Anda di halaman 1dari 39

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pendahuluan
Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15% kunjungan ke poliklinik
dan unit emergensi. Demam dapat berasal dari penyakit infeksi maupun non infeksi.
Pada umumnya disebabkan oleh virus yang dapat sembuh sendiri, hanya sebagian
kecil yang dapat berupa infeksi bakteri serius diantaranya meningitis bacteria,
bakteriemia, pneumonia bakteri, infeksi saluran kemih, menteritis bakteri, infeksi
tulang dan sendi. Penyebab demam dapat diidentifikasi berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.1 Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama demam
berlangsung, karakteristik dari demamnya serta keluhan penyertanya.2
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi
yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia
yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari
setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisisensi besi lebih sering
ditemukan di negara yang sedang berkembang sehubungan dengan kemampuan
ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah dan infeksi parasit yang
merupakan masalah endemik.3
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam
penyimpanan dan pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa
enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter
dan proses katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan
demikian, kekurangan besi mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan
dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan kosentrasi
belajar dan mengurangi aktivitas kerja. 3

Anemia ini juga merupakan kelainan hematologi yang paling sering terjadi
pada bayi dan anak. Hampir selalu terjadi sekunder terhadap penyakit yang
mendasarinya, sehingga koreksi terhadap penyakit dasarnya menjadi bagian penting
dari pengobatan. Untuk mempertahankan keseimbangan Fe nutrisi yang optimal
diperlukan diet yang mengandung Fe sebanyak 8 10 mg Fe perhari. Fe yang berasal
dari susu ibu diabsorbsi secara lebih efisein dari pada yang berasal dari susu sapi
sehingga bayi mendapat ASI lebih sedikit membutuhkan Fe dari makanan lain.
Sedikitnya macam makanan yang kaya Fe yang dicerna selama tahun pertama
kehidupan menyebabkan sulitnya memenuhi jumlah yang diharapkan, oleh karena itu
diet bayi harus mengandung makanan yang diperkaya dengan Fe sejak usia 6 bulan. 3
1.2 Demam
1.2.1 Patofisiologi
Demam dapat dipicu oleh bahan exogenous maupun endogenous. Pemicu
peningkatan suhu yang diketahui antara lain IL-1, TNF, IFN yang meningkat
seiring dengan adanya respon radang.. Sitokin ini bila telah terbentuk akan masuk
sirkulasi sistemik dan pada daerah praeoptik hypothalamus merangsang
phospholipase A2, melepas plasma membrane arachidonic acid untuk masuk ke
jalur cyclooxigenase, yang meningkatkan pelepasan prostaglandin E2, yang
mudah masuk blood brain barrier, sehingga merangsang thermoregulatory neuron
untuk meningkatkan thermostat setpoint. Set point yang tinggi memerintahkan
tubuh untuk meningkatkan suhu lewat rangkaian simpatetik. Saraf efferent
adrenergic dapat memicu konservasi panas dan kontraksi otot. Selain itu jalur
autonomic dan endokrin ikut menurunkan penguapan dan mengurangi jumlah
cairan yang akan dipanaskan. Proses ini berjalan terus menerus sampai suhu
tubuh sesuai dengan thermostat, suhu tubuh terukur diatas rata-rata. Bila
rangsangan sitokin telah turun, thermostat diturunkan kembali, sehingga proses
pengeluaran panas dan penambahan jumlah cairan akan berjalan. Termoregulasi
ini dibantu kortek serebri dalam menyesuaikan dengan prilaku.interpretasi demam

pada bayi dan anak harus dibedakan antara demam (di atas 38 0C) dan
hiperpireksia (di atas 39,50 C).1
1.2.2 Focus pada anak dengan demam
a. Demam dengan focus yang jelas (overt focus), klinisnya mudah dikenali,
akibat adanya kemampuan tubuh melokalisisr radang, focus memberikan
dugaan akan penyebab dari radang. Pemeriksaan biakan dapat menjelaskan
kuman penyebab, focus pada bayi kecil dapat disebabkan bakterimia.1
b. Demam tanpa focus yang jelas (occult focus), selain menyebabkan kelainan
anatomi infeksi juga menyebabkan kelainan fungsiologi, focus yang tidak
jelas, gejala klinis yang disebabkan oleh mediator yang menyebabkan
perubahan fisologis, terjadi karena keterbatasan tubuh merespon infeksi.
Selain itu terdapat gabungan gejala yang menjadi kabur.1
c. Demam tanpa penyebab yang jelas (unknown origin), terdapat pada infeksi
kronik yang berjalan pelan, tidak menunjukan focus dan gejala lain yang
mencolok kecuali demam, reaksi radang tidak hanya akibat dari infeksi
tetapi akibat kerusakan jaringan dan kematian sel, seperti pada anak dengan
keganansan atau penyakit autoimun.1
1.2.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, tanyakan riwayat imunisasai, paparan
terhadap infeksi, nyeri menelan, nyeri telinga, batuk atau sesak, muntah dan diare,
dan nyeri ketika buang air kecil. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
menyesuaikan dengan gejala.1
1.2.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bila terdapat resiko bakteremia tersembunyi maka dapat
diberikan antibiotika setelah pengambilan sediaan untuk kultur, terutama jika
leukosit lebih dari 15.000/mm3 atau hitung total neutrofil absolute lebih dari
10.000/mm3. Pemberian antibiotika empiric harus mempertimbangkan resistensi
terapi diberikan selama 3 hari menunggu hasil pemeriksaan, pilihanya

