Anda di halaman 1dari 28

Pemeriksaan Sistem Saraf (Setiati, Nafrialdi, Alwi, Syam, & Simadibrata, 2013)

Pemeriksaan tajam penglihatan juga dapat dilakukan dengan kartu


baca seperti kartu Jaeger. Apabila pasien tidak dapat membaca baris
pertama dari Snellen chart (20/200) pemeriksaan dapat dilakukan
dengan menghitung jari, melihat lambaian tangan dan persepsi
cahaya.
Jika dari hasil pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan penurunan
visus maka kemungkinan gangguan refraksi harus disingkirkan. Hal
ini dapat dilakukan dengan meminta pasien melihat melalui pin hole,
yaitu kertas dengan lubang kecil di bagian tengahnya. Jika terjadi
at
en
perbaikan visus dengan pinhole maka kemungkinan penurunan visus
an
diakibatkan oleh gangguan refraksi.
au
Pemeriksaan lapang pandang
en
Untuk keperluan bedside, pemeriksaan dilakukan dengan uji
aca
konfrontasi. Pasien dan pemeriksa duduk berhadap-hadapan dengan
ien
jarak sekitar 50 cm. Posisi mata pasien usahakan segaris dengan posisi
mata pemeriksa. Pasien diminta untuk menutup mata kiri lebih dahulu
dengan tangan kirinya. Mata kanan pasien menatap lurus mata kiri
pemeriksa. Pemeriksa kemudian menjulurkan lengannya dengan jari
menunjuk atau memegang benda dengan warna yang cukup terang.
Posisi jari kurang lebih berada di tengah-tengah jarak antara pasien
dan pemeriksa. Jari digerakkan dari luar ke dalam. Pasien diminta
memberi tanda bila telah melihat jari pemeriksa. Lakukan pemeriksaan
pada semua kuadran
Manifestasi gangguan lapang pandang akan sesuai dengan lokasi
kerusakan pada jaras penglihatan seperti pada gambar di atas
Pemeriksaan warna
Pemeriksaan warna dapat dilakukan dengan kartu Ischihara atau
dengan meminta pasien mengidentifikasi warna-warna di sekitarnya.
Pada kelainan neurologis persepsi terhadap warna merah biasanya
hilang lebih dahulu dibanding warna lainnya. Untuk itu pasien diminta
membandingkan warna merah pada kedua mata juga dibandingkan
antara lapang pandang nasal dan temporal.
Pemeriksaan funduskopi
Untuk memeriksa mata kanan pasien gunakan mata kanan demikian
pula sebaliknya. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam ruang gelap
atau jika diperlukan midriatikum dapat digunakan untuk melebarkan
pupil. Pasien diminta untuk melihat jauh ke depan dan memtiksasikan
pandangannya pada satu titik. Perhatikan melalui lensa oftalmoskop,
papil, cupping, pembuluh darah dan retina.
3. Nervus Okulomotorius, Abdusen dan Troklearis (N. III, IV, VI)
Ketiga saraf ini menginervasi otot-otot penggerak bola mata. Selain itu
N. Ill juga bertugas mengurus levator palpebra dan ikut terlibat dalam
respons rangsang cahaya bersama-sama dengan N. Il.
Nervus okulomotorius mempersarafi m. rektus medial, m. rektus superior,
m. rektus inferior, levator palpebrae, m. sfingter pupile dan m. siliare.
N. Troklearis mempersarafi m. oblikus superior sedangkan N. Abdusen
mempersarafi m. rektus eksternus

Pemeriksaan dimulai dengan inspeksi pada mata. Perhatikan


kedudukan bola mata apakah simetris atau tidak. Perhatikan pula
kelopak mata, catat bila ditemukan ptosis, lagoftalmus ataupun
blefarospasm. Kondisi seperti eksoftalmus dan enoftalmus juga
perlu diobservasi demikian pula dengan kelainan lainnya
. Pemeriksaan pupil meliputi diameter, isokor atau tidak isokor dan
bentuk pupil. Untuk menilai pupil digunakan senter yang cahayanya
diletakkan di tengah-tengah di antara kedua mata agar kedua mata
mendapatkan sinar yang sama pada saat yang bersamaan.
Pemeriksaan refleks cahaya langsung dan tidak langsung dilakukan
dengan mengarahkan senter ke pupil dan perhatikan apakah refleks
cahaya positif pada kedua mata serta perhatikan juga reaktivitas
dari refleks cahaya tersebut
Refleks akomodasi dilakukan dengan meminta pasien melihat jauh
kemudian berpindah melihat dekat (melihat jari pemeriksa).
yang timbul adalah mata melakukan gerakan konvergensi (bergerak
ke medial) dan pupil akan konstriksi.
Pemeriksaan otot-otot penggerak bola mata. Pemeriksaan dilakukarn
dengan meminta pasien untuk menggerakkan matanya mengikuti
gerakan tangan pemeriksa (membentuk huruf H). Perhatikan apakah
pasien dapat menggerakkan matanya ke segala arah dan tanyakan
jika ada pandangan dobel pada saat melihat ke salah satu arah.
4.
Nervus Trigeminus (N. V)
Nervus Trigeminus memiliki 2 komponen yaitu motorik dan sensorik.
Inti saraf ini terletak di pons dan midbrain. Serabut saraf meninggalkan
pons dan melintasi lobus temporalis melalui fossa kranialis media. Di
os petrosus temporalis, saraf ini membentuk ganglion Gasseri dan
Eart
dari ganglion ini komponen sensorik terbagi menjadi 3 divisi, yaitu
oftalmikus, maksilaris dan mandibularis.
Komponen motorik saraf ini menginervasi otot-tot pengunyah seperti
m. masseter, m. temporalis, m. pterigoid medialis dan pterigoid
lateralis
Pemeriksaan komponen motorik. Dimulai dengan inspeksi otot-otot
pengunyah, perhatikan apakah otot-otot tersebut simetris. Lakukan
palpasi pada otot maseter dan minta pasien untuk menggigit.
Rasakan kontraksi dari otot tersebut di kedua sisi. Hal yang sama
dilakukan untuk pemeriksaan otot temporalis. Pemeriksaan juga
dapat dilakukan dengan meminta pasien membuka mulut dan
menahannya ketika pemeriksa mencoba untuk menutupnya
Pemeriksaan komponen sensorik. Pemeriksaan dilakukan pada
ketiga area sensorik N. Trigeminus yaitu area oftalmikus, maksilaris
dan mandibularis (Gambar.11.7). Gunakan modalitas raba halus,
nyeri dan suhu dengan teknik yang sama seperti pada pemeriksaan
sensorik lainnya.
Pemeriksaan refleks kornea dan refleks mandibula (jaw reflex)
Pemeriksaan refleks kornea dilakukan dengan menggoreskan ujung
kapas pada bagian atas kornea (area oftalmikus (V1). Respon yang
timbul adalah refleks berkedip ipsilateral dan kontralateral. Kapas
digoreskan pada kornea dan bukan pada sklera. Stimulus diberikan
dari arah yang tidak terlihat oleh pasien.
Refleks mandibula dapat dibangkitkan dengan mengetuk dagu

pasien. Pasien diminta membuka mulutnya sedikit dan pemeriksa


meletakkan jari telunjuknya di dagu pasien kemudian mengetuk jari
tersebut dengan palu refleks. Respon yang timbul berupa gerakan
menutup mulut. Pada orang normal refleks ini bisa tidak muncul
atau minimal

