosisnya dan tindakan bedah yang dilakukan. Terapi yang cepat prognosisnya
lebih baik. Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali
retina perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula lepas lebih dari 24
jam sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak
dapat pulih sepenuhnya.

6
ABLASI RETINA

PENDAHULUAN
Retina adalah lapisan peka cahaya dimana gambar yang terbentuk
kemudian diteruskan ke otak. Mirip dengan film pada kamera, dan sangat penting
untuk penglihatan. Ablasi retina adalah suatu kelainan pada mata yang disebabkan
karena terpisahnya lapisan neuroretina dari lapisan epitel pigmen retina akibat
adanya cairan di dalam rongga subretina atau akibat adanya suatu tarikan pada
retina oleh jaringan ikat atau membranavitroretina.
Pada keadaan ini sel epitel pigmen retina masih melekat erat dengan
membrana Bruch. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak
terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga
merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis.
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koroid atau sel pigmen
epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid
yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap.
Pada dasarnya ablasi retina adalah suatu kelainan mata bilateral, sehingga
harus diperiksa dan ditangani secara bersamaan. Biasanya ablasi retina ini adalah
suatu kelainan yang berhubungan dengan meningkatnya usia dan miopia tinggi,
dimana akan terjadi perubahan degeneratif pada retina dan vitreous. Diperkirakan
prevalensi ablsio retina adalah 1 kasus dalam 10.000 populasi. Prelavensi
meningkat pada beberapa keadaan, afakia/psuedofakia dan trauma. Pada
penderita-penderita ablasi retina ditemukan adanya Miopia sebesar 55%,
degenerasi Lattice 20-30%, trauma 10-20%, dan afakia/pseudofakia 30-40%.
Ablasi retina terdiri dari 3 jenis yaitu regmatogenosa (primer), dan non
regmatogenosa (sekunder) yang terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ablasi retina traksi
dan eksudatif. Bentuk tersering dari ketiga jenis ablasi ini adalah ablasi retina
regmatogenosa.

7
Anatomi dan Fisiologi Bola Mata dan Retina

Anatomi bola mata dan retina.

Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya.

8
Embriologi Retina
Retina terdiri dari jaringan yang berasal dari vesikel optic yang merupakan
penonjolan diencephalon yang muncul pada 25 hari kehamilan. Selama minggu
keempat, vesikel optik berinvaginasi untuk membentuk cup, dinding bagian dalam
berdiferensiasi membentuk lapisan neurosensori retina yang kebanyakan elemen
glial,sedangkan dinding luar cup menjadi epitel pigmen (RPE). Optic stalk akan
membentuk glia nervus optik
Neural plate, yang berasal dari ectoderm, merupakan precursor embryonic
dari semua system nervosa, termasuk retina. Ektoderm memiliki dua bagian ; satu
akan membentuk kulit, dan sisi lainnya membentuk neural plate. Pada saat neural
plate terbentuk, pada sisi yang lain terbentuk system saraf pusat termasuk elemen
neural mata. Sesaat setelah neural plate terbentuk, maka akan terjadi lipatan keatas
pada garis tengah embrio sehingga membentuk neural tube. Proses ini dinamakan
dengan neurulation. Proses pembentukan neural tube melibatkan pergeseran
jaringan dan perubahan bentuk seluler.
Pada saat optic cup terbentuk, sudah terjadi proses diferensiasi pada
retina. Sel pada dinding luar optic cup hanya terdiri dari satu lapis. Dalam sel ini,
granul pigmen mulai muncul pada stadium 5-6 mm dan terbentuk sempurna pada
stadium 10 mm. Pada akhir minggu ke delapan kehamilan, satu lapis epitel
pigmen dapat diidentifikasi. Dalam 1 bulan fertilisasi, aktivitas mitosis
menghasilkan 3 sampai 4 baris sel yang meningkat dengan cepat.
Nukleus memisahkan 2/3 bagian retina luar terhadap optic cup. Bagian ini
dikenal dengan primitive zone. Perkembangan 1/3 bagian dalam retina yang pada
awalnya tidak mengandung nucleus disebut dengan inner marginal zone, dan
kemudian berdiferensiasi menjadi lapisan serabut saraf. Primitive zone dan
marginal zone dapat terlihat hanya sampai minggu ketujuh masa gestasi. Sel
neural dan glia berkembang secara simultan. Akhirnya, nucleus dari sel
neuroblastik terpisah menjadi 2 lapis sel yang berbeda, yaitu lapisan neuroblas
dalam dan luar. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh transient fiber layer of
chievitz, yang akan menjadi lapisan pleksiform dalam pada minggu 9 dan 12 masa
gestasi.

