Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

BELLS PALSY
Disusun untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
di RSUD Tidar Kota Magelang

Diajukan kepada :
dr. Ardiansyah, Sp. S
Disusun oleh :
WANDI
2009.031.0202
BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

ANAMNESIS
I. IDENTITAS
Nama
: Tn.A
Umur
: 42 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
Status
: Menikah
II.
KELUHAN UTAMA
Mulut mencong ke sebelah kanan
III.
KELUHAN TAMBAHAN
Keluar air mata terus-menerus, kelopak mata kiri tidak dapat menutup, wajah sebelah kiri
IV.

terasa tebal, pengecapan berkurang.


RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke poli syaraf RSU Tidar Magelang dengan keluhan sekitar 5 hari SMRS
saat penderita bangun tidur tiba - tiba wajah bagian kiri lemah sehingga menjadi perot.
Mata kiri keluar air mata terus sejak 3 hari yang lalu. Mata kiri terasa sakit, menurut
pasien karena sering dikucek, tidak kelilipan. Pasien juga merasa agak pusing. Seminggu
ini kalau makan biasa tapi tidak bisa masuk, karena banyak yang keluar dari mulut yang
sebelah kiri. pasien juga mengataan bahwa mempunyai kebiasaan tidur dibawah dan
tidur memakai kipas angin langsung menghadap ke pasien. kadang-kadang juga nyeri
dibelakang telinga sampai ke dagu, tetapi telinga tidak berdenging.

V.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat trauma
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat penyakit DM
: disangkal

VI.

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat penyakit DM
: disangkal

PEMERIKSAAN YANG DILAKUKAN


I.

STATUS
1. Kesan Umum

Kesadaran
GCS
Tekanan darah
Nadi
Pernafasan

: Compos mentis
: 15 E4M6V5
: 140/80 mmHg
: 80x/menit
: 20x/menit

2. Status neurologis
a. N.I ( OLFAKTORIUS)

Subjektif
Dengan bahan

: anosmia (-)
: tidak dilakukan

b. N II ( OPTIKUS)

tajam penglihatan : tidak dilakukan

lapang penglihatan : normal

melihat warna

: normal

funduskopi

: tidak dilakukan

c. N III ( OKULOMOTORIUS ), N IV (TROKLEARIS ), N VI (ABDUCENS )

Pergerakan bulbus
Nistagmus
Eksoftalmus
Strabismus
Pupil
Refleks terhadap sinar
Refleks konvergensi
Melihat kembar
d. N V ( TRIGEMINUS )

Dx
N
bulat,isokor, 3mm
+
+
-

Sx
N
bulat,isokor, 3mm
+
+
-

Sensibilitas taktil dan nyeri muka

: normal, simetris

Membuka mulut

: bisa, simetris

Mengunyah

: bisa, simetris

Menggigit

: bisa, simetris

Refleks kornea

: +/+

e. N VII (FACIALIS)
Dx
+
+
+

Sx
+menurun
+menurun
+menurun

+
+
tidak dilakukan

+menurun
tidak dilakukan

Mengerutkan dahi
Menutup mata
Menahan rangsang
membuka mata
Menyeringai
Mencucu/bersiul
Pengecapan lidah 2/3

f. N VIII (VESTIBULOCOCHLEARIS)
JENTIK JARI
TES WEBER
TES RINNE

Dx
+
tidak dilakukan
tidak dilakukan

g. N IX (GLOSSOPHARINGEUS)
Pengecapan 1/3 posterior lidah : tidak dilakukan
Arkus faring
Sengau

: normal, simetris
: (-)

h. N X ( VAGUS )
Arkus faring

: simetris

Berbicara

: sengau (-)

Menelan

: normal

Nadi

: 86 x/menit

Sx
+
tidak dilakukan
tidak dilakukan

i. N XI (ACCESORIUS )
Mengangkat bahu

: +/+

Memalingkan kepala

: simetris

j. N XII ( HYPLOGOSSUS )
Pergerakan lidah : normal

a.