Nervus Fasialis (N. VIl)


5.
Nervus fasilalis terdiri atas komponen motorik, parasimpatis, sensorik
dan visero sensorik (Gambar. 11.8). Serabut parasimpatisnya
mempersarafi kelenjar submandibula dan sublingual. Serabut visero
sensorik menginervasi pengecapan pada 2/3 depan lidah. Otot ini juga
menginervasi m. Stapedius pada telinga dalam.
Komponen motorik nervus fasialis mempersarafi otot-otot penggerak
wajah. Pemeriksaan dimulai dengan melakukan inspeksi pada wajah.
Perhatikan apakah terdapat asimetri pada wajah, plika nasolabialis
yang lebih datar, kerutan dahi yang tidak simetris ataupun sudut mulut
yang tampak lebih rendah.
Untuk menilai kekuatan otot wajah, pasien diminta untuk melakukan
beberapa gerakan. Pada saat tersenyum pemeriksa dapat menilai
kontraksi wajah pada kedua sisi. Apabila terdapat kelumpuhan di salah
satu sisi maka plika nasolabial di sisi yang lumpuh akan terlihat lebih
datar.

Otot dahi dapat dinilai dengan meminta pasien untuk mengangkat


tidak mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan otot dahi ditemukan pada
paresis nervus fasiais perifer seperti pada Bells padsy (Gambar 11.9b)
Kedua jenis kelumpuhan ini terjadi karena bagian atas wajah
mendapatkan persarafan bilateral sedangkan pada bagian bawah
persarafannya unilateral (Gambar 11.10).

6. Nervus Vestibulokoklearis (N. VII)


atas 2 bagian yaitu N. Koklearis yang mengurus
pendengaran dan N. Vestibularis yang mengurus keseimbangan.
Serabut saraf untuk pengengaran berjalan dari organ corti menuju
inti N. Koklearis di pons. Dari pons serabut saraf ini berjalan bilateral
menuju korpus genikulatus medialis dan meneruskan diri ke girus
superior lobus temporalis. Serabut saraf untuk keseimbangan berjalan
dari utrikulus dan kanalis semisirkularis untuk kemudian bergabung
dengan serabut saraf pendengaran di kanalis fasialis. Selanjutnya
menuju ke batang otak melalui cerebelopontine angle. Dari batang
otak serabut vestibularis ini juga akan berjalan menuju ke serebelum.
Nervus Koklearis
Nervus ini bertanggung jawab untuk kemampuan mendengar
Tajam pendengaran dapat diperiksa dengan beberapa teknik. Untuk
keperluan bedside pemeriksaan kasar seperti mendengar suara
gesekan jari, detik jam tangan ataupun bisikan dapat dilakukan.
Gesekkan jari telunjuk dan ibu jari di depan kedua telinga pasien
dan minta pasien untuk membandingkan adakah yang lebih kuat
di antara kedua sisi tersebut.

Pemeriksaan lainnya adalah dengan garputala (Tabel 11.1). Dapat


digunakan garputala yang berukuran 128, 256 ataupun 512 Hz.
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan Rinne dan
Weber Pemeriksaan Rinne membandingkan antara hantaran udara
dan hantaran tulang pasien. Pada kondisi normal hantaran udara
lebih baik daripada hantaran tulang. Tes Rinne dilakukan dengarn
meletakkan garpu tala yang telah digetarkan di tulang Mastoid
pasien. Pasien diminta mendengarkan suara garputala bukarn
merasakan getarannya. Setelah tidak terdengar lagi. garputala
dipindahkan ke depan telinga yang sama. Ditanyakan kepada
pasien apakah masih mendengar suara garputala tersebut. Rinne
dikatakan normal atau positif bila pasien masih mendengar suara
garputala. Pada tuli konduktif hantaran tulang akan memanjang
sedangkan pada tuli sara hantaran udara tetap lebih panjang dari
hantaran tulang
Pemeriksaan Weber dilakukan dengan meletakkan garputala yang
telah digetarkan di dahi pasien atau di tempat lain pada garis
midline seperti di vertex atau dagu.Jika fungsi pendengaran normal
maka suara garputala dari garis tengah akan terdengar sama oi
kedua telinga. Pada tuli konduktif akan terjadi lateralisasi ke telinga
yang sakit sedangkan pada tuli saraf akan terjadi sebaliknya.
kolom tabel 1.1

Nervus Vestibularis
Nervus vestibularis turut mengurus keseimbangan, koordinasi dan
orientasi terhadap tempat. Pemeriksaan untuk nervus ini meliputi
pemeriksaan Romberg, past pointing dan Fukuda stepping test
Pada tes Romberg pasien berdiri dengan kedua kaki rapat dan
lengan dilipat di dada. Pasien diminta berdiri dalam posisi ini
dengan mata terbuka dan mata tertutup masing-masing 30 detik.

