Nervus Vestibularis
Nervus vestibularis turut mengurus keseimbangan, koordinasi dan
orientasi terhadap tempat. Pemeriksaan untuk nervus ini meliputi
pemeriksaan Romberg, past pointing dan Fukuda stepping test
Pada tes Romberg pasien berdiri dengan kedua kaki rapat dan
lengan dilipat di dada. Pasien diminta berdiri dalam posisi ini
dengan mata terbuka dan mata tertutup masing-masing 30 detik.
motorik sebagai jaras kortikospinal. Serabut ini berjalan turun melalui korona
radiata menuju kornu posterior kapsula interna. Selanjutnya serabut saraf
ini akan memasuki pedunkulus serebri yang membentuk basis dari medula
oblongata. Traktus kortikobulbar akan berakhir di bagian bawah otak tengah
atau struktur lainnya pada inti-intinya. Serabut saraf traktus kortikospinal
akan bergerak turun dari pedunkulus dalam sebuah bundel yang kompak
membentuk struktur yang dikenal sebagai piramis di medula oblongata.
Pada bagian kaudal medula 90% serabut traktus korti kopsinal akan
berlukasasio ke sisi kontralateral dan meneruskan perjalanannya menuju ke
medula spinalis sebagai traktus korti kospinal lateralis. Sisanya (10%) akan
berjalan ipsilateral sebagai traktus kortikospinal anterior (Gambar 11.11).
Dari medula spinalis serabut motorik akan keluar melalui kornu anterior
di bagian ventral medula spinalis sebagai radiks saraf. Radiks-radiks ini akan
bergabung menjadi pleksus dan meneruskan diri sebagai sa
motorik ini akan berakhir di otot sebagai eksekutor sebuah gerakan. Sebelum
mencapai otot sinyal motorik terlebih dahulu melewati taut sarafo
Komponen ini (dari kornu anterior hingga otot) dikenal sebagai motor unt.
raf perifer. Sistem
Pemeriksaan motorik terdiri atas:
Pengamatan terhadap sikap tubuh dan cara berjalan
a.
Pemeriksaan trofi (bentuk) otot
b.
Pemeriksaan tonus otot
c.
Pemeriksaan kekuatan otot
d.
e. Pemeriksaan refleks
a. Pemeriksaan terhadap sikap tubuh dan cara berjalan
Pemeriksaan motorik dimulai dengan pengamatan terhadap sikap
tubuh, postur cara berjalan dan juga gerakan-gerakan pasien. Penyakit
atau kelainan tertentu akan mengakibatkan sikap tubuh yang yang cukup
khas. Pasien dengan penyakit parkinson akan berdiri dengan tubuh agak
membungkuk ke depan dan lengan dan tungkai fleksi. Parkinson juga
menyebabkan gerakan pasien menjadi lambat, langkah kaki kecil-kecil dan
ayunan tangan menghilang.
Pasien dengan hemiparesis akibat lesi di sistem piramidalis akan terlihat
dengan posisi lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Pada saat berjalan tungkai
akan sirkumdiksi
Pada gangguan serebelum, pasien akan berjalan dengan langkah
yang lebar dan tampak tidak seimbang seolah terayun-ayun. Sedangkan
pada ataksia sensorik, pasien berjalan dengan mengangkat tinggi
tinggi tungkainya kemudian menghempaskan kaki ke lantai untuk dapat
meningkatkan stimulus terhadap rasa posisi.
b. Pemeriksaan trofi otot
Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi dan pengukuran. Pada saat
melakukan inspeksi perhatikan bentuk otot secara keseluruhan, kesimetrisan antara otot-otot di
kedua sisi tubuh, ada atau tidaknya otot yang mengecil
ataupun tampak lebih besar. Otot-otot wajah, bahu, panggul dan ekstremitas
bagian distal perlu diperhatikan dengan lebih rinci. Untuk ekstremitas
atas perhatikan otot thenar, hypothenar dan interoseus sedangkan pada
ekstremitas bawah perhatikan otot tibialis anterior
Salah satu teknik yang dapat digunakan untuk memeriksa trofi otot
adalah dengan meminta pasien menjulurkan dan merapatkan kedua
lengannya. Perhatikan seluruh otot dari jari-jari hingga bahu dan catat jika
terdapat otot yang asimetri.