Tremor lidah

: (-)

Artikulasi

: normal

Lidah

: simetris

Badan dan Anggota Gerak


1. BADAN
MOTORIK
Respirasi
Duduk

: normal
: normal

SENSIBILITAS
Taktil

: +/+

Nyeri

: +/+

Thermi

: tidak dilakukan

Diskriminasi 2 titik

: +/+

2. ANGGOTA GERAK ATAS


MOTORIK
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Trofi
Klonus

Dx
B
(5)
Normotonus
Eutrofi
-

Sx
B
(5)
normotonus
Eutrofi
-

Dx
Dbn
Dbn

Sx
Dbn
Dbn

SENSIBILITAS
Taktil
Nyeri

Thermi
Diskriminasi 2 titik

tidak dilakukan
Dbn

tidak dilakukan
Dbn

Dx
N
N
-

Sx
N
N
-

REFLEK
Biceps
Triceps
Hoffman
Trommer

3. ANGGOTA GERAK BAWAH


MOTORIK
Motorik
Pergerakan
Kekuatan
Tonus
Klonus
Trofi

Dx
B
(5)
Normotonus
Eutrofi

Sx
B
(5)
Normotonus
Eutrofi

SENSIBILITAS
Taktil
Nyeri
Thermi
Diskriminasi 2 titik

Dx
Dbn
Dbn
tidak dilakukan
Dbn

Sx
Dbn
Dbn
tidak dilakukan
Dbn

Dx
N
N
-

Sx
N
N
-

REFLEK
Patella
Achilles
Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Gonda

Bing
Rossolimo
Mendel-Bechtrew

II.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

Pemeriksaan Laboratorium Darah


Hemoglobin

: 11,9

g%

Leukosit

: 10300

/ul

LED 1 jam

: 16 mm/j

LED 2 jam

: 35 mm/j

Hematokrit

: 36

/ul

Trombosit

: 405000

/ul

Hitung jenis Leukosit

III.

N segmen

: 75

Limposit

: 23

Monosit

:2

Kalsium

: 9,83 mmol/L

Kalium

: 3,14 mmol/L

(3,6-5,5)

Natrium

: 145,9 mmol/L

(135-155)

Clorida

: 108,9 mmol/L

(75-108)

Mg

: 1,5

mmol/L

RESUME
Anamnesis dilakukan secara allo dan autoanamnesis di poli penyakit syaraf RSUD
Tidar Magelang
Pasien mengeluh perot pada wajah sebelah kiri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan pada n. VII sinistra perifer yaitu kerutan
dahi yang tidak simetris, kelopak mata kiri menutup dengan sela mata 3 mm, senyum
yang tidak simetris, dan pada saat bersiul tidak simetris.

SKALA EUGO FISCH


Dinilai kondisi simetris atau asimetris antar sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi :
Posisi
Istirahat
Mengerutkan Dahi
Menutup mata
Tersenyum
Bersiul

Nilai
20
10
30
30
10

Presentase (%)
70
30
70
0
70
Total

Skor
14
3
21
0
7
45

Penilaian Presentase:
0%
30%

: asimetris kompit, tidak ada gerakan volunter


: simetris, jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke simetris komplit
daripada simetris normal
: simetris, cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal
: simetris, normal/ komplit

70%
100%

Hasil Penilaian

IV.

100

: Normal

70-99

: Baik

30-69

: Sedang

< 30

: Buruk

ASSESMENT
a. D/ Klinis

: Paresis n.VII sinistra perifer

D/ Topis

: n. VII sinistra

D/ Etiologis

: Idiopatik

Diagnosa lain : Stroke


V.

PLANNING
a. Bells Palsy
Medikamentosa
o NSAID (methyl-prednisolon) 16 mg 2x1
o Mecobalamin 500 mcg 3x1
o Neurotropik (vit B1, B6, B12) 2x1

Non medikamentosa
o Konsul ke ahli RM untuk fisioterapi dan menjalankannya secara rutin (Infra
red dan Massage)
o Latihan otot wajah
Monitor
o Perbaikan gejala dan tanda
Edukasi
o

menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya

dianjurkan untuk banyak istirahat dan minum obat teratur

kontrol ke dokter secara rutin

menghindari faktor resiko (penggunaan kipas angin yang langsung mengenai


wajah, memakai helm ketika berkendara)