Diperhatikan apakah pasien dapat tetap berdiri atau jatuh ke satu


Sisi
Pada pemeriksaan past pointing akan dinilai deviasi dari gerakan
tangan pasien yang bisa disebabkan oleh gangguan vestibular
ataupun serebelum. Pasien diminta untuk mengekstensikan
lengannya ke atas dengan jari telunjuk ekstensi. Pemeriksa
menempatkan jari telunjuknya di depan pasien dan meminta pasien
untuk menyentuhnya dengan menurunkan lengan yang ekstensi
Gerakan dilakukan dengan mata terbuka beberapa kali kemudian
dilanjutkan dengan mata tertutup. Teknik yang sama dilakukan
pada kedua sisi, kiri dan kanan
Pemeriksaan Fukuda Stepping test dilakukan dengan menginstuksikan
pasien untuk berjalan di tempat dengan mata tertutup sebanyak 50
langkah dengan kecepatan seperti berjalan biasa. Tes ini dianggap
tidak normal apabila pasien berpindah lebih dari 1 meter atau
berputar lebih dari 30 derajat dari tempat semula.
7. Nervus Glosofaringeus dan Vagus (N. IX.,x)
N. IX dan X memiliki komponen motorik, sensorik dan otonom. Inti
kedua serabut saraf ini berada di medula oblongata dan keluar dari
tulang kranial melalui foramen jugularis. Nervus glosofaringeus
mengurus komponen sensorik faring, nasofaring, telinga tengah, telinga
dalam dan 2/3 belakang lidah. Sedangkan komponen otonomnya
mengurus kelenjar parotis. N Vagus menerima input sensorik dari faring
dan laring serta menginervasi otot faring, laring dan palatum
Kedua saraf ini diperiksa secara bersamaan karena fungsinya saling
berkaitan. Keduanya turut berperan pada proses artikulasi dan
menelan. Apabila terjadi kelumpuhan N. IX dan X maka palatum molle
tidak dapat menutup jalan udara dari hidung sehingga suara akan
terdengar sengau. Lakukan observasi terlebih dahulu terhadap palatum
mole, arkus faring dan uvula pada kondisi istirahat. Selanjutnya minta
pasien untuk bersuara "aaaaaa. Perhatikan kontraksi dari otot-otot
tersebut. Apabila terdapat kelumpuhan maka arkus faring sisi yang
lumpuh akan lebih rendah dari sisi yang sakit dan uvula akan tertarik
ke sisi sehat.
Pemeriksaan gag reflex dilakukan dengan menyentuh faring atau palatum pasien dengan lidi
kapas

Pemeriksaan Sistem Saraf


Nervus Asesorius (N. XI)
8.
Nervus asesorius merupakan serabut saraf motorik yang intinya hanya
mempunyai 1 hubungan dengan korteks kontralateral (persarafannya
unilateral). Serabut sarafnya keluar dari foramen jugulare dan
merupakan kesatuan dari serabut saraf yang berasal dari inti medula
oblongata dan inti spinal servikal
Saraf ini menginervsi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Pemeriksaan otot sternokleidomastoideus dilakukan dengan meminta
pasien untuk menoleh ke satu sisi dan pemeriksa memberika
tahanan pada dagunya. Rasakan kekuatan pasien dan perhatikan
kontraksi otot tersebut. Pemeriksaan otot trapezius dilakukan dengan
menginstruksikan pasien untuk mengangkat kedua bahunya dan
pemeriksa memberikan tahanan pada kedua sisi secara bersamaan.
Bandingkan kekuatan pada kedua sisi tersebut.
Nervus Hipoglosus (N. XII)
9.
Inti serabut saraf ini terletak di medula oblongata dan keluar
meninggalkan tulang kranium melalui foramen hipoglosus
Saraf ini menginervasi otot-otot ekstrinsik dan intrinsik lidah. Pada
inspeksi lidah perhatikan posisi lidah ketika masih berada di dalam
mulut dan ketika dijulurkan. Perhatikan adanya asimetri, atrofi, kerutan
pada lidah dan fasikulasi ataupun tremor. Pada saat dijulurkan apabila
terdapat kelumpuhan maka lidah akan berdeviasi ke arah yang sakit.
Pada lesi lower motor neuron kelumpuhan disertai dengan atrofi papil
dan fasikulasi
Kekuatan otot lidah dapat dinilai dengan meminta pasien untuk
menekan lidahnya pada pipi kemudian pemeriksa memberikan tahanan
dari pipi sebelah luar. Apabila terdapat kelumpuhan lidah bagian kiri
maka kekuatan lidah saat ditekan ke pipi kanan akan menurun.
3. PEMERIKSAAN MOTORIK
Sistem motorik dimulai dari kortek motorik di girus presentral. Sebelumnya
sebuah gerakan direncanakan dan dipersiapkan di area premotor dan korteks
suplemen motorik untuk selanjutnya dieksekusi menjadi sebuah gerakan
volunter oleh girus presentral. Korteks motorik primer ini juga menerima
input dari sistem ekstrapiramidal dan serebelum. Keduanya berkontribusi
dalam menghaluskan gerakan tersebut. Serabut saraf meninggalkan korteks

motorik sebagai jaras kortikospinal. Serabut ini berjalan turun melalui korona
radiata menuju kornu posterior kapsula interna. Selanjutnya serabut saraf
ini akan memasuki pedunkulus serebri yang membentuk basis dari medula
oblongata. Traktus kortikobulbar akan berakhir di bagian bawah otak tengah
atau struktur lainnya pada inti-intinya. Serabut saraf traktus kortikospinal
akan bergerak turun dari pedunkulus dalam sebuah bundel yang kompak
membentuk struktur yang dikenal sebagai piramis di medula oblongata.
Pada bagian kaudal medula 90% serabut traktus korti kopsinal akan
berlukasasio ke sisi kontralateral dan meneruskan perjalanannya menuju ke
medula spinalis sebagai traktus korti kospinal lateralis. Sisanya (10%) akan
berjalan ipsilateral sebagai traktus kortikospinal anterior (Gambar 11.11).

Dari medula spinalis serabut motorik akan keluar melalui kornu anterior
di bagian ventral medula spinalis sebagai radiks saraf. Radiks-radiks ini akan
bergabung menjadi pleksus dan meneruskan diri sebagai sa
motorik ini akan berakhir di otot sebagai eksekutor sebuah gerakan. Sebelum
mencapai otot sinyal motorik terlebih dahulu melewati taut sarafo
Komponen ini (dari kornu anterior hingga otot) dikenal sebagai motor unt.
raf perifer. Sistem
Pemeriksaan motorik terdiri atas:
Pengamatan terhadap sikap tubuh dan cara berjalan
a.
Pemeriksaan trofi (bentuk) otot
b.
Pemeriksaan tonus otot
c.
Pemeriksaan kekuatan otot
d.
e. Pemeriksaan refleks
a. Pemeriksaan terhadap sikap tubuh dan cara berjalan
Pemeriksaan motorik dimulai dengan pengamatan terhadap sikap
tubuh, postur cara berjalan dan juga gerakan-gerakan pasien. Penyakit
atau kelainan tertentu akan mengakibatkan sikap tubuh yang yang cukup
khas. Pasien dengan penyakit parkinson akan berdiri dengan tubuh agak
membungkuk ke depan dan lengan dan tungkai fleksi. Parkinson juga
menyebabkan gerakan pasien menjadi lambat, langkah kaki kecil-kecil dan
ayunan tangan menghilang.
Pasien dengan hemiparesis akibat lesi di sistem piramidalis akan terlihat
dengan posisi lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Pada saat berjalan tungkai
akan sirkumdiksi
Pada gangguan serebelum, pasien akan berjalan dengan langkah
yang lebar dan tampak tidak seimbang seolah terayun-ayun. Sedangkan
pada ataksia sensorik, pasien berjalan dengan mengangkat tinggi
tinggi tungkainya kemudian menghempaskan kaki ke lantai untuk dapat
meningkatkan stimulus terhadap rasa posisi.
b. Pemeriksaan trofi otot
Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi dan pengukuran. Pada saat
melakukan inspeksi perhatikan bentuk otot secara keseluruhan, kesimetrisan antara otot-otot di
kedua sisi tubuh, ada atau tidaknya otot yang mengecil

