Diajukan kepada :
dr. TH. Suryono, Sp. S
Disusun oleh :
WANDI
2009.031.0202
BAGIAN ILMU PENYAKIT SYARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
ANAMNESIS
I. IDENTITAS
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Alamat
: Tn.A
: 34 tahun
: Laki-laki
: Islam
: Buruh
:
II.
KELUHAN UTAMA
Kejang.
III.
IV.
I.
Status
1. Status Present
Keadaan Umum
: baik
Kesadaran
: composmentis GCS 15 E4M6V5
Vital Sign
Tensi : 135/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR
: 24 x/menit
Suhu : febris (-)
2. Status Internus
Kepala
: Mesocephale, nyeri tekan (-), alopesia (-)
Mata
: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil (bulat, isokor
bulat, 3mm)
Leher
o
Sikap
: Simetris
o
Pergerakan
: Normal
o
Pembesaran kelenjar limfe : (-)
o
Kaku kuduk
: (-)
Jantung
: irama regular, bising jantung (-), mur-mur (-), gallop (-)
Paru
Abdomen
Superior
-/-/-/<2/ <2
3. Status neurologis
A. Tanda rangsangan selaput otak :
Kaku kuduk
: (-)
Tanda lasseque
: (-)
Tanda kernig
: (-)
Tanda brudinski I : (-)
Tanda brudinski II : (-)
Tanda brudinski III : (-)
Tanda brudinski IV : (-)
B. Kolumna vertebralis :
Kelainan bentuk
Nyeri tekan/ ketok lokal
: (-)
: (-)
Inferior
-/-/-/<2/ <2
Tanda Patrick
Tanda Kontrapatrick
Gerakan vertebra servikal
Gerakan tubuh
: (-)
: (-)
: fleksi, ekstensi dan rotasi pasif dbn.
: membungkuk, ekstensi dan deviasi lateral dbn.
C. Nervus kranialis
N. I (Olfaktorius)
Subyektif
Dengan bahan (kopi bubuk)
Kanan
Kiri
:
:
N. II (Optikus)
Tajam penglihatan
Lapang penglihatan
Melihat warna
Fundus okuli
:
:
:
:
>6/60
dbn
dbn
dbn
>6//60
dbn
dbn
dbn
N. III (Okulomotorius)
Celah mata
Posisi bola mata
Pergerakan bola mata
Strabismus
Nistagmus
Exophtalmos
Pupil
Besarnya
Bentuknya
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tidak langsung
Refleks konvergensi
Melihat ganda
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
simetris
di tengah
di tengah
dbn
dbn
3 mm
3 mm
Bulat
Bulat
+
+
+
+
+
+
-
dbn
dbn
:
:
Tengah
-
Tengah
-
:
:
:
:
:
dbn
dbn
dbn
+
+
dbn
dbn
dbn
+
+
N. IV (Troklearis)
Pergerakan mata
(ke bawah-ke dalam)
Sikap bola mata
Melihat ganda
N.V (Trigeminus)
Membuka mulut
Mengunyah
Menggigit
Refleks kornea
Sensibilitas muka
N. VI (Abdusen)
:
:
:
:
:
:
:
:
Tengah
-
Tengah
-
dbn
simetris
simetris
simetris
simetris
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
N. VIII
Suara berbisik
Tes schwabach
Tes rinne
Tes weber
Vertigo
Nistagmus
:
:
:
:
:
:
dbn
dbn
dbn
dbn
N. IX (Glosofaringeus)
Perasaan lidah (1/3 posterior)
Sensibilitas faring
:
:
dbn
dbn
N. X (Vagus)
Arkus faring
Menelan
Refleks muntah
Fenomena Vernet Rideau
:
:
:
:
normal (tengah)
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
N. XI (Aksesorius)
Mengangkat bahu
Memalingkan muka
:
:
dbn
dbn
N.XII (Hipoglossus)
Atrofi lidah
Kekuatan
Gerak spontan
Posisi diam
Posisi dijulurkan
:
:
:
:
:
(-)
(-)
simetris
simetris
(-)
di tengah
di tengah
(-)
(-)
dbn
dbn
dbn
dbn
- Taktil
- Nyeri
- Suhu
- Diskriminasi 2 titik
- Lokalisasi
:
:
:
:
:
:
:
:
atas
5
normal
normal
:
:
:
atas
5
normal
normal
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
Kanan
tengah
5
normal
normal
Kiri
tengah
5
normal
normal
bawah
5
normal
normal
bawah
5
normal
normal
Refleks
Biceps
Triceps
Brachial
Hoffman Tromner
:
:
:
:
++
++
++
-
:
:
:
:
normal
5
Normal
normal
normal
5
Normal
normal
:
:
:
:
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
dbn
:
dbn
:
:
:
:
Gordon
Paha
++
++
++
-
dbn
dbn
dbn
Klonus
Kaki
4. Reflek primitif
Reflek memegang
Reflek snout
Reflek menghisap
Reflek palmomental
: dbn
: dbn
: dbn
: dbn
: Ttidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
: Tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
CT Scan 2012:
Diagnosis
Epilepsi umum tonik klonik (Generalized Tonic Clonic Seizure)
Plan
Terapi :
- Medikamentosa
Depakote 500 mg
3x1
Carbamazepine
1-1-1
Clobazam
2x1
Bcomplex
1x1
- Nonmedikamentosa: edukasi penyakit terhadap pasien dan keluarga.
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Kejang Umum Tonik Klonik/Generalized tonic clonic seizure (GTCS)
Kejang umum tonik klonik / generalized tonic clonic seizure (GTCS) adalah jenis bangkitan
yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang
diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik).
Terdapat 2 jenis GTCS, yaitu:
GTCS primer: serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal sejak awal mula
serangan.
GTCS sekunder: serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi umum.
Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan sangat cepat sehingga tidak tampak
secara klinis atau bahkan pada perekaman EEG.
Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada neonatus.
Pada pasien usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder yang berasal dari lesi
fokal otak.
B. Patofisiologi
Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi
dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran
neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya menghalangi
perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang melewatinya. Ion Na
mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan ion K berkonsentrasi
tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan potensial membran yang
menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion K menyebabkan
hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai ambang, saluran ion
Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang menghasilkan potensial aksi.
Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K mengganti ion-ion yang berpindah ini
dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi sepanjang akson mentransmisikan informasi
sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi
influks ion Ca yang mencetuskan pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor
postsinaptik. Proses ini akan menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris
(EPSP dan IPSP) di mana penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang
direkam oleh EEG. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara
gamma-aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak.
Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen
maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan strukturstruktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral.
Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan inhibisi
aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini. Bangkitan
dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak. Fungsi neuronneuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas listrik abnormal.
Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta adanya sinkroni dari
pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat terganggu,menyebabkan
predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal. Eksitasi yang berlebihan
mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut sistim neuronal yang
berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang berlebihan. Sementara itu,
bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik. Tunas anjang-anjang aksonal
(sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan pembentukan hubungan sinaptik
eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan bertambahnya hubungan sinaptik ini
menyokong pelepasan sinkronisasi.
Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps glutaminergik
merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit reseptor dengan
akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi jangka panjang pada
sinaps
glutamat
maupun
bertambahnya
dalam
masuknya
penunjang
ion
Ca.
utama
Selain
ikut
itu,
sertanya
transport
dalam
epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial
bertambahnya eksitabilitas.
Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan sifat
membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik)
dan output aksi potensial. Akan tetapikebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik dipusatkan
pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan kalsium. Mutasi atau
hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan transmisi di akson,
influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal, dan bertambahnya
kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang. Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan
mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat membersihkan neurotransmitter dari ruangan
ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat
waktu terjadi kejang. Gliosis dapat meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut
serta dalam pembentukan kejang.
Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian subpopulasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas untuk
berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung mudah
terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat. Mekanisme berhentinya
kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang berhenti sebagai akibat proses inhibisi
aktif, dengan mekanisme seperti blokdepolarisasi, perubahan lingkungan ekstraseluler seperti
tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak daripada otot-otot distal. Lengan terangkat,
mengalami aduksi, dan berotasi eksternal. Tungkai dan panggul terfiksir, mengalami aduksi, dan
berotasi secara eksternal.
Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher. Mulut tertutup
rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut berkontraksi, seringkali dengan
mengeluarkan tonic cry saat udara dikeluarkan dari korda vokalis. Lengan kemudian
diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan dapat tetap fleksi, adduksi, dan berotasi eksternal.
Selama periode transisi dari tonik menjadi klonik, kontraksi menjadi makin berkurang. Rigiditas
tonik digantikan oleh tremor halus, yang amplitudonya makin meningkat dan frekuensinya
menurun dari 8 menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan penurunan tonus secara intermitten yang
dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke proksimal. Durasi fase ini 10-30 detik.
Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tanda-tanda otonom
sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi dan tekanan darah,
berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun tekanan kandung kemih
meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter.
Fase Klonik
Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya tonus otot
(fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan berulang secara ritmik
menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang makin lama tampak makin jauh satu
sama lain sampai kejang berhenti. Tiap hentakan dapat disertai oleh cry. Durasi fase ini antara
30-50 detik. Miksi dapat terjadi pada akhir fase klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap
mengalami apneu selama fase ini. Kejang ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung
selama 1-2 menit.
Gejala Otonomik
Gejala otonomik bermula dari fase pre-iktal, mencapai maksimal pada akhir fase tonik,
dan menurun hebat saat onset fase klonik. Gejala-gejala autonom yang dapat terlihat adalah
peningkatan tekanan darah nadi, tekanan buli-buli, tonus spinkter, flushing, sianosis, piloereksi,
perspirasi, saliva, dan sekresi bronkial.
Apnea dimulai dengan ekspirasi hebat saat onset fase tonik, menetap selama fase tonik dan
klonik, dan kadang sampai periode post-iktal awal.
Fase Awal/Inisial
Selama fase awal GTCS sekunder, EEG dapat memperlihatkan gelombang tajam atau
gelombang lambat fokal.
Fase Tonik dan Fase Klonik
Fase tonik kejang dikarakteristikkan dengan pola amplitudo letupan yang lebih tinggi dan
frekuensi yang lebih rendah secara progresif yang diamati secara simultan pada kedua korteks
hemisfer, mencapai maksimum 10 Hz.
Hal ini kemudian menjadi lebih lambat, bercampur dengan spike amplitudo tinggi bilateral, dan
lebih banyak aktivitas ritme delta amplitudo tinggi. Gelombang-gelombang ini lambat,
berkembang progresif menjadi kompleks aktivitasspike-and-slow-wave amplitudo tinggi repetitif
pada fase klonik.
Fase Post-Iktal
EEG postiktal dapat isoelektris atau menunjukkan aktivitas gelombang delta amplitudo
sangat rendah yang difus. Hal ini berkaitan dnegan hiperpolarisasi.
E. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan Laboratorium
1. Kadar prolaktin plasma, bila diperiksa dalam 10-20 menit saat kejang, meningkat 5-30 kali
kadar normal. Kadar prolaktin plasama merupakan alat diagnosik yang berguna untuk
menyingkirkan pseudoseizure yang menyerupai kejang tonik-klonik. Kadar prolaktin tidak
meningkat pada bangkitan absans, mioklonik, dan pada kejang parsial sederhana atau kompleks.
2. Kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH), kortisol, vasopresin, growth hormone, and
endorfin beta serum juga meningkat post-iktal tetapi dalam durasi yang sangat singkat. Sehingga
sulit dilacak secara klinis.
3. Pada 15% pasien, terutama pada kejang yang berkepanjangan, mungkin didapatkan
pleiositosis likuor (umumnya 10 sel/mm3 dan jarang sampai sebanyak 50 sel/mm3).