Progosa
Ad sanam

: dubia ad bonam

Ad vital

: dubia ad bonam

Ad fungsional

: dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

BELLS PALSY
PENDAHULUAN
Bells palsy merupakan suatu sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral di luar sistem
saraf pusat, idiopatik, akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi
lainnya atau kelainan lokal. Insidensi sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun
dan meningkat sesuai pertambahan umur. Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita
hamil. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.
Berbagai teori mencoba menerangkan abnormalitas yang terjadi, salah satunya adalah
keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1. Kontroversi dalam tata laksana masih diperdebatkan,
walaupun hampir sebagian besar kasus (85%) sembuh sempurna dalam 1-2 bulan dan rekurensi
terjadi pada 8% kasus. Dokter di pelayanan primer diharapkan dapat menegakkan diagnosis
Bells palsy serta mengobati dengan tepat tanpa melupakan diagnosis banding yang mungkin
didapatkan. Sir Charles Bell (1774-1842) dikutip dari Singhi dan Cawthorne adalah orang
pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang
distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap
kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya.
Anatomi
Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen motorik yang
mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi, komponen sensorik kecil (nervus
intermedius Wrisberg) yang menerima sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom
yang merupakan cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf fasialis
keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus internus. Saraf selanjutnya
berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan
cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal
dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf
fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm. Saraf
fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf
motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius
(Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan

serabut parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf
fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu :
1. Segmen supranuklear
2. Segmen batang otak
3. Segmen meatal
4. Segmen labirin
5. Segmen timpani
6. Segmen mastoid
7. Segmen ekstra temporal
(sumber: Ropper, Allan H. Robert H Brown. 2005. Adams and Victors Principles of Neurology
8th edition. United States of America : The McGraw-Hill Companies )
Etiologi dan Patofisiologi
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bells palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak dibahas
sebagai etiologi penyakit ini.
1. Teori iskemik vaskuler
Teori ini sangat popular, dan banyak yang menerimanya sebagai penyebab dari
bells palsy. Menurut teori ini terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi
vasokontriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti
oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi
transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga
menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan
kapiler dan vena dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik. Dengan demikian akan
terjadi keadaan circulus vitiosus. Pada kasus-kasus berat, hal ini dapat menyebabkan
saraf mengalami nekrosis dan kontinuitas yang terputus.
2. Teori infeksi virus
Menurut teori ini bells palsy disebabkan oleh virus, dengan bukti secara tidak
langsung adanya riwayat penyakit virus yang terjadi sebelum bells palsy. Juga dikatakan
perjalanan klinis BP sangat menyerupai viral neuropathy pada saraf perifer lainnya.

Walaupun etiologi dari Bells palsy tidak diketahui, penyakit ini dipercaya disebabkan
oleh infeksi virus yang melibatkan ganglion genikulatum. Adalah mungkin bahwa
beberapa kasus bells palsy disebabkan oleh infeksi herpes simpleks yang laten.
Teori virus ini didukung oleh Adour dkk. Dikatakan bahwa BP terjadi karena
proses reaktivasi dari virus herpes. Sesudah suatu infeksi akut primer, virus herpes
simpleks tipe I dalam jangka waktu cukup lama dapat berdiam di dalam ganglion
sensoris. Reaktivasi ini dpat terjadi juka daya tahan tubuh menurun, sehingga terjadi
neuritis/ neuropati dengan proses peradangan. Edema. Menurut Adour, lokasi nyeri dapat
terjadi di sepanjang kanalis fasialis. Sebaliknya sebagian ahli berpendapat bahwa lokasi
primer dari edema N. VII pada bells palsy adalah sekitar foramen stilomastoideum.
Murakami et al. menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk
mengamplifikasi sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan
endoneural sekeliling saraf ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bells palsy yang
dilakukan dekompresi pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al.
menginokulasi HSV dalam telinga dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada
wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. Dengan adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes
simpleks atau herpetika dapat diadopsi. Gambaran patologi dan mikroskopis
menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan gangguan vaskular saraf.
Walaupun penyebab virus dicurigai, ternyata beberapa studi prospektif untuk
membuktikan peranan infeksi virus sebagai seriologi bells palsy adalah negative, berarti
tidak dapat mendukung teori infeksi virus.
3. Teori herediter
Willbrand, 1974, mendapatkan 6% penderita bells palsy yang kausanya herediter
yaitu autosomal dominan. Ini mungkin karena kanalis falopii yang sempit pada keturunan
atau keluarga tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis
fasialis.

