Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

Generalized Tonic Clonic Seizure


Disusun untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter
di RSUD Tidar Kota Magelang

Diajukan kepada :
dr. TH. Suryono, Sp. S
Disusun oleh :
WANDI
2009.031.0202
BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015

ANAMNESIS
I. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat

: Tn.A
: 34 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Buruh
:

II.

KELUHAN UTAMA
Kejang.

III.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pada saat pasien masih kecil mempunyai riwayat jatuh dari tempat tidur dan sering
step, kira-kira sampe pasien umur 12 tahun. Pasien juga sering mengeluh panas, berfikir
lambat, dan sering tinggal kelas pada masa SD. Sejak saat itu pasien rutin kontrol dan
minum obat dari dokter anak. Pada saat umur 22 tahun pasien di diagnosis epilepsy oleh
dokter yang memeriksanya, pasien rutin control dan minum obat dan keluhan kejang
berkurang. namun 3 hari SMRS tiba-tiba pasien kembali kejang saat sedang beraktivitas,
lebih tepatnya sedang jalan menuju pasar dengan kakaknya. Karena tidak diobati kejang
tersebut datang kembali dan lagi-lagi kejang timbul saat pasien sedang beraktivitas.
Kejang sekitar 3menit, kondisi tidak sadar, ludah seperti berbusa, lalu tertidur, saat
terbangun diakui badan lemas.

IV.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat penyakit serupa
: disangkal
Riwayat trauma
: + (SD)
Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat penyakit DM
: disangkal

V. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi
: + (ayah)
Riwayat penyakit DM
: disangkal

PEMERIKSAAN YANG DILAKUKAN

I.

Status
1. Status Present
Keadaan Umum
: baik
Kesadaran
: composmentis GCS 15 E4M6V5
Vital Sign
Tensi : 135/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu : febris (-)
2. Status Internus
Kepala
: Mesocephale, nyeri tekan (-), alopesia (-)
Mata
: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil (bulat, isokor
bulat, 3mm)
Leher
o
Sikap
: Simetris
o
Pergerakan
: Normal
o
Pembesaran kelenjar limfe : (-)
o
Kaku kuduk
: (-)
Jantung
: irama regular, bising jantung (-), mur-mur (-), gallop (-)
Paru

: suara vesikuler, suara tambahan (-)

Abdomen

: kulit normal, cembung, bising usus (+), timpani, nyeri tekan


epigastrik (-)
Extremitas :
Akral dingin
Akral sianosis
Oedem
Capillary refill

Superior
-/-/-/<2/ <2

3. Status neurologis
A. Tanda rangsangan selaput otak :
Kaku kuduk
: (-)
Tanda lasseque
: (-)
Tanda kernig
: (-)
Tanda brudinski I : (-)
Tanda brudinski II : (-)
Tanda brudinski III : (-)
Tanda brudinski IV : (-)
B. Kolumna vertebralis :
Kelainan bentuk
Nyeri tekan/ ketok lokal

: (-)
: (-)

Inferior
-/-/-/<2/ <2

Tanda Patrick
Tanda Kontrapatrick
Gerakan vertebra servikal
Gerakan tubuh

: (-)
: (-)
: fleksi, ekstensi dan rotasi pasif dbn.
: membungkuk, ekstensi dan deviasi lateral dbn.

C. Nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan bahan (kopi bubuk)

Kanan

Kiri

:
:

N. II (Optikus)
Tajam penglihatan
Lapang penglihatan
Melihat warna
Fundus okuli

:
:
:
:

>6/60
dbn
dbn
dbn

>6//60
dbn
dbn
dbn

N. III (Okulomotorius)
Celah mata
Posisi bola mata
Pergerakan bola mata
Strabismus
Nistagmus
Exophtalmos
Pupil
Besarnya
Bentuknya
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tidak langsung
Refleks konvergensi
Melihat ganda

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

simetris
di tengah
di tengah
dbn
dbn
3 mm
3 mm
Bulat
Bulat
+
+
+
+
+
+
-

dbn

dbn

:
:

Tengah
-

Tengah
-

:
:
:
:
:

dbn
dbn
dbn
+
+

dbn
dbn
dbn
+
+

N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata
(ke bawah-ke dalam)
Sikap bola mata
Melihat ganda
N.V (Trigeminus)
Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Refleks kornea
Sensibilitas muka
N. VI (Abdusen)

Pergerakan mata (ke lateral)


Sikap bola mata
Melihat ganda
N. VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Perasaan lidah (2/3 anterior)

:
:
:
:
:
:
:
:

Tengah
-

Tengah
-

dbn

simetris
simetris
simetris
simetris
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn

N. VIII
Suara berbisik
Tes schwabach
Tes rinne
Tes weber
Vertigo
Nistagmus

:
:
:
:
:
:

dbn
dbn
dbn
dbn

N. IX (Glosofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 posterior)
Sensibilitas faring

:
:

dbn
dbn

N. X (Vagus)
Arkus faring
Menelan
Refleks muntah
Fenomena Vernet Rideau

:
:
:
:

normal (tengah)
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn

N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu
Memalingkan muka

:
:

dbn
dbn

N.XII (Hipoglossus)
Atrofi lidah
Kekuatan
Gerak spontan
Posisi diam
Posisi dijulurkan

:
:
:
:
:

(-)
(-)
simetris
simetris
(-)
di tengah
di tengah

D. Badan dan anggota gerak


1. Badan
Respirasi
Sensibilitas

(-)
(-)
dbn
dbn

dbn
dbn

: Simetris, tidak ada yang


tertinggal
Kanan
Kiri

- Taktil
- Nyeri
- Suhu
- Diskriminasi 2 titik
- Lokalisasi

:
:
:
:
:

2. Anggota gerak atas


Motorik
Kekuatan
Trofi
Tonus
Motorik
Kekuatan
Trofi
Tonus

:
:
:

atas
5
normal
normal

:
:
:

atas
5
normal
normal

dbn
dbn
dbn
dbn
dbn

dbn
dbn
dbn
dbn
dbn

Kanan
tengah
5
normal
normal
Kiri
tengah
5
normal
normal

bawah
5
normal
normal
bawah
5
normal
normal

Refleks
Biceps
Triceps
Brachial
Hoffman Tromner

:
:
:
:

++
++
++
-

:
:
:
:

normal
5
Normal
normal

normal
5
Normal
normal

:
:
:
:

dbn
dbn
dbn
dbn

dbn
dbn
dbn
dbn
:
dbn

:
:
:
:

Gordon

Paha

3. Anggota gerak bawah


Pergerakan
Kekuatan
Trofi
Tonus
Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Suhu
Diskriminan 2 titik
Lokalis
Getar
Refleks
Babinski
Chaddock
Schaeffer
Oppenheim

++
++
++
-

dbn

dbn
dbn

Klonus

Kaki

4. Reflek primitif
Reflek memegang
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek palmomental

: dbn
: dbn
: dbn
: dbn

E. Koordinasi, gait dan keseimbangan


Cara berjalan
: normal.
Tes Romberg
:Bradikinesia
: Ataksia
: Rebound phenomenon
: dbn
Disemetri
: dbn
F. Gerakan-gerakan abnormal
Tremor
Athetose
Mioklonik
Khorea
4.

: Ttidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada

Pemeriksaan Penunjang
CT Scan 2012:

bentuk calvaria asimetris (benjol)


Penebalan mukosa sinus maksilaris sinistra suspect sinusitis kronis
Tak tampak tanda-tanda fraktur, oedem cerebri, ataupun massa di
intracranial/intracerebral.

Hasil EEG: mendukung kearah epilepsy juvenile.


5.
6.

Diagnosis
Epilepsi umum tonik klonik (Generalized Tonic Clonic Seizure)
Plan
Terapi :
- Medikamentosa
Depakote 500 mg
3x1
Carbamazepine
1-1-1
Clobazam
2x1
Bcomplex
1x1
- Nonmedikamentosa: edukasi penyakit terhadap pasien dan keluarga.

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Kejang Umum Tonik Klonik/Generalized tonic clonic seizure (GTCS)
Kejang umum tonik klonik / generalized tonic clonic seizure (GTCS) adalah jenis bangkitan
yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang
diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik).
Terdapat 2 jenis GTCS, yaitu:

GTCS primer: serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal sejak awal mula

serangan.
GTCS sekunder: serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi umum.
Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan sangat cepat sehingga tidak tampak
secara klinis atau bahkan pada perekaman EEG.

A. Etiologi dan Usia


GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian manifestasi
klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun kanak-kanak. Misalnya, benign
neonatal convulsions, benign myoclonic epilepsy of infancy, childhood absence epilepsy, juvenile
absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy, GTCS yang terjadi saat bangun tidur, temporal
lobe epilepsy syndrome, frontal lobe epilepsy syndrome, West syndrome, dan lain-lain. Dengan
perkembangan ilmu, telah dapat ditentukan lokus-lokus genetik yang pasti dari berbagai tipe atau
sindrom epilepsi.
GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. Hal-hal yang
dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital dan trauma saat lahir, febris
(terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma kepala, lesi desak
ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan alkohol, strok, dan penyakit
degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit metabolik yang juga berhubungan
dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit, uremia, hipoglikemia, dan disfungsi hepar
yang berat.

Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada neonatus.
Pada pasien usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder yang berasal dari lesi
fokal otak.
B. Patofisiologi
Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi
dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran
neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya menghalangi
perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang melewatinya. Ion Na
mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan ion K berkonsentrasi
tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan potensial membran yang
menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion K menyebabkan
hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai ambang, saluran ion
Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang menghasilkan potensial aksi.
Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K mengganti ion-ion yang berpindah ini
dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi sepanjang akson mentransmisikan informasi
sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi
influks ion Ca yang mencetuskan pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor
postsinaptik. Proses ini akan menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris
(EPSP dan IPSP) di mana penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang
direkam oleh EEG. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara
gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak.
Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen
maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan strukturstruktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral.
Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi
aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini. Bangkitan
dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak. Fungsi neuronneuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas listrik abnormal.
Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta adanya sinkroni dari
pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat terganggu,menyebabkan

predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal. Eksitasi yang berlebihan
mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut sistim neuronal yang
berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sementara itu,
bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal
(sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik
eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan bertambahnya hubungan sinaptik ini
menyokong pelepasan sinkronisasi.
Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps glutaminergik
merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit reseptor dengan
akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi jangka panjang pada
sinaps

glutamat

maupun

bertambahnya

glutamat/mekanisme uptake termasuk

dalam

masuknya
penunjang

ion

Ca.

utama

Selain
ikut

itu,
sertanya

transport
dalam

epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial
bertambahnya eksitabilitas.
Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan sifat
membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik)
dan output aksi potensial. Akan tetapikebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik dipusatkan
pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan kalsium. Mutasi atau
hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan transmisi di akson,
influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal, dan bertambahnya
kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang. Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan
mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat membersihkan neurotransmitter dari ruangan
ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat
waktu terjadi kejang. Gliosis dapat meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut
serta dalam pembentukan kejang.
Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian subpopulasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk
berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung mudah
terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat. Mekanisme berhentinya
kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang berhenti sebagai akibat proses inhibisi
aktif, dengan mekanisme seperti blokdepolarisasi, perubahan lingkungan ekstraseluler seperti

penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca intraseluler. Agen-agen endogen seperti


norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi antikonvulsan mungkin berperan dalam
berhentinya kejang.
Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu dari
otak, yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha dijelaskan
dengan model kindling. Kindlingadalah pemberian berulang stimulus elektris atau agen-agen
epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang menghasilkan
berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang berkembang menjadi
general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA, hilangnya neuron yang biasanya
mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik output sel-sel eksitatorik.
C. Gambaran Klinis
Pasien mungkin tidak memberikan sama sekali temuan-temuan pada pemeriksaan
neurologis bila tidak sedang mengalami kejang.
Gejala prodromal
Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodromal yang terjadi selama beberapa
jam atau hari sebelum suatu bangkitan. Gejala-gejala yang umum adalah perubahan mood,
gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan, iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, dan,
perasaan riang. Gejala-gejala lain yang lebih jarang dilaporkan adalah nyeri abdomen, wajah
pucat, atau nyeri kepala. Mayoritas pasien mengalami gangguan kesadaran tanpa gejala-gejala
pendahuluan.
Aura
Pasien dengan GTCS primer tidak mengalami aura. Aura mewakili bangkitan parsial
sederhana, dan riwayat aura mengidentifikasikan bangkitan parsial. GTCS sekunder dapat
dimulai dengan gejala atau tanda bangkitan parsial sesuai dengan fokus asalnya (bangkitan
parsial sederhana atau kompleks, atau keduanya).
Fase Tonik
Fase tonik biasanya terdiri atas fase fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang lebih
lama, disertai gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata terbuka, bola mata
terputar ke atas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan badan (dada tertekuk ke
pelvis). Fase fleksi menyebar ke seluruh ekstremitas, meliputi lengan lebih tampak daripada

tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak daripada otot-otot distal. Lengan terangkat,
mengalami aduksi, dan berotasi eksternal. Tungkai dan panggul terfiksir, mengalami aduksi, dan
berotasi secara eksternal.
Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher. Mulut tertutup
rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut berkontraksi, seringkali dengan
mengeluarkan tonic cry saat udara dikeluarkan dari korda vokalis. Lengan kemudian
diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan dapat tetap fleksi, adduksi, dan berotasi eksternal.
Selama periode transisi dari tonik menjadi klonik, kontraksi menjadi makin berkurang. Rigiditas
tonik digantikan oleh tremor halus, yang amplitudonya makin meningkat dan frekuensinya
menurun dari 8 menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan penurunan tonus secara intermitten yang
dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke proksimal. Durasi fase ini 10-30 detik.
Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tanda-tanda otonom
sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi dan tekanan darah,
berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun tekanan kandung kemih
meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter.
Fase Klonik
Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya tonus otot
(fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara ritmik
menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama tampak makin jauh satu
sama lain sampai kejang berhenti. Tiap hentakan dapat disertai oleh cry. Durasi fase ini antara
30-50 detik. Miksi dapat terjadi pada akhir fase klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap
mengalami apneu selama fase ini. Kejang ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung
selama 1-2 menit.
Gejala Otonomik
Gejala otonomik bermula dari fase pre-iktal, mencapai maksimal pada akhir fase tonik,
dan menurun hebat saat onset fase klonik. Gejala-gejala autonom yang dapat terlihat adalah
peningkatan tekanan darah nadi, tekanan buli-buli, tonus spinkter, flushing, sianosis, piloereksi,
perspirasi, saliva, dan sekresi bronkial.
Apnea dimulai dengan ekspirasi hebat saat onset fase tonik, menetap selama fase tonik dan
klonik, dan kadang sampai periode post-iktal awal.

Fase Post-Iktal Awal


Relaksasi otot sempurna tidak langsung terjadi pada fase post-iktal. Setelah 5 menit
setelah hentakan klonik yang terakhir, kontraksi tonik yang baru berlangsung dari beberapa detik
sampai 4 menit. Tonus otot-otot sefalik meningkat, lidah dapat tergigit. Antara hentakan klonik
terakhir dan fase post-iktal awal, otot spinkter buli-buli berelaksasi, dan inkontinensia dapat
terjadi.
Respirasi mulai kembali menjadi normal pada fase post-iktal awal. Peningkatan sekresi
menyebabkan onstruksi parsial. Respirasi terhambat, dan otot-otot bantu napas aksesorius
diaktivasi. Tekanan darah dan resistensi kulit kembali normal, tetapi takikardia menetap. Sianosis
berubah menjadi pucat. Gangguan kesadaran menjadi komplit, dan refleks-refleks pupil dan
kutaneus tidak didapatkan. Refleks tendon sangat bervaraisi. Durasi fase ini 1-5 menit.
Fase Post-Iktal Lanjutan
Pada fase post-iktal lanjutan, flaksiditas berkembang sempurna. Denyut jantung kembali
normal, refleks tendon biasanya hilang, dan respon plantar biasanya ekstensor. Pasien dapat
tebangun dengan melewati berbagai tingkatan koma, konfusi atau kebingungan, atau terus
berlanjut tidur tanpa terbangun. Nyeri kepala dan otot sering ditemukan. Pasien sendiri tidak
mengingat peristiwa kejangnya. Durasi fase ini 2-10 menit. Sehingga total durasi kejang GTCS
5-15 menit. Pada GTCS sekunder yang berkembang dari bangkitan parsial, durasi fase individual
dan ekspresi klinis sangat bervariasi sesuai jalur saraf yang dilewatinya.
D. Gambaran Rekaman Ensefalografik (EEG)
Fase Interiktal
EEG saat sadar pasien dengan GTCS umumnya normal. Abnormalitas interiktal
meliputi spikes, sharp waves, polyspikes, dan polyspike atau spike-and-wave complexes. (Ko,
2007; Browne & Holmes, 2004) Aktivitas spike-and-wave yang cepat sering dihubungkan
dengan GTCS Hiperventilasi, stimulasi fotik, dan saat tidur dapat meningkatkan kemungkinan
menemukan abnormalitas EEG.
Paroxysmal frontal intermittent rhythmic delta activity (FIRDA) mungkin ditemukan pada
beberapa pasien, terutama yang mempunyai riwayat absans, tetapi gelombang ini merupakan
abnormalitas nonspesifik sehingga tidak dianggap epileptiform.

Fase Awal/Inisial
Selama fase awal GTCS sekunder, EEG dapat memperlihatkan gelombang tajam atau
gelombang lambat fokal.
Fase Tonik dan Fase Klonik
Fase tonik kejang dikarakteristikkan dengan pola amplitudo letupan yang lebih tinggi dan
frekuensi yang lebih rendah secara progresif yang diamati secara simultan pada kedua korteks
hemisfer, mencapai maksimum 10 Hz.
Hal ini kemudian menjadi lebih lambat, bercampur dengan spike amplitudo tinggi bilateral, dan
lebih banyak aktivitas ritme delta amplitudo tinggi. Gelombang-gelombang ini lambat,
berkembang progresif menjadi kompleks aktivitasspike-and-slow-wave amplitudo tinggi repetitif
pada fase klonik.
Fase Post-Iktal
EEG postiktal dapat isoelektris atau menunjukkan aktivitas gelombang delta amplitudo
sangat rendah yang difus. Hal ini berkaitan dnegan hiperpolarisasi.
E. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kadar prolaktin plasma, bila diperiksa dalam 10-20 menit saat kejang, meningkat 5-30 kali
kadar normal. Kadar prolaktin plasama merupakan alat diagnosik yang berguna untuk
menyingkirkan pseudoseizure yang menyerupai kejang tonik-klonik. Kadar prolaktin tidak
meningkat pada bangkitan absans, mioklonik, dan pada kejang parsial sederhana atau kompleks.
2. Kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, vasopresin, growth hormone, and
endorfin beta serum juga meningkat post-iktal tetapi dalam durasi yang sangat singkat. Sehingga
sulit dilacak secara klinis.
3. Pada 15% pasien, terutama pada kejang yang berkepanjangan, mungkin didapatkan
pleiositosis likuor (umumnya 10 sel/mm3 dan jarang sampai sebanyak 50 sel/mm3).
4. Asidosis metabolik dan peningkatan kadar laktat dan kreatinin kinase sering ditemukan
setelah kejang.

Pemeriksaan Radiologis
1. Abnormalitas dalam CT scan ditemukan dalam 10% pasien dengan GTCS primer. Karena CT
scan tidak mendeteksi kebanyakan jenis abnormalitas struktural congenital, MRI adalah pilihan
pemeriksaan.
2. Pada GTCS sekunder yang terjadi karena gangguan migrasi neuronal, yang dapat dideteksi
MRI

adalah

heterotopias,

lissencephaly, pachygyria,
focal

cortical

band atau laminar

dysplasia

polymicrogyria,

heterotopia, subependymal
focal

subependymal

heterotopias, dan schizencephaly.


Pasien dengan GTCSs dan epilepsi general idiopatik tidak mempunyai bukti-bukti abnormalitas
otak yang terlokalisir, regional, ataupun umum pada anamnesis, pemeriksaan fisik atau
neurologis, tes laboratorium, atau pemeriksaan radiologis.
F. Diagnosis Diferensial
GTCS perlu dibedakan dengan sinkop dan pseudoseizure pada pasien dari segala usia.
Pada anak-anak, GTCS perlu dibedakan dengan breath-holding spell dan sindrom QT
memanjang.
GTCS primer yang merupakan bagian dari epilepsi general atau idiopatik perlu
dibedakan dengan kejang parsial yang menjadi GTCS sekunder sebagai bagian dari epilepsi
fokal simptomatik.
Dicurigai GTCS primer bila (a) tidak terdapat bukti gangguan struktural otak, (b) terdapat
riwayat kejang dalam keluarga, (c) terdapat penyerta kejang mioklonik atau absans, (d)
kejadian kejang biasanya segera setelah bangun tidur, (e) hentakan mioklonik bilateral saat
onset kejang, dan (f) terdapat generalized spike-wave atau polispike wave pada rekaman EEG
interiktal.
Dicurigai GTCS sekunder bila terdapat (a) aura, (b) tanda gangguan struktural otak (dari
pemeriksaan fisik atau radiologis), (c) onset dengan gejala atau tanda kejang parsial
sederhana, kejang parsial kompleks atau keduanya, dan (d) gelombang tajam atau lambat
fokal pada rekaman EEG interiktal. (Browne & Holmes, 2004)
Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan GTCS adalah kejang
parsial kompleks, gangguan keseimbangan, kejang demam, distonia, dan hiperventilasi.

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul saat terjadinya GTCS adalah:
Trauma oral
Dapat terjadi maserasi lidah, bibir, atau pipi.
Trauma kepala
Fraktur tengkorak, kontusio, hematoma subdural atau epidural dapat disebabkan oleh jatuh atau
karena aktivitas klonik.
Fraktur
Fraktur kompresi vertebra thorakal atau lumbar dapat terjadi asimptomatik, dan lebih sering pada
orang tua.
Pneumonia aspirasi
Aspirasi bahan sekresi atau muntahan dapat terjadi saat refleks-refleks protektif normal jalan
napas mengalami inhibisi post-iktal, dan hal ini dapat berbahaya.
H. Tata Laksana
1. Pertolongan Pertama Saat Kejang dan Pencegahan Komplikasi
Secara umum, setiap orang yang menyaksikan terjadinya kejang bertanggung jawab
untuk mencegah luka fisik, memastikan keamanan, dan mengawasi dengan baik. Penderita tidak
boleh ditinggalkan sendirian. Bila diperlukan, penolong harus mencari pertolongan. Bila
memungkinkan, tempatkan alat bantu airway oral yang lunak pada mulut penderita untuk
mencegah trauma oral dan menjamin drainase sekret selama kejang. Pasien sebaiknya
ditempatkan di tempat aman sebelum terjatuh. Selama fase klonik, tangan atau benda lunak dapat
digunakan untuk mencegah trauma kepala. Letakkan pasien pada posisi lateral dekubitus untuk
menjamin drainase sekret dan mencegah aspirasi
2. Prinsip Dasar Tata Laksana Epilepsi
Tujuan utama tata laksana epielpsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien dengan upaya menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah
timbulnya komplikasi dan mencegah timbulnya efek samping obat. (Perdossi, 2007)
Keberhasilan pengobatan epilepsi ditentukan oleh ketepatan diagnosis, jenis obat anti epilepsi
(OAE), kepatuhan, sikap dan pengetahuan pasien dan keluarga tentang epilepsi.
Prinsip-prinsip terapi farmakologis:
Obat anti epilepsi diberikan bila: (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)

1. Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau sindroma
epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek samping obat
yang mungkin timbul.
3. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis bangkitan
atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai mencapai hasil
optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan politerapi. Bila kadar OAE kedua telah
mencapai kadar terapi, dosis OAE pertama diturunkan bertahap. (Perdossi, 2007; Limoa,
2004)
4. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila :
(Perdossi, 2007; Browne & Holmes, 2004)
1.

Dijumpai focus epilepsi yang jelas pada EEG

2.

Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan

3.

Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada


adanya kerusakan otak.

4.

Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung

5.

Riwayat bangkitan simptomatik

6.

Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,


stroke, infeksi SSP

7.

Bangkitan pertama berupa status epileptikus

8.

Efek samping dan interaksi OAE perlu diperhatikan. (Perdossi, 2007)

3. Terapi Farmakologis GTCS Primer dan Sekunder


Berdasarkan pedoman tata laksana epilepsi yang dikeluarkan Perdossi tahun 2007
berdasarkan jenis bangkitan, untuk GTCS primer, OAE lini pertama adalah adalah sodium
valproat, lamotrigine, topiramate, dan carbamazepine. OAE lini keduanya adalah clobazam,
levetiracetam, dan oxcarbazepine. OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah
clonazepam, phenobarbital, dan phenytoin. Sementara itu, untuk GTCS sekunder, OAE lini
pertama adalah carbamazepine, oxcarbazepine, sodium valproat, topiramate, lamotrigine;

OAE lini kedua adalah clobazam, gabapentine, levetiracetam, phenytoin, dan tiagabine; dan
OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah clonazepam dan phenobarbital. Untuk
sindrom epilepsi umum tonik-klonik (GTCS), disarankan sodium valproat, lamotrigine,
carbamazepine, dan topiramate sebagai OAE lini pertama; levetiracetam sebagai OAE lini
kedua; dan clobazam, clonazepam, oxcarbazepine, phenobarbital, dan phenytoin sebagai
OAE lain yang dapat dipertimbangkan. (Perdossi, 2007)
Dalam terapi OAE, perlu diperhatikan farmakokinetik obat dan efek samping obat, baik
yang terkait dosis maupun idiosinkrasi.
Tabel 1. Dosis OAE untuk orang dewasa (Perdossi, 2007)
OBAT

DOSIS

DOSIS

JUMLAH DOSIS

WAKTU

WAKTU

PER HARI

PARUH

TERCAPAINYAS

PLASMA (jam)

TEADY

2-3x(untuk yg CR

15-35

STATE(hari)
2-7

2x)
Phenytoin
200-300 200-400
1-2x
Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x (untuk yg CR

10-80
12-18

3-5
20-4

1-2x)
1
1 atau 2
2-3x (untuk yg CR

50-170
20-60
10-30

2-10
2-6

Oxcarbazepine 600-900 600-3000


Levetiracetam 1000- 1000-3000

2x)
2-3x
2x

8-15
6-8

2000
Topiramate
100
100-400
Gabapentin 900-1800 900-3600
Lamotrigine 50-100
20-200

2x
2-3x
1-2x

20-30
5-7
15-35

2-5
2
2-6

AWAL RUMATAN(
(mg/hari)
Carbamazepine 400-600

Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam

50-100
1
10

mg/hari)
400-1600

50-200
4
10-30

Tabel 2. Efek samping OAE klasik (Perdossi, 2007)


OBAT

EFEK SAMPING
TERKAIT DOSIS

IDIOSINKRASI

Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri kepala, mual, Ruam morbiliform, agranulositosis,

Phenytoin

Asam Valporat

mengantuk, netropenia, hiponatremia

anemia aplastik, hepatotoksik,

Nistagmus, ataksia, mual, muntah,

sindrom Steven-Johnson, teratogenik


Jerawat, coarse face, hirsutism, lupus-

hipertrofi gusi, depresi, mengantuk,

like syndrome, ruam, sindrom

anemia megaloblastik

Stevens-Johnson, Dupuytrens

Tremor, BB bertambah, dyspepsia,

contracture, hepatotoksik, teratogenik


Pankreatitis akut, hepatotoksik,

mual, muntah, kebotakan, teratogenik trombositopenia, ensefalopati, edema


Phenobarbital

Kelelahan, depresi; pada anak:

perifer
Ruam makulopapular, eksfoliasi,

insomnia,distractibility, hiperkinesia,

nekrosis epidermal toksik,

ititabilitas

hepatotoksik, teratogenik,
Dupuytrens contracture, arthritic

Clonazepam

Kelelahan, sedasi, mengantuk,

changes
Ruam, trombositopenia

dizziness; pada anak: agresi,


hiperkinesia
Tabel 3. Efek samping OAE baru (Perdossi, 2007)
OBAT

EFEK SAMPING UTAMA

EFEK SAMPING SERIUS


TETAPI JARANG

Levetiracetam

Somnolen, asthenia, ataksia, penurunan ringan

Gabapentin

eritrosit, hemoglobin, hematokrit


Somnolen, kelelahan, ataksia, dizziness, gangguan

Lamotrigine

saluran cerna
Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri

kepala, gangguan saluran cerna


Clobazam
Sedasi, dizziness, iritabilitas, depresi, dysinhibition
Oxcarbazepine
Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri kepala,
Topiramate

kelemahan, ruam, hiponatremia


Gangguan kognitif, tremor, dizziness, ataksia,
nyeri kepala, kelelahan, gangguan saluran cerna,

Sindrom Stevens-Johnson

batu ginjal

I. Medikamentosa
Sejumlah obat-obatan digunakan untuk terapi GTCS. Pilihan obat sebaiknya diseusiakan secara
individual dengan pasien dan sindrom epilepsi, tidak hanya tipe kejang.

Asam valproat dianggap sebagai lini pertama karena sifatnya yang spectrum luas, termasuk

kejang mioklonik.

Fenitoin dan karbamazepin merupakan pilihan kedua yang logis di antara obat-obat generasi

lama, tetapi obat-obat generasi baru tampaknya bekerja sama efektifnya bila tidak lebih baik, dan
mempunyai efek samping ynag lebih ringan, terumata penggunaan jangka panjang.

Di antara obat-obat generasi baru, lamotrigine, topiramate, dan zonisamide merupakan obat-

obat spectrum luas yang lain yang relative mudah ditoleransi.

Fenobarbital tetap digunakan oleh banyak neurologis, walaupun efek sampingnya terhadap

kognisis menurunkan penggunaannya.

Untuk epilepsi general refrakter, felbamate juga digunakan sebagai obat yang efektif. Efek

samping obat ini mengharuskan monitoring blood counts dan tes fungsi hati yang ketat.
J. Pembedahan
Studi-studi pendahuluan memperlihatkan stimulasi nervus vagus (VNS) efektif untuk epilepsi
general. Food and Drug Administration (FDA) USA telah menerima VNS sebagai salah satu
terapi untuk kejang parsial. Dalam suatu penelitisn open label, pasien GTCS berespon baik.
Tidak ada pilihan pembedahan yang lain untuk GTCS murni. the treatment of partial seizures.
Open label VNS registry results have also shown some patients with GTCS respond well. No
other surgical option exists for pure GTCS.
K. Diet
Diet ketogenik direkomendasikan untuk meningkatkan konrol kejang. Diet ketogenik
dikembangkan di Klinik Mayo dan Institut John Hopkins, berdasarkan observasi bahwa
bangkitan meningkat bila terjadi perasaan lapar. Mekanisme pasti kerja diet ini masih belum
diketahui. Diet ini memperodukasi kondisi ketotik, tetapi memberikan kalori adekuat dari protein
dan lemak. Biasanya digunakan untuk epilepsi intractabel, terutama untuk anak-anak. Diet ini

jarang diberikan lagi pada orang dewasa, karena diet ini sangat sulit dipertahankan.
Penelitian-penelitian menunjukkan reduksi frekuensi kejang yang bermakna pada 50% pasien
yang mendapatkan diet. Efek-efek samping terutama pada traktus GI, termasuk kembung,
konstipasi, batu ginjal, penurunan kualitas tulang dan berat badan. Diet ini mengandung
perbandingan rasio lemak:karbohidrat= 4:1. Keton pada urin diperiksa tiap hari dan normalnya
lebih dari 4.
L. Medikamentosa
Tujuan farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
Kategori Obat: Obat Anti Epilepsi
Obat-obatan ini mencegah rekuerensi bangkitan dan mengakhiri aktivitas bangkitan elektris dan
klinis.
1. Valproate
Dianggap sebagai pilihan utama epilepsi general primer, mempunyai spectrum yang sangat luas
dan efektif pada kebanyakan tipe kejang, termasuk kejang mioklonik. Mempunyai mekanisme
kerja multipel termasuk meningkatkan kadar GABA dalam otak dan aktivitas saluran kalsium
tipe-T. Untuk dewasa, dosis inisial valproat injeksi (100mg/ml vial) 10-15 mg/kgBB/hari,
tingkatkan 5-20 mg/kgBB/minggu sampai maksimum dosis 60 mg/kgBB/hari atau sampai batas
dosis yang ditoleransi; kecepatan pemberian iv 20 mg/menit. Sementara dosis oral sama dengan
dosis injeksi. Sementara, untuk anak-anak, dosis inisial adalah 20 mg/kgBB/hari i.v, dan dosis
pemeliharaan 30-60 mg/kg/hari iv.v.

2. Phenytoin
Efektif pada kejang tonik-klonik dan sering digunakan. Mempunyai efek samping jangka
panjangnya berupa osteopenia dan ataksia serebelar. Mempunyai kinetika obat zero-order dan
interaksi obat yang signifikan. Untuk dewasa, loading dose adalah 15-20 mg/kg/hari per oral atau
i.v. Dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari per oral atau i.v, dengan kecepatan pemberian tidak
melebihi 50 mg/kgBB. Sementara dosis inisial pediatrik adalah 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau
i.v, dengan dosis pemeliharaan 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v.

3. Fenobarbital
Salah satu oabt anti epilepsi utama yang digunakan sejak awal 1900-an. Sekarang diketahui
bahwa obat ini dapat menyebabkan beberapa efek samping kognitif sehingga kemudian kurang
disukai. Lebih menguntungkan diberikan dalam bentuk dosis sekali sehari, karena mempunyai
waktu paruh yang sangat panjang. Dosis dewasa adalah 90 mg per oral terbagi dalam 4 dosis,
ditingkatkan 30 mg/hari sampai dosis pemeliharaan biasanya adalah 90-120 mg/hari. Sementara
itu, dosis inisial pediatric adalah 3-5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 3-5
mg/kgBB/hari per oral.
4. Karbamazepin
Obat antiepilesi generasi lama yang digunakan sebagai lini kedua bersama fenitoin. Efek
samping adalah osteopenia. Dosis dewasa adalah 400-1200 mg/hari per oral, terbagi dalam 3 kali
sehari. Dosis awal 5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 15-20 mg/kgBB/hari per
oral.
5. Lamotrigine
Obat anti epilepsi generasi lebih baru dengan spectrum kerja yang luas seperti valproat. FDA
mengakuinya baik sebagai epilepsi general dan parsial primer. Mempunyai beberapa mekanisme
kerja. Kekurangan utamanya adalah dosis harus ditingkatkan sangat perlahan dalam beberapa
minggu untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnyarash. Dosis dewasa untuk minggu
pertama dan kedua adalah 50 mg/hari per oral; bila diberikan bersama dengan valproat (VPA),
mulai dengan 25 mg 4 kali per hari. Pada minggu ketiga dan keempat, 100 mg/hari per oral
dalam dosis terbagi; bila diberikan bersama VPA, 25 mg/hari. Tingkatkan 100 mg/hari dalam 4
minggu; bila diberikan bersama VPA, tingkatkan 25-50 mg tiap minggu. Dosis pemeliharaan
tanpa VPA adalah 300-500 mg per oral dalam dosis terbagi. Sementara itu dosis pemeliharaan
tanpa VPA adalah 100-200 mg/hari per oral. Untuk pediatrik, dosis inisial adalah 1-2
mg/kgBB/hari per oral. Dosis pemeliharaan adalah 5-10 mg/kgBB/hari per oral. Obat ini
merupakan satu-satunya obat yang diakui oleh FDA untuk sindrom Lennox-Gastaut untuk pasien
berusia kurang dari 16 tahun.
6. Zonisamide
Salah satu dari obat generasi baru yang memblok saluran kalsium tipe T, memperpanjang
inaktivasi saluran natrium dan merupakan suatu inhibitor karbonik anhidrase. Dosis inisial

dewasa adalah 100 mg/kg/hari per oral terbagai dalam 2 dosis, tingkatkan 100mg/hari/minggu
sampai ke dosis pemeliharaan 100-300 mg dua kali sehari per oral.
7. Felbamat
Obat ini diakui oleh FDA untuk terapi kejang parsial refreakter dan sndrom Lennox-Gastaut.
Mempunyai banyak mekanisme kerja, termasuk (1) inhibisi NMDA-associated sodium channels,
(2) potensiasi aktivitas GABA-ergic, dan (3) inhibisi voltage-sensitive sodium channels. Hanya
digunakan untuk kasus-kasus refrakter karena risiko anemia aplastik dan toksisitas hepar,
sehingga dibutuhkan tes darah reguler. Dosis inisial dewasa adalah 600 mg tiga kali sehari per
oral, tingkatkan 600-1200 mg/hari tiap minggu sampai dosis maksimum 1200-1600 mg tiga kali
per hari per-oral.
8. Topiramat
Obat anti epilepsi spektrumluas yang diakui untuk kejang tonik-klonik umum primer.
Mekanisme kerjanya meliputi blok kerja state-dependent sodium channel, potensiasi aktivitas
inhibitorik dari neurotransmitter GABA, dapat memblok aktivitas glutamate, dan sebagai
inhibitor karbonik anhidrase. Dosis dewasa adalah 50 mg/hari per oral, titrasi 50 mg/hari tiap
interval 1 minggu sampai dosis target 200 mg 2 kali per hari. Sementara itu, dosis inisial
pediatrik adalah 25 mg atau 50 mg/hari per oral; lakukan titrasi sampai dosis 6 mg/kg/hari.
9. Levetiracetam
Diindikasikan untuk kejang tonik-klonik primer pada dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih.
Diindikasikan untuk kejang umum tonik klonik primer pada dewasa dan dan anak usia lebih dari
6 tahun. Dosis inisial dewasa adalah 500 mg 2 kali per hari per oral, dapat ditingkatkan 1000
mg/hari 4 kali dalam 2 minggu, tidak melebihi 1500 mg dua kali per hari. Dosis anak kurang dari
6 tahun belum dapat ditentukan. Untuk anak usia 6-15 tahun, dosis 10 mg/kg per oral 2 kali
sehari; dapat ditingkatkan dosis harian 20 mg/kg 4 kali dlaam 2 minggu, tidak melebihi 30 mg/kg
dua kali sehari. Untuk anak usia > tahun, dosis sama seperti pada dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Duncan

Diagnosis

of

Epilepsy

in

Adults,

available

from

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.

Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP
Semarang : 55-63.
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kirkpatrick

Diagnosis

of

Epilepsy

in

Children,

available

from

http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F Kirkpatrick.pdf.


Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi,
Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.
Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16

Anda mungkin juga menyukai