Amoxicilline 60-100 mg/kgBB/hr atau seftriaxon 50-75mg/kgBB/hr (max 2


gr/hr). bila setelah kultur darah hasilnya positif diterapi namun selama 5 hari
demam tidak turun, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap fokal bakteremia
yang tidak terdeteksi lainnya. Berikan terapi juga antipiretik yang bekerja
menghambat enzim pada jalur cyclooxigenase.1
1.2.5 Diagnosis Banding
a. Diagnosis banding demam tanpa disertai tanda local4
Diagnosis Demam
Infeksi virus dengue

Didasarkan Pada Keadaan


Demam mendadak

selama 2-7 hari


Manifestasi perdarahan
Pembesaran hati
Tanda gangguan sirkulasi
Peningkatan nilai hematokrit,

trombositopenia, leucopenia
Ada riwayat keluarga atau
orang
yang

Malaria

Infeksi saluran kemih

tinggi

dilingkungan
menderita

sekitar
demam

berdarah dengue
Demam tinggi khas bersifat

intermiten
Demam terus menerus
Menggigil,
nyeri
kepala,

berkeringat, dan nyeri otot


Anemia
Hepatomegali, splenomegali
Hapusan
darah
terdapat

plasmodium
Demam terutama pada umur

dibawah 2 tahun
Nyeri ketika berkemih
Berkemih lebih sering dari

Sepsis

biasanya
Mengompol
Ketidakmampuan

kemih
Nyeri ketuk

atau nyeri tekan suprapubik


Urin terdapat proteinuria,

leukosituria dan hematuria.


Sakit berat tanpa penyebab

yang jelas
Hipo atau hipertermia
Takikardia, takipneu
Gangguan sirkulasi
Leukositosis atau leukopenia

menahan

kostovertebral

b. Diagnosis banding demam yang disertai tanda lokal4


Diagnosis Demam
Infeksi virus pada
pernapasan bagian atas

pneumonia

Otitis media

Sinusitis

saluran

Didasarkan Pada Keadaan


Batuk, pilek, nyeri telan
Tanda peradangan saluran

napas atas
Tidak terdapat

sistemik
Demam
Sianosis sentral
Pernapasan cuping hidung,

retraksi positif
Peningkatan vena jugularis
Telapak tangaan pucat
Nyeri telinga
Otoskopi tampak membrane

timpani hyperemia
Riwayat otorea kurang dari 2

minggu
Pada saat perkusi wajah ada

gangguan

tanda radang pada sinus yang

Mastoiditis

Abses tenggorokan

Meningitis

Infeksi jaringan lunak dikulit

terserang
Cairan hidung yang berbau
Benjolan lunak dan nyeri di

daerah mastoid
Radang setempat
Nyeri tenggorokan
Kesulitan menelan
Nodus servikal
Demam, nyeri kepala, kaku

kuduk
Kejang, penurunan kesadaran
Ubun-ubun cembung
Pungsi lumbal positif
selulitis

c.Diagnosis banding demam lebih dari 7 hari4


Diagnosis Demam
Demam tifoid

Didasarkan pada keadaan


Demam lebih dari 7 hari
Terlihat jelas sakit dan
kondisi serius tanpa jelas

TB (milier)

yang jelas
Nyeri perut, kembung, mual,

muntah, diare, konstipasi


Delirium
Demam tinggi
Berat badan turun
Anoreksia
Pembesaran hati dan limpa
Batuk
Tes tuberculin dapat positif/

negative
Riwayat TB dalam keluarga
Pola milier yang halus pada
foto polos dada

Endokarditis infektif

Demam rematik akut

Abses dalam

Berat badan turun


Pucat
Jari tabuh
Bising jantung
Pembesaran limpa
Petekie
Splinter haemorhages in nail

bed
Hematuri mikroskopis
Panas pada sendi, nyeri dan

bengkak
Karditis,

marginatum, nodul subkutan


Peningkatan LED dan ASTO
Bising jantung yang berubah
Takikardia
Pericardial friction rub
Korea
Pasca terinfeksi streptokokal
Demam tanpa focus yang

jelas
Radang setempat

eritema

1.2.6 Demam tifoid


a. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
gram negative, Salmonella typhi.5
b. Patofisiologi
Setelah melalui asam lambung, salmonella menembus ileum ditangkap
oleh sel mononuclear, terjadi bakterimia I, setelah berkembangbiak di RES
terjadi bakterimia II, interaksi salmonella dengan makrofag memunculkan

mediator, timbul gejala sistemik, instabilitas vaskuler,inisiasi system beku


darah, depresi sumsum tulang dll. 5
c. Manifestasi Klinis
Demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus,
dan keluhan susunan saraf pusat.
1. Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dari sumer yang semakin
meninggi, sehingga pada minggu ke dua panas tinggi terus menerus
terutama pada malam hari.
2. Gejala gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah,
dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi
hyperemia
3. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, sampai
koma. 5
d. Diagnosis
Diagnosisi dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang didapatkan leucopenia, kultur empedu, darah minggu I, tinja
minggu II air kemih minggu III, widal test kenaikan titer 1/200 positif
minggu II, IgM S, tubex dan elisa. 5
e. Komplikasi
Komplikasi, otitis media, pneumonia, ensefalopati, syok, melena,
ikterus, karditis, ISK, anemia, kadang relaps, perdarahan usus, perforasi,
gangguan status mental berat. 5
f. Tatalaksana
Tatalaksana demam tifoid

