Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Abses leher dalam terbagi menjadi abses peritonsil, abses retrofaring,
abses parafaring, abses submandibula, dan angina Ludovici.1
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia
leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher.3 Gejala dan
tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam
yang terlibat.1
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa
akibat komplikasi yang serius seperti obstruksi jalan nafas, kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna.
Lokasinya terletak di dasar mulut dan dapat menjadi ancaman yang sangat
serius. 2,3
Kuman penyebab abses leher dalam biasanya terdiri dari campuran
kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.4 Asmar dikutip Murray
dkk, mendapatkan kultur dari abses retrofaring 90% mengandung kuman
aerob dan 50% pasien ditemukan kuman anaerob.4
Namun, infeksi kepala dan leher yang mengancam jiwa ini sudah jarang
terjadi sejak diperkenalkannya antibiotik dan angka kematiannya menjadi
lebih rendah selain adanya peran dalam higiene mulut yang meningkat..5
Disamping drainase abses yang optimal, pemberian antibiotik diperlukan
untuk terapi yang adekuat. Untuk mendapatkan antibiotik yang efektif
terhadap pasien, diperlukan pemeriksaan kultur kuman dan uji kepekaan
antibiotik terhadap kuman. Namun, hal tersebut memerlukan waktu yang
cukup lama sehingga diperlukan pemberian antibiotik empiris. 4
Oleh karena daerah potensial leher dalam merupakan daerah yang sangat
komplek, maka pengetahuan anatomi fasia dan ruang ruang potensial leher
secara baik serta penyebab abses leher dalam mutlak diperlukan untuk dapat
memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan penatalaksanaan yang
adekuat.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Leher


Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh
fasia servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan
fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan
meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia
servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di
bagian mandibula.6,7

Gambar 1. Potongan aksial leher setinggi orofaring


Fasia superfisial terletak di bawah dermis. Ini termasuk sistem
muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila
dan dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda
mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 6
Lapisan superfisial
Lapisan tengah
Lapisan dalam

Gambar 2. Potongan oblik leher


Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan
daerah sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.

Gambar 3. Potongan sagital leher


a. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari :
Ruang retrofaring
Danger space
Ruang prevertebra
b. Ruang suprahioid terdiri dari :
4

Ruang submandibula
Ruang parafaring
Ruang parotis
Ruang mastikor
Ruang peritonsil
Ruang temporalis
c. Ruang infrahioid terdiri dari :
Ruang pretrakeal
2.2. Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya pus di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber
infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.8
2.3. Etiologi dan Patogenesis
Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal
dalam tubuh. Flora normal dalam tubuh dan mencapai daerah steril dari tubuh
baik secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi.
Berdasarkan kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu maka
kuman dari abses yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya.
Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman,
baik kuman aerob, anaerob maupun fakultatif anaerob.4
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif dengan perbandingan mulai
10:1 sampai 10000:1. Bakteri dari daerah gigi, oro-fasial dan abses leher,
kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu Prevotella,
Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri
aerob dan fakultatif

adalah Streptococcus pyogenic dan

Stapylococcus

aureus.4
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal.
Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah
sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan
penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual,
sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga
infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.4

Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu


hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.4
Tabel 1. Sumber infeksi penyebab abses leher dalam
Penyebab

Jumlah

Gigi

77

43

Penyalahgunaan obat suntik

21

12

Faringotonsilitis

12

6,7

Fraktur mandibula

10

5,6

Infeksi kulit

5,1

Tuberculosis

5,1

Benda asing

3,9

Peritonsil abses

3,4

Trauma

3,4

Sialolitiasis

2,8

Parotis

1,7

Lain-lain

10

5,6

Tidak diketahui

35

2.4. Klasifikasi
a. Abses Peritonsil (Quinsy)
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang
terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil.7

Gambar 4. Abses Peritonsil


Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas
tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis,

dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1,7


Patologi
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan
ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial
peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
mole membengkak.1
Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan
tampak permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi
supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak. Pembengkakan
peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral.1
Bila terus berlangsung proses tersebut, peradangan jaringan di
sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna
sehingga timbul trismus. Dan bila abses pecah spontan, mungkin dapat

terjadi aspirasi ke paru.


