Bab 5 Kelumpuhan Dan Gangguan Berjalan
Bab 5 Kelumpuhan Dan Gangguan Berjalan
KELUMPUHAN DAN
GANGGUAN BERJALAN
A. Tujuan pembelajaran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
C. Algoritme kasus
E. Penjabaran prosedur
Perbedaan antara kelemahan tipe UMN dengan LMN?
Tanda-tanda
UMN
LMN
Refleks fisiologis
Hiper refleks
Positif
Refleks patologis
Positif
Negatif
Tonus
Hipertoni
Atoni
Trofi
Eutrofi
Atrofi
Fasikulasi
Negatif
Positif
Klonus
Positif
Negatif
:
:
:
:
:
:
Daya Pembauan
Persiapan:
- yakinkan bahwa jalan nafas melalui hidung baik, tidak ada sumbatan
- yakinkan tidak ada atrofi mukosa hidung
Cara pemeriksaan:
- mata ditutup
- satu persatu kedua lubang hidung diperiksa, lubang yang sedang
tidak diperiksa ditutup. Minta pasien untuk mengidentifikasi
bahan yang dipakai untuk tes (kopi, teh, tembakau, kulit jeruk,
dll)
- terciumnya bau dengan tepat berarti susunan olfaktorik
berfungsi dengan baik
Klinis:
- anosmia = hilangnya daya pembauan yang dapat dijumpai pada
trauma kapitis di mana berkas n.I terpotong oleh o skribriformis
atau oleh fraktur os ethmoidalis atau terendam oleh perdarahan
di fossa serebri anterior. Dapat juga merupakan komplikasi meningitis, penekanan oleh meningioma, dll.
- hiposmia = daya pembauan yang kurang tajam, misalnya pada
manifestasi rinitis, terutama rinitis vasomotor. Hiposmia yang
menetap terjadi pada usia lanjut.
- Hiperosmia = daya pembauan yang teramat peka, misalnya pada
histeria konversi.
- Parosmia = bila tercium yang tidak sesuai dengan bahan yang
disium, misalnya pada trauma kapitis.
- Kakosmia = parosmia yang tidak menyenangkan, misalnya
mencium bau pesing, bacin, kakus. Dapat dijumpai pada truma
kapitis atau pada histeria konversi.
Nervus II (optikus)
a.
Daya penglihatan
Persiapan
- ruang harus cukup terang
- yakinkan tidak ada katarak, radang parut di kornea atau nebula,
iritis, uveitis, glaukoma atau korpus alienum
Cara pemeriksaan
- dengan memakai kartu Snellen
- secara kasar, pemeriksaan visus ini dapat dilakukan tanpa
menggunakan kartu, yaitu dengan membaca telunjuk pemeriksa.
Orang normal dapat membaca hitungan jari pada jarak maksimal
60 m. Bila pasien hanya dapat membaca pada jarak 1 m saja, berarti
visusnya adalah 1/60.
b.
Penglihatan warna
Cara pemeriksaan:
- memakai kartus tes Ischihara dan Stilling atau dengan benang wol
berbagai warna
- pasien diminta untuk mengambil atau menunjuk warna sesuai
dengan perintah
c.
Medan penglihatan
Dalam klinik dikenal 3 metode tes medan penglihatan:
- tes dengan perimeter
- tes dengan kampimeter
- tes dengan konfrontasi dengan tangan
Tes konfrontasi
- pasien diminta koperatif untuk memandang satu titik fiksasi di tengah.
- pemeriksa dengan medan penglihatan yang normal berhadapan
sejajar dengan jarak antara mata pemeriksa dan mata pasien sejauh
30 40 cm.
satu persatu mata pasien diperiksa. Bila mata kanan yang diperiksa,
mata kiri ditutup. Begitu pula sebaliknya.
pemeriksa menggerakkan jarinya dari perifer ke tengah (jarak jari
terhadap kedua pihak harus sama).
bila pemeriksa telah melihat, sementara pasien belum, berarti medan
penglihatan pasien menyempit.
Ptosis
Ptosis = penyempitan fisura palpebra karena turunnya kelopak mata
akibat kelemahan/kelumpuhan otot elevator palpebra dan/atau
tarsalis superior.
Cara meyakinkan adanya ptosis:
- pasien disuruh mengangkat kelopak mata atas secara volunter.