diberikan

cloramphenicole

dosis

50/kgBB/hari dalam 3-4 kali pemberian oral/iv selama 14 hari, jika ada
kontraindikasi dapat diberikan Ampicillin 200mg/kgBB/hr 3-4 kali selama
21 hari, atau Amoxycillene 100mg/kgBB/hr 3-4 kali selam 21 hari atau
cotrimoxazole 8mg/kgBB/hr dalam 2 dosis pemberian selama 14 hari,
kasus berat dapat diberikan Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari 2 kali selama 5-7
hari pada kasus multi drug resisten dapat diberikan Meropenam,
Azithromycine dan fluoroquinolon. Antipiretik, Parasetamol harus dibatasi
pada anak lebih dari 2 bulan yang menderia demam lebih dari 390 C dan
gelisah. Dosis paracetamol 15 mg/kgBB/6 jam5

1.3 Anemia Defisiensi Besi


1.3.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi
yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin.4 Anemia defisisensi besi lebih
sering ditemukan di negara yang sedang berkembang sehubungan dengan
kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah dan
infeksi parasit yang merupakan masalah endemik. Saat ini di Indonesia anemia
defisiensi besi masih merupakan salah satu masalah gizi utama disamping
kekurangan kalori-protein, vitamin A dan yodium.3
1.3.2 Epidemiologi
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak
usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah
(5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak perempuan 2,6% dan gadis remaja yang
hamil 26%. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding kulit
putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial ekonomi anak
kulit hitam yang lebih rendah. 1 Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di
indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil SKRT
tahun 1992 prevalensi ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5%. 1 Hasil
survai rumah tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak
usia sekolah menderita ADB.6

1.3.3 Metabolisme zat besi


Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai
peranan yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga
terdapat dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif,
sintesis DNA, neurotransmiter, dan proses katabolisme. Kekurangan besi ini
akan memberikan dampak yang merugikan terhadap sistem saluran pencernaan,
susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas, dan perubahan tingkat selular. 3
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi
dalam makanan, bioavabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa
usus. Ada dua cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan
dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus
diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah
bentuk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap
tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung aaupun zat
makanan yang dikonsumsi. 3
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin
membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel
mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya
kembali ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagaian besi bergabung dengan
apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin

akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan apotransferin membentuk


transferin serum. 3
Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus,
terutama di duodenum sampai pertengahan jujenum, makin ke arah distal usus
penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan
dalam bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik
(feri/Fe3+) yang oleh pengaruh asam ambung , vitamin C, dan asam amino
mengalami reduksi menjadi bentuk fero. Bentuk fero ini kemudian diabsorpsi
oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk fero ini mengalami oksidasi
menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi feritin
selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui
reduksi menjadi bentuk fero dan di dalam plamsa ion fero direoksidasi kembali
menjadi bentuk feri. Yang kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk
transferin. Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita ADB.
Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke
dalam jaringan hati, limpa, dan sumsum tulang serta jaringan lain untuk
disimpan sebagai cadangan besi tubuh. 3
Di dalam sumsum tulang sebagaian besi dilepaskan ke dalam eritrosit
(retikulosit) yang selanjutnya bersenyawa dengan portofirin membentuk
hemoglobin. Setelah eritrosit berumur + 120 hari fungsinya kemudian menurun
dan selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin
mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin

akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma
dan mengikuti siklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan
tergantung aktivitas eritropoisis. 3
Bioavabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan.
Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi
non heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat ( terdapat dalam teh dan
kopi), kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obatobatan ( antasid, tetrasiklin, dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat
besi. 1
Didalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang
bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.
Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi
lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel
kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan
berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila
pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan
cadangan besi untuk mempertahankan kadar Hb. 3
1.3.4 Etiologi
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit
yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang .
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh : 3

1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis


a. Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan
masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada periode ini
insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat badannya meningkat
3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding
saat lahir. Bayi prematur dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1
tahun berat badannya dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam
sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
2. Kurangnya besi yang diserap
a. Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat
Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan
yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih
kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang terutama
digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI eksklusif jarang
menderita kekurangan besi pada 6 bulan pertama. Hal ini disebabkan besi
yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap dibandingkan susu yang
terkandung susu formula. Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi
bayi, sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsropsi. 3 Pada bayi
yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI lebih berisiko tinggi
terkena anemia defisiensi besi.3
b. Malabsorpsi besi

Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya
mengalami perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah
mengalami gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun
penderita mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat melalui bagian
atas usus halus, tempat utama penyerapan besi heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status
besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg,
sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi. Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi
cacing (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang
usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh darah
submukosa usus.3
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.3
5. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi
melaui urin rata-rata 1,8 7,8 mg/hari.
6. Iatrogenic blood loss

Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan paru yang
hebat dan berulang serta adanya infiltrat

pada paru yang hilang timbul.

Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun drastis hingga 1,5 3 g/dl
dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar 40%
remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin serumnya < 10
ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak sebagai akibat iskemia
yang hilang timbul pada usus selama latihan berat terjadi pada 50% pelari.
1.3.5 Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini
menetap akan menyebabkan cadangan besi terus berkurang. Pada tabel berikut 3
tahap defisiensi besi, yaitu :3
Hemoglobin

Tahap 1

Tahap 2

Tahap 3

normal

Sedikit menurun

Menurun

jelas

(mikrositik/hipokromi
Cadangan besi
Fe serum
TIBC
Saturasi

< 100
Normal
360 390
20 30

0
< 60
>390
<15

k)
0
<40
>410
<10

transferin
Feritin serum
< 20
Sideroblas
40 60
FEP
>30
MCV
normal
Tabel 2.2 Tahapan kekurangan besi 3,7,8

<12
<10
>100
Normal

<12
<10
>200
Menurun

a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau store iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin
dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.1
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau
iron limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk
menunjang eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC
meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat. 3
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi
bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga
menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan
mikrositosis dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut. 3
1.3.6 Manifestasi klinis

Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh
penderita dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari
temuan laboratorium saja. Geala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB
dengan kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga
gejala anemia hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun <5 g/dl gejala iritabel dan
anoreksia akan mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi
takikardia, dilatasi jantung dan murmur sistolik. Namun kadang-kadang pada
kadar Hb < 3-4 g/dl pasien tidak mengeluh karena tubuh sudah mengadakan
kompensasi, sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan kadar Hb.3
Kekurangan zat besi di dalam otot jantung menyebabkan terjadinya
gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB akan menunjukkan
peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan gangguan konversi
tiroksin menjadi triodoti-roksin. Penemuan ini dapat menerangkan terjadinya
iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang, sehingga menurunkan
prestasi belajar kasus ADB.9
Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau mengunyah benda
tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan lain lain, timbul
sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang nyaman ini
disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada mukosa mulut
yang mengandung besi berkurang.9

Gejala lain yang terjadi adalah kelainan non hematologi akibat kekurangan
besi seperti :
a.

Perubahan sejumlah epitel yang menimbulkan gejala koilonikia (bentuk


kuku konkaf atau spoon-shaped nail), atrofi papil lidah, postcricoid

oesophageal webs dan perubahan mukosa lambung dan usus halus3,9


b. Intoleransi terhadap latihan : penurunan aktivitas kerja dan daya tahan
tubuh3
c. Termogenesis yang tidak normal: terjadi ketidak mampuan untuk
d.

memperhatikan suhu tubuh normal pada saat udara dingin3


Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, hal ini terjadi karena fungsi
lekosit yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrofil mempunyai
kemampuan untuk fagositosis tetapi kemampuan membunuh E.coli dan
S.aureus menurun3,9
Limpa hanya teraba pada 10-15% pasien dan pada kasus kronis bisa
terjadi pelebaran diploe tengkorak. Perubahan ini dapat diperbaiki dengan
terapi yang adekuat.3

1.3.7 Pemeriksaan Laboratorium


Untuk menegakkan diagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium
yang meliputi pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit
ditambah pemeriksaan indeks eritrosit retikulosit, morfologi darah tepi dan
pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, FEP, feritin) dan
apus sumsum tulang.3

Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan PCV


merupakan hal pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut
dalam menegakkan diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH,
dan MCHC menurun sejajar degan penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosut
biasanya normal, pada keadaan berat karena perdarahan jumlahnya meningkat.
Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokromik, mikrositik,
anisositosis dan poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalusit,
mikrosit, dan sel fragmen). Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB
yang berlangsung lama dapat terjadi granulositopenia. Pada keadaan yang
disebabkan infestasi cacing sering ditemukan eosinofilia.

Jumlah trombosit

meningkat 2-4 kali dari nilai normal, trombositosis hanya terjadi pada penderita
dengan perdarahn yang masif. Kejadian trombositopenia dihubungkan dengan
anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis dan
trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35%
dan trombositopenia 28%.3
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe serum menurun dan
TIBC meningkat. Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang
terikat pada transferin, sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang
berada dalam sirkulasi darah. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC yang dapat
diperoleh dengan cara menghitung Fe serum/TIBC x 100% merupakan suatu nilai
yang menggambarkan suplai besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian
terbaik untuk mengetahui pertukaran besi antara plasma dan cadangan besi dalam

tubuh. Bila saturasi transferin (ST) < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak
adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7% diagnosis ADB dapat
ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7 16% dapat dipakai untuk mendiagnosis
ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya. 3
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang
dapat

diketahui dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporphyrin

(FEP). Pada pembentukan eritrosit akan diebntuk cincin porfiirn sebelum besi
terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan besi tidak adekuat menyebabkan
terjadinya penumpukan porfirin dalam sel. Nilai FEP >100 ug/dl eritrosit
menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya ADB lebih
dini. Meningkatnya FEP disertai ST yag menurun merupakan tanda ADB yang
progesif. 3Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar
feritin serum. Bila kadar feritin < 10 12 ug/L menunjukkan telah terjadi
penurunan cadangan besi dalm tubuh. 3
Pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas
ADB yaitu hiperplasia sistem eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk
mengetahui ada atau tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian
blue. 3
1.3.8 Diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan adanya anemia
dan penurunan kadar besi di dalam serum. Cara lain dengan pemeriksaan