Gambaran klinik
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, juga terdapat odinofagia
(nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama mengalami
nyeri telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga tersebut karena nyeri alih
melalui saraf n.glossopharyngeus (n.ix). Selain itu, mungkin terdapat
muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), hipersalivasi, suara
gumam (hot potato voice) dan kadang kadang sukar membuka mulut

(trismus) serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri

tekan.1,6
Pemeriksaan
Oleh karena gejala tismus, kadang kadang sukar memeriksa
seluruh faring. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke
depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan

terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.1


Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin
atau klindamisin dan obat simtomatik. Selain itu, juga perlu kumur
kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher.1
Bila telah terjadi abses, maka dilakukan pungsi pada daerah
abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Lokasi insisi
adalah daerah yang paling menonjol dan lunak atau pada pertengahan
garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir
pada sisi yang sakit.1

Gambar 5. Aspirasi abses peritonsil


Pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi, yang pada
umumnya dilakukan sesudah infeksi tenang, 2 3 minggu setelah
drenase abses. 1 Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang
yang menderita abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada
ruang

jaringan

sekitarnya

dan

abses

peritonsil

mempunyai

kecenderungan besar untuk kambuh.


8

Bila dilakukan bersama dengan tindakan drenase abses disebut


tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drenase abses disebut tonsilektomi a tiede. Bila tonsilektomi 4-6

minggu setelah drenase abses disebut tonsilektomi afroid.1


Komplikasi
Jika abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan,
aspirasi paru atau piema. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah
parafaring menyebabkan terjadi abses parafaring dan penjalaran
selanjutnya ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis. Bila terjadi
penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis dan abses otak.1

b. Abses Retrofaring
Abses retrofaring biasanya ditemukan pada anak usia di bawah 5
tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih
berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri.
Kelenjar tersebut menampung aliran limfa dari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Kelenjar tersebut
akan mengalami atrofi ketika usia di atas 6 tahun.1
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan abses retrofaring :1
a) Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis
retrofaring
b) Trauma dinding belakang faring oleh benda asing, seperti

tulang ikan atau tindakan medis.


Gambaran klinik
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan
(disfagia) di samping juga gejala-gejala lain berupa demam,
pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak nafas timbul jika
abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di
hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor.
Selain itu, sumbatan dapat mengganggu resonansi suara sehingga
terjadi perubahan suara.1
Pada dinding belakang faring tampak benjolan biasanya

unilateral. Mukosa terlihat bengkak dan hiperemis.1


Diagnosis dan diagnosis banding
9

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi


saluran nafas atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta
pemeriksaan rontgen jaringan lunak leher lateral. Pada hasil rontgen
tersebut akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari 7 mm
pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm
pada anak dan lebih dari 22 mm pada dewasa serta dapat juga terlihat

berkurangnya lordosis vertebra servikal.1


Diagnosis banding abses retrofaring :1
Adenoiditis
Tumor
Aneurisma aorta
Terapi
Terapi abses retrofaring diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk
kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Selain itu,
dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskopi langsung
dalam posisi pasien baring trendelnburg. Pus yang keluar dihisap, agar
tidak terjadi aspirasi. Tindakan tersebut dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi mereda.1

Gambar 6. Insisi abses retrofaring

Komplikasi
Kompilkasi yang mungkin terjadi antara lain :1
a) Penjalaran ke ruang parafaring, ruang vaskuler visera
b) Mediastinitis
c) Obstruksi jalan napas hingga asfiksia
d) Jika abses pecah spontan dapat menyebabkan pneumonia
aspirasi dan abses paru.

c. Abses Parafaring
Etiologi
Infeksi pada parafaring dapat terjadi dengan cara :1
10

i.

Langsung, akibat tusukan jarum pada saat melakukan


tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena
kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa

ii.

tonsilaris akibat ujung jarum yang terkontaminasi.


Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi,
tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan
vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk

iii.

terjadinya abses parafaring.


Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau

submandibula.
Gambaran klinik
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding

lateral faring sehingga menonjol ke arah medial.1


Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan
tanda klinik. Bila ragu, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

berupa rontgen jaringan lunak AP atau CT scan.1


Komplikasi
Penjalaran proses peradangan dapat terjadi secara hematogen,
limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya.
Penjalaran ke atas mengakibatkan peradangan intrakranial dan ke
bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediatinum.1
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh
darah. bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, kemudian ruptur
sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau

endoflebitis, maka dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.1


Terapi
Terapi abses parafaring dapat diberikan antibiotika dosis tinggi
secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Evakuasi abses
harus dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 2448 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis.1
Evakuasi dilakukan dengan cara insisi dari luar dan intra oral.
Insisi dari luar dilakukan 21/2 jari di bawah dan sejajar mandibula.
Secara tumpul eksplorasi dari batas anterior m.sternokleidomastoideus
11

ke arah belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid


interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid.
Bila pus terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal
dari

pertengahan

insisi

horizontal

ke

bawah

di

depan

m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).1

Gambar 7. Insisi abses parafaring


Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan
memakai klem arteri eksplorasi dilakukan menembus ,.konstriktor
faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intra oral ini
dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal.1
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi mereda.1
d. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang
submaksila. Ruang ruang tersebut dipisahkan oleh otot milohioid.1
Ruang submaksila dibagi atas ruang submental dan ruang submaksila
lateral oleh otot digastrikus anterior.1
Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.1
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar
saliva atau kelenjar limfa submandibula, dan mungkin sebagai
kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan

anaerob.1
Gambaran klinik
12

Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengakakan di


bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi.