ataupun tampak lebih besar. Otot-otot wajah, bahu, panggul dan ekstremitas
bagian distal perlu diperhatikan dengan lebih rinci. Untuk ekstremitas
atas perhatikan otot thenar, hypothenar dan interoseus sedangkan pada
ekstremitas bawah perhatikan otot tibialis anterior
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memeriksa trofi otot
adalah dengan meminta pasien menjulurkan dan merapatkan kedua
lengannya. Perhatikan seluruh otot dari jari-jari hingga bahu dan catat jika
terdapat otot yang asimetri.
Palpasi sangat membantu pada pemeriksaan trofi otot. Otot normal atau
eutrofi akan teraba semielastis dan akan kembali ke bentuk semula setelah
dilakukan penekanan. Otot yang hipertrofi akan teraba keras sedangkan
otot yang psudohipertrofi akan terlihat besar namun pada palpasi akan
teraba lunak seperti karet. Otot yang atrofi akan teraba lunak dan "kosong
Penurunan massa otot tidak selalu kasat mata. Terkadang pada
pengamatan terkesan masih asimetris jika penurunan yang terjadi tidak
signifikan. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran. Pengukuran massa otot
yang dicurigai mengalami atrofi dilakukan dengan memakai patokan-
patokan anatomis seperti di bawah atau di atas olekranon, patela, maleolus
dan lain-lain. Pada kasus-kasus tertentu diperlukan juga pengukuran
panjang tungkai atau lengan. Pengukuran ini juga bermanfaat untuk menilai
progresifitas penyakit bila dilakukan berkala
d.
c. Pemeriksaan tonus otot
Ska
Pada pemeriksaan tonus otot pasien harus berada dalam kondisi rileks
dan kooperatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan gerakan pasif
pada otot. Palpasi terkadang dapat membantu menilai tonus otot. Yang
Cou
Tal
terpenting dari pemeriksaan tonus otot adalah menilai resistensi otot yang
rileks tehadap gerakan pasif dan range of motion. Penilaian tonus dilakukan
pada gerakan lambat maupun cepat serta pada range of motion parsial
maupun maksimal. Dinilai adanya abnormalitas berdasarkan distribusi, tipe
dan derajat keparahannya. Pada kondisi hipertonus dapat dijumpai tahanan
pada saat dilakukan gerakan pasif. Rigiditas dapat berupa cogwheel rigidity
di mana tahanan dirasakan seperti roda gigi ataupun lead-pipe di ma
anan dirasakan sama sejak awal hingga akhir gerakan tanpa dipengaruhi
oleh kecepatan. Sedangkan otot yang spastis dapat dirasakan dengan mengubah kecepatan pada
saat gerakan pasif. Pada saat digerakkan lambat,

resistensi otot tidak terlalu besar, tetapi dengan menggerakkan dengan lebih
cepat resistensi otot juga akan meningkat.
Beberapa teknik lain untuk memeriksa tonus otot akan dipaparkan seperti
berikut ini.
1.
Babinski Tonus Test
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan fleksi pada sendi siku
Jika terdapat otot-otot hipotonus di daerah lengan maka lengan dapat
difleksikan dengan sudut yang lebih kecil dibandingkan dengan otot
yang eutonus. Sebaliknya jika terdapat otot-otot yang hipertonus
maka fleksibilitasnya akan menurun dan sudut yang dibentuk tidak
dapat lebih kecil dari normal.
Pendoulousness of the legs
2.
Pada pemeriksaan ini pasien diminta duduk di tepi tempat tidur
dengan tungkai terjulur ke bawah. Kedua tungkai bawah diekstensikarn
horizontal pada sendi lutut kemudian lepaskan. Biarkan kedua tungkai
terayun-ayun. Dalam kondisi normal tungkai bawah akan berayun
sekitar 6-7 kali dan lama kelamaan akan melambat dan menurun
jangkauannya hingga berhenti. Gerakan seperti pendulum ini akan
menurun pada otot tungkai yang hipertonus dan sebaliknya akan
meningkat pada kondisi hipotonus.
d. Pemeriksaan kekuatan otot
Skala kekuatan otot yang banyak digunakan adalah The Medical Research
Council Scale of Muscle Strength (tabel 11.2).
Tabel 11.2. Skala kekuatan otot berdasarkan The Medical Research
Council Scale of Muscle Strength
Nilai Respons otot
0 Tidak ada kontraksi
1 Terdapat sedikit kontraksi
2 Terdapat gerakan aktif tetapi tidak dapat melawan gravitasi
3 Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi
4 Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi dan tahanan ringan
4 Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi dan tahanan sedang
4+ Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi dan tahanan kuat
5 Kekuatan otot normal

Untuk membedakan skala 4-, 4 dan 4+ dapat digunakan panduan berikut.


Jika diperlukan seluruh tangan untuk mendorong dan mengalahkan kekuatan
otot pasien maka hal ini dikategorikan sebagai 4 +. Apabila hanya diperlukan
3 jari untuk mengalahkan otot pasien maka dinilai sebagai 4 sedangkan
4- jika hanya cukup hanya dengan 1 jari.
Pada pemeriksaan kekuatan otot perhatikan kesimetrisan kekuatan otot
dan distribusi otot-otot yang mengalami kelemahan.
Pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan sebagai berikut.
Abduksi bahu (deltoid dan supraspinatus - C5, C6)
1.
Pasien diminta untuk melakukan abduksi lengan atas dan melawan
tahanan yang diberikan oleh pemeriksa (Gambar 11.12). Pada gerakan
ini pemeriksa dapat merasakan kontraksi otot deltoid dengan palpasi
2. Aduksi bahu (latisimus dorsi (C6,C7,C8)
Lengan pasien dalam posisi abduksi lateral dan horisontal. Minta
pasien untuk melakukan gerakan aduksi dan berikan tahanan sambil
melakukan palpasi otot latisimus dorsi untuk merasakan kontraksinya
3. Fleksi siku (biseps C5, C6)
pasien memfleksikan sendi siku Dan diberikan tahanan terhadap gerakan tersebut