Palpasi sangat membantu pada pemeriksaan trofi otot. Otot normal atau
eutrofi akan teraba semielastis dan akan kembali ke bentuk semula setelah
dilakukan penekanan. Otot yang hipertrofi akan teraba keras sedangkan
otot yang psudohipertrofi akan terlihat besar namun pada palpasi akan
teraba lunak seperti karet. Otot yang atrofi akan teraba lunak dan "kosong
Penurunan massa otot tidak selalu kasat mata. Terkadang pada
pengamatan terkesan masih asimetris jika penurunan yang terjadi tidak
signifikan. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran. Pengukuran massa otot
yang dicurigai mengalami atrofi dilakukan dengan memakai patokan-
patokan anatomis seperti di bawah atau di atas olekranon, patela, maleolus
dan lain-lain. Pada kasus-kasus tertentu diperlukan juga pengukuran
panjang tungkai atau lengan. Pengukuran ini juga bermanfaat untuk menilai
progresifitas penyakit bila dilakukan berkala
d.
c. Pemeriksaan tonus otot
Ska
Pada pemeriksaan tonus otot pasien harus berada dalam kondisi rileks
dan kooperatif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan gerakan pasif
pada otot. Palpasi terkadang dapat membantu menilai tonus otot. Yang
Cou
Tal
terpenting dari pemeriksaan tonus otot adalah menilai resistensi otot yang
rileks tehadap gerakan pasif dan range of motion. Penilaian tonus dilakukan
pada gerakan lambat maupun cepat serta pada range of motion parsial
maupun maksimal. Dinilai adanya abnormalitas berdasarkan distribusi, tipe
dan derajat keparahannya. Pada kondisi hipertonus dapat dijumpai tahanan
pada saat dilakukan gerakan pasif. Rigiditas dapat berupa cogwheel rigidity
di mana tahanan dirasakan seperti roda gigi ataupun lead-pipe di ma
anan dirasakan sama sejak awal hingga akhir gerakan tanpa dipengaruhi
oleh kecepatan. Sedangkan otot yang spastis dapat dirasakan dengan mengubah kecepatan pada
saat gerakan pasif. Pada saat digerakkan lambat,
resistensi otot tidak terlalu besar, tetapi dengan menggerakkan dengan lebih
cepat resistensi otot juga akan meningkat.
Beberapa teknik lain untuk memeriksa tonus otot akan dipaparkan seperti
berikut ini.
1.
Babinski Tonus Test
Pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan fleksi pada sendi siku
Jika terdapat otot-otot hipotonus di daerah lengan maka lengan dapat
difleksikan dengan sudut yang lebih kecil dibandingkan dengan otot
yang eutonus. Sebaliknya jika terdapat otot-otot yang hipertonus
maka fleksibilitasnya akan menurun dan sudut yang dibentuk tidak
dapat lebih kecil dari normal.
Pendoulousness of the legs
2.
Pada pemeriksaan ini pasien diminta duduk di tepi tempat tidur
dengan tungkai terjulur ke bawah. Kedua tungkai bawah diekstensikarn
horizontal pada sendi lutut kemudian lepaskan. Biarkan kedua tungkai
terayun-ayun. Dalam kondisi normal tungkai bawah akan berayun
sekitar 6-7 kali dan lama kelamaan akan melambat dan menurun
jangkauannya hingga berhenti. Gerakan seperti pendulum ini akan
menurun pada otot tungkai yang hipertonus dan sebaliknya akan
meningkat pada kondisi hipotonus.
d. Pemeriksaan kekuatan otot
Skala kekuatan otot yang banyak digunakan adalah The Medical Research
Council Scale of Muscle Strength (tabel 11.2).