sitokimia jaringan hati atau sum-sum tulang, tetapi cara ini sangat invasif. Pada
daerah dengan fasilitas laboratorium yang terbatas, mengajukan beberapa
pedoman untuk menduga adanya anemia defisiensi yaitu (1) adanya riwayat
faktor predisposisi dan faktor etiologi, (2) pada pemeriksaan fisis hanya terdapat
gejala pucat tanpa perdarahan atau or-ganomegali, (3) adanya anemia
hipokromik mikrositer, dan (4) adanya respons terhadap pemberian senyawa
besi.6
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan
gejala klinis yang sering tidak khas.3
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB3
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO
1.
2.
3.
4.

Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia


Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%)
Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 180 ug/dl)
Saturasi transferin <15 % (N ; 20 50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:


1.
2.
3.
4.

Anemia hipokrom mikrositik


Saturasi transferin <16%
Nilai FEP >100 ug/dl
Kadar feritin serum <12 ug/dl
Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum, dan
FEP harus dipenuhi)

Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:


1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan

2.
3.
4.
5.

MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.


Red cell distribution width (RDW) > 17%
FEP meningkat
Feritin serum menurun
Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%
Respon terhadap pemberian preparat besi
a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 10 setelah
pemberian besi
b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 0,4 g/dl/ hari atau PCV

mengkat 1% / hari.
6. Sumsum tulang
a. Tertundanya maturasi sitoplasma
b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi
berkurang
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial
pemberian preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya
ADB subklinis dengan melihat respons hemoglobin terhadap pemberian
peparat besi. Prosedur ini sangat mudah, praktis, sensitif dan ekonomis
terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita ADB. Bila dengan
pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3 4 minggu terjadi
peningkatan kadar Hb 1 -2 mg/dl maka dapat dipastikan bahwa yang
bersangkutan menderita ADB. 3
1.3.9 Diagnosis banding

Diagnosis banding adalah semua keadaan yang memberikan gambaran


anemia hipokrom mikrositik lain. keadaan yang sering memberi gambaran klinis
dan laboratoium yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan
anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah lead poisoning/
keracunan timbal dan anemia sideroblastik. Untuk membedakannya diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium. 3
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu
cara sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan
melihat jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan
dengan mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun
sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat diperoleh
dengan cara membagi nilai MCV dengan julah eritrosit, bila nilainya < 13
menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada
talasemia minor didapatkan basophilic stipling, peningkatan kadar bilirubin
plasma dan peningkatan kadar HbA2. 3
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya
normokrom normositik, tetapi juga bisa ditemukan hipokrom mikrostik.
Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi
dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun
cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin normal
atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor
transferin (TfR) sangat berguna dalam membedaan ADB dengan anemia karena

penyakit kronis. Pada anemia penyakit kronis kadar TfR normal karena pada
inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun.
Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB. 1
Pemeriksaan Lab

ADB

Talasemia minor

Anemia penyakit

kronis
MCV

N,
Fe serum

TIBC

Saturasi transferin
N

FEP

N
N,
Feritin serum

1
Tabel 2.3 Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB
1.3.10 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80 85% penyebab ADB dapat diketahui dengan penanganannya dapat
dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat dilakukan secara oral atau
parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah, dan sama efektifnya dengan
pemberian secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada
penderita yang tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak
dapat dipenuhi secara peroral karena ada gangguan pencernaan. 3
a. Pemberian preparat besi
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri.
Preparat tersedia berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering
dipakai adalah ferous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat,

ferous fumarat, dan ferous suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia
preparat besi berupa tetes (drop).

Untuk mendapat respon pengobatan dosis

yang dipakai 4 6 mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung


berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferous. Garam
ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu
besar akan meninmbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absropsi besi yang terbaik
adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat
menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut
pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan
meskipun akan mengurangi absropsi obat sekitar 40 50%. Obat diberikan
dalam 2 3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima
tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus
diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. 3
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini
Waktu setelah
pemberian besi
12-24 jam

Respons
Penggantian enzim besi intraselular, keluhan subyektif

berkurang, nafsu makan bertambah


36 48 jam
Respon awal dari sumsum tulang, hiperplasia eritroid
48 72 jam
Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5 7
4 30 hari
Adar Hb meningkat
1 3 bulan
Penambahan cadangan besi
Tabel 2.4 Respon terhadap pemberian besi pada ADB10

Ga
mbar 2.5 Dosis dan lama pemberian suplementasi besi 3
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan
pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat
mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak
perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan
hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan
dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia
berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2 3
mg/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik seperti
furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar. 3
1.3.11 Pencegahan

Upaya umum untuk pencegahan kekurangan besi adalah dengan cara3 :


1. Meningkatkan konsumsi Fe
Meningkatkan konsumsi besi dari seumber alami terutama sumber hewani
yang mudah diserap. Juga perlu peningkatan penggunaan makanan yang
mengandung vitamin C dan A
2. Fortifikasi bahan makan
Dengan cara menambah masukan besi dengan mencampurkan senyawa besi
kedalam makanan sehari-hari.
3. Suplementasi
4. Tindakan ini merupakan cara yang paling tepat untuk menanggulangi ADB di
daerah yang prevalensinya tinggi
1.3.12 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarangan besi
saja dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian
preparat besi. 3