Jika ptosis tetap terlihat dan dahi menunjukkan adanya lipatan
kulit maka terbukti ada ptosis tulen.
- lipatan dahi menunjukkan kontraksi otot frontalis yang selamanya
akan timbul bila kelopak mata diangkat sekuat-kuatnya.
b.
c.
Strabismus divergen
Karena n. III mempersarafi m. rektus superior, inferior dan medial, maka
adanya lesi pada n. III akan menyebabkan bola mata menyimpang ke sisi
lateral/temporal. Jadi, bila tidak didapatkan bola mata yang menyimpang
ke temporal berarti strabismus divergen positif.Tetapi, adanya strabismus
belumlah berarti satu otot okuler lumpuh. Mungkin saja ada kelainan
kongenital pada panjang otot okuler.
d.
Diplopia
Bila seseorang mengeluh tentang diplopia tapi tidak memperlihatkan
strabismus, mungkin sekali terdapat parese ringan.
Cara meyakinkan parese ringan:
Coveruncover test
Bila satu mata yang mengalami kelemahan otot okuler yang sedang
menatap satu obyek secara binokuler pada satu obyek ditutup, maka
mata ter5sebut akan bergerak menyimpang menjauhi otot okuler
yang lemah. Bila mata yang sehat ganti ditutup, maka bola mata itu
tersebut akan memutar ke arah yang berlawanan dengan arah
penyimpangan otot yang paretik.
Nervus IV (trokhlearis)
N. IV mempersarafi m. obliquus superior yang mengatur gerakan bola mata
ke bawah sedikit temporal. Paralisis n. IV akan melumpuhkan gerakan bola ke
bawah lateral, menyebabkan penyimpangan ke arah nasal sedikit ke atas.
a.
bila bola mata pasien tidak mampu mengikuti gerakan tersebut berarti
ada paralisis n. IV.
b.
Strabismus konvergen
Perhatikan sikap bola mata penderita apakah ada penyimpangan ke nasal.
c.
Diplopia
Cara pemeriksaan sama dengan pada pemeriksaan n. III.
Nervus VI (abdusen)
N.VI menginervasi m. rektus lateralis yang mengatur gerakan bola mata
ke lateral. Paralisis n. VI akan melumpuhkan gerakan bola mata ke lateral,
menyebabkan penyimpangan ke medial/nasal.
a.
b.
Strabismus konvergen
Perhatikan sikap bola mata penderita. Apakah ada penyimpangan ke arah
nasal atau tidak.
c.
Diplopia
Sama dengan pemeriksaan n. III
Nervus V (trigemius)
a.
Menggigit
Serabut motorik n.V hanya mengikuti cabang ke-3 (n. mandibularis). Otot
yang dipersarafi adalah m. masseter, m. temporalis, m. pterigoideus
eksternus dan internus.
Cara pemeriksaan:
- pasien disuruh menggigit sekuat-kuatnya
- selama pasien menggigit, pemeriksa melakukan palpasi pada m. masseter dan temporalis untuk memeriksa adakah kontraksi
b.
c.
bila ada kelumpuhan unilateral, maka serabut motorik n. V yang ipsilateral tak mampu mengontraksikan m. masseter dan temporalis.
Membuka mulut
Setelah tes menggigit, pasien disuruh membuka mulut. Pemeriksa berdiri
di depan pasien dan mengawasi rahang bawah pasien: apakah simetris
atau menyimpang. Pada kelumpuhan unilateral, rahang bawah akan
menyimpang ke ipsilateral saat mulut dibuka karena m. pterigoideus
eksternus yang sehat akan mendorong mandibula ke depan tanpa
diimbangi oleh sisi yang lain.
Sensibilitas
Sensibilitas wajah diperiksa di 3 daerah berbeda, yaitu atas, tengah dan
bawah, karena masing-masing diinervasi oleh cabang yang berbeda yaitu
cabang oftalmikus, maksilaris dan mandibularis.
Alat yang digunakan:
- untuk sensasi nyeri superfisial, gunakan jarum
- untuk sensasi halus, gunakan kapas/bulu
- untuk sensasi termis, gunakan air panas/dingin.