4. Asidosis metabolik dan peningkatan kadar laktat dan kreatinin kinase sering ditemukan
setelah kejang.
Pemeriksaan Radiologis
1. Abnormalitas dalam CT scan ditemukan dalam 10% pasien dengan GTCS primer. Karena CT
scan tidak mendeteksi kebanyakan jenis abnormalitas struktural congenital, MRI adalah pilihan
pemeriksaan.
2. Pada GTCS sekunder yang terjadi karena gangguan migrasi neuronal, yang dapat dideteksi
MRI
adalah
heterotopias,
lissencephaly, pachygyria,
focal
cortical
dysplasia
polymicrogyria,
heterotopia, subependymal
focal
subependymal
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul saat terjadinya GTCS adalah:
Trauma oral
Dapat terjadi maserasi lidah, bibir, atau pipi.
Trauma kepala
Fraktur tengkorak, kontusio, hematoma subdural atau epidural dapat disebabkan oleh jatuh atau
karena aktivitas klonik.
Fraktur
Fraktur kompresi vertebra thorakal atau lumbar dapat terjadi asimptomatik, dan lebih sering pada
orang tua.
Pneumonia aspirasi
Aspirasi bahan sekresi atau muntahan dapat terjadi saat refleks-refleks protektif normal jalan
napas mengalami inhibisi post-iktal, dan hal ini dapat berbahaya.
H. Tata Laksana
1. Pertolongan Pertama Saat Kejang dan Pencegahan Komplikasi
Secara umum, setiap orang yang menyaksikan terjadinya kejang bertanggung jawab
untuk mencegah luka fisik, memastikan keamanan, dan mengawasi dengan baik. Penderita tidak
boleh ditinggalkan sendirian. Bila diperlukan, penolong harus mencari pertolongan. Bila
memungkinkan, tempatkan alat bantu airway oral yang lunak pada mulut penderita untuk
mencegah trauma oral dan menjamin drainase sekret selama kejang. Pasien sebaiknya
ditempatkan di tempat aman sebelum terjatuh. Selama fase klonik, tangan atau benda lunak dapat
digunakan untuk mencegah trauma kepala. Letakkan pasien pada posisi lateral dekubitus untuk
menjamin drainase sekret dan mencegah aspirasi
2. Prinsip Dasar Tata Laksana Epilepsi
Tujuan utama tata laksana epielpsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien dengan upaya menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan, mencegah
timbulnya komplikasi dan mencegah timbulnya efek samping obat. (Perdossi, 2007)
Keberhasilan pengobatan epilepsi ditentukan oleh ketepatan diagnosis, jenis obat anti epilepsi
(OAE), kepatuhan, sikap dan pengetahuan pasien dan keluarga tentang epilepsi.
Prinsip-prinsip terapi farmakologis:
Obat anti epilepsi diberikan bila: (Perdossi, 2007; Limoa, 2004)
1. Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau sindroma
epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek samping obat
yang mungkin timbul.
3. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis bangkitan
atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai mencapai hasil
optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan politerapi. Bila kadar OAE kedua telah
mencapai kadar terapi, dosis OAE pertama diturunkan bertahap. (Perdossi, 2007; Limoa,
2004)
4. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila :
(Perdossi, 2007; Browne & Holmes, 2004)
1.
2.
Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan
3.
4.
5.
6.
7.
8.
OAE lini kedua adalah clobazam, gabapentine, levetiracetam, phenytoin, dan tiagabine; dan
OAE lain yang dapat dipertimbangkan adalah clonazepam dan phenobarbital. Untuk
sindrom epilepsi umum tonik-klonik (GTCS), disarankan sodium valproat, lamotrigine,
carbamazepine, dan topiramate sebagai OAE lini pertama; levetiracetam sebagai OAE lini
kedua; dan clobazam, clonazepam, oxcarbazepine, phenobarbital, dan phenytoin sebagai
OAE lain yang dapat dipertimbangkan. (Perdossi, 2007)
Dalam terapi OAE, perlu diperhatikan farmakokinetik obat dan efek samping obat, baik
yang terkait dosis maupun idiosinkrasi.