Tabel 11.2. Skala kekuatan otot berdasarkan The Medical Research
Council Scale of Muscle Strength
Nilai Respons otot
0 Tidak ada kontraksi
1 Terdapat sedikit kontraksi
2 Terdapat gerakan aktif tetapi tidak dapat melawan gravitasi
3 Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi
4 Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi dan tahanan ringan
4 Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi dan tahanan sedang
4+ Gerakan aktif dan dapat melawan gravitasi dan tahanan kuat
5 Kekuatan otot normal
5. Fleksi pergelangan tangan (fleksor carpi ulnaris dan radialis - C6, C7)
Pasien diminta memfleksikan pergelangan tangannya sambil melawan
tahanan yang diberikan oleh pemeriksa. Pada gerakan ini pemeriksa
dapat melihat dan mempalpasi tendon otot fleksor carpi radialis dan
fleksor carpi ulnaris (Gambar 11.16)
sedangkan until memeriksa FDP dilakukan dengan memberikan tahanannpada flekso phalang
distal dengannfiksasi pada phalang medial
10. Abduksi sendi panggul (gluteus medius, gluteus minimus dan tensor
fascia lata - L4-s1)
Pasien dalam posisi supinasi dan berusaha menggerakkan tungkai
yang ekstensi ke arah lateral melawan tahanan yang diberikan oleh
pemeriksa (Gambar 11.22).
11. Aduksi sendi panggul (aduktor longus, brevis dan magnus - L2-L4)
Gerakan ini dinilai dengan pasien dalam posisi supinasi dan melakukan
aduksi tungkai (lutut ekstensi) melawan tahanan yang dibeikan oleh
pemeriksa (Gambar 11.23).
3. Arm roll
Pasien diminta untuk mengepalkan tangannya, mengangkat lengan
bawah horizontal setinggi dada dengan posisi salah satu lengan lebilh
tinggi. Selanjutnya pasien diminta untuk membuat gerakan berputar
dengan kedua lengannya sehingga kedua kepalan tangan akan saling
mengitari. Apabila terdapat kelemahan di salah satu lengan, maka
lengan yang lemah akan cenderung berputar lebih lambat atau tidak
bergerak sedangkan sisi yang sehat terlihat bergerak mengitari sisi
yang lemah.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks merupakan bagian yang paling objektif dari pemeriksaan
neurologis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada pasien dengan penurunan
kesadaran, gangguan kognitif maupun pada pasien yang tidak kooperatif
Terdapat refleks fisiologis dan patologis.
Refleks merupakan respons involunter terhadap stimulus sensorik.
Dikenal 2 macam jenis refleks fisiologis, yaitu refleks dalam atau refleks
regang otot dan refleks superfisialis
1.a. Pemeriksaan refleks dalam atau refleks regang otot
Berdasarkan respons yang timbul, refleks dalam atau refleks regang otot
dinilai 0 hingga 4+ (Tabel 11.3).
Hingga saat ini tidak ada batasan yang tegas untuk menentukan
tingkat refleks seperti di atas. Akan tetapi pada umumnya pada refleks yang
meningkat zona refleks akan meluas. Refleks dapat dibangkitkan meskipun
rangsangan diberikan tidak pada tendon otot, selain itu kontraksi otot yang
ditimbulkan juga bertambah hebat. Penilaian refleks juga harus dilakukan
pada kedua sisi. Ketidaksimetrisan respons refleks bisa berarti suatu kondisi
patologis.
Tabel 11.3. Penilaian respons refleks
Nilai
Respons
0 Negatif
+ Positif tetapi menurun
++Normal
+++ Meningkat tetapi masih mungkin normal
++++ Sangat meningkat, kadang disertai klonus
2. Refleks kremaster
Untuk membangkitkan refleks ini, bagian medial dari pangkal paha digores atau disentuh.