BAB 2
TINJAUAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama

: An AWS

Umur

: 8 bulan 30 hari

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Nama Ayah/Umur

: Tn A/ 33 th

Pekerjaan

: Swasta

Pendidikan

: SMA

Nama Ibu/Umur

: Ny. W/ 31 th

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Agama

: Islam

Suku bangsa

: Jawa

Alamat

: Kaliwaron no.42 Surabaya

Tanggal Pemeriksaan

: 9 Januari 2014

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama

: mencret dan panas tinggi

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Panas sudah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, panas awalnya
sumer-sumer kemudian terus tinggi, panas tidak menentu

terkadang

pagi,siang maupun malam hari, pasien tidak mengigil, tidak ada


kemerahan pada kulit, mimisan maupun gusi berdarah, tidak ada batuk
maupun pilek, tidak ada cairan keluar dari telinga. Sebelumnya pasien
juga mrencret cair berampas 5x/hari, ada ampas sedikit, warna kuning,
tanpa lendir sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit, tidak muntah, BAK
normal, BB ada penurunan, masih mau minum namun sedikit, terlihat
lemas. Sudah dibawa ke RSU Soetomo 2x diberi obat rawat jalan zink,
oralit, dan obat puyer namun pasien tidak tahu isinya dan tidak dibawa ke
rumah sakit. tetap mengkonsumsi obat namun demam masih sumer-sumer
dan BAB cair hilang timbul, ibu pasien lalu membawa anaknya control ke
poli anak RSU Haji (8-10-2014). Ketika datang keluhan pasien hanya
panas sumer-sumer dan pasien tampak lemas nafsu makan menurun,
BAB cair tidak ada BAK normal. Dari pemeriksaan didapatkan
konjungtiva anemis lalu pasien disarankan untuk cek laboratorium, dari

hasil darah lengkap didapatkan Hb 5,2 g/dl, lalu pasien disarankan untuk

MRS.
Selama MRS pasien diberikan terapi transfuse darah 2 kantong pada tgl 9
dan 10/10/2014 1 hari setelah MRS, pasien diberi obat penurun panas,
dan antibiotika, pasien selama MRS nafsu makannya berkurang,

demamnya masih naik turun, BAB dan BAK normal.


Pada waktu pemeriksaan tgl 15/10/2014 pasien masih demam, demam
sumer-sumer, malam dan pagi hari, demam tidak disertai gejala yang
lainnya, nafsu makan sudah membaik, namun masih sedikit, mau minum
susu, BAB dan BAK normal, anak sudah tidak lemas.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


Sering tiba-tiba demam dari kecil, diobati sendiri dan demam mereda, tidak
pernah sampai sakit seperti sekarang, Alergi (-), Asma (-), Trauma (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Alergi (-), asma (-), sakit seperti pasien (-), Batuk lama (-)
5. Riwayat Sosial :
Di lingkungan sekitar tidak ada yg menderita sakit yang sama seperti pasien,
lingkungan rumah yang menurut ibu pasien masih kurang bersih, keluarga
pasien menggunakan air sumur yang bila dikonsumsi di masak terlebih
dahulu, tidak dekat dengan sungai.
6. Riwayat Persalinan :
Ante ANC jika ibu ada keluhan saja tidak rutin control, jamu-jamuan (-),
Natal cukup bulan/ pervaginam / BBL 3500 g/ PB 50 cm.
Post menangis merintih, kuning (-)
7. Riwayat Gizi :
ASI (+) sampai usia 8 bulan, setelah 8 bulan diberi susu formula dan makanan
tambahan, sekarang pasien makan sama seperti yang dikonsumsi orangtuanya.
8. Riwayat Imunisasi:
Tidak diketahui, dan ibu pasien tidak pernah membawa anaknya untuk
imunisasi.
2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum: tampak sakit ringan

Kesadaran: compos mentis

Vital sign:
HR 120 x/menit, reguler, lemah
T 37,60C
RR 26 x/menit, reguler

BB 13 kg

Kepala / Leher :
A/I/C/D : + / - / - / - , Mata cowong : -/- , air mata (-)
Reflek cahaya direct-indirect (ODS) +/+
Mulut: faring hiperemia (-), lidah kotor warna putih
Hidung : PCH (-), deviasi (-), sekret (-), nyeri (-)
Telinga : simetris, discharge (-)
Leher: Pembesaran kelenjar getah bening : - / - Deviasi trakea (-)

Thoraks-pulmo:
I=simetris, normochest, retraksi (-)
P= simetris, stem fremitus simetris
P= A=VBS +/+, Ronkhi basah kasar -/-, Wh -/-, ekspirasi memanjang (-)

Cor:
I=voussure cardiaque (-), IC tak tampak
P=thrill (-)
P= A=S1S2 normal, gallop (-), murmur (-), ekstrasistol (-)

Abdomen:
I=flat, undistended, caput medusae (-), massa (-)
A=BU (+) N
P=timpani, meteorismus (-)
P=hepar dan lien tak teraba, turgor dbn