Tabel 1. Dosis OAE untuk orang dewasa (Perdossi, 2007)
OBAT
DOSIS
DOSIS
JUMLAH DOSIS
WAKTU
WAKTU
PER HARI
PARUH
TERCAPAINYAS
PLASMA (jam)
TEADY
2-3x(untuk yg CR
15-35
STATE(hari)
2-7
2x)
Phenytoin
200-300 200-400
1-2x
Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x (untuk yg CR
10-80
12-18
3-5
20-4
1-2x)
1
1 atau 2
2-3x (untuk yg CR
50-170
20-60
10-30
2-10
2-6
2x)
2-3x
2x
8-15
6-8
2000
Topiramate
100
100-400
Gabapentin 900-1800 900-3600
Lamotrigine 50-100
20-200
2x
2-3x
1-2x
20-30
5-7
15-35
2-5
2
2-6
AWAL RUMATAN(
(mg/hari)
Carbamazepine 400-600
Phenobarbital
Clonazepam
Clobazam
50-100
1
10
mg/hari)
400-1600
50-200
4
10-30
EFEK SAMPING
TERKAIT DOSIS
IDIOSINKRASI
Phenytoin
Asam Valporat
anemia megaloblastik
Stevens-Johnson, Dupuytrens
perifer
Ruam makulopapular, eksfoliasi,
insomnia,distractibility, hiperkinesia,
ititabilitas
hepatotoksik, teratogenik,
Dupuytrens contracture, arthritic
Clonazepam
changes
Ruam, trombositopenia
Levetiracetam
Gabapentin
Lamotrigine
saluran cerna
Ruam, dizziness, tremor, ataksia, diplopia, nyeri
Sindrom Stevens-Johnson
batu ginjal
I. Medikamentosa
Sejumlah obat-obatan digunakan untuk terapi GTCS. Pilihan obat sebaiknya diseusiakan secara
individual dengan pasien dan sindrom epilepsi, tidak hanya tipe kejang.
Asam valproat dianggap sebagai lini pertama karena sifatnya yang spectrum luas, termasuk
kejang mioklonik.
Fenitoin dan karbamazepin merupakan pilihan kedua yang logis di antara obat-obat generasi
lama, tetapi obat-obat generasi baru tampaknya bekerja sama efektifnya bila tidak lebih baik, dan
mempunyai efek samping ynag lebih ringan, terumata penggunaan jangka panjang.
Di antara obat-obat generasi baru, lamotrigine, topiramate, dan zonisamide merupakan obat-
Fenobarbital tetap digunakan oleh banyak neurologis, walaupun efek sampingnya terhadap
Untuk epilepsi general refrakter, felbamate juga digunakan sebagai obat yang efektif. Efek
samping obat ini mengharuskan monitoring blood counts dan tes fungsi hati yang ketat.
J. Pembedahan
Studi-studi pendahuluan memperlihatkan stimulasi nervus vagus (VNS) efektif untuk epilepsi
general. Food and Drug Administration (FDA) USA telah menerima VNS sebagai salah satu
terapi untuk kejang parsial. Dalam suatu penelitisn open label, pasien GTCS berespon baik.
Tidak ada pilihan pembedahan yang lain untuk GTCS murni. the treatment of partial seizures.
Open label VNS registry results have also shown some patients with GTCS respond well. No
other surgical option exists for pure GTCS.
K. Diet
Diet ketogenik direkomendasikan untuk meningkatkan konrol kejang. Diet ketogenik
dikembangkan di Klinik Mayo dan Institut John Hopkins, berdasarkan observasi bahwa
bangkitan meningkat bila terjadi perasaan lapar. Mekanisme pasti kerja diet ini masih belum
diketahui. Diet ini memperodukasi kondisi ketotik, tetapi memberikan kalori adekuat dari protein
dan lemak. Biasanya digunakan untuk epilepsi intractabel, terutama untuk anak-anak. Diet ini
jarang diberikan lagi pada orang dewasa, karena diet ini sangat sulit dipertahankan.