Trismus sering ditemukan.1


Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob
harus diberikan secara parenteral.1 Dan evakuasi abses dapat
dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan
terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan
luas.1
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi
os.hioid, tergantung letak dan luas abses.1
Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi
mereda.1

e. Angina Ludovici (Angina Ludwig)


Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula,
tidak membentuk abses sehingga keras pada perabaan submandibula.1

Gambar 8. Angina Ludovici

Etiologi
Sumber infeksi tersering berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh
kuman aerob dan anaerob.1
Gambaran klinik
Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan
daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada
perabaan.1

13

Dasar mulut membengkak, dapat mendorong lidah ke atas

belakang sehingga menimbulkan sesak napas.1


Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi,
mengorek atau cabut gigi, gejala dan tanda klinik.1
Pada pseudo angina ludovici dapat terjadi fluktuasi.1
Terapi
Terapi antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan
anaerob diberikan secara parenteral. Selain itu, dilakukan eksplorasi
dengan tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus
(pada angina ludovici jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis.1
Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os
hioid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan
sumber infeksi (gigi) untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat

inap sampai infeksi mereda.1


Komplikasi1
Sumbatan jalan napas
Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum
Sepsis

2.5. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada abses leher dalam, di antaranya :
1) Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak
pada daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di
subkutan, air fluid levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan
lunak pada prevertebre setinggi servikal II (C2), lebih 7mm, dan setinggi
servikal VI yang

lebih 14mm pada anak, lebih 22mm pada dewasa

dicurigai sebagai suatu abses retrofaring.4,6,8


2) Rontgen panoramik
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari
gigi.6
3) Rontgen toraks
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari
abses.6
4) Tomografi komputer (TK/ CT scan)

14

Tomografi komputer dengan kontras merupakan pemeriksaan baku


emas pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo dkk, seperti
dikutip Murray AD dkk, bahwa dengan hanya pemeriksaan klinis tanpa
tomografi komputer mengakibatkan estimasi terhadap

luasnya abses

yang terlalu rendah pada 70% pasien. TK memberikan gambaran abses


berupa lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas,
kadang ada air fluid levels. Kirse dan Robenson, mendapatkan ada
hubungan antara ketidakteraturan dinding abses dengan adanya pus pada
rongga tersebut. Pemeriksaan TK toraks diperlukan jika dicurigai adanya
perluasan abses ke mediastinum.4,6
5) Pemeriksaan bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam atau tertutup
harus meliputi biakan metoda anaerob. Setelah desinfeksi kulit, pus dapat
diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan insisi.
Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal
yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Aspirasi
dilakukan dari daerah yang sehat dan dilakukan lebih dalam.4
2.6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik.4
Menurut Poe dkk penatalaksanaan abses leher dalam meliputi operasi
untuk evakuasi dan drainase

abses, identifikasi kuman penyebab dan

pemberian antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat


perbaikan.4
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih
lama.4
Pemberian antibiotik berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan
antibiotik terhadap kuman penyebab infeksi. Biakan kuman membutuhkan
15

waktu yang lama untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pengobatan harus


segera diberikan. Sebelum hasil kultur kuman dan uji sensitifitas keluar,
diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob secara empiris. Yang SW, dkk
melaporkan pemberian antibiotik kombinasi pada abses leher dalam, yaitu;
Kombinasi penesilin G, klindamisin dan gentamisin, kombinasi ceftriaxone
dan klindamisin, kombinasi ceftriaxone dan metronidazole, kombinasi
cefuroxime dan klindamisin, kombinasi pinisilin dan metronidazole, masingmasing didapatkan angka perlindungan (keberhasilan) 67,4%, 76,4%, 70,8%,
61,9%. Avest ET, dkk, memberikan antibiotik empiris, kombinasi
metronidazole dengan ceftriaxone.4
Penisilin G merupakan obat terpilih untuk infeksi kuman streptokokus
dan stafilokokus yang tidak menghasilkan enzim penecilinase. Gentamisin
menunjukkan efek sinergis dengan pinisilin. Klindamisin efektif terhadap
streptokokus, pneumokokus dan stafilokokus yang resisten terhadap penisilin.
Lebih khusus pemakaian klindamisin pada infeksi polimicrobial termasuk
Bacteroides sp maupun kuman anaerob lainnya pada daerah oral.4
Berbagai kombinasi pemberian antibiotik secara empiris sebelum
didapatkan hasil kepekaan terhadap kuman penyebab, dianjurkan berbagai
ahli seperti terlihat pada (tabel 6).4
Tabel 6. Antibiotik yang dianjurkan beberapa penulis secara empiris.
Penulis
Sakaguchi dkk (97)