Cara pemeriksaan:
- pasien harus kooperatif
- selama pemeriksaan sensibilitas kedua mata harus ditutup agar
pasien tidak tahu bagian tubuh yang diperiksa
- untuk mempermudah penilaian maka perangsangan dimulai dari
proksimal dan distal sehingga mudah teridentifikasi daerah dengan
defisit sensorik dan daerah yang normal
- selanjutnya perangsangan berjalan terus maju saling mendekat
dari yang normal ke daerah yang defisit dan sebaliknya
- intensitas perangsangan harus diubah-ubah untuk mengetahui
ketepatan penilaian pasien
- mintalah respons yang tegas dari pasien. Bila pasien merasa
ditusuk/digores maka pasien harus bilang ya
- buatlah peta manifestasi sensorik setelah pemeriksaan selesai.
d.
Refleks bersin
Cara periksa:
- merangsang mukosa hidung dengan jalan menggelitik
- positif bila timbul bersin secara reflektorik
e.
f.
Refleks zigomatikus
Cara periksa:
- dilakukan pengetukan pada os. zigomatikus dengan palu reflek
- pada orang sehat tidak akan didapatkan respons, juga pada lesi
nuklearis dan infranuklearis
- tetapi pada orang dengan lesi supranuklearis n.V akan muncul gerak
berupa gerakan rahang bawah ipsilateral.
g.
Trismus
Amati apakah terdapat spasme otot-otot rahang.
h.
a.
Nervus IX (glossofaring)
Secara klinis pemeriksaan n. IX tidak dapat dipisahkan dengan pemeriksaan
n. X, keduanya mempunyai fungsi yang bersamaan. Gangguan fungsi kedua
saraf dalam klinik sering diungkap lewat anamnesis.
a.
Arkus faring
Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar dan lidah dikeluarkan sejauhjauhnya. Bila tidak bisa maka kita bantu menggunakan spatula lidah untuk
menekan lidah. Dengan demikian arkus faring, uvula, dinding belakang
faring dapat terlihat jelas. Adanya paresis/paralisis ipsilateral n. IX dan
atau n. X menyebabkan asimetri dan tampak melengkung ke sisi yang
sehat.Asimetri dapat diperjelas dengan menyuruh pasien bersuara, ujung
uvula menunjuk ke arah yang sehat.
b.
c.
Reflek muntah
Pembangkitan reflek ini merupakan pemeriksaan penting untuk menilai
fungsi kedua saraf ini. Sewaktu mulut masih terbuka lebar, sensibilitas
orofaring kita periksa dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
spatula lidah. Akan timbul reflek muntah.
d.
Sengau
Suara yang sengau menunjukkan adanya kelumpuhan unilateral/bilateral
n. IX dan atau n. X.
e.
Tersedak
Merupakan gejala kesukaran menelan yang berat. Karena epiglotis
mengalami parese sehingga tidak dapat menutup baik, akibatnya makanan
masuk ke laring dan menimbulkan reflek batuk (tersedak).
Nervus X (vagus)
a.
Denyut nadi
Cara pemeriksaan sama seperti fisik diagnostik biasa, yaitu palpasi a. radialis.
b.
Arkus faring
Sama dengan n. IX.
c.
Bersuara (fonasi)
Perhatikan adakah suara serak/lemah. Terdapat paralisis laring yang
dipersarafi n. X (n. laringeus superior dan rekuren).
d.
Menelan
Gangguan menelan merupakan manifestasi gabungan dari gangguan n. IX,
X, dan VII. Karena mekanisme menelan merupakan hasil kerja integral
saraf tersebut.
Nervus XI (acessorius)
Karena n. XI mensarafi m. sternokleidomastiodeus dan m. trapezius, maka
yang diperiksa adalah fungsi muskuli tersebut.
a.
Memalingkan kepala
Pasien disuruh memalingkan kepala, sementara pemeriksa memegang rahang
pasien untuk menahan gerakan tersebut. Bila fungsi muskulusnya baik akan
tampak konsistensinya yang keras. Bila terdapat parese akan nampak kontur
yang tidak menonjol.Tampak konsistensi yang keras dan kontur otot yang
menonjol tegas.Tetapi bila terdapat parese kontur otot tidak begitu jelas
dan konsistensi otot pun lemah, timbul asimetri/tortikolis. Jika terdapat
kelumpuhan bilateral, posisi kepala akan anterofleksi (menunduk).
b.