Penelitian-penelitian menunjukkan reduksi frekuensi kejang yang bermakna pada 50% pasien
yang mendapatkan diet. Efek-efek samping terutama pada traktus GI, termasuk kembung,
konstipasi, batu ginjal, penurunan kualitas tulang dan berat badan. Diet ini mengandung
perbandingan rasio lemak:karbohidrat= 4:1. Keton pada urin diperiksa tiap hari dan normalnya
lebih dari 4.
L. Medikamentosa
Tujuan farmakoterapi adalah mengurangi morbiditas dan mencegah komplikasi.
Kategori Obat: Obat Anti Epilepsi
Obat-obatan ini mencegah rekuerensi bangkitan dan mengakhiri aktivitas bangkitan elektris dan
klinis.
1. Valproate
Dianggap sebagai pilihan utama epilepsi general primer, mempunyai spectrum yang sangat luas
dan efektif pada kebanyakan tipe kejang, termasuk kejang mioklonik. Mempunyai mekanisme
kerja multipel termasuk meningkatkan kadar GABA dalam otak dan aktivitas saluran kalsium
tipe-T. Untuk dewasa, dosis inisial valproat injeksi (100mg/ml vial) 10-15 mg/kgBB/hari,
tingkatkan 5-20 mg/kgBB/minggu sampai maksimum dosis 60 mg/kgBB/hari atau sampai batas
dosis yang ditoleransi; kecepatan pemberian iv 20 mg/menit. Sementara dosis oral sama dengan
dosis injeksi. Sementara, untuk anak-anak, dosis inisial adalah 20 mg/kgBB/hari i.v, dan dosis
pemeliharaan 30-60 mg/kg/hari iv.v.
2. Phenytoin
Efektif pada kejang tonik-klonik dan sering digunakan. Mempunyai efek samping jangka
panjangnya berupa osteopenia dan ataksia serebelar. Mempunyai kinetika obat zero-order dan
interaksi obat yang signifikan. Untuk dewasa, loading dose adalah 15-20 mg/kg/hari per oral atau
i.v. Dosis pemeliharaan 5 mg/kg/hari per oral atau i.v, dengan kecepatan pemberian tidak
melebihi 50 mg/kgBB. Sementara dosis inisial pediatrik adalah 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau
i.v, dengan dosis pemeliharaan 5-7 mg/kgBB/hari per oral atau i.v.
3. Fenobarbital
Salah satu oabt anti epilepsi utama yang digunakan sejak awal 1900-an. Sekarang diketahui
bahwa obat ini dapat menyebabkan beberapa efek samping kognitif sehingga kemudian kurang
disukai. Lebih menguntungkan diberikan dalam bentuk dosis sekali sehari, karena mempunyai
waktu paruh yang sangat panjang. Dosis dewasa adalah 90 mg per oral terbagi dalam 4 dosis,
ditingkatkan 30 mg/hari sampai dosis pemeliharaan biasanya adalah 90-120 mg/hari. Sementara
itu, dosis inisial pediatric adalah 3-5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 3-5
mg/kgBB/hari per oral.
4. Karbamazepin
Obat antiepilesi generasi lama yang digunakan sebagai lini kedua bersama fenitoin. Efek
samping adalah osteopenia. Dosis dewasa adalah 400-1200 mg/hari per oral, terbagi dalam 3 kali
sehari. Dosis awal 5 mg/kgBB/hari per oral, dengan dosis pemeliharaan 15-20 mg/kgBB/hari per
oral.