4. Ekstensi siku (triseps brachii C7, C8)


Pasien diminta mengekstensikan sendi sikunya dan pemeriksa
memberikan tahanan pada lengan bawah

Gambar 11.15. Pemeriksaan ekstensi siku

5. Fleksi pergelangan tangan (fleksor carpi ulnaris dan radialis - C6, C7)
Pasien diminta memfleksikan pergelangan tangannya sambil melawan
tahanan yang diberikan oleh pemeriksa. Pada gerakan ini pemeriksa
dapat melihat dan mempalpasi tendon otot fleksor carpi radialis dan
fleksor carpi ulnaris (Gambar 11.16)

y. Ekstensi pergelangan tangan (ekstensor carpi radialis longus (ECRL)


(C6, C7), ekstensor carpi radialis brevis (ECRB), ekstensor carpi ulnaris
(ECU) (C7, C8).
Pasien melakukan gerakan ekstensi pergelangan tangan dengan
lengan bahwa pada posisi pronasi. Pemeriksa memberikan tahanan
dengan tangan kanan dan tangan kiri mempalpasi massa otot ECLR
ECRB dan ECU (Gambar 11.17).

7. Fleksi jari tangan (Fleksor digitorum superfisialis (FDS) dan Fleksor


dan digitorum profundus (FDP) - C8)
Kekuatan FDS dinilai dengan meminta pasien memfleksikan jari pada
persendian proksimal interphalang (PIP) dan melawan tahanan yang
diberikan oleh pemeriksa (Gambar 11.18)

sedangkan until memeriksa FDP dilakukan dengan memberikan tahanannpada flekso phalang
distal dengannfiksasi pada phalang medial

8. fleksi sendi panggul ( psoas (L1-L4) Dan iliacue (L2-L4)


pasien berbaring dalam posisi supinasi Dan memfleksikan panggulnya dengan lutut fleksi Dan
tungkai bawah ditopanh oleh tangan pemeriksa. pemeriksa memberikan tahanan terhadap
gerakan fleksi panggul

9. Ekstensi sendi panggul (gluteus maksimus - L5-s2)


Posisi pasien terbaik untuk menilai gerakan ini adalah berbaring pronasi
dengan lutut fleksi dan mengekstensikan panggulnya melawan tahanan
pemeriksa (Gambar 11.21).Pemeriksaan ekstensi sendi panggul dapat
pula dilakukan dengan posisi pasien berbaring supinasi maupun duduk

10. Abduksi sendi panggul (gluteus medius, gluteus minimus dan tensor
fascia lata - L4-s1)
Pasien dalam posisi supinasi dan berusaha menggerakkan tungkai
yang ekstensi ke arah lateral melawan tahanan yang diberikan oleh
pemeriksa (Gambar 11.22).
11. Aduksi sendi panggul (aduktor longus, brevis dan magnus - L2-L4)
Gerakan ini dinilai dengan pasien dalam posisi supinasi dan melakukan
aduksi tungkai (lutut ekstensi) melawan tahanan yang dibeikan oleh
pemeriksa (Gambar 11.23).

12. Fleksi sendi lutut (hamstring (biseps femoris, semimembranosus,


semitendinosus) - L5-S2)
Pemeriksaan ini paling baik dilakukan dengan posisi pasien pronasi
dan diminta memfleksikan lututnya melawan tahanan yang diberikan
oleh pemeriksa (Gambar 11.24). Dengan posisi seperti ini pemeriksa
dapat dengan mudah melihat dan meraba kontraksi otot yang terjadi.
Meskipun demikian pemeriksaan fleksi lutut dapat pula dilakukan
dengan posisi pasien supinasi.

13. Ekstensi sendi lutut (kuadrisep femoris -12-L4)


Otot kuadrisep femoris umumnya sangat kuat sehingga sangat sulit
untuk mengalahkannya. Untuk itu pemeriksa dapat menggunakan
teknik berikut ini untuk memeriksa ekstensi sendi lutut (Gambar
11.25). Pasien dalam posisi supinasi, pemeriksa berdiri di sisi lateral dari
lutut yang akan diperiksa. Misalkan untuk memeriksa lutut kiri maka
pemeriksa berdiri di sisi kiri pasien dan meletakkan lengan bawahnya
di bawah lutut kiri pasien. Pasien diminta mengekstensikan lutut kirinya
sementara lengan kanan pemeriksa mengangkat lutut pasien dan
tangan kiri pemeriksa mendorong pergelangan kaki kiri pasien,

14. Plantar fleksi (gastroknemius dan soleus - S1, S2)


Pasien melakukan gerakan plantar fleksi pada pergelangan kaki dan
pemeriksa memberikan tahanan pada telapak kaki (Gambar 11.26).
15. Dorsifleksi (tibialis anterior, ekstensor digitorum longus dan hallucis
longus L4,L5)
Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien melakukan dorsifleksi
telapak kaki dan melawan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa
dengan salah satu tangan dan tangan lainnya melakukan palpasi
kontraksi otot tibialis anterior (Gambar 11.27).

16. Inversi pergelangan kaki (tibialis posterior - L5, S1)


Pasien melakukan gerakan inversi kaki (memutar plantar pedis ke arah
medial) melawan tahanan yang diberikan oleh pemeriksa dengan
salah satu tangannya (Gambar 11.28). Tangan pemeriksa lainnya
mempalpasi kontraksi otot tibialis anterior yang dapat terlihat dan
teraba di belakang maleolus.

17. Eversi pergelangan kaki (peroneus longus, peroneus brevis dan


ekstensor digitorum longus -L4, L5, S1)
Pasien menggerakkan (memutar) telapak kaki ke arah lateral melawan
tahanan (Gambar 11.29). Pemeriksa memberikan tahanan pada
telapak kaki dengan satu tangan dan tangan lainnya melakukan palpasi
otot peroneus longus dan brevis di belakang maleolus lateralis.

Pemeriksaan formal kekuatan otot seperti di atas tidak selalu dapat


mendeteksi kelemahan otot terutama pada kelemahan atau kelumpuhan
yang ringan. Untuk itu dapat dilakukan beberapa teknik berikut ini.
1. Pronator drift (Barre's sign)
Pasien menjulurkan kedua lenganya dengan telapak tangan
menghadap ke atas dan diminta untuk menutup mata selama kurang
lebih 20-30 detik. Pemeriksa memperhatikan kedua lengan pasien.
Pada kondisi normal di mana tidak terdapat hemiparesis posisi kedua
lengan akan tetap sama. Apabila terdapat hemiparesis maka lengan
yang hemiparesis akan turun dan pronasi
2. Knee-dropping test
Pasien dalam posisi supinasi, dilakukan fleksi tungkai pada sendi
panggul dan lutut dengan lutut membentuk sudut 45o dan telapak
kaki menempel pada tempat tidur. Kedua tungkai dilepaskan, apabila
terdapat paresis pada salah satu tungkai, maka tungkai yang lemah
akan turun lebih cepat sehingga lutut akan ekstensi dan panggul juga
akan ekstensi, rotasi eksternal, dan abduksi.