9
Perkembangan lapisan inti dan plexiformis serta diferensiasi seluler retina
dimulai pada bagian sentral kemudian ke perifer. Lapisan sel ganglion pertama
kali berada pada lapisan plexiformis dalam. Perkembangannya dimulai pada
minggu ke-12, dan dapat dikenali pada bulan ke lima. Lapisan plexiformis luar
terbentuk pada bulan ke empat, dan sel-sel yang berada diantara lapisan
pleksiformis luar dan dalam kemudian berkonsolidasi untuk membentuk lapisan
inti dalam, menggantikan semua Chievitz transient fiber layer kecuali satu sisa
pada macula, yang juga muncul pada macula matur. Chievitz layer tidak kelihatan
lagi pada retina dewasa.
Sel-sel ganglion retina merupakan sel yang pertama berdiferensiasi,
dimana akson dan dendritnya mulai berkembang pada minggu 6 masa gestasi.
Jumlah sel ganglion meningkat cepat pada minggu 15 hingga 17 masa gestasi,
kemudian mulai berkurang pada minggu 18 hingga 30, oleh karena terjadi proses
apoptosis. Badan sel ganglion berkembang seiring bertambahnya umur gestasi.
Lapisan fotoreseptor berkembang dari lapisan terluar dari sel neuroblas.
Aktivitas mitosis pada lapisan neuroblas luar terjadi pada minggu ke 4 12 dan
berhenti pada retina bagian sentral pada minggu ke15 masa gestasi, dan
diferensiasi sel cone dimulai pada fovea. Diferensiasi sel cone dimulai pada bulan
kelima masa gestasi. Sel amakrin terlihat pada batas dalam dan luar lapisan
neuroblas pada minggu 14 masa gestasi. Sel bipolar tidak mengalami diferensiasi
sampai minggu 14 masa gestasi. Dendrit sel bipolar meluas dari lapisan
pleksiform luar pada minggu 25 masa gestasi, dimana pada saat ini sel horizontal
mulai berdiferensiasi
Berbagai tipe sel yang berbeda, sinaps dan interceluler junction tampak
pada minggu 15 masa gestasi. Penipisan sel ganglion dan lapisan sel nuklear
dalam mulai pada minggu 24-26 masa gestasi. Hanya 2 lapisan sel ganglion yang
terlihat pada bulan ke-8, dan lapisan nuclear dalam pada foveola berkurang
menjadi 3 baris sel atau kurang.
Diferensiasi Retinal Pigment Epithelium (RPE) dimulai pada polus
posterior dan berkembang ke anterior. Oleh karena itu pada minggu ke-8 masa
gestasi RPE membentuk satu lapis sel heksagonal kolumner yang terletak pada

10
bagian posterior. Sel manjadi lebih panjang dan kuboid selama bulan ke-3 dan ke-
4, dimana pada tahap ini sel RPE sudah mulai berfungsi. Membrana Basalis dari
RPE menjadi bagian dalam membrana Bruch, lapisan luar membrana Bruch
termasuk membran basalis pada bagian koriokapiler
Sel-sel yang pertama kali menyelesaikan siklus sel adalah sel ganglion, sel
cone, sel horizontal, dan sel amakrin. Kemudian rods mengalami perkembangan
dan yang terakhir adalah sel bipolar. Pada manusia, sel ganglion, sel horizontal,
sel cone dan sel amakrin sudah terlihat sejak kelahiran, tetapi sebagian rods di
bagian perifer bersama-sama dengan sel muller dan cone akan terus diproduksi
sampai bulan ketiga postnatal.
Proliferasi berperan sebagai stimulator maupun inhibitor. TGF-, FGF
asam dan basa, dan Epidermal Growth Factor menstimulasi proliferasi sel
progenitor retina. Sistem neurotransmitter juga mempengaruhi proliferasi.
Proliferasi berhenti pada bagian retina sentral disusul kemudian dibagian yang
lebih perifer.
Retina merupakan jaringan transparan yang melekat pada dinding
posterior bola mata. Retina melebar dari makula di posterior hingga pada sekitar 5
mm dari ekuator anterior yakni ora serrata dimana jaringan retina menyatu
dengan epitel tak berpigmen dari pars plana silia. Jaringan retina melekat longgar
dengan lapisan RPE dibawahnya dan dapat dengan mudah dipisahkan pada
specimen postmortem. Retina melekat kuat pada daerah diskus optikus dan ora
serrata. Retina juga melekat pada vitreus base.

Topografi Retina
Ketebalan retina bervariasi pada setiap bagian, sekitar 0,1 mm 0,5 mm.
Hal ini sangat penting diketahui dalam aplikasi klinis.
1. Area sentralis-Makula
Macula lutea atau bintik kuning merupakan bagian dari retina yang
banyak mengandung pigmen xantophil atau pigmen kuning. Daerah macula,
secara histologis digambarkan sebagai area yang terdiri atas 2 atau lebih lapisan
ganglion dengan diameter 5-6 mm dan berada ditengah antara arcade vascular
nasal dan temporal. Makula lutea 1 mm ke lateral, 0.8 mm ke atas dan di bawah

11
fovea, 0.3 mm dibawah meridian horizontal serta 3.5 mm ke arah tepi nervus
optik.