4. Teori imunologi

Dikatakan bahwa BP terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang
timbul sebelumnya atau setelah pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka
penderita bells palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk
mengurangi inflamasi dan edema di dalam kanalis fasialis falopii dan juga sebagai
immunosupressor .
Patogenesis
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik bells palsy adalah
proses edema yang menyebabkan kompresi N.VII. Pulec memandang BP sebagai suatu sindroma
kompresi saraf fasialis atau sebagai suatu entrapment syndrome.
Hingga kini belum ada persesuaian pendapat tentang pathogenesis Bells palsy, oleh
George A. Gates, membagi patogenesis menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Tipe 1:
Pada tipe 1 mengalami paresis ringan dan sebagian besar mengalami kelumpuhan
komplit. Paresis maupun paralisis ini dapat mengalami penyembuhan yang baik, blok
konduksi saraf yang reversibel (neuropraksis) adalah akibat dari kompresi yang
mendadak oleh karena edema di sekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasme
pembuluh darah, namun teori ini belum dapat dibuktikan.
Teori lain menjelaskan adanya kerusakan endotel kapiler oleh radang virus yang
menyebabkan kebocoran sehingga cairan masuk ke dalam jaringan sekitarnya. Bila cairan
ini terkumpul di dalam endoneurium maka konduksi saraf menjadi terhambat.
2. Tipe 2:
Pada tipe ini ditandai dengan timbulnya sinkenesis dan gejala sisa lain yang mungkin
akibat degenerasi saraf sinkenesis ini terjadi karena impuls dari satu akson dapat
menyebar ke akson yang berdekatan dan berakibat kontraksi otot-otot lain. George A.
Gates menjelaskan akan terjadi penjalaran listrik pada waktu terjadi

saltatory

movement kepada saraf yang berdekatan yang mengalami kerusakan myelin sehingga
terjadi konduksi pada dua saraf dan kontraksi dua otot pada saat bersamaan.
3. Tipe 3:

Pada tipe ini penyebabnya dimulai dengan degenerasi Wallerian yang terjadi akibat
cedera akson dalam segmen labirint dari nervus fasialis, ini terjadi akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh virus zooster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensori 2/3
anterior lidah terganggu. Selanjutnya dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan
vestibuler dan menyebabkan hambatan pengantar akson kemudian terjadi paralisis dan
degenerasi.
Menurut Adour dkk, yang dikenal dengan konsep teori virusnya, menerangkan virus
akan mempengaruhi saraf pada sel schwan lalu menyebabkan peradangan dan virus
menyebabkan bertumpuknya lapisan protein dari sel saraf, melalui membran, merusak
autoimun untuk sel membran saraf.
Patologi
Menurut Dachlan (2001) patologi berarti ilmu tentang penyakit, menyangkut penyebab
dan sifat penyakit tersebut. Patologi yang akan dibicarakan adalah mengenai pengaruh udara
dingin yang menyebabkan bells palsy. Udara dingin menyebabkan lapisan endothelium dari
pembuluh darah leher atau telinga rusak, sehingga terjadi proses transfusi dan mengakibatkan
foramen stilomastoideus membengkak, nervus fasialis yang melewati daerah tersebut terjepit
sehingga rangsangan yang dihantarkan terhambat yang menyebabkan otot-otot wajah mengalami
kelemahan atau kelumpuhan.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis motorik yang dijumpai pada pasien Bells palsy yaitu adanya
kelemahan otot pada satu sisi wajah yang dapat dilihat saat pasien kesulitan melakukan gerakan
volunter seperti (saat gerakan aktif maupun pasif) tidak dapat mengangkat alis dan menutup
mata, sudut mulut tertarik ke sisi wajah yang sehat (mulut mencong), sulit mencucu atau bersiul,
sulit mengembangkan cuping hidung, dan otot-otot yang terkena yaitu m. frontalis, m.orbicularis
oculi, m. orbicularis oris, m. zigomaticus dan m. nasalis. Selain tanda-tanda motorik, terjadi
gangguan pengecap rasa manis, asam dan asin pada 2/3 lidah bagian anterior, sebagian pasien
mengalami mati rasa atau merasakan tebal di wajahnya.
Tanda dan gejala klinis pada Bells Palsy menurut Chasid (1990) dan Djamil (2000) adalah:
a) Lesi di luar foramen stilomastoideus, muncul tanda dan gejala sebagai berikut : mulut tertarik
ke sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah

menghilang, tidak ada lipatan dahi dan apabila mata pada sisi lesi tidak tertutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
b) Lesi di canalis fasialis dan mengenai nervus korda timpani. Tanda dan gejala sama seperti
penjelasan di atas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah 2/3 bagian anterior
dan salivasi di sisi lesi berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan
terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik
dimana korda timpani bergabung dengan nervus facialis di canalis facialis.
c) Lesi yang tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai muskulus stapedius. Tanda dan gejala
seperti penjelasan pada kedua poin di atas, ditambah dengan adanya hiperakusis (pendengaran
yang sangat tajam).
d) Lesi yang mengenai ganglion genikuli. Tanda dan gejala seperti penjelasan ketiga poin diatas
disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga dan di belakang telinga.
e) Lesi di meatus austikus internus. Tanda dan gejala sama seperti kerusakan pada ganglion
genikulatum, hanya saja disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus
vestibulocochlearis.
f) Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons. Tanda dan gejala sama seperti di atas
disertai

tanda

dan

gejala

terlibatnya

nervus

trigeminus,

vestibulocochlearis, nervus accessories dan nervus hypoglossus.

Diagnosis

nervus

abducens,

nervus

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau
perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat
berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh korteks sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan
kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Untuk menegakan diagnosis Bell Palsy harus
ditetapkan dulu adanya paralisis fasialis tipe perifer. Untuk membuat diagnosis diperlukan
beberapa pemeriksaan.
a.Pemeriksaan telinga dan audiometri, ini untuk menyingkirkan adanya infeksi telinga tengah
dan kolestoma.
b.Pemeriksaan neurologi dan nervi kraniales. Ini untuk mencari adanya Ca nasopharing atau
tumor pada sudut serebelo pontin.
c.Pemeriksaan radiologi pada os temporal dan mastoid untuk mencari adanya mastoiditis dan
fraktur os temporal.
Inspeksi

Derajat kelumpuhan saraf fasialis dapat dinilai secara subjektif dengan menggunakan
sistem House-Brackmann (HBS), metode Freyss atau Yanagihara grading system (Y-system).
Disamping itu juga dapat dilakukan tes topografi untuk menentukan letak lesi saraf fasialis
dengan tes Schirmer, reflek stapedius dan tes gustometri.

Grade

HBS

Y-system

Normal, fungsi pada semua area simetris


I
Sedikit kelemahan pada inspeksi mata, bisa menutup mata dengan penuh II

40
32-38

dengan sedikit usaha, sedikit asimetris pada senyuman dengan usaha


maksimal, sedikit sinkinesis, tidak ada kontraktur atau spasme
Kelemahan yang jelas namun tidak merubah penampakan wajah secara III

24-30

statis, tidak mampu mengangkat alis, penutupan mata yang penuh dan
kuat, gerakan mulut yang tidak simetris pada usaha maksimal, selain itu
terdapat sinkinesis, mass movement atau spasme (walaupun tidak terlihat
saat statis/ menyebabkan disfigurasi)
Kelemahan yang jelas dan menyebabkan disfigurasi, ketidakmampuan IV

16-22

menggangkat alis, penutupan mata yang tidak penuh dan asimetri mulut
dengan usaha maksimal, sinkinesis yang parah, mass movement, dan
spasme
Hanya sedikit gerakan yang mampu dilakukan, penutupan mata yang V