Refleks yang timbul berupa kontraksi rektum.
Pada lanjut usia refleks ini bisa menghilang demikian pula pada pasien
dengan hidrokel atau varikokel.
Refleks Patologis
Refleks patologis umumnya merupakan salah satu tanda adanya lesi upper
motor neuron atau lesi yang melibatkan traktus kortikospinal. Refleks ini juga
dapat ditemukan pada gangguan lobus frontal dan kadang-kadang muncul
pada lesi ekstrapiramidal. Refleks patologis dapat berupa refleks postural
yang muncul kembali akibat menurunnya kemampuan inhibisi otak. Selain
itu refleks ini bisa juga berupa refleks yang hanya muncul pada otak yang
imatur yang kemudian timbul kembali akibat suatu penyakit.
Refleks patologis yang paling sering diperiksa adalah refleks Babinski
Pemeriksaan dilakukan dengan menggores bagian lateral telapak kaki dari
tumit ke arah pangkal jari (sesuai dengan distribusi radiks S1/ N. Suralis
sensorik). Goresan dilakukan dengan menggunakan benda tumpul seperti
korek api, ujung tangkai palu refleks, kuku ibu jari ataupun toungespatel
yang dipatahkan. Refleks ini dikatakan positif apabila terjadi dorsifleksi
ibu jari disertai dengan mekarnya jari-jari kaki lainnya. Respon terpenting
adalah dorsifleksi ibu jari
Refleks patologis juga dapat ditemukan pada ekstremitas atas, salah
satunya refleks Hoffman dan Trommer. Refleks Hoffman dilakukan dengan
tangan pasien diposisikan dorsifleksi pada pergelangan tangan dengan jari
jari sedikit fleksi. Pemeriksan memegang jari tengah pasien dengan ibu jari
dan jari telunjuk dan menjentikkan kuku jari tersebut dengan cepat. Refleks
Tromner dibangkitkan dengan cara, pemeriksa memegang jari tengah pasien
dengan posisi sedikit ekstensi dan biarkan jari lainnya tergantung. Dengarn
tangan lainnya pemeriksa menjentikkan sisi palmar jari tengah tersebut.
Respon positif refleks Hoffman Tromner berupa fleksi dan aduksi ibu jari
dan fleksi jari telunjuk yang kadang disertai dengan fleksi jari lainnya
Refleks ini tidak selalu patologis. Pada beberapa orang normal refleks ini
juga ditemukan. Temuan ini akan memiliki nilai klinis yang penting apabila
asimetris. Seperti halnya hasil pemeriksaan refleks lainnya, interpretasi harus
diintegrasikan dengan hasil pemeriksaan lainnya.
a. Pemeriksaan Nyeri
Alat: jarum pentul
Pemeriksa harus menjelaskan prosedur pemeriksaan kepada pasien. Pasien
diminta duduk atau berbaring terlentang dan mata tertutup. Pemeriksa
meminta pasien untuk mengatakan "tajam" atau "tumpul" saat pasien
merasakan benda yang disentuhkan ke kulit pasien. Sebelum memulai
pemeriksaan, pasien harus merasakan ketajaman jarum terlebih dahulu agar
tidak merasa takut. Bandingkan antara sisi kanan dan kiri tubuh. Kemudian
pemeriksa melakukan dari kaki dan naik ke bagian atas hingga pasien dapat
mengidentifikasi jika ada perbedaan sensasi pada dermatom tertentu.
Jarum pentul yang telah digunakan di satu pasien tidak boleh digunakan
pada pasien lainnya
d. Pemeriksaan Vibrasi
Alat: Garpu tala 256 Hz.