3. Arm roll
Pasien diminta untuk mengepalkan tangannya, mengangkat lengan
bawah horizontal setinggi dada dengan posisi salah satu lengan lebilh
tinggi. Selanjutnya pasien diminta untuk membuat gerakan berputar
dengan kedua lengannya sehingga kedua kepalan tangan akan saling
mengitari. Apabila terdapat kelemahan di salah satu lengan, maka
lengan yang lemah akan cenderung berputar lebih lambat atau tidak
bergerak sedangkan sisi yang sehat terlihat bergerak mengitari sisi
yang lemah.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks merupakan bagian yang paling objektif dari pemeriksaan
neurologis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan penurunan
kesadaran, gangguan kognitif maupun pada pasien yang tidak kooperatif
Terdapat refleks fisiologis dan patologis.
Refleks merupakan respons involunter terhadap stimulus sensorik.
Dikenal 2 macam jenis refleks fisiologis, yaitu refleks dalam atau refleks
regang otot dan refleks superfisialis
1.a. Pemeriksaan refleks dalam atau refleks regang otot
Berdasarkan respons yang timbul, refleks dalam atau refleks regang otot
dinilai 0 hingga 4+ (Tabel 11.3).
Hingga saat ini tidak ada batasan yang tegas untuk menentukan
tingkat refleks seperti di atas. Akan tetapi pada umumnya pada refleks yang
meningkat zona refleks akan meluas. Refleks dapat dibangkitkan meskipun
rangsangan diberikan tidak pada tendon otot, selain itu kontraksi otot yang
ditimbulkan juga bertambah hebat. Penilaian refleks juga harus dilakukan
pada kedua sisi. Ketidaksimetrisan respons refleks bisa berarti suatu kondisi
patologis.
Tabel 11.3. Penilaian respons refleks
Nilai
Respons
0 Negatif
+ Positif tetapi menurun
++Normal
+++ Meningkat tetapi masih mungkin normal
++++ Sangat meningkat, kadang disertai klonus

Pada saat melakukan pemeriksaan refleks sebaiknya pasien rileks,


nyaman dan dialihkan perhatiannya. Oleh karena refleks akan sulit
dibangkitkan dalam kondisi otot yang tegang.
Refleks regang otot yang umumnya dikerjakan adalah refleks biseps,
triseps, brakioradialis, patela, dan achilles.
1. Refleks biseps (C5, C6)
Lengan diposisikan semifleksi dengan lengan bawah sedikit pronasi.
Pemeriksa meletakkan ibu jari di atas tendon otot biseps dan ketuk
jari tersebut dengan palu refleks. Respons yang timbul berupa fleksi
dari sendi siku.
Refleks triseps (C7, C8)
2.
Pemeriksaan refleks ini dilakukan dengan mengetuk tendon otot
triseps yang terletak di atas olekranon. Posisi lengan bawah semifleksi
dan ditopang oleh tangan pemeriksa. Respons refleks ini berupa
ekstensi lengan bawah.
3. Refleks brakhioradialis (C5, C6)
Refleks dibangkitkan dengan mengetuk prosesus stiloideus radius
dengan lengan dalam posisi semifleksi. Sebaiknya pemeriksa
meletakkan jari di atas tempat tersebut untuk menghindari ketukarn
langsung pada N. Radialis. Respon yang timbul adalah fleksi dan
supinasi lengan bawah.
Refleks patela (L3, L4)
4.
Refleks patela terjadi akibat kontraksi otot kuadriseps femoris yang
mengakibatkan ekstensi dari sendi lutut. Apabila pemeriksaar
dilakukan pada posisi duduk, pasien diminta untuk duduk dengan
tungkai tergantung. Lakukan identifikasi terhadap tendon patela
terlebih dahulu. Tangan kiri pemeriksa diletakkan di atas otot
kuadriseps femoris sedangkan tangan kanan mengetukkan tendon
patela dengan palu refleks. Bila dilakukan pada posisi pasien berbaring
maka fleksikan lutut pasien terlebih dahulu sebelum mengetuk tendon
patela (Gambar 11.30).
Refleks Achilles (S1, S2)
5.
Tungkai bawah difleksikan dan eksternal rotasi dan tangan kiri
pemeriksa menahan kaki pasien dalam posisi dorsifleksi (Gambar
11.31). Ketukkan palu refleks pada tendon achilles. Refleks yang timbul
berupa gerakan plantar fleksi dan kontraksi otot gastroknemius.

Pemeriksaan refleks superfisial

1. Refleks dinding perut superfisial


Pemeriksaan dilakukan dengan menggores dinding perut ke arah
umbilicus. Pada kondisi normal akan terjadi kontraksi otot dinding
perut sesuai dengan arah goresan tersebut. Refleks ini dapat
menghilang pada pasien dengan obesitas ataupun pada wanita yang
telah melahirkan. Refleks ini juga menghilang pada lesi upper motor neuron. Meskipun demikian
interpretasi refleks ini harus diintegrasikan dengan hasil pemeriksaan lainnya.

2. Refleks kremaster
Untuk membangkitkan refleks ini, bagian medial dari pangkal paha digores atau disentuh.
Refleks yang timbul berupa kontraksi rektum.
Pada lanjut usia refleks ini bisa menghilang demikian pula pada pasien
dengan hidrokel atau varikokel.

3. Refleks anus superfisialis (S2, S3, S4)


sangan pada kulit di sekitar anus akan mengakibatkan kontraksi sfingter ani eksternus