Genital: phimosis (+),

Anus: berlubang

Ekstremitas:
Ikterus (-)

Akral dingin pucat

Edema (-), sianosis (-)


CRT <2
-

Kulit: kutis marmorata (+)

Status Neurologis:
MS kaku kuduk (-), brudzinsky I (-), brudzinsky II (-), , chaddock (-),
balbinsky(-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Lab 8 Oktober 2014:
-

DL:
Hb 5,2 g/dl
Leukosit 4.510/mm3
Trombosit 257.000/mm3
Hct 18,3%

Hapusan darah
Eritrosit : kesan jumlah menurun dengan microcytic hypochrom,
anisopoikilositosis (DD Anemia def besi)
MCV: 73 FL, MCH : 25 pg , MCHC:28%

UL :
Eritrosit 3-5 plp
Lekosit 1-2 plp
Bakteri (-)
Protein +1

Widal test (-)

Lab tgl 11 Oktober 2014


-

DL

Hb : 9,8 g/dl

Leukosit : 4.270/mm3

Trombosit :155.000/mm3

Hct : 30,4%

Kimia Klinik

GDA ; 97 mg/dl

SE

Kalium : 3, 8 mmol/L

Natrium : 152 mmol/L

Clorida : 120 mmol/L

Widal test (-)

Foto thorax AP :cardiomegali dengan congesti paru

2.5 Problem List


1. Febris lebih dari 7 hari
2. Anemia
3. Anoreksia
4. Gizi kurang
2.6 Resume
An laki-laki usia 5 tahun datang dengan keluhan kontrol panas sudah 2
minggu, panas awalnya sumer-sumer terus naik, diberi obat penurun panas tetap,
panas disertai BAB cair, warna kuning, ampas (+) sedikit, lendir (-), darah (-). Tidak
ada muntah, Masih mau minum namun sedikit. tampak lemas, sudah dibawa ke
puskesmas 2 minggu lalu didiagnosis demam tifoid hasil widal +, diterapi
chloramphenicol sampai sekarang panas masih, BAB cair hilang timbul namun ketika
dibawa untuk control ke poli RSU haji anak tidak diare, namun tampak lemas, mata
anemis dan telapak tangan pucat, lalu dari hasil lab tgl 8-10-2014 Hb 5,2 gr/dl lalu
pasien di MRS. Selama MRS pasien mendapat transfuse darah 2 kantong, obat

penurun panas dan antibiotika, saat diperiksa pasien masih panas, nafsu makan masih
menurun, BAB dan BAK normal, masih tampak sedikit pucat, namun sudah tidak
lemas.
Pemeriksaan fisik saat diperiksa tgl 15/10/2014:
-

Keadaan umum: tampak sakit sedang

Kesadaran: CM

Vital sign:
HR 120 x/menit, reguler, lemah
T 37,0C
RR 26 x/menit, reguler

BB 13 kg PB 102 cm (gizi kurang)

K/L: mata anemis +/+,

Auskultasi toraks: VBS +/+ ronkhi -/-, wh -/-, ekspirasi memanjang (-)

Abdomen: flat , undistended, massa (-), BU (+) N, timpani, meteorismus (-),


hepar dan lien tak teraba, turgor dbn

Genital: phimosis (+)

Ekstremitas:

Akral dingin pucat

CRT <2
Lab 8 Oktober 2014:
-

DL:
Hb 5,2 g/dl
Leukosit 4.510/mm3
Trombosit 257.000/mm3
Hct 18,3%

Hapusan darah
Eritrosit : kesan jumlah menurun dengan microcytic hypochrom,
anisopoikilositosis (DD Anemia def besi)

MCV: 73 FL, MCH : 25 pg , MCHC:28%


-

UL :
Bakteri (-)

Widal test (-)

Lab tgl 11 Oktober 2014 (setelah transfuse)


-

DL

Hb : 9,8 g/dl

Leukosit : 4.270/mm3

Trombosit :155.000/mm3

Hct : 30,4%

Widal test (-)

Foto thorax AP :cardiomegali dengan congesti paru

2.7 Assesment
Observasi febris (DD demam tifoid) + Anemia (DD anemia defisiensi besi)
2.8 Planning
-

Diagnosis:

SI, TIBC, kadar feritin, FEP

Kultur darah

Kultur empedu

Terapi

D5 NS 1150 cc/24 jam

Inj Ceftriaxone 650 mg x 2

Paracetamol 130 mg/x 3-4 kali/hari jika demam (4 dd I cth prn)

Preparat besi ferro sulphate tab

Monitoring :

Tanda-tanda vital (kesadaran, nadi, suhu, frekuensi nafas)