Getarkan garpu tala dan letakkan ujung garpu tala di tonjolan tulang seperti
ibu jari kaki, maleolus medial, tonjolan tulang tibial atau tulang ileum
e. Pemeriksaan Posisi dan Sikap
Pemeriksa menggerakkan jari tangan dan jari kaki ke arah atas dan bawah
sambil mata pasien tertutup. Meminta pasien untuk mengidentifikasi arah
jari yang diperiksa. Pada pasien dengan defisit neurologis yang berat
pemeriksa sebaiknya melakukan pemeriksaan ini pada sendi proksimal seperti
pergelangan kaki, lutut atau paha agar pasien dapat lebih merasakan gerakan.
f. Pemeriksaan Diskriminasi Kortikal
Pada kerusakan di thalamus, sensasi sederhana tidak dapat dilokalisasi
dengan baik. Sensasi diintegrasikan menjadi informasi yang berarti pada
tingkat korteks. Gangguan pada korteks didentifikasi jika ditemukan
kehilangan modalitas sensori primer yang bermakna dan pasien tidak dapat
mengintegrasikan sensasi menjadi informasi yang bermakna (Gambar
11.33). Jika fungsi sensori terganggu pada satu sisi tubuh (hemihipestesia)
maka kerusakan terjadi di lobus parietal kontralateral
Berikut adalah pemeriksaan untuk lesi kortikal
a. Diskriminasi 2 titik
Alat: kaliper atau jangka
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di wajah, ujung jari, telapak tangan dan
daerah tulang tibial. Batas normal jarak antara 2 titik: wajah 2-5 mm; ujung
jari 3-6 mm; telapak tangan 10-15 mm. Jika pasien dapat membedakan 2
titik dengan jarak yang lebih lebar dari nilai normal, maka mengindikasikan
ada gangguan di lobus parietal.
b. Stereognosis
Stereognosis adalah kemampuan pasien untuk mengidentifikasi bentuk
benda dengan cara merasakan benda tersebut. Pasien diminta menutup
mata. Sebuah benda diletakkan di tangan yang akan diperiksa. Pasien
diminta meraba benda tersebut dan. boleh sambil menggerakkan benda
tersebut hanya di tangan yang diperiksa. Benda yang digunakan dapat
berupa kunci, koin atau tutup botol.
c. Identifikasi gambar
Pemeriksa menuliskan bentuk angka (1-9) dengan jari pemeriksa pada
telapak tangan pasien sambil mata pasien tertutup. Pasien diminta menebak
atau mengidentifikasi angka berapa yang ditulis oleh pemeriksa.
d. Stimulasi ganda secara simultan
Bagian tubuh yang homolog disentuh secara simultan (misal: kedua tangan
disentuh bersamaan). Pasien diminta untuk menjawab sisi tubuh mana yang
disentuh. Pasien dengan lesi lobus parietal tidak dapat mengidentifikasi
rabaan pada sisi tubuh kontralateral lesi pada saat disentuh secara
bersamaan. Fenomena ini disebut sensory extinction.
Secara umum, karakteristik gangguan sensori dapat dibedakan sesuai
dengan area yang terganggu (Tabel 11.5)
tulang kering hingga tumit menyentuh pergelangan kaki yang lain tersebut.
Lakukan juga dengan sisi yang lain.
6. PEMERIKSAAN FUNGSI KOGNITIF
Pemeriksaan kognitif standar secara bedside adalah menggunakan Mini-
Mental State Examination (MMSE). Pemeriksaan ini dapat menilai kelima
ranah kognitif secara singkat selama 5 - 10 menit. Pemeriksa memberikan
skor 1 atas setiap pertanyaan yang mampu dijawab oleh pasien (Tabel 11.6).
Skor dituliskan di sisi samping kanan dan dijumlahkan, dengan nilai total
adalah 30. Pada orang dengan pendidikan tinggi (lebih dari 9 tahun), nilai
normal adalah 29-30. Secara umum pasien dianggap mengalami gangguan
kognitif pada nilai 24 ke bawah, yang menjadi titik potong demensia.