Refleks Patologis
Refleks patologis umumnya merupakan salah satu tanda adanya lesi upper
motor neuron atau lesi yang melibatkan traktus kortikospinal. Refleks ini juga
dapat ditemukan pada gangguan lobus frontal dan kadang-kadang muncul
pada lesi ekstrapiramidal. Refleks patologis dapat berupa refleks postural
yang muncul kembali akibat menurunnya kemampuan inhibisi otak. Selain
itu refleks ini bisa juga berupa refleks yang hanya muncul pada otak yang
imatur yang kemudian timbul kembali akibat suatu penyakit.
Refleks patologis yang paling sering diperiksa adalah refleks Babinski
Pemeriksaan dilakukan dengan menggores bagian lateral telapak kaki dari
tumit ke arah pangkal jari (sesuai dengan distribusi radiks S1/ N. Suralis
sensorik). Goresan dilakukan dengan menggunakan benda tumpul seperti
korek api, ujung tangkai palu refleks, kuku ibu jari ataupun toungespatel
yang dipatahkan. Refleks ini dikatakan positif apabila terjadi dorsifleksi
ibu jari disertai dengan mekarnya jari-jari kaki lainnya. Respon terpenting
adalah dorsifleksi ibu jari
Refleks patologis juga dapat ditemukan pada ekstremitas atas, salah
satunya refleks Hoffman dan Trommer. Refleks Hoffman dilakukan dengan
tangan pasien diposisikan dorsifleksi pada pergelangan tangan dengan jari
jari sedikit fleksi. Pemeriksan memegang jari tengah pasien dengan ibu jari
dan jari telunjuk dan menjentikkan kuku jari tersebut dengan cepat. Refleks
Tromner dibangkitkan dengan cara, pemeriksa memegang jari tengah pasien
dengan posisi sedikit ekstensi dan biarkan jari lainnya tergantung. Dengarn
tangan lainnya pemeriksa menjentikkan sisi palmar jari tengah tersebut.
Respon positif refleks Hoffman Tromner berupa fleksi dan aduksi ibu jari
dan fleksi jari telunjuk yang kadang disertai dengan fleksi jari lainnya
Refleks ini tidak selalu patologis. Pada beberapa orang normal refleks ini
juga ditemukan. Temuan ini akan memiliki nilai klinis yang penting apabila
asimetris. Seperti halnya hasil pemeriksaan refleks lainnya, interpretasi harus
diintegrasikan dengan hasil pemeriksaan lainnya.

Gangguan pada sistem motorik


Kerusakan pada di tiap tingkat dari sistem motorik akan mengakibatkan
manifestasi yang berbeda. Kerusakan pada motor unit akan mengakibatkan
kelumpuhan dengan tipe lower motor neuron (LMN) sedangkan pada
tingkat di atas motor unit akan menyebabkan kelumpuhan tipe upper motor
neuron (UMN). Pada kelumpuhan LMN, kelemahan akan disertai tonus
otot yang menurun, hipotrofi atau atrofi otot, refleks fisiologis menurun
atau menghilang dan tidak ditemukan refleks patologis. Sedangkan pada
kelumpuhan UMN akan disertai dengan tonus otot yang hipertonus, refleks
fisiologis yang meningkat dan munculnya refleks patologis. Beberapa
karakteristik kelumpuhan sesuai dengan letak lesinya (Tabel 11.4).

4. PEMERIKSAAN SISTEM SENSORI


Pemeriksaan sistem sensori antara lain
1. Eksteroseptif: Nyeri (pinprick), raba halus (menggunakan serabut), suhu
Proprioseptif: Posisi, sikap
2.
Penyebab tersering gangguan sensori antara lain Diabetes Melitus dan
efisiensi thiamin. Pada umumnya pasien mengeluh kesemutan (parastesia)
pada kedua tangan dan kaki. Beberapa pasien juga sering mengeluh nyeri
seperti rasa panas (disestesia) dan hilangnya rasa ("baal"). Pemeriksaan
dilakukan sesuai dengan jenis reseptor dan jaras sensibilitas di dermatom
yang berurutan mulai dari servikal ke bawah (Gambar 11.32).

a. Pemeriksaan Nyeri
Alat: jarum pentul
Pemeriksa harus menjelaskan prosedur pemeriksaan kepada pasien. Pasien
diminta duduk atau berbaring terlentang dan mata tertutup. Pemeriksa
meminta pasien untuk mengatakan "tajam" atau "tumpul" saat pasien
merasakan benda yang disentuhkan ke kulit pasien. Sebelum memulai
pemeriksaan, pasien harus merasakan ketajaman jarum terlebih dahulu agar
tidak merasa takut. Bandingkan antara sisi kanan dan kiri tubuh. Kemudian
pemeriksa melakukan dari kaki dan naik ke bagian atas hingga pasien dapat
mengidentifikasi jika ada perbedaan sensasi pada dermatom tertentu.
Jarum pentul yang telah digunakan di satu pasien tidak boleh digunakan
pada pasien lainnya

b. Pemeriksaan Raba Halus


Alat: kapas
Pemeriksa menyentuh kulit pasien dengan kapas dan meminta pasien
mengatakan "ya" jika kulit terasa teraba sambil mata pasien tertutup.
Bandingkan sensasi rabaan ini antara sisi kanan dan kiri tubuh. Dan kemudian
pemeriksa memeriksa mulai dari kaki dan naik ke bagian atas secara bertahap
hingga pasien dapat mengidentifikasi batas dermatom antara bagian tubuh
yang terasa dan kurang atau tidak terasa.
Pemeriksaan raba halus dan nyeri dapat dilakukan secara bergantian.
c. Pemeriksaan Suhu
Alat: Air panas atau dingin dalam tabung reaksi atau termos.
Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa meminta pasien untuk
mengidentifikasi saat kulit disentuh dengan air panas atau air dingin. Cara
pemeriksaan sama dengan pemeriksaan raba halus dan nyeri

d. Pemeriksaan Vibrasi
Alat: Garpu tala 256 Hz.
Getarkan garpu tala dan letakkan ujung garpu tala di tonjolan tulang seperti
ibu jari kaki, maleolus medial, tonjolan tulang tibial atau tulang ileum
e. Pemeriksaan Posisi dan Sikap
Pemeriksa menggerakkan jari tangan dan jari kaki ke arah atas dan bawah
sambil mata pasien tertutup. Meminta pasien untuk mengidentifikasi arah
jari yang diperiksa. Pada pasien dengan defisit neurologis yang berat
pemeriksa sebaiknya melakukan pemeriksaan ini pada sendi proksimal seperti
pergelangan kaki, lutut atau paha agar pasien dapat lebih merasakan gerakan.
f. Pemeriksaan Diskriminasi Kortikal
Pada kerusakan di thalamus, sensasi sederhana tidak dapat dilokalisasi
dengan baik. Sensasi diintegrasikan menjadi informasi yang berarti pada
tingkat korteks. Gangguan pada korteks didentifikasi jika ditemukan
kehilangan modalitas sensori primer yang bermakna dan pasien tidak dapat
mengintegrasikan sensasi menjadi informasi yang bermakna (Gambar
11.33). Jika fungsi sensori terganggu pada satu sisi tubuh (hemihipestesia)
maka kerusakan terjadi di lobus parietal kontralateral
Berikut adalah pemeriksaan untuk lesi kortikal
a. Diskriminasi 2 titik
Alat: kaliper atau jangka
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di wajah, ujung jari, telapak tangan dan
daerah tulang tibial. Batas normal jarak antara 2 titik: wajah 2-5 mm; ujung
jari 3-6 mm; telapak tangan 10-15 mm. Jika pasien dapat membedakan 2
titik dengan jarak yang lebih lebar dari nilai normal, maka mengindikasikan
ada gangguan di lobus parietal.
b. Stereognosis
Stereognosis adalah kemampuan pasien untuk mengidentifikasi bentuk
benda dengan cara merasakan benda tersebut. Pasien diminta menutup
mata. Sebuah benda diletakkan di tangan yang akan diperiksa. Pasien
diminta meraba benda tersebut dan. boleh sambil menggerakkan benda
tersebut hanya di tangan yang diperiksa. Benda yang digunakan dapat
berupa kunci, koin atau tutup botol.