8-14

tidak penuh, sedikit gerakan pada ujung mulut, sinkinesis, kontraktur,


namun spasme umumnya tidak didapati.
Tidak ada gerakan, tidak ada sinkinesis, kontraktur, maupun spasme

VI

0-6

(Sumber : http://www.springerimages.com/Images/MedicineAndPublicHealth/1-10.1007_s00405-008-0646-4-3)

House-Brackmann

Scale

(Sumber : http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Bells-palsy-2012-10/facial-paral-2012-10.docx)
Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun
pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini
akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta
menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas. Bila terdapat hiperakusis,
saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi
cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bells palsy dengan
stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan
saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak
mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
Diagnosis Banding

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer.
Kelainan sentral :
1. Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses
patologis di hemisfer serebri kontralateral.
2. Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat
kanker di bagian tubuh lainnya.
3. Sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis
optika
4. Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat
riwayat trauma sebelumnya.
Kelainan perifer :
1. Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani
dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi.
2. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa
amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi
virus varicella-zoster.
3. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut.
4. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata
kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral.
5. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII.
6. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula).
7. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis,
parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.
Pemeriksaan Penunjang
Bells palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis
dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis
tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang
dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis
multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor
kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi
intrakanikular.10,11 Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai

nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial
EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV)
100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan
berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi
saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1
ipsilateral. 11 Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan
abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah.
Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.
Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang tidak
dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy :
(1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh
atau beberapa muskulus fasialis.
(2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia
(hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan
stimuli normal).
(3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat
menyebabkan :
a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan
dahi saat memejamkan mata.
b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat
mengkonsumsi makanan.
c. Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium
awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

Tatalaksana
Algoritma Tatalaksana Bells Palsy (Brackmann 2010)

Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata,
plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral
kelopak mata atas dan bawah).
Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke
atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi
melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat
dalam 14 hari onset.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset
terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95%
pasien sembuh dengan pengobatan prednisone dan valasiklovir tanpa terapi fisik.13 Rehabilitasi
fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program
pelatihan di rumah.

Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu
kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.
A. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat
dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa
masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang
dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
B. Kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat
istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang
digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi
neuromuscular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan gerakan ekspresi
wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang
simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
C. Kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang
saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan
agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara
simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi
strategi meditasi-relaksasi.
D. Kategori relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang
parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi
jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca,
dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau
audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini
cukup dilakukan 1-2 kali per hari. Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak
mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan
untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan,
fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke
bagian kulit atau bedah plastik. Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung
Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan
aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada
pasien.
Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen
dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon
yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil
pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal
70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang
(lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,
supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan
bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian
retrospektif Hato et al mengindikasikan bahwa hasil yang lebih baik didapatkan pada pasien
yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi
dengan prednisolon. Axelsson et al juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan
prednison memiliki hasil yang lebih baik. deAlmeida et al menemukan bahwa kombinasi
antivirus dankortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih
besar dibandingkan kortikosteroid saja.
Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama
setelah onset. Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et al22 dengan
1145 pasien menunjukkan tidak adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral
dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan
yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan
kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan
terapi kombinasi.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral
dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan
dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa
adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang

ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa
adalah mual, diare, dan sakit kepala.
Prognosis
Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera
saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh
total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu.11 Sekitar 10%
mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8%
kasus dapat rekuren. Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan
pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah
10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada
fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan/atau
perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan
dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan
prognosis perbaikan klinis yang positif. Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk
menentukan prognosis, House-Brackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk
mengukur keparahan dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bells palsy.

DAFTAR PUSTAKA
Lowis, H., Maula, N.G. 2012. Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer.
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Universitas Pelita
Harapan,Tangerang. Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center. Jakarta.
Mardjono M, Sidharta P. 1981. Neurologis Klinis Dasar. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Munilson, J., Yan Edward., Wahyu Triana. 2010.
Diagnosis dan Penatalaksanaan Bells Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher.

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Andalas/RSUP.

Sunaryo,U.2012.BellsPalsy.25September2013.
http://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf

Dr.M.Djamil.

Padang.

Anda mungkin juga menyukai