Sikap bahu
Kelumpuhan m. trapezius unilateral dapat diperlihatkan sikap bahu dan
skapula. Bahu sisi yang lumpuh akan lebih rendah dan bagian bawah skapula
terletak lebih dekat ke garis tengah daripada bagian atasnya.
c.
Mengangkat bahu
Pasien diminta mengangkat kedua bahunya, sedangkan pemeriksa menahan
elevasi bahu tersebut. Jika gerakan elevasi tersebut lemah dan kontur
otot tidak ada berarti terdapat parese.
d.
Pemeriksaan:
a.
Sikap lidah
Perhatikan sikap lidah apakah ada penyimpangan.
b.
Artikulasi
Pasien dilihat bicaranya, apakah ada disartria. Pada kelumpuhan unilateral
disartria lebih jelas terlihat.
c.
Tremor/Mioklamus
Pasien diminta mengeluarkan lidahnya. Perhatikan adanya gerakan ritmis
bolak-balik yang tidak bertujuan. Dapat disertai bunyi gerakan lidah. Dapat
dijumpai pada degenerasi olivosereblar.
d.
Menjulurkan lidah
Pasien diminta mengeluarkan lidahnya secara lurus. Pada kelumpuhan
unilateral lidah tidak dapat dikeluarkan secara lurus, tetapi menyimpang
ke sisi yang lumpuh karena terdorong oleh otot yang sehat. Bila
kelumpuhan sentral lidah tersebut masih dapat digerakkan ke kanan dan
ke kiri. Sedangkan pada kelumpuhan perifer lidah tetap menyimpang ke
sisi yang lumpuh dan tak dapat bergerak ke sisi yang sehat.
e.
Kekuatan lidah
Penderita disuruh menekankan lidahnya ke salah satu pipi. Kemudian
pemeriksa melakukan pelpasi dari luar. Lalu kita nilai kekuatannya (bisa
tidak menahan desakan tangan pemeriksa).
f.
g.
Fasikulasi lidah
Ialah kedutan otot yang timbul secara cepat tetapi sejenak. Merupakan
kontraksi otot setempat yang halus dan spontan
F. Contoh Kasus
Kasus 1 :
Ibu R berumur 47 tahun datang ke poliklinik saraf dengan keluhan
kelemahan keempat anggota gerak. Pada awalnya 20 hari yang lalu dia merasa
nyeri boyok tak menjalar diikuti dengan rasa gringgingen dan kelemahan di
kedua telapak kaki, kemudian naik ke betis sampai paha. Tiga hari kemudian,
dia merasa kelemahan pada kedua telapak tangan, dan sulit untuk memegang
gelas, diikuti kelemahan tangan dan lengan. Dua hari sebelum masuk rumah
sakit os merasa kesulitan bicara, bicara pelo, dan perot serta mata kanan
tidak bisa menutup dengan rapat.
Pada hari masuk rumah sakit keluhan menetap, tidak sesak nafas, BAB
dan BAK normal. Satu minggu sebelumnya dia pergi berobat ke RSUD
Wirosaban dan mondok, tetapi karena tidak ada perbaikan dia pulang.
Pada pemeriksaan didapatkan sensibilitas menurun minimal, arefleks, dan
pada pemeriksaan CSF kadar protein meningkat.
Kasus 2 :
Penderita laki-laki, umur 47 tahun dengan keluhan Utama: Jalan lambat
dan kaku.Riwayatnya sejak 5 tahun sebelum masuk rumah sakit, penderita
mulai merasa anggota geraknya kaku. Penderita menduga hal ini karena
kelelahan, sehingga dipijatkan pada tukang pijat dan merasa agak membaik.
Namun makin lama rasa kaku makin sering terasa dan semakin memberat.
Tiga tahun kemudian kedua tangan bergetar-getar, terutama bila sedang
beristirahat, tapi menghilang bila digerak-gerakkan. Kemudian terasa kesemutan
pada kedua sisi anggota gerak. Cara berjalan penderita mulai tidak normal,
terasa lamban dan kaku, penderita tak tahan berjalan jauh, dan kesulitan bila
memakai sepatu atau sandal. Penderita mulai sulit mengancingkan baju dan
menyisir rambutnya., serta tulisannya menjadi jelek.