c. Identifikasi gambar
Pemeriksa menuliskan bentuk angka (1-9) dengan jari pemeriksa pada
telapak tangan pasien sambil mata pasien tertutup. Pasien diminta menebak
atau mengidentifikasi angka berapa yang ditulis oleh pemeriksa.
d. Stimulasi ganda secara simultan
Bagian tubuh yang homolog disentuh secara simultan (misal: kedua tangan
disentuh bersamaan). Pasien diminta untuk menjawab sisi tubuh mana yang
disentuh. Pasien dengan lesi lobus parietal tidak dapat mengidentifikasi
rabaan pada sisi tubuh kontralateral lesi pada saat disentuh secara
bersamaan. Fenomena ini disebut sensory extinction.
Secara umum, karakteristik gangguan sensori dapat dibedakan sesuai
dengan area yang terganggu (Tabel 11.5)

5. PEMERIKSAAN FUNGSI KESEIMBANGAN DAN KOORDINASI


Pemeriksaan keseimbangan
1. Pemeriksaan Tandem Gait
Perintahkan kepada pasien untuk berjalan mengikuti garis lurus. Saat kaki
kanan melangkah ke depan, tumit kaki kanan menyentuh ujung ibu jari kaki
kiri, dan sebaliknya. Dan kemudian berputar dan berjalan ke arah sebalikny.a.
Perhatikan apakah lengan pasien berayun dan bagaimana cara berjalan
saat pasien berputar balik ke arah sebaliknya.
2. Pemeriksaan Romberg
Perintahkan pasien untuk berdiri tegak, kedua lengan dilipat di depan perut
(bersedekap) dan minta pasien untuk menutup mata. Pemeriksa berada
di belakang pasien. Pertahankan posisi pasien tersebut selama 30 detik.
Dikatakan terganggu (dikatakan Romberg positif) jika pasien jatuh tidak
seimbang ke satu sisi.
3. Pemeriksaan Romberg dipertajam
Setelah pemeriksaan Romberg, pasien diminta untuk memajukan satu kaki
ke depan kaki yang satunya, tumit menempel pada ibu jari kaki yang lain.
Tangan diminta bersedekap dan meminta pasien untuk menutup mata
Pertahankan posisi ini selama 30 detik. Pemeriksa berada di belakang pasien.
Dikatakan Romberg positif jika pasien jatuh ke satu sisi.
4. Pemeriksaan Stepping Fukuda (Fukuda stepping test)
Pemeriksa meminta pasien untuk berjalan di tempat sebanyak 50 langkah
sambil menutup mata. Fukuda dikatakan positif (terganggu) jika pasien
berputar lebih dari 30 derajat atau berpindah sejauh lebih dari 1 meter
Pemeriksaan koordinasi
1. Pemeriksaan finger-to-finger
Pasien diminta untuk berdiri atau duduk. Pemeriksa berhadapan dengan
pasien. Pemeriksa meminta pasien untuk mengangkat salah satu tangan
lurus ke atas, kemudian menyentuhkan ujung jari telunjuk ke telunjuk
Pe
pemeriksa yang berada di depan pasien. Setelah pasien terbiasa, minta
pasien untuk menutup mata dan mengulangi gerakan tersebut sambil
menutup mata. Dikatakan terganggu jika telunjuk pasien meleset dari
Ke
telunjuk pemeriksa
2. Pemeriksaan finger-to-nose
Bah
Pemeriksa berhadapan dengan pasien. Perintahkan pasien untuk menyentuh
hidung pasien dengan jari telunjuk dan kemudian menyentuh telunjuk
pemeriksa yang berada di depan pasien. Perintahkan kepada pasien
untuk melakukan gerakan ini secepat yang pasien bisa sambil pemeriksa
memindahkan posisi jari telunjuk pemeriksa secara perlahan.
3. Pemeriksaan heel-to-knee
Pasien diminta berbaring terlentang. Pemeriksa meminta pasien untuk menyentuukan tumit ke
lutut kaki yang lain Dan perlahan digerakkan di atas

tulang kering hingga tumit menyentuh pergelangan kaki yang lain tersebut.
Lakukan juga dengan sisi yang lain.
6. PEMERIKSAAN FUNGSI KOGNITIF
Pemeriksaan kognitif standar secara bedside adalah menggunakan Mini-
Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini dapat menilai kelima
ranah kognitif secara singkat selama 5 - 10 menit. Pemeriksa memberikan
skor 1 atas setiap pertanyaan yang mampu dijawab oleh pasien (Tabel 11.6).
Skor dituliskan di sisi samping kanan dan dijumlahkan, dengan nilai total
adalah 30. Pada orang dengan pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), nilai
normal adalah 29-30. Secara umum pasien dianggap mengalami gangguan
kognitif pada nilai 24 ke bawah, yang menjadi titik potong demensia.

Tabel 6. Contoh penilaian MMSE beserta skor yang diharapkan


Skor Maksimunm
Orientasi
Orientasi waktu sekarang (tanggal berapa, hari apa, bulan
apa, tahun berapa dan musim apa sekarang)?
Di mana Anda sekarang (di klinik, kota, negara apa)?
Memori
Sebutkan tiga obyek. Minta pasien untuk mengulangi
ketiganya
Perhatian
"Mengurangi angka seratus dengan angka tujuh secara
berurutan (Aturan serial sevens). Atau, minta pasien untulk
mengeja kata "dunia" dari belakang (ainud)
Kemampuan mengingat kembali (recall)
Minta pasien untuk menyebut ulang tiga obyek yang telah
disebutkan di atas
3
Bahasa
2
*Sebutkan: sebatang pensil dan sebuah arloji
"Ulangi: Tidak jika, dan atau tetapi"
Minta pasien untuk mengikuti perintah yang diberikarn
dalam tiga tahap (three stage command)
*Baca dan patuhi: TUTUP MATA ANDA
*Tulislah satu kalimat
*Tirulah bentuk dua buah segi lima ini

Anda mungkin juga menyukai