Gambaran fundus okuli normal, dengan pembagian regional pada macula


2. Fovea
Daerah sentral dari macula, berukuran 1,5 mm di sebut sebagai fovea
atau fovea sentralis, yang secara anatomis dan komposisi sel fotoreseptornya
merupakan daerah untuk ketajaman penglihatan dan penglihatan warna. Daerah
ini memiliki tingkat kepadatan sel cones tertinggi, yakni mencapai 143.000/mm 3.
Didalam fovea terdapat daerah yang tidak memiliki vaskularisasi, jadi dipelihara
oleh sirkulasi koriokapiler, yang disebut fovea avascular zone (FAZ). Secara klinis
dapat terlihat pada angiografi fluorosensi. Pada bagian tengah fovea di kenal
sebagai foveola, berukuran diameter 0.35 mm daerah yang berisi sel sel cone
ramping yang tersusun rapat.

12
Distribusi sel rods dan cones

3. Parafovea
Di sekitar lingkaran fovea, terdapat area dengan lebar sekitar 0.5 mm dan
diameter total sekitar 2.5 mm disebut area parafoveal. Mengandung akumulasi
neuron terbesar, terdapat lapisan sel ganglion, lapisan inti dalam, dan lapisan
pleksiform luar yang tebal. Di daerah ini pula lapisan plexiform luar mengalami
penebalan, yang disebut lapisan Henle, dibentuk oleh berlapis-lapis axon
fotoreseptor dari foveola. Pada bagian ini sudah mulai terlihat adanya rods
4. Perifovea
Diluar zona tersebut terdapat lingkaran dengan ukuran 1.5 mm yang kenal
dengan perifoveal zone, merupakan lingkaran terluar dari area sentralis. Daerah
ini dimulai pada titik dimana lapisan sel ganglion mulai memiliki empat baris
nucleus dan berakhir diperifer dimana sel ganglion hanya terdiri dari satu lapis
sel. Dari pemeriksaan funduskopi, daerah perivofea merupakan lingkaran dengan
lebar 1,25- 2,75 mm dari foveola, dengan diameter horizontal 5.5 mm. Daerah
perifovea ini berbeda dengan parafovea dikarenakan daerah ini memiliki sel
kepadatan sel cones yang jarang.

13
5. Diskus optik
Nervus optik meninggalkan retina sekitar 3 mm di sebelah medial
makula lutea, tepatnya pada diskus optik. Bagian tengah dari diskus optik sedikit
terdepresi, dimana daerah ini ditembus oleh arteri dan vena retina sentralis. Pada
diskus optik sama sekali tidak terdapat sel rod maupun sel cone, oleh karena itu
daerah ini tidak sensitif terhadap rangsangan cahaya dan disebut blind spot. Pada
pemeriksaan funduskopi, diskus optik terlihat sebagai daerah berwarna pink
pucat, lebih pucat dari daerah di sekitarnya.
6. Ora Serrata
Merupakan daerah perbatasan retina. Ditandai dengan
persambungan antara beberapa lapis pars optic retina dengan satu lapis epitel non
pigmen korpus siliaris. Karakteristik yang menonjol dari area ini adalah
lapisannya yang tipis, kurang vaskularisasi dan hubungan yang rapat dengan
vitreus base dan zonula fibers. Dinamakan ora serrata karena banyaknya takikan
yang dibentuk oleh elongasi jaringan retina kearah epitel siliaris.
Terminologi pada makula

Retina berbatas dengan koroid dengan sel pigmen epitel retina, dan terdiri atas
lapisan:

14
1. Lapis fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang
yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.
2. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi.
3. Lapis nuklear luar, merupakan susunan lapis nukleus sel kerucut dan
batang. Ketiga lapisan diatas avaskuler dan mendapat metabolisme dari
kapiler koroid.
4. Lapis pleksiform luar, merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
5. Lapis nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel
muller lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
6. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler merupakan tempat
sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
7. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua.
8. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju ke arah
saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh
darah retina.
9. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan
badan kaca.
Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan
iskemia, dan merah pada hiperemia. Pembuluh darah di dalam retina merupakan
cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk retina melalui papil saraf optik
yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel
kerucut dan batang mendapat nutrisi dari koroid.

15
Anatomi retina.

Di bagian tengah retina terdapat suatu daerah yang kecil, yang disebut
sebagai fovea dan menempati suatu daerah yang luasnya kurang dari 1 milimeter
persegi, dan terutama berfungsi untuk penglihatan cepat dan rinci. Bagian tengah
fovea, dengan diameter hanya 0,3 milimeter, dinamakan fovea sentralis; daerah ini
seluruhnya terdiri atas sel kerucut dan sel kerucut ini ternyata mempunyai struktur
khusus yang membantu mendeteksi secara lebih rinci dalam bayangan visual,
khususnya bangun panjang ramping, yang berbeda dengan kerucut lebih gemuk
terletak di tepi retina. Di dalam daerah ini, pembuluh darah, sel ganglion, lapisan
sel-sel inti dalam, dan lapisan pleksiform terletak lebih tersebar di satu sisi dan
bukannya terletak langsung di puncak konus. Keadaan ini menyebabkan cahaya
tiba di konus tanpa diredam.
Tertera empat segmen fungsional utam sel batang atau kerucut: (1) segmen
luar, (2) segmen batang, (3) inti, (4) badan sinaptik. Pada segmen luar ditemukan
fotokimiawi peka cahaya. Dalam sel batang terdapat rodopsin, dan dalam sel
kerucut terdapat satu dari ketiga fotokimia warna, biasanya disebut pigmen
warna sederhana, yang fungsinya hampir sama persis dengan rodopsin kecuali ada
perbedaan dalam kepekaan terhadap spektrum cahaya.
Lapisan pigmen retina. Pigmen hitam melanin dalam lapisan pigmen
mencegah pantulan cahaya dari belakang lengkung bola mata; ini sangat berguna
untuk penglihatan yang jelas. Di dalam mata, pigmen ini mempunyai fungsi yang