Antibiotik
Penisilin & Klindamisin

Umur
D

Parhischar, Har-El

Penisilin G & Oxacillin

A&D

(01)

atau Nafcilin
Penisilin, lactamase

Gates (83)

resistant drug
PenisilinG, Klindamisin,

Chen dkk (98)

DTV
D

Gentamisin
Cefotaxime,

Plaza, Mayor (01)

Metronidazole

Simo dkk (98)

Flucloxacine,

A&D

Nagy dkk

Metronidazole
16

(97)

Ceftriaxone ,

Mc Clay dkk (03)

Klindamisin

A&D

Sichel dkk (02)


Brondbo dkk (83)

A
Cefuroxime, Klindamisin
Amoksillin-Asam
klavulanik
Penesilin G,

Metronidazole
A=Anak, D=Dewasa DTV=Data tidak valid
Pada kultur didapatkan kuman anaerob, maka antibiotik metronidazole,
klindamisin, carbapenem, sefoxitin, atau kombinasi penisilin dan -lactam
inhibitor merupakan obat terpilih.4
Metronidazole juga efektif sebagai amubisid. Aminoglikosida, quinolone
atau cefalosforin generasi ke III dapat ditambahkan jika terdapat kuman
enterik gram negatif. Cefalosporin generasi III mempunyai efektifitas yang
lebih baik terhadap gram negatif enterik. Dibanding dengan cefalosporin
generasi I, generasi III kurang efektif terhadap kokus gram positif, tapi
sangat efektif terhadap Haemofillus infeluenza, Neisseria sp

dan

Pneumokokus. Ceftriaxone dan cefotaxime mempunyai efektifitas terhadap


streptokokus. Ceftriaxone sangat efektif terhadap gram negatif dan
Haemofillus sp, kebanyakan Streptococcus pneumonia dan Neisseriae sp
yang resisiten terhadap penisilin.4

17

BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Abses leher dalam merupakan terkumpulnya pus di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan
leher.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Bakteri
dari daerah gigi, oro-fasial dan abses leher, kuman yang paling dominan
adalah kuman anaerob yaitu Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp,
dan Peptostreptococcus spp.

Bakteri aerob dan fakultatif

adalah

Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus.


Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi
tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Abses leher dalam terdiri dari abses peritonsil, abses parafaring, abses
submandibula, abses retrofaring dan angina ludovici yang dapat di diagnosa
berdasarkan anamnesa pasien yaitu dari gejala yang dirasakan, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan abses leher dalam adalah dengan evakuasi abses baik
dilakukan dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum. Antibiotik
dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan secara
parenteral. Hal ini akan mengurangi komplikasi dan mempercepat perbaikan.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. 2012. Abses Leher Dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung dan Tenggorok. Edisi Ketujuh. Jakarta. Balai Penerbit FK UI.
2. Andrina YMR. Abses Retrofaring. 2003. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan Universitas Sumatera Utara. Diunduh
dari : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3464/1/tht-andrina2.pdf
pada tanggal 19 Agustus 2014
3. Baba Y, Kato Y, Saito H, Ogawa K. 2009. Management of deep neck infection
by transnasal approach: a case report. Journal of Medical Case Report,
3:7317. Diunduh dari www.jmedicalcasereports.com pada tanggal 19 Agustus
2014
4. Pulungan, M.Rusli. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Diunduh dari
http://repository.unand.ac.id/18384/1/Pola%20Kuman%20Abses%20Leher
%20Dalam.pdf pada tanggal 19 Agustus 2014
5. Schreiner C, Quinn FB. 1998. Deep Neck Abscesses and Life Threatening
Infections of The Head and Neck. Dept of Otolaryngology UTMB. Diunduh
dari : www.otohns.net pada tanggal 19 Agustus 2014
6. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep Neck Infections. [diperbaharui
Juli

2009].

Diunduh

dari

www.eMedicine_Specialities//Otolaringology_and_facial_plastic_surgery.co
m pada tanggal 19 Agustus 2014
7. Edinger JT, Hilal EY, Dastur KJ.2007. Bilateral Peritonsillar Abscesses: A
Challenging Diagnosis Ear, Nose, & Throat Journal. 86(3):162-3 Diunduh
dari www.entjournal.com pada tanggal 19 Agustus 2014
8. Gadre AK, Gadre KC. 2006. Infection of the deep space of the neck.
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi keempat. Philadelphia : JB.
Lippincott Company

19

Anda mungkin juga menyukai