DL

Asupan cairan dan output


Edukasi

Memberitahukan diagnosis, etiologi, perjalanan penyakit, komplikasi, dan


prognosis penyakit pada keluarga

BAB 3
PEMBAHASAN

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi
yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia
yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan oleh penderita
dan keluarganya. Pada yang ringan diagnosis ditegakkan hanya dari temuan
laboratorium saja. Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar
Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemia
hanya ringan saja. Bila kadar Hb turun <5 g/dl gejala iritabel dan anoreksia akan
mulai tampak lebih jelas. Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardia, dilatasi
jantung dan murmur sistolik. Sesuai dengan keluhan pada kasus dimana pada pasien
didapatkan anak pucat, lemah, nafsu makan menurun, dan pada pemeriksaan fisik
didapatkan anemis, sedangkan pada pemeriksaan Hb nilainya 5,2 gr/ dl. Selain itu
pada pasien didapatkan gejala non hematologi dari kekurangan besi berupa
penurunan daya tahan tubuh, pengaturan termoregulasi yang tidak normal dimana
suhu tubuh sering naik turun tanpa sebab yang jelas.
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang . Pada
pasien didapatkan kondisi gizi kurang yang mempengaruhi malabsorpsi besi pada
mukosa usus yang mempengaruhi pengambilan zat besi, selain itu adanya riwayat
diare pada pasien menjadi factor yang memperberat kondisi, pada pasien juga
didapatkan pola makan yang kurang memperhatikan keseimbangan gizi dan
kebutuhan akan zat besi, adanya pola lingkungan yang kurang bersih menjadi factor
untuk anak terjangkit infeksi cacing yang akan menyebabkan perdaran yang
berlangsung kronik. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5
mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan
negatif besi. Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi
yang berlangsung lama.
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan

gejala klinis yang sering tidak khas. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO terdiri
dari Hb kurang dari normal sesuai usia, Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31%, Kadar
Fe serum <50 ug/dl (N : 80 180 ug/dl), Saturasi transferin <15 % (N ; 20 50%)
pada pasien didapatkan Hb 5,2 gr/dl, konsentrasi Hb eritrosit 18,3%, sedangkan untuk
kadar Fe serum dan saturasi transferin belum dilakukan.
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Pemberian
preparat Fe dapat dilakukan secara oral atau parenteral. Pemberian peroral lebih
aman, murah, dan sama efektifnya dengan pemberian secara Transfusi darah jarang
diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat
atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon terapi. Pemberian PRC
dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb
sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk
penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2
3 mg/kgBB pada pasien ini diberikan terapi transfuse PRC 2 kantong yang diberikan
bertahap sampai Hb menjadi 9,8 gr/dl dan keadaan umum pasien membaik dan
selanjutnya diberi terapi tablet besi peroral.
Pada pasien dicari juga penyebab lainnya, pada kasus ini pasien juga
mengalami demam yang lebih dari 7 hari, demam sumer kemudian tinggi disertai
diare pada 2 minggu SMRS, pernah diperiksakan ke puskesmas lalu didiagnosis
demam tifoid dimana waktu itu widal test (+), dan pasien diberi terapi
chloramphenicol. Demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus, dan keluhan susunan saraf pusat. Gejalanya berupa panas lebih dari 7 hari,
biasanya mulai dari sumer yang semakin meninggi, sehingga pada minggu ke dua
panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari. Gejala gastrointestinal dapat
berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung, hepatomegali, splenomegali dan
lidah kotor tepi hyperemia. Gejala saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen,
sopor, sampai koma. Diagnosis demam tifoid dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang didapatkan leucopenia, kultur empedu, darah minggu I, tinja

minggu II air kemih minggu III, widal test kenaikan titer 1/200 positif minggu II, IgM
S, tubex dan elisa. Komplikasi demam tifoid berupa otitis media, pneumonia,
ensefalopati, syok, melena, ikterus, karditis, ISK, anemia, kadang relaps, perdarahan
usus, perforasi, gangguan status mental berat.
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarangan besi saja
dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ismoedijanto, M. Faried Kaspan. Demam Tanpa Penyebab yang Jelas, Dalam:


Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, eds.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, 2008: 84-97.
2. Darmowandowo, M. Faried Kaspan. Demam Tifoid, Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi. Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak, eds. Surabaya:
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, 2008: 84-97.
3. Respati Harry, Reniarti L, Susanah S, Anemia Defisiensi Besi, Dalam :
Purnomo B, Sutaryo, penyunting. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak,
Cetakan ketiga, 2010, Badan penerbit IDAI, Hal. 30 44.
4. Abdulsalam M, Daniel A, Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan Anemia
Defisiensi Besi, dalam Sari Pediatri, Vol 4, No.2, September 2002, Hal. 74
77
5. Pelayaan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Tim Adaptasi Indonesia, eds.
Jakarta:

World

Health

Organization

Indonesia

bekerjasama

dengan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009: 157-162.


6. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S. Diagnosis Fisis Pada Anak Edisi
ke-2. Jakarta: Sagung Seto, 2000: 1-17.
7. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam : Miller DR, Bechner
RL, Miller penyunting. Blood diseases of infancy and childhood. Edisi ke 7
St. Louis, Mosby, 1995, pp 193 215
8. Hilman RS, Ault KA, Iron deficiency Anemia, Hematology in Clinical
Pratice. A Guide to Diagnosis and Management. New York: McGraw Hill,
1995, 72 85.
9. Jandl JH. The hypochromic anemia and other disorders of iron metabolism.
Blood text of Hematology. Edisi ke-1. Boston/Toronto; Little, Brown, 1987,
pp 181-91
10. Domellof M, Dewey KG, Lonnerdal B, Cohen R, Hernell O. Diagnostic
criteria for iron deficiency in infants should be reevaluated. Dalam
Pusponegoro H. Suplementasi Besi untuk anak, J Nutr. 2002;132:3680-6.

Anda mungkin juga menyukai