16
sama dengan warna hitam yang ada di bagian dalam sebuah kamera. Tanpa
pigmen ini, cahaya akan di pantulkan ke semua jurusan dalam bola mata dan
menyebabkan kekacauan penyinaran di retina sehingga tidak menimbulkan
kontras titik gelap dan terang yang dibutuhkan untuk membentuk bayangan yang
tepat.

DEFINISI
Ablasi retina (retinal detachment) adalah suatu keadaan terpisahnya sel
kerucut dan sel batang retina dengan dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan
ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch. Sesungguhnya
antara sel kerucut dan sel batang retina tidak terdapat suatu perlekatan struktural
dengan koroid atau pigmen epitel, sehingga merupakan titik lemah yang potensial
untuk lepas secara embriologis. Pada mata normal, retina sensorik yang utuh
tertahan melekat ke epitel pigmen oleh adanya tarika oleh epitel terhadap ruang
kedap air diantara keduanya. Apabila terdapat robekan retina, gerakan bola mata
yang cepat dan rotasi bola mata mendadak dapat menimbulkan gaya inersi yang
cukup besar untuk menimbulkan pelepasan retina
Dikenal 3 bentuk ablasi retina, yaitu:
1. Ablasi retina regmatogenosa ialah dimana ablasi terjadi akibat adanya
robekan pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara pigmen epitel
dengan retina
2. Ablasi retina eksudatif ialah ablasi yang terjadi akibat tertimbunnya eksudat
di bawah retina dan mengangkat retina
3. Ablasi retina traksi (tarikan) ialah terjadi akibat tarikan jaringan parut pada
corpus vitreus yang akan mengalami ablasi retina dan penglihatan turun tanpa
rasa sakit

ETIOLOGI
A. Ablasi primer:
Mata sebelumnya tidak sakit. Pada suatu waktu timbul ablasi retina.

17
1. Umur tua. Proses sklerosis, menyebabkan retina menjadi degeneratif;
timbulkan robekan pada ablasi retina. Pada orang tua dan miopia tinggi, di
ora serata sering timbul degenerasi kistik yang mudah pecah, yang juga
dapat menimbulkan ablasi retina.
2. Miopia tinggi, disertai degenerasi retina, timbulkan robekan dan
menyebabkan ablasi retina.
3. Trauma.
B. Ablasi sekunder:
Disebabkan penyakit lain.
1. Tumor koroid atau retina yang tumbuh ke depan, menyebabkan retina
terlepas dari epitel pigmen, kemudian disusul dengan timbulnya eksudasi
oleh karena rangsangan dan mengumpuk didalam celah potensial,
menyebabkan ablasi retina. Misalnya pada retinoblastoma,
melanosarkoma.
2. Transudat, pada hipertensi, retinopati nefritika, coats disease.
3. Eksudat, pada koroiditis. Transudat dan eksudat yang terkumpul didalam
celah potensial menyebabkan ablasi retina tanpa didahului dengan
robekan.
4. Oleh karena retraksi dari jaringan organisasi pada retinitis proliferans
akibat peradangan dari uvea atau retina. Yang masuk kedalam badan kaca
perforata, dapat menimbulkan robekan disusul dengan ablasi retina. Disini
robekan tak ada gunanya, oleh karena jaringan fibrotik itu akan menarik
lagi dan menimbulkan robekan baru.

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian ablasi retina adalah 1 dari 15.000 orang, paling umum di
seluruh dunia yang terkait dengan ablasi retina adalah miop, afakia, pseudofakia,
dan trauma. Sekitar 40-50% dari semua pasien dengan ablasi memiliki miop
tinggi (> 6 dioptri), 30-35% pernah menjalani operasi pengangkatan katarak, dan
10-20% pernah mengalami trauma okuli. ablasi retina yang terjadi akibat trauma
lebih sering terjadi pada orang muda, dan miop terjadi paling sering pada usia 25-

18
45 tahun. Meskipun tidak ada penelitian yang menunjukkan untuk terjadinya
ablasi retina yang berhubungan dengan olahraga tertentu (misalnya, tinju dan
bungee jumping) tetapi olahraga tersebut meningkatkan resiko terjadinya ablasi
retina.
Kejadian ini tidak berubah ketika dikoreksi, meningkat pada pria dengan
trauma okuli.Ablasi retina pada usia kurang dari 45 tahun, 60% laki-laki dan 40%
perempuan.
Ablasi retina biasanya terjadi pada orang berusia 40-70 tahun. Namun,
cedera paintball pada anak-anak dan remaja merupakan penyebab umum dari
cedera mata, yang termasuk ablasi retina traumatik.

PATOFISIOLOGI
Ablasi retina regmatogenosa

Ablasi regmatogenosa.

Pada ablasi retina regmatogenosa dimana ablasi terjadi akibat adanya robekan
pada retina sehingga cairan masuk ke belakang antara pigmen epitel dengan
retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca cair (fluid vitreus) yang masuk
melalui robekan atau lubang lubang pada retina ke rongga subretina sehingga
mengapungkan retina dan terlepas dari lapis peitel pigmen koroid.

19
Ablasi terjadi pada mata yang mempunyai faktor predisposiss untuk terjadi
ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pencetus untuk terjadinya ablasi
retina pada yang berbakat.
Faktor predisposisi terjadinya ablasi retina regmantosa antara lain:
1. Usia. Kondisi ini paling sering terjadi pada umur 40 60 tahun. Namun,
usia tidak menjamin secara pasti karena masih banyak faktor yang
mempengaruhi
2. Jenis kelamin. Keadaan ini paling sering terjadi pada laki laki dengan
perbandingan laki : perempuan adalah 3 : 2.
3. Miopia. Sekitar 40 persen kasus ablasi retina regmatogenosa adalah
seseorang yang menderita rabun jauh.
4. Afakia. Keadaan ini lebih sering terjadi pada orang yang afakia daripada
yang fakia.
5. Trauma. Mungkin juga bertindak sebagai faktor predisposisi
6. Senile posterior vitreous detachment (PVD). Hal ini terkait dengan ablasi
retina dalam banyak kasus.
7. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer seperti Lattice
degeneration, Snail track degeneration, White-with-pressure and white-
without or occult pressure, acquired retinoschisis

Mata yang berbakat untuk terjadinya ablasi retina adalah mata dengan miopia
tinggi, pasca retinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian
perifer, 50% ablasi yang timbul pada afakia terjadi pada tahun pertama.
Ablasi retina regmatogen sering didahului adanya posterior Vitreous
Detachment (PVD), yaitu adanya pelepasan jaringan vitreus posterior dari
membran limitans interna. Usia lanjut akan menyebabkan kadar asam
hialuronidase dalam vitreus menurun sehingga topangan anyaman kolagen
berkurang, kolagen kolaps, vitreous posterior lepas. Vitreous akan mengkerut di
dalam rongga, vitreous akan bergerak-gerak sehingga menimbulkan traksi
vitreoretinal pada bagian yang masih melekat dengan retina. Traksi ini akhirnya
dapatmenimbulkan robekan retina. Lokasi robekan biasanya di depan ekuator,

20
karena dibelakang ekuator lapisan retina lebih tebal serta diperkuat adanya
pembuluh darah retina.
Pada ablasi retina yang berlokalisasi di daerah supratemporal sangat
berbahaya karena dapat mengangkat makula. Penglihatan akan turun secara akut
pada ablasi retina bila dilepasnya retina mengenai makula lutea.

Ablasi retina tipe regmatogenosa, arah panah menunjukkan horseshoe tear

Ablasi retina eksudatif


Ablasi retina eksudatif terjadi akibat adanya penimbunan cairan eksudat di
bawah retina (subretina) dan mengangkat retina hingga terlepas. Penimbunan
cairan subretina terjadi akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh retina dan koroid.
Penyebab ablasi retina eksudatif yaitu penyakit sistemik yang meliputi Toksemia
gravidarum, hipertensi renalis, poliartritis nodos dan karena penyakit mata yang
meliputi inflamasi (skleritis posterior, selulitis orbita), penyakit vaskular (central
serous retinophaty, and exudative retinophaty of coats), neoplasma (melanoma
maligna pada koroid dan retinoblastoma), perforasi bola mata pada operasi
intraokuler.
Ablasi retina eksudatif dapat dibedakan dengan ablasi retina
regmatogenosa dengan:3
a. Tidak adanya photopsia, lubang/sobekan, lipatan dan undulasi
b. Ablasi retina eksudatif halus dan konveks. Bagian atasnya biasa bulat dan
bisa menunjukkan gangguan pigmentari

21
c. Kadang-kadang, pola pembuluh darah retina mungkin terganggu akibat
adanya neovaskularisasi.
d. Pergeseran cairan ditandai dengan perubahan posisi daerah terpisah karena
pengaruh gravitasi merupakan ciri khas yang dari ablasi retina eksudatif.
e. Pada tes transilluminasi, ablasi retina regmatogenosa nampak transparan
sedangkan ablasi retina eksudatif lebih opak.

Ablasi retina eksudatif


Ablasi retina tarikan atau traksi
Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikan jaringan parut
pada badan kaca yang akan mengalami ablasi retina dan penglihatan turun tanpa
rasa sakit. Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan
diabetes militus proliferatif, trauma, dan pendarah badan kaca akibat bedah atau
infeksi.
Berbeda dengan penampakan konveks pada ablasi retina regmatogenosa,
ablasi retina akibat traksi yang khas memiliki permukaan yang lebih konkaf dan
cenderung lebih lokal, biasanya tidak meluas ke ora serata. Gaya-gaya traksi yang
secara aktif menarik retina sensorik menjauhi epitel pigmen di bawahnya
disebabkan oleh adanya membran vitreosa, epiretina, atau subretina yang terdiri
dari fibroblas dan sel glia atau sel pigmen retina. Pada ablasi retina akibat traksi
pada diabetes, kontraksi korpus vitreum menarik jaringan fibrovaskuler dan retina
dibawahnya ke arah anterior menuju dasar korpus vitreum. Pada awalnya
pelepasan mungkin terbatas di sepanjang arkade-arkade vaskuler, tetapi dapat

22
terjadi perkembangan sehingga kelainan melibatkan retina midperifer dan makula.
Vitroretinopati proliferatif adalah penyulit ablasi retina regmatogenosa dan
merupakan penyebab tersering kegagalan tindakan perbaikan bedah pada mata-
mata tersebut.

Ablasi retina traksi

Proses patologik dasar pada mata yang mengalami vitroretinopati


proliferatif adalah pertumbuhan dan kontraksi membran seluler di kedua sisi
retina dan di permukaan korpus vitreum posterior. Traksi fokal dari membran
seluler dapat menyebabkan robekan retina dan menimbulkan kombinasi ablasi
retina regmatogenosa traksional.

GEJALA
Ablasi retina dapat disahului dengan gejala ablasi vitreous perifer,
termasuk floater dan fotopsis (cahaya berkilat). Dengan onset ablasi retina itu
sendiri pasien menyadari perkembangan progresif defek lapangan pandang, yang
serin dideskripsikan sebagai bayangan atau tirai. Progresi dapat cepat bila
terdapat ablasi superior. Jika makula terlepas maka terjadi penurunan tajam
penglihatan bermakna.

DIAGNOSIS
a. Anamnesis

23
Gejala umum pada ablasi retina yang sering dikeluhkan penderita adalah:
- Floaters (terlihatnya benda melayang laying) yang terjadi karena adanya
kekeruhan di vitreus oleh adanya darah, pigmen retina yang lepas atau
degenerasi vitreous.
- Fotopsi (kilatan cahaya), tanpa adanya sumber cahaya di sekitarnya, yang
umumnya terjadi sewaktu mata digerakkan dalam keremangan cahaya atau
dalam keadaan gelap.
- Penurunan tajam penglihatan, penderita mengeluh penglihatannya
sebagian seperti tertutup tirai yang semakin lama semakian luas. Pada
keadaan yang telah lanjut, dapat terjadi penurunan tajam penglihatan yang
berat.
Pada ablasi regmatogenosa, pada tahap awal masih relatif terlokalisir,
tetapi jika hal tersebut tidak diperhatikan oleh penderita maka akan
berkembang menjadi lebih berat jika berlangsung sedikit sedikit demi sedikit
menuju ke arah makula. Keadaan ini juga tidak menimbulkan rasa sakit.
Kehilangan penglihatan dapat tiba-tiba terjadi ketika kerusakannya sudah
parah. Pasien biasanya mengeluhkan adanya awan gelap atau tirai di depan
mata.
Selain itu perlu dianamnesa adanya faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya ablasi retina seperti adanya riwayat trauma, riwayat
pembedahan sebelumnya seperti ekstraksi katarak, pengangkatan corpus
alienum intraokuler, riwayat penyakit mata sebelumnya (uveitis, perdarahan
vitreus, ambliopia, glaukoma, dan retinopati diabetik). Riwayat keluarga
dengan sakit mata yang sama serta riwayat penyakit yang berhubungan
dengan ablasi retina (diabetes mellitus, tumor, sickle cell leukimia, eklamsia,
dan prematuritas.

b. Pemeriksaan fisis

Funduskopi:

24
- Memeriksa fondus okuli terutama retina dan papil saraf oprtik, yang
dilihat apakah batasnya tegas, warnanya apakah pucat atau merah, serta
eksavasasinya.

- Pada pemeriksaan ini retina yang mengalami ablasi tampak sebagai


membran abu abu merah muda yang menutupi gambaran vaskuler
koroid. Jika terdapat akumulasi cairan pada ruang subretina, didapatkan
pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Pembuluh darah retina
yang terlepas dari dasarnya berwarna gelap, berkelok kelok dan
membengkok di tepi ablasi. Pada retina yang terjadi ablasi telihat lipatan-
lipatan halus. Satu robekan pada retina terlihat agak merah muda karena
terdapat pembuluh koroid dibawahnya

- Memeriksa adanya kekeruhan pada media penglihatan seperti corpus


vitreus, yang terdiri dari darah (pendarahan vitreus) atau pigmen.

c. Pemeriksaan Penunjang
Electroretinography (ERG) adalah dibawah normal atau tidak ada
Ultrasonography mengkonfirmasikan diagnosis.

PENATALAKSANAAN
1. Drainage cairan subretina.

Drainage cairan subretina (vitrectomy)

Drainage cairan subretina adalah suatu tindakan yang tidak begitu penting
pada operasi retina. Cairan subretina akan diabsorpsi secara spontan apabila
pemasngan bakel sklera akurat dan menutup semua robekan retina. Drainage

25
cairan subretina mempunyai banyak komplikasi, sebaiknya dihindari, kecuali
pada keadaan-keadaan:
ablasi retina bulosa, dimana retina terangkat cukup tinggi sehingga
mempersulit resorpsi cairan.
PVR (Vitroretinopati proliferatif), yaitu adanya membran periretina, retina
menjadi lebih kaku sehingga penempelan terhambat dan robekan tetap
terbuka.
Robekan terjadi di inferior, mungkin karena adanya efek gravitasi,
penempelan retina lebih sulit dan lambat apabila tidak dilakukan drainage.
Mata miopia tinggi, mata afakia, pencairan vitreus (sineresis) akan
mempersulit penempelan tanpa drainage.
Ablasi retina menahun, dimana cairan subretina lebih kental sehingga
resorpsi lebih lama.
Mata dengan resiko bila tekanan intraokuler tinggi (TIO), misal
glukomapasca bedah katarak
Fungsi EPR buruk, misal pada degenerasi senilis, sehingga kemampuan
transport aktif EPR terganggu, resorpsi akan terhambat.
Pengeluaran cairan subretina umumnya dilakukan secara transkleral
melalui suatu skleretomi. Bila kita melaukan vitrektomi, cairan dapat juga
dikeluarkan melalui robekan atau retinotomi.
Lokasi pungsi untuk drainage ditentukan oleh beberapa faktor:
Harus cukup cairan subretina di bawah tempat yang dipilih, tidak perlu
ditempat yang paling banyak cairannya
Pilih tempat pungsi dekat dengan sisi otot rektus, karena daerah ini jauh
dari vena vortikosa dan pembuluh-pembuluh darah besar koroid.
Cairan pungsi: buat sklerotomi radial 3-4 mm didaerah yang dipilih.
Sayatan harus tegak lurus dengan permukaan sklera dan dihentikan setelah
terlihat koroid berwarna gelap bebas dari serat sklera. Kateter sedikit dinding
sklerotomi dan khoroid yang akan ditembus. Tusukan dapat tegak lurus atau
tangensial terhadap khoroid, dengan menggunakan jarum no. 27-30 G atau
dengan jarum spatula benang dacron 4.0 yang dipakai untuk mengikat bakel.

26
Pungsi berhasil apabila terlihat cairan subretina keluar. Untuk mempertahankan
tekanan intraokuler tidak terlalu rendah, bola mata dapat ditekan dengan kapas
lidi. Luka insisi kemudian dijahit degan prolene 6.0 atau sejenis. Dapat
dilakukan jahitan matras atau jahitan tali sepatu dengan 2-3 gigitan insisi yang
dilakukan dibawah bakel, tidak perlu dilakukan penjahitan.

2. Skleral Buckling
Pemasangan buckle dapat dilakukan intraskleral (implant) atau di atas
sklera (eksplant).
A.Tehnik eksplant

Teknik implant
Dengan tehnik eksplant operator dapat dengan tepat dan relatif mudah
menempatkan bahan bakel sklera untuk menangani kelainan patologis retina
tanpa perlu melakukan diseksi sklera. Krioterapi adalah tehnik yang
melengkapi tindakan tehnik eksplant. Kebanyakan ahli bedah retina
sekarang lebih memilih tehnik ini dengan krioterapi yang tidak memerlukan
tindakan diseksi skleral.
Bahan yang digunakan sebagai eksplant adalah silikon
padat,silikon sponge atau bahan biologis. Ada tiga bentukdasar silikon padat
yaitu lurus, tire simetrik dan tire tidak simetrik. Silikon padat ini dapat

27
disertai alur untuk pen. empatan pita sirklase dan tersedia dalam berbagai
ukuran.
Silikon sponge mengandung banyak kantung-kantung udara
sehingga lebih elastis dan lebih mudah ditekan. Daya absorpsinya minimal,
tersedia dalam berbagai ukuran, berbentuk bulat atau lonjong, diameter 3-7
mm yang dapat disertai adanya alur. Fiksasi eksplant pada sklera dapat
dilakukan dengan bantuan jahitan intrasklera benang tidak diserap 5.0 atau
4.0. jahitan dipasang secara matras sejajar poros memanjang dari pita,
jahitan matras dijahit tegak lurus dengan poros memanjang elemen
meredional tersebut. Jahitan intraslera dibuat sedalam sampai
kedalaman sklera sepanjang 3-5 mm.
Umumnya jahitan matras harus paling sedikit 2 mm lebih lebar dari
silikon yang akan ditunjangnya. Jahitan dipasang sebelum drainage cairan
subretina, tetapi baru diikat kuat setelah drainage. Eksplant dapat dipasang
secara segmental atau mengelilingi. Pemasangan segmental dapat secara
radial atau sirkumferential.
Pemasangan bakel sklera segmental lebih mudah/sederhana, perubahan
refraksi minimal. Pemasangan bakel sklera mengelilingi biasanya
dianjurkan pada; 1) robekan retina multiple dikwadran yang berlainan; 2)
afakia; 3) pseudofakia; 4) miopia; 5) keadaan patologis di retina perifer atau
vitreus seperti degenerasi kisi-kisi luas atau degenerasi vitreoretinal, 6)
PVR tingkat B atau lebih buruk. Baik sponge maupun silikon padat
keduanya dapat digunakan sebagai elemen mengeliling. Biasanya lebih
banyak digunakan pada silikon padat karena pada sponge diperlukan jahitan
yang lebih banyak pada setiap kwadran. Pemasangan bakel skleral
meneliling ini tergantung lokasi faktor patologis yang akan ditunjang,
usahakan bagian posterior bakel menunjang bagian paling posterior dari
patologis yang ditunjang.

B. Teknik implant.

28
Teknik ini terdiri dari 3 tahap, yaitu: diseksi sklera, diatermi dan
implantasi bakel. Tujuan diseksi adalah membuat flape sklera, tempat
dimana implan akan ditanamkan. Diseksi sklera dimulai dengan insisi
sejajar limbus pada sisi posterior robekan retina. Kedalaman sayatan cukup
sampai meninggalkan lapisan tipis sklera yang terlihat keabu-abuan
kemudian pada tiap ujung insisi dibuat insisi tegak lurus ke arah anterior
dan posterior. Besarnya flap tergantung ukuran bakel yang akan dipasang.
Dianjurkan untuk membuat diseksi sklera sampai batas 3 mm posterior, 2
mm anterior dan 3-4 mm ke pinggir dari batasan robekan retina. Lakukan
diseksi lamela sklera secara tumpul sampai membentuk suatu flap sklera
dengan flap yang membuka ke anterior dan ke posterior, kemudian lakukan
diatermi pada permukaan sklera tunggal. Setiap titik bakar diatermi
dipasang sampai 3-5 detik, titik bakar di tempatkan berderetan sejajar
limbus dengan jarak antara 2 mm. Hindari saraf dan arteri siliaris posterior
longus dan vena vortikosa.
Setelah diatermi, kita siapkan silikon silikon yang akan ditanam.
Letakkan silikon dan sklera ditutup dengan jahitan matras memakai benang
tidak diserap 4.0, sering dikombinasi dengan pemasangan pita sirklase.

PROGNOSIS
Penatalaksanaan bedah berhasil pada 80% pasien ablasi retina. Hasil akhir
perbaikan pada penglihatan tergantung dari beberapa factor, misalnya keterlibatan
macula. Dalam keadaan di mana ablasi telah melibatkan makula, ketajaman
penglihatan jarang kembali normal. Lubang, robekan, atau tarikan baru mungkin
terjadi dan menyebabkan ablasi retina yang baru. Suatu penelitian telah
melaporkan bahkan setelah pemberian terapi preventif pada robekan retina, 5% -
9% pasien dapat mengalami robekan baru pada retina.
Jika makula melekat dan pembedahan berhasil melekatkan kembali retina
perifer, maka hasil penglihatan sangat baik. Jika makula terlepas lebih dari 24 jam
sebelum pembedahan, maka tajam penglihatan sebelumnya mungkin tidak dapat
pulih sepenuhnya. Namun, bagian penglihatan dapat kembali pulih dalam

29
beberapa bulan. Jika retina tidak berhasil dilekatkan kembali dan pembedahan
mengalami komplikasi, maka dapat timbul perubahan fibrotik pada vitreous
(vitreoretinopati proliferatif, PVR). PVR dapat menyebabkan traksi pada retina
dan ablasi lebih lanjut. Prosedur vitreoretina yang rumit dapat mempertahankan
penglihatan namun dengan hasil penglihatan lebih buruk

KOMPLIKASI
Sebuah ablasi retina menarik reseptor cahaya dari belakang mata,
menghilangkan jalur bagi retina untuk mengirimkan informasi. Akibatnya, orang
dengan ablasi akan merasa bahwa ada yang hilang, meskipun sisanya akan terlihat
normal. Jika tidak diobati, lama kelamaan akan mengakibatkan kebutaan
permanen.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton Arthur C, M.D, Hall John E, Ph.D. Reseptor dan Fungsi Neural
Retina. Dalam: Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 1997. Hal.796-8
2. Lang, Gerhard K. Retinal Detachment. Ophthalmology : A Pocket
Textbook Atlas. New York: Thieme. 2007. Hal.339-344.
3. Schlote, T, dkk. Retina and Vitreous Body; Retinal Detachment dalam
Pocket Atlas Of Ophtalmology. Thieme: NewYork. 2006. Hal. 172-7
4. Khurana, A.K. Disease Of The Retina; Retinal Detachment dalam
Comprehensive Ophtalmology 4th edition. New Age International: New
Delhi. 2007. Hal. 275-9.
5. Sehu, K.W. Weng, W.R. Retina: Vascular Disease, Degeneratives, and
Dystrophy; Retinal Detachment dalam Ophtalmic Pathology-An Ilustrated
Guide For Clinicians. Blackwell Publishing: UK. 2006. Hal. 234-41
6. Kanski, Jack. J. Bowling, Brad. Retinal Detachment dalam Clinical
Ophtalmology: A System Approach 7th edition . Elseiver: UK. 2011.
7. Riordan, Paul. Withcher, John. P. Retina: Ablasio Retina dan Penyakit
Degenerati Retina Terkait dalam Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum
Edisi 17. EGC: Jakarta. 2010. Hal 196-8

31

Anda mungkin juga menyukai