5. Lamotrigine
Obat anti epilepsi generasi lebih baru dengan spectrum kerja yang luas seperti valproat. FDA
mengakuinya baik sebagai epilepsi general dan parsial primer. Mempunyai beberapa mekanisme
kerja. Kekurangan utamanya adalah dosis harus ditingkatkan sangat perlahan dalam beberapa
minggu untuk meminimalisasi kemungkinan timbulnyarash. Dosis dewasa untuk minggu
pertama dan kedua adalah 50 mg/hari per oral; bila diberikan bersama dengan valproat (VPA),
mulai dengan 25 mg 4 kali per hari. Pada minggu ketiga dan keempat, 100 mg/hari per oral
dalam dosis terbagi; bila diberikan bersama VPA, 25 mg/hari. Tingkatkan 100 mg/hari dalam 4
minggu; bila diberikan bersama VPA, tingkatkan 25-50 mg tiap minggu. Dosis pemeliharaan
tanpa VPA adalah 300-500 mg per oral dalam dosis terbagi. Sementara itu dosis pemeliharaan
tanpa VPA adalah 100-200 mg/hari per oral. Untuk pediatrik, dosis inisial adalah 1-2
mg/kgBB/hari per oral. Dosis pemeliharaan adalah 5-10 mg/kgBB/hari per oral. Obat ini
merupakan satu-satunya obat yang diakui oleh FDA untuk sindrom Lennox-Gastaut untuk pasien
berusia kurang dari 16 tahun.
6. Zonisamide
Salah satu dari obat generasi baru yang memblok saluran kalsium tipe T, memperpanjang
inaktivasi saluran natrium dan merupakan suatu inhibitor karbonik anhidrase. Dosis inisial
dewasa adalah 100 mg/kg/hari per oral terbagai dalam 2 dosis, tingkatkan 100mg/hari/minggu
sampai ke dosis pemeliharaan 100-300 mg dua kali sehari per oral.
7. Felbamat
Obat ini diakui oleh FDA untuk terapi kejang parsial refreakter dan sndrom Lennox-Gastaut.
Mempunyai banyak mekanisme kerja, termasuk (1) inhibisi NMDA-associated sodium channels,
(2) potensiasi aktivitas GABA-ergic, dan (3) inhibisi voltage-sensitive sodium channels. Hanya
digunakan untuk kasus-kasus refrakter karena risiko anemia aplastik dan toksisitas hepar,
sehingga dibutuhkan tes darah reguler. Dosis inisial dewasa adalah 600 mg tiga kali sehari per
oral, tingkatkan 600-1200 mg/hari tiap minggu sampai dosis maksimum 1200-1600 mg tiga kali
per hari per-oral.
8. Topiramat
Obat anti epilepsi spektrumluas yang diakui untuk kejang tonik-klonik umum primer.
Mekanisme kerjanya meliputi blok kerja state-dependent sodium channel, potensiasi aktivitas
inhibitorik dari neurotransmitter GABA, dapat memblok aktivitas glutamate, dan sebagai
inhibitor karbonik anhidrase. Dosis dewasa adalah 50 mg/hari per oral, titrasi 50 mg/hari tiap
interval 1 minggu sampai dosis target 200 mg 2 kali per hari. Sementara itu, dosis inisial
pediatrik adalah 25 mg atau 50 mg/hari per oral; lakukan titrasi sampai dosis 6 mg/kg/hari.
9. Levetiracetam
Diindikasikan untuk kejang tonik-klonik primer pada dewasa dan anak usia 6 tahun atau lebih.
Diindikasikan untuk kejang umum tonik klonik primer pada dewasa dan dan anak usia lebih dari
6 tahun. Dosis inisial dewasa adalah 500 mg 2 kali per hari per oral, dapat ditingkatkan 1000
mg/hari 4 kali dalam 2 minggu, tidak melebihi 1500 mg dua kali per hari. Dosis anak kurang dari
6 tahun belum dapat ditentukan. Untuk anak usia 6-15 tahun, dosis 10 mg/kg per oral 2 kali
sehari; dapat ditingkatkan dosis harian 20 mg/kg 4 kali dlaam 2 minggu, tidak melebihi 30 mg/kg
dua kali sehari. Untuk anak usia > tahun, dosis sama seperti pada dewasa.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24
Duncan
Diagnosis
of
Epilepsy
in
Adults,
available
from
Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP
Semarang : 55-63.
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.
Kirkpatrick
Diagnosis
of
Epilepsy
in